Jumat, 25 Februari 2022

SERIAL SUDUT PANDANG, Lukas 9 : 28-36, KEMAH PERTEMUAN, Minggu Transfigurasi

SERIAL SUDUT PANDANG, Lukas 9 : 28-36, KEMAH PERTEMUAN, Minggu Transfigurasi

Minggu ini disebut Minggu Transfigurasi yang merupakan akhir masa Minggu Epifania. Minggu depan kita memasuki Minggu Pra-Paska. Bacaan diambil dari Injil Lukas 9:28-36, (37-43a). Dalam Injil Lukas Minggu ini dikisahkan kira-kira delapan hari setelah segala pengajaran itu (termasuk kisah Yesus memberi makan kepada 5.000 orang), Yesus membawa Petrus, Yohanes, dan Yakobus ke atas gunung untuk berdoa. Ketika Yesus sedang berdoa, rupa wajah-Nya berubah dan pakaian-Nya putih berkilau-kilau. Tampaklah dua orang berbicara dengan Yesus, yaitu Musa dan Elia. Melihat peristiwa itu Petrus berinisiatif mendirikan tiga kemah untuk Yesus, Musa, dan Elia. Sementara Petrus berkata demikian, datanglah awan menaungi mereka. Petrus dkk. takut. Terdengar suara “Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia!” Ketika suara itu terdengar, Yesus tinggal seorang diri. Bacaan berlanjut dengan  ayat 37-43a yang mengisahkan pada esok hari mereka turun dari gunung. Datanglah orang banyak berbondong-bondong menemui Yesus. Perikop di atas oleh LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) diberi judul “Yesus dimuliakan di atas gunung”. Pada ayat 29 “Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajah-Nya berubah dan pakaian-Nya putih berkilau-kilau.” Itulah mengapa hari ini disebut Minggu Transfigurasi. Tesamoko (hlm. 753) memadan maknakan transfigurasi dengan alih bentuk, konversi, metamorfosis, perubahan, transformasi, transmutasi, penjelmaan. Menurut Kamus Gereja dan Teologi Kristen (hlm. 723) transfigurasi ditakrifkan sebagai peristiwa Yesus mengalami perubahan rupa serba putih berkilauan sehingga dalam kemanusiaan-Nya terpancar keilahian-Nya. Narasi Yesus dimuliakan di atas gunung merupakan wacana yang disampaikan untuk  mengundang pembaca atau pendengar mengalami realitas kehadiran seutuhnya bahwa Yesus lebih besar daripada Musa, sang pembebas, dan Elia, sang pembuat jalan. Akan tetapi Petrus terlalu banyak bicara. Belum lagi Yesus berbicara, Petrus langsung berujar, “Guru, alangkah baiknya (καλόν) kita berada di tempat ini. Biarlah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa, dan satu untuk Elia." (TB II LAI). Mengapa Petrus hendak mendirikan kemah untuk Yesus, Musa, dan Elia? Barangkali Petrus merujuk “Kemah Pertemuan” atau “Kemah Suci” pada zaman Musa (Kel. 26:1-37; 33:7-9; 40:1-38). Di Kemah Suci itu Allah hadir dan tinggal di tengah-tengah bangsa Israel. Di Kemah Pertemuan itu Allah dapat ditemui oleh Musa.  Yesus tidak menanggapi usulan Petrus dan sebelum Petrus selesai berkata-kata, Allah tiba-tiba mengintervensi. Datanglah awan menaungi mereka, dan ketika mereka masuk ke dalam awan itu, takutlah mereka. Maka terdengarlah suara dari dalam awan itu, yang berkata: "Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia!” (Luk. 9:33-34). Tinggallah Yesus sendiri. Musa dan Elia tak tampak lagi. Dengan demikian usulan Petrus menjadi tidak paut lagi. Kemah tidak perlu didirikan. Allah bahkan sudah berbicara langsung tanpa “Kemah Pertemuan.” Mengapa peristiwa transfigurasi ini penting bagi kehidupan bergereja? Rabu ini, 2 Maret 2022, adalah Rabu Abu sebagai awal masa raya Pra-Paska. Minggu Transfigurasi  adalah “hari kenaikan kelas” bagi Yesus, dari pelayanan “tingkat pertama” naik ke pelayanan “tingkat kedua” yang lebih dahsyat. Ahli PB menyebutnya masa pengajaran dan masa pengorbanan Yesus. Minggu transfigurasi menandai penerusan peningkatan karya-karya  Yesus menjelang penyaliban-Nya. Ia makin dibenci oleh lawan-lawan-Nya. Semua karya-Nya dinafikan bahkan diputarbalikkan oleh ahli-ahli agama Yahudi sampai pada akhirnya Yesus didakwa menista agama dan dijatuhi hukuman mati. Momentum Minggu Transfigurasi sudah sepatutnya menjadikan gereja “naik kelas”. Gereja yang dalam hal ini para pejabat gerejawi haruslah berhenti merohani-rohanikan profesi pejabat gerejawi. Kebiasaan ini hanya melanggengkan tradisi pejabat gerejawi sebagai pihak yang dilayani dengan berlindung di balik “kemuliaan Tuhan” seperti yang hendak dikerjakan oleh Rasul Petrus di atas. Sungguh ironis banyak pejabat gerejawi mendaku “hamba Tuhan” tetapi berbicara melulu seperti Petrus sampai akhirnya dihardik oleh Allah: “Dengarkanlah Dia!” Bagaimana pemimpin gereja dapat mendengar suara Allah yang tak kasatmata kalau tidak bisa mendengar suara rintihan warga yang fisis? Jangan gunakan kata-kata “mari kita doakan”, apabila gereja tidak berbuat apa-apa ketika banyak warga merintih minta tolong. (TUS)(02032022)

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...