MEMASUKAN SESUATU BARANG KE PETI MATI, SERIAL SUDUT PANDANG(DOSA?, BERHALA? BOLEH? APA KATA ALKITAB? APA KATA GEREJA?KEJIWAAN? BELA RASA KEDUKAAN? EKSPRESI KEDUKAAN?)
MEMASUKAN SESUATU BARANG KE PETI MATI, SERIAL SUDUT PANDANG
(DOSA?, BERHALA? BOLEH? APA KATA ALKITAB? APA KATA GEREJA?KEJIWAAN? BELA RASA KEDUKAAN? EKSPRESI KEDUKAAN?)
PENGANTAR
Jika ada seseorang atau keluarga memasukkan suatu barang tertentu ke peti mati, pastilah ada maksud dan tujuan dari yang memasukkan itu. Mustahil tanpa ada maksud dan tujuan. Hanya saja, kita sulit jujur menyatakan apa yang sebenarnya ada dalam hati kita saat kita memasukkan barang itu. Maksud dan tujuan memasukkan barang itu bisa berbeda beda. Ada yang menyangkut kesopanan, kenangkenangan, perasaan bersalah, permintaan maaf, meminta berkat, takut bencana, dll. Misalnya, kita memakaikan baju, tentu tujuannya kesopanan. Masa kita meletakkan mayat dalam keadaan telanjang di peti mati. Demikian juga diformalin, tujuannya supaya tidak cepat busuk dan bau. Memakaikan baju tohonan pdt, karena dia memang pdt. Tidak sopanlah kita memakaikan toga pendeta kepada yang bukan pdt selama hidupnya. Jadi maksud dan tujuan kita memasukkan barang itu yang sebenarnya yang paling utama, bukan apa yang dimasukkan. Tetapi harus dipikirkan pula, sudut pandang keluarga duka yg butuh bela rasa dalam kedukaan, bisa jadi tindakan memasukan barang ke peti mati adalah ekspresi kedukaan dari keluarga duka. Mari, melihat bbrp sudut pandang
SUDUT PANDANG ALKITAB
Dalam Alkitab, kita lihat beberapa contoh, apa yang dilakukan pada orang mati.
1. Yakub mati dirempah-rempahi (Kej. 50:2)
2. Yesus mati, dikapani dan dirempah-rempahi (Yoh. 19: 38-40.
3. Setelah dikapani dan dirempah-rempahi, diletakkan dalam kuburan. Saat itu belum memakai peti. Bangsa Israel memakai peti mati untuk tulang-belulang yang digali kemudian.
Maksud dan tujuan dirempah-rempahi adalah untuk menghilangkan/membasmi bau busuk, bukan untuk menahan kebusukan. Jadi jangan dikira, rempah-rempah itu adalah rempah2 makanan, tapi itu adalah rempah2 wewangian. Jadi tujuannya jelas untuk menghilangkan bau.
Saat keluarga berkabung, ada aturannya. Tidak boleh melukai diri sendiri, tidak boleh menggoresi diri, dll (Im. 19:27-28, Ul. 14:1-2).
Yang dilakukan pada yang mati.
1. Jenazah dimandikan (Kis.9:37)
2. Diminyaki/dirempahi (Mrk 16:1, Kej. 50:2,
3. Dikenakan pakaian lenan (Yoh 19: 40)
4. Kaki dan tangan diikat kain kafan, dan wajah ditutupi dengan kain peluh (Yoh. 11:44, 20:7)
PEMAKAMAN
1. Umumnya dipemakaman keluarga (liang kubur/gua) Kej. 23:19, 25:9, 49:31)
2. Terpaksa dikubur di tempat lain karena jauh dari pemakaman keluarga (Kej. 35:19-20)
3. Membakar jenazah bukan kebiasaan, tetapi dalam keadaan darurat bisa dilakukan (1 Sam. 31:11-13).
BAGAIMANA KEADAAN YANG SUDAH MATI
1. Tidak membawa hartanya (mzm 49:11, Luk 12:16-21).
2. Tidak berbuat apa2 termasuk berdoa dan memuji (Yes.38:18, Mzm 6:6)
3. Tidak mendapat bagian apapun dalam dunia ini (Pengk.9:5-6)
4. Masuk dalam dunia orang mati (Ayub 7:9, Mzm 49:15).
5. Kembali kepada Allah (Pengk. 12:7)
Dari sini kita memahami, bahwa sesungguhnya tidak ada lagi yang bisa diperbuat yang mati.
Kita juga memahami, barang apapun yang kita berikan, tidak ada artinya baginya.
Kalau demikian, apakah berdosa jika memasukkan barang tertentu ke peti mati?
Itu akan dimengerti dari apa maksud dan tujuan kita memasukkan barang tersebut. Jika ingin meminta berkat atau perlindungan dari yg mati, tentulah berdosa. Jika karena takut terkena bala, itu juga dosa. Jadi keadaan hati kita penentunya. Maka JUJURLAH KITA PADA DIRI KITA.
Apakah kita menyembah berhala? Itu juga bisa dilihat dari hati kita. Bangsa Israel disebut menyembah berhala saat mereka membuat patung lembu emas, karena menjadikan patung lembu emas itu menjadi Tuhannya, sumber kekuatan. Jadi bukan patung lembu emas itu yang utama menjadi berhala, tetapi hati umat itu yang menjadikan patung itu sesembahan.
Demikian juga saat kita memasukkan suatu barang ke peti mati, bukan barang yang kita masukkan itu yang utama, tapi hati kita yang memasukkan itu bagaimana.
Jika kita percaya yang mati itu masih bisa mendatangkan bala bagi kita, jika kita tidak memasukkan barang tertentu, yang bisa saja barang itu pernah dimintanya selama hidup, tapi belum kita berikan selama hidupnya, maka kita berikan dengan cara memasukkan ke peti matinya, maka saat itulah kita sudah memberhalakan yang mati itu. ITULAH PROSES PEMBERHALAAN.
Tuhan berfirman.
1. Jangan berpaling/percaya pada arwah (Im. 19:31).
2. Jangan bertanya pada arwah/orang mati (Ul. 18:11, Yes. 8:19).
SUDUT PANDANG GEREJA PADA UMUMNYA
Dalam rangka menjaga keluarga, agar tidak jatuh dalam dosa dan pemberhalaan itulah gereja membuat aturan itu. Sebab gereja bertugas dalam hal itu. Sebab salah satu tugas gereja adalah menjaga umat agar tidak jatuh dalam pemberhalaan.
Mengapa gereja langsung menyebut beberapa nama barang? Misalnya garam. Karena pada saat aturan itu dibuat, kebiasaan memasukkan garam ke peti mati masih dilakukan dalam hal pemberhalaan saat itu. Itu sebabnya langsung dilarang.
JIKA MEMANG BARANG YANG KITA MASUKKAN ITU KE PETI MAYAT TIDAK ADA MAKSUD APA-APA, tentu kita tidak keberatan jika itu dikeluarkan dari peti mayat. Toh juga tidak ada maksud apa-apa kan.
Tapi JIKA KITA KEBERATAN BARANG ITU DIAMBIL DARI PETI MAYAT, pastilah ada maksud tertentu dalam hati kita memasukkan barang itu.
Pelayanan pada waktu berduka bukan hanya pelayanan pada yang mati, tetapi juga pelayanan kepada keluarga yang ditinggal. Ada kedukaan di keluarga yang ditinggalkan itu harus menjadi bagian yg harus sangat diperhatikan dibandingkan bagian yang lain, karena itu memanusiakan manusia.
SUDUT PANDANG EKSPRESI KEDUKAAN (KEJIWAAN), BERBELARASA
Yesus meneladankan bagaimana memanusiakan manusia, memperlakukan manusia sesuai harkat martabat nya sebagai manusia, mengikuti jalan kebenaran hidup Yesus bearti meneladan Yesus. Tindakan memanusiakan manusia harus di atas semua dogma, pokok ajaran, segala tafsir, aturan agama, dlsb. Di mana dulu Yesus mengkritisi hal-hal tsb pada kaum Agamawan pada zamanNya, dan itulah yang membuat Yesus dibenci bahkan sampai disalibkan.
apabila ada pendeta berkoar-koar:
Jangan berhubungan dengan orang mati!Jangan berbicara dengan orang mati!Dalam pada itu pendeta yang sama menyatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber pengajaran Kristen.
Pendeta itu sebenarnya berbohong. Sudah berbohong, bodoh pulak! Yang menjadi sumber ajaran sebenarnya hanyalah teks-teks yang mendukung ideologinya.
Contoh teks 1Petrus 4:6 tidak akan dibacanya. “Itulah sebabnya Injil telah diberitakan juga kepada orang-orang mati supaya mereka sama seperti semua manusia dihakimi secara badani, tetapi oleh roh dapat hidup oleh kehendak Allah”.
Tuh ada teks disuruh menginjili orang mati. Apa pendeta itu mengambilnya sebagai sumber pengajaran? Taek!
Pendeta itu juga tidak menghayati dan tidak mengerti Syahadat Kristen.
“Aku percaya … mati, dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut …” Sebelum itu tidak menggunakan kerajaan maut, melainkan neraka. “… mati dikuburkan, turun ke neraka … “ Jadi, Yesus turun ke neraka memberitakan Injil kepada orang-orang mati.
“Aku percaya kepada … persekutuan orang kudus.” Siapakah yang dimaksud orang kudus itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah orang yang percaya kepada Kristus baik yang masih hidup maupun yang sudah mati berabad-abad lalu. Manusia hidup dan mati tetap dalam persekutuan menurut Syahadat Kristen. Nah lo!
Ragara tempo hari ada video viral tentang pendeta yang menolak melayankan ibadah pemakaman karena pihak duka menaruh tas ke dalam peti jenazah, saya lalu mengatakan bahwa pendeta itu tidak memiliki compassion. Saya kemudian membuat dua post tentang compassion. Pendeta tidak saja harus sarjana teologi, tetapi juga memiliki compassion. Untuk memliki compassion itu harus berlatih terus-menerus. Jika pendeta kerjanya hanya melarang ini-itu, Satpol PP pun bisa menjadi pendeta pemimpin ibadah.
Meskipun langka, saya lalu memberi contoh ada pendeta memiliki compassion dalam diri Pdt Lazarus Purwanto. Itu saya saksikan sendiri bagaimana Pdt Lazarus bersikap dan memastori pihak duka.
Compassion itu belarasa, turut merasakan. Saya menggunakan kata belarasa sejak awal abad ke-21 ketika marak milis egroups yang kemudian menjadi yahoogroups. Dalam serial Sudut Pandang saya acap menggunakan lema ini.
Yesus berbelarasa kepada orang-orang miskin atau marginal. Berbelarasa itu bukan menghibur atau membujuk, melainkan turut merasakan derita atau beban orang. Apakah kemudian duka atau derita orang hilang seketika? Tidak. Bukan itu. Yesus berbelarasa kepada orang miskin tidak lalu membuat mereka mendadak kaya. Orang merasakan ada yang menemani. Allah tidak mendekam di Bait Suci, tetapi hadir di tengah-tengah mereka turut merasakan derita dan duka mereka. Mereka pun merasa ada yang menemani sehingga beban pun terasa dipikul bersama.
Kata compassion menjadi viral sesudah kemarin Paus Fransiskus datang ke Indonesia dan mengisi Buku Tamu Negara.
Dari dulu saya menulis belarasa seperti halnya sukacita, dukacita. Disambung. Saya tidak menulis pengindonesiaan compassion dengan bela rasa. Nanti dikira bela negara atau bela saphira.
Coba perhatikan dua ilustrasi di bawah ini, ilustrasi perkara memasukkan benda ke dalam peti mati, cuman kelucuan pemikiran bukan untuk menyudutkan
Ilustrasi 1
Detektif Polisi Terry Noonan (Sean Pean) sangat sedih melihat Jackie Flannery (Gary Oldman), teman semasa kecilnya di Hell’s Kitchen, tewas dibunuh oleh kakaknya sendiri, Frankie Flannery (Ed Harris). Dalam kebaktian tutup peti Det. Noonan mendekati peti jenazah dan dengan berlinang air mata ia meletakkan botol wiski (hip flask) di tangan jenazah Jackie di dalam peti mati.
Ilustrasi 2
Seorang engkong berkunjung ke pusara istrinya. Ia kemudian meletakkan semangkok beras di atas pusara istrinya dan berdoa.
Persis di sebelah kuburan istri engkong itu seorang pendeta sedang menabur bunga di atas pusara istrinya. Pendeta itu melirik engkong di sebelahnya dan bertanya sinis.
“Kapan istri engkong makan beras itu?” tanya si pendeta.
“Nanti malam bebarengan istri pak pendeta menciumi bunga yang ditabur oleh pak pendeta.”
ramainya pro-kontra pendeta yang menolak melayankan ibadah pemakaman karena pihak duka memasukkan barang ke dalam peti mati. Saya jadi teringat kisah di ilustrasi 2 ini.
Sedangkan pada ilustrasi 1, Apakah Noonan mau mengajak Jackie minum wiski? Tentu saja tidak. Itu adalah bentuk penyaluran duka yang sangat mendalam bagi Noonan sekaligus akan mengenang masa-masa indah bersama Jackie. Apabila saya yang menjadi pendeta pemimpin ibadah tutup peti itu justru merasa lega, meringankan tugas saya, karena pihak duka mampu mengalihrupa kesedihan dengan mengenang masa-masa indah bersama orang yang meninggal. Selama yang dimasukkan ke dalam peti mati bukan batangan emas berkilo-kilo saya biarkan.
Syarat untuk menjadi pendeta di Indonesia (pada umumnya) adalah sarjana teologi. Dalam kuliah teologi mahasiswa tidak saja diajar makul studi Alkitab, tetapi mereka juga diajar ilmu pastoral, konseling, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Itu pun belum cukup. Untuk menggembala umat pendeta juga kudu berlatih empathy dan compassion terus-menerus. Kedua aspek itu tidak bisa dimiliki secara kejap, melainkan harus dilatih terus-menerus. Empathy dan compassion itu turut berbelarasa, ikut merasakan hal yang sama dengan apa yang dialami umat. Apakah itu serta merta menolong orang keluar dari persoalan? Tidak. Dengan berbelarasa orang merasa bebannya terbagi dan umat merasa ada pihak yang menemaninya.
Kalau pendeta bisanya cumak melarang ini-itu, ia tak perlu capek-capek sekolah teologi. Satpol PP pun bisa menjadi pendeta pemimpin ibadah.
Harus dilihat konteks nya, konteksnya orang berduka, orang berduka kok ditambahi masalah pemahaman tafsir, bukannya di pastorali, dulu di suatu tempat dan waktu kalangan majelis sebuah gereja juga pada ribut di tempat duka bukannya mendampingi secara baik pihak duka hanya Krn pihak duka ingin Alkitab dan Salib di pegang jenazah, memang ada yg bilang "drpd salib dan Alkitab dibawa jenazah yg tidak memakainya kenapa tidak diberikan yg masih hidup malah bisa dimanfaatkan dan berguna", tapi dalam situasi seperti itu yg lebih penting diperhatikan menurut aku adalah pendampingan pihak duka dalam melewati masa kedukaannya drpd malah ribut hal gak penting, hal-hal seperti itu bisa jadi diskusi ke depan ketika masa duka sudah lewat, sudah berduka malah ditambahi di ajak ribut para pemimpin gerejanya, sudah jatuh ketimpa tangga, kaya orang Israel yg sudah dijajah Roma ditambahi aturan-aturan kaum agama. Memasukan barang ke peti mati
Itu kan ekspresi menyalurkan rasa duka, itu menolong keluarga duka melepas kedukaannya. Kecuali yg dimasukkan batangan emas, nah secara keras bolehlah pdt melarang
KRITISI
JUBAH PENDETA DALAM PETI MATI (bukan bermaksud menyudutkan hanya berusaha memahami dan belajar bersama)
Perihal barang yang tidak boleh masuk peti (banyak profesi tertentu yang komplain karena gak ngerti dasar nya dari tulisan saya kemaren)
Komentar teman saya prof. Karmel Siagian, KEKRISTENAN AKSESORIS, buat mrk2 yg menjadi Kristen dengan doktrin2 yang tidak bisa dijelaskan.
Siapa, gereja apa yg membuat doktrin : tidak ada hubungan yg hidup dengan yang mati? Masihkah dia (umatnya) pergi menabur bunga? Masihkah dia (umatnya) mengheningkan cipta? Masihkah dia menceritakan ttg orang tua, pahlawan, para Bapak2 gereja yg telah mati? Masihkah mereka membaca buku, tulisan para cerdas cendekia yg telah mati? Menggunakan alat, barang temuan para penemu yg telah mati?
Masihkah mereka berkhutbah, menceritakan tentang Abraham, Musa, Betsyeba, yang telah menggetarkan jiwa kelaki-lakian seorang Daud?
Jika yg dimaksud "hubungan" seperti saya dan prof yg bisa saling beropini, jelas tidak. Tapi, saya betul tidak paham, apa maksud tidak ada "hubungan" orang yg hidup dan yang mati versi pembuat doktrin.
Nah, tambah lagi berhala. Benda apa lagi ini? Apakah memasukkan benda, atau sesuatu ke dalam peti yang meninggal, masuk dalam berhala? Jika berhala dimaksud supaya tidak dilakukan oleh umat, sebaiknya para pembuat doktrin membuat jutlaknya. Jenis2 kegiatan yang termasuk berbuatan berhala, memberhalakan dan lain sebagainya. Supaya tidak terjadi silang pendapat di tengah2 umat.
Baju, jubah dan perangkat2 kebesaran yang sering menempel ditubuh seseorang juga, bisa dituduhkan berhala (benda yang dipuja). Padahal, semua benda mati itu hanyalah aksesoris, simbol2 yang mengkotakkan kemanusiaan. Makanya, sepakat dululah, apa arti :
1. Tidak ada hubungan yang hidup dengan yang mati.
2. Berhala dan perbuatan2 yg masuk kategori memberhalakan.
Mungkin kedepannya, termasuk warna peti mati, ukiran dan gambar petinya, sudah harus diurusi oleh sinode. Supaya seragam dan tidak masuk kategori "berhala".
Kalau mau konsekuen, jangan memasukkan apapun ke dalam peti, jenazah jangan memakai baju atau jaz, jangan pakai kacamata bagi yg meninggal berkacamata, jangan pakai sepatu, kalau perlu jangan pakai peti juga, bukankah kadang kita memilih peti mati yg mahal dan berukir indah? Memakaikan baju terbaik bahkan mungkin termahal bagi jenazah, memakaikan sepatu terbaik mungkin termahal Krn alasan tertentu, dan itu semua bisa mengarah ke dugaan menjadikan berhala.
Hal2 begitulah yang saya kira harus dikritisi, tepatnya secara alkitabiah dibongkar oleh Yesus di zamannya. Dogma, Doktrin, pokok ajaran, tata laksana, tata gereja, dlsb harus dibawah tindakan memanusiakan manusia. Hal2 yang bersifat aksesoris, Peraturan manusia yg tidak menjadikan manusia menjadi manusia. Justru menjadi budak doktrin. Semakin kacau, jika suatu hari nanti, menganggap doktrin gereja itulah yang paling benar, berasumsi, berkata bahwa ajaran inilah yang mendekati ajaran Yesus dan lain sebagainya. Jatuhnya, kesombongan sektarian pula.
Baru hujan, enaknya ngopi neh 😀
(10092024)(TUS)
Baca juga :
https://titusroidanto.blogspot.com/2024/09/sesuatu-barang-ke-peti-mati-
http://titusroidanto.blogspot.com/2024/09/memasukan-barang-ke-peti-mati-serial.html