================================
"Kalau sampai kiamat hutang negara belum lunas, nanti di akhirat dosanya di tanggung oleh presiden atau di bagi rata sama rakyat ?."
Demikianlah sebuah pertanyaan 'teo-politis' yang diajukan di kelas.
________________________________________________________
Pertanyaan diatas ditanyakan seorang mahasiswa melalui kelas ANTROPOLOGI ALKITAB. Pertanyaan ini terlihat jenaka tapi sebenarnya menarik. Konsep pertanyaan ini sebenarnya bukan berasal dari perspektif Alkitab tapi dari perspektif non-Kristen dan non-Yahudi, yang kemudian dikelirukan oleh penganut Kristen seakan itu adalah perspektif Alkitab. Perspektifnya tidak salah, namanya juga beda keyakinan, tetapi sebagai orang Kristen sebaiknya kita meluruskan persepsi tentang hutang-piutang ini berdasarkan perspektif Alkitab.
Terkait hutang-piutang, dalam 'perundang-undangan' yang dicatat dalam Alkitab, semuanya bersifat humaniter (berperikemanusiaan) dan diatur dengan sangat rinci, jauh lebih rinci dibandingkan undang-undang peradaban purba lain yang sezaman dengan penulisan peraturan ini. Menurut Alkitab, meminjamkan uang di Israel bukan untuk alasan bisnis, melainkan karena dasar belas kasihan. Dalam perspektif Pentateukh, utang adalah uang atau barang yang diberikan dengan syarat bahwa akan dikembalikan kemudian (kamus Browning, "utang"). Sedangkan, dalam sosiologi suku-suku Israel yang lebih sederhana tidak ada suatu tata susunan pinjaman, seperti yang terdapat dalam masyarakat modern, yang memungkinkan orang membuka suatu usaha baru, atau membeli kebun atau peternakan (Ensiklopedia Alkitab, "hutang-piutang"). Pinjaman dimaksudkan untuk membantu orang mengatasi kesulitan. Mereka yang memberi pinjaman melakukannya atas dasar kemurahan hati. Adapun keuntungan bunga dapat ditarik dari orang bukan Israel (Ulangan 23:20). Namun, dikemudian hari ada orang Yahudi yang mengutangkan dan dirugikan mendorong perluasan pungutan bunga (Yeremia 15:10). Bagi orang yang terpaksa harus meminjam, ada banyak aturan perlindungan. Contohnya: juru-sita tidak diperbolehkan memasuki rumah orang untuk mengambil gadai (Ulangan 24:10-11), atau untuk mengambil pakaian seorang janda (Ulangab 24:17). Pakaian gadai seorang miskin juga harus dikembalikan kepadanya sebelum petang (Keluaran 22:25-26). Agunan atas pinjaman kecil, misalnya harta benda pribadi yang digadaikan (Ulangan 24:10; Ayub 24:3), atau, harta tak bergerak (Nehemia 5), juga atas tanggungan seseorang (Amsal 6:1-5; Yesaya 8:13; 29:14-20). Jika tidak ada jaminan untuk membayarnya, maka debitur dapat dijual menjadi budak (Keluaran 22:3; 2 Raja-raja 4:1; Amsal 2:6; 8:6). Barang-barang yang boleh dijadikan agunan dibatasi, begitu juga syarat-syarat untuk meminjam (Ulangan 24). Tetapi, dalam kenyataan hidup sehari-hari, hal itu tidak selalu berlangsung menurut aturan (Amsal 2:8) sebab undang-undang ini seringkali tidak dilaksanakan. Janda yang dibicarakan dalam 2 Raja-raja 4:1-7 ditolong oleh Elia, bukan dengan mengandalkan hukum itu, tapi dengan mengandalkan mujizat.
Petani selalu diutamakan dalam pinjam-meminjam di Israel karena tulang-punggung utama perekonomian Israel tetaplah sektor pertanian. Oleh karena itulah undang-undang Israel tidak memuat aturan-aturan perdagangan, tapi memuat nasihat-nasihat supaya bermurah hati terhadap tetangga, seperti yang tercatat dalam Amsal 29. Motivasi yang mendasari pemberian hutang kemudian berubah dijaman Perjanjian Baru. Inilah yang dikecam oleh Tuhan Yesus dalam perumpamaan bendahara yang tidak jujur (Lukas 16:1-8). Para debitur dalam perumpamaan itu adalah penyewa atau pedagang yang wajib membayar dengan barang-barang natura. Yesus memakai ungkapan ini bukan untuk menggambarkan hubungan Allah dengan manusia seperti hubungan kreditur dengan debitur, tapi untuk menyatakan kasih karunia Allah dan memerintahkan kewajiban mengampuni (Lukas 7:41 dab; Mat 18:21-27). Oleh Yesus, kesalahan juga diumpamakan sebagai hutang, yang bisa dilihat dari penggunaan kata Yunani dalam Matius 6:12 yang diterjemahkan sebagai 'kesalahan', sebenarnya menggunakan arti yang harfiahnya ialah 'utang'. Walau telah diatur dengan rinci tapi ada juga penyelewengan terkait hutang-piutang. Apa yang dikeluhkan dalam Perjanjian Lama sebenarnya bukan besarnya bunga utang, tapi karena adanya bunga itu. Kitab Undang-undang Israel (Keluaran 22:25; Ulangan 23:19; Imamat 25:35) melarang adanya bunga walaupun Ulangan 23:20 (bnd 15:1-8) mengizinkan mengambil bunga dari orang asing.
Pada zaman Yudaisme, Hilel merancang suatu sistem untuk menyisihkan Ul 15 secara hukum, maksudnya bukan untuk menggagalkan atau mengelabui hukum Taurat, tapi untuk mencocokkannya dengan ekonomi perdagangan. Inilah yang mendasari dimulainya bisnis kredit komersial seperti sudah berlaku di Babel pada tahun 2000 SM. Dalam Kitab Undang-undang Hammurabi dan hukum-hukum Babel yang terdahulu, penerapan bunga pinjaman sudah sangat lazim.
Penyalahgunaan pemberian hutang sangat dikecam dalam Alkitab. Kata 'nesyekh' (harfiah 'sesuatu yang digigit sampai putus') boleh jadi berarti pemerasan dengan jalan merampas dari kreditur, tapi permainan kata dengan 'nosy ekhim' dalam Habakuk 2:7 (artinya rangkap, yaitu 'pembayar bunga' dan 'penggigit') berarti suatu jumlah bunga utang yang menyedot habis semua simpanan kreditur yang sudah disisihkan untuk pembayaran kembali. Sinonim 'nesyekh' yaitu 'tarbit' ('kenaikan') dan Yunani 'tokos' ('tunas') lebih mendekati makna bunga dalam arti modern, yaitu 'sesuatu yang tumbuh dari modal dasar'. Selaras dengan perkembangan ekonomi, Yesus menyetujui perolehan laba melalui penginvestasian modal (Matius 25:27; Lukas 19:23), tapi Yesus tetap mengecam pemberian bunga uang yang dibebankan pada pinjaman pribadi (Lukas 6:31 dst).
Jadi, hutang menurut perspektif Alkitab bukan untuk memodali peminjam untuk memulai atau memperluas usahanya, melainkan untuk memampukan peminjam, khususnya petani, melewati masa sukar. Kemudian, setiap tujuh tahun semua utang-piutang dihapuskan (Ulangan 15:1 dst.) dan orang Israel yang menjadi budak karena utang yg tak dapat dibayar, harus dibebaskan (Imamat 25:39-55). Artinya, hutang bukanlah tanggungan abadi.
Inti dari semua penjelasan bagi pertanyaan yang diajukan pada saya diatas adalah: Hutang, menurut perspektif Alkitab, sifatnya fana karena hanya untuk perkara duniawi bukan akhirat. Jadi, di akhirat nanti tidak ada yang menanggung hutang dan piutang finansial, termasuk utang negara kita ini. Baik presiden hingga rakyat jelata tidak lagi menanggung hutang di akhirat. Semuanya sudah dihapuskan menurut Alkitab setelah 7 tahun tanggal terhutang, apalagi jika manusia yang bersangkutan telah meninggal. Hanya dua hutang yg harus dipertanggung-jawabkan tanpa batas tahun, yaitu hutang nazar (ditanggung hanya hingga meninggal) dan hutang dosa (ditanggung hingga hari penghakiman).
______________________________________________
Disusun oleh 25.02.2023 ( T) Cepogo Boyolali
Referensi:
°°°°°°°°°°°°°
1. Browning (kamus Alkitab), kata kunci: pinjaman, utang;
2. Gering (kamus Alkitab), kata kunci: utang;
3. Ensiklopedia Alkitab, kata kunci: utang-piutang;
4. Kamus Pedoman (kamus Alkitab), kata kunci: orang yang berpiutang.
Saduran dan adaptasi:
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
1. Kalimat pertama dan kedua pada paragraf kedua disadur dari kamus Browning, "utang";
2. Kalimat ketiga pada paragraf kedua disadur dari Ensklopedia Alkitab, "utang piutang";
3. Paragraf kedua dan ketiga diadaptasi dari kamus Browning dan Ensiklopedia Alkitab;
4. Paragraf keempat dan kelima diadaptasi dari Ensklopedia Alkitab, "utang piutang".
Sumber Gambar:
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
VectorStock.com