Jumat, 30 Desember 2022

Pulanglah Mereka Melalui Jalan Lain, Serial Sudut Pandang

Pulanglah Mereka Melalui Jalan Lain, Serial Sudut Pandang

Karna kehidupan dunia silih berganti.  Porak poranda perang Rusia-Ukraina menorehkan warna kelabu pekat. Pertandingan sepak bola dunia menggelontorkan kegembiraan. Produk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pemerintah disikapi beragam bak spektrum puspa rupa warna. Kasus kematian Brigadir Yosua Hutabarat, yang para tersangkanya sedang disidangkan, mengaduk-aduk kehidupan kita. Bencana alam di Cianjur, Garut, dan beberapa tempat lain di Tanah Air membuat kita tersadar terus akan kerentanan hidup. Kasus bom bunuh diri atas asumsi keagamaan membuat kita terus heran dalam perih. Dinamika internasional terkait kesepakatan G20 yang baru lewat dan menorehkan rasa bangga di dada insan Indonesia tak boleh membuat kita mengendurkan kewaspadaan global akan berbagai krisis internasional yang bak bara dalam sekam. Tanda-tanda zaman

Maka, kita mesti terus-menerus waspada dan tajam dalam membaca tanda-tanda zaman di era kita, termasuk dengan enigma-enigmanya. Kewaspadaan membaca tanda langit itulah yang kita asah  Itulah kemampuan Majus, yang dalam Injil Matius, menuntun mereka ke wilayah Yehuda. Kalau orang Jawa, mengenal apa itu ngelmu titen, ilmu untuk peka melihat tanda-tanda kehidupan, baik itu dari alam, perilaku manusia, kemajuan zaman, politik, ekonomi, sosbud, dll Pengartian mereka tentang bintang di lazuardi itu raja baru lahir. Masalahpengartian itu amat sensitif enigmatik bagi Herodes raja nan kejam itu.  Sedemikian paranoidnya raja ini sehingga ada ucapan: "lebih baik menjadi anjing Herodes daripada jadi anaknya", sebab raja ini pernah membunuh beberapa istri dan anak yang adalah darah dagingnya sendiri yang ia curigai berpotensi menggesernya sebagai raja. James Ermatinger menuliskan demikian: "Dia memperkenalkan pajak baru yang tidak populer. Dia memiliki kehidupan keluarga yang tidak bahagia, melihat konspirasi dan musuh di mana-mana ... dikenal karena kebrutalannya, Herodes berhasil mempertahankan kekuasaannya melalui rasa takut dan intimidasi" (2008: 126).

Berita yang dibawa oleh para Majus tak pelak lagi mendatangkan kegemparan di seluruh Jerusalem (2:3). Herodes merasa amat terancam, terutama setelah mendengar nubuatan kitab Mikha mengenai raja orang Yahudi yang baru lahir di Betlehem yang hanya beberapa kilometer jaraknya dari episentrum kekuasaannya. Dengan dalih untuk juga hendak menyembah raja yang baru lahir itu, Herodes menyuruh orang Majus pergi dan menyelidiki dengan saksama tentang nubuatan dan petunjuk bintang. Padahal di balik dalih saleh dan ketundukan itu tersimpan rencana keji tentang penggunaan lembing dan pedang yang membuat Betlehem menjadi merah oleh banjir darah anak-anak balita yang sama sekali tidak tahu apa-apa dan tak berdosa. Krisis muncul terus-menerus. Menghebat. Menggila. Di tengah-tengah krisis semacam ini, Yesus kecil diungsikan ke Mesir dan baru pulang bbrp waktu kemudian  ke  Israel. Walaupun setelah  raja jahat itu mati. Yesus kecil bisa pulang ke  Jerusalem, tentunya hal itu membuat kita lega, tapi kita perlu ingat, di sisi lain ada banyak bayi yg menjadi tumbal serta orang tua yg sedih tak berkesudahan karena kehilangan bayinya. Inilah yang harus kita ingat bahwa bayi Yesus lahir ditengah-tengah krisis dan kekerasan, ditengah nuansa politik haus kekuasaan dan menghalalkan segala cara. Seakan penulis Injil Matius ingin mengungkapkan bahwa saat Yesus datang krisis itupun tetap ada, kekerasan itu tetap ada, kisruh politik haus kekuasaan tetap ada. seperti orang Majus, hatinya tetap terarah pada Tuhan, pentingnya Ketaatan pada inspirasi Ilahi dan pemahaman akan tanda serta ilmu titen atau tafsir realitas, menggunakan pengetahuan, inilah yang membuat Herodes gagal membunuh bayi Yesus, Sejarah terselamatkan!  Sekarang kita akan memilih jalan yang mana? Jalan Herodes yang penuh kekerasan dan haus darah? atau jalan lain seperti orang Majus yg mungkin sepi sendiri, mungkin keliru, mungkin tak populer, dan mungkin berlawanan dg intensitas penguasa dan kekuasaan? tapi penuh keyakinan dan bersandar penuh serta mempercayakan diri pada Tuhan, Mana yg akan dipilih?

Cepogo, 25.12. 2022 (T)

Sabtu, 17 Desember 2022

PERKARA UCAPAN SELAMAT NATAL DARI SAHABAT ISLAM/MUSLIM, Serial Sudut pandang

PERKARA UCAPAN SELAMAT NATAL DARI SAHABAT ISLAM/MUSLIM, Serial Sudut pandang
 
Mohon maaf, maaf apabila ini kurang berkenan di hati, ini hanya pengetahuan saja, jadinya sifatnya netral, bisa dibaca dan dimengerti, saya dlm pekerjaan saya sebagai dosen tafsir Alkitab dan peneliti Alkitab juga sering berinteraksi dg berbagai kalangan peneliti, dosen atau  intelektual Alquran Islam/Muslim baik dr NU maupun Muhamadiyah, ada diskusi teman-teman peneliti, dosen atau intelektual Islam/muslim di sana yang mungkin bisa jadikan pรจngetahuan kita bersama, agar kita bisa memiliki sudut pandang yang baik tentang masalah ini : 
Pro dan kontra ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani bagi Muslim/Islam di Indonesia selalu menjadi isu yang merebak menjelang dan saat 25 Desember tiba setiap tahunnya. Ada yang sementara berkeras dan mempersoalkan jika seorang Muslim memberikan ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani lantaran keyakinan yang kuat pada dalil-dalil tertentu yang tak membenarkan ucapan tersebut disampaikan. Namun, sementara yang lain sama sekali tak mempermasalahkan dan dengan santai-nya mengobral ucapan untuk demi sebuah kata toleransi. Berbagai dalil baik pendukung pendapat yang pro dan kontra sejati-nya sama kuatnya sehingga tak perlu dipersoalkan hingga mengundang keributan dan perdebatan tanpa henti. Perbedaan pendapat ini erat kaitannya dengan istinbath al-hukmi, sehingga mengulas hukum ucapan selamat natal ada baiknya dengan menggunakan perspektif fiqih yang dikaitkan juga dengan akidah dan akhlak. Anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Tata Septayuda Purnama mengatakan pada dasarnya dalil dari Al Quran maupun Sunnah secara spesifik tidak mengatur hukum ucapan selamat Natal. Hal itu karena, di dalam Al Quran dan Sunnah tidak disebutkan secara khusus hal soal boleh tidaknya menyampaikan ucapan selamat Natal. Polemik ini sejati-nya baru muncul belakangan pada era kontemporer saat banyak masyarakat Muslim/Islam ingin turut serta menyampaikan sikap toleransinya kepada saudara umat Kristiani. Maka, karena tidak ditemukan di dalam Al Quran maupun Sunnah yang secara tegas menghukuminya, kasus ini menjadi bagian yang termasuk dalam kategori Ijtihadi. Pada hakikatnya, mayoritas ulama dari 4 madzhab besar dalam ilmu Fiqih yakni Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali telah sepakat untuk mengharamkan ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani. Namun pada perkembangannya, ulama-ulama kontemporer kembali mengulas hukum tersebut karena kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi.Umumnya beda pendapat yang timbul di kalangan ulama kontemporer, lebih disebabkan karena Ijtihad mereka dalam memahami generalitas ayat atau hadist yang terkait dengan kasus ini. Beberapa ulama kontemporer yang mengambil sikap yang berbeda di antaranya Ibn Baz, Ibnu ‘Utsaimin, Ali Jum’ah, Yusuf al-Qardhawi, Habib Ali Aljufri, Buya Hamka, hingga beberapa ulama kontemporer lainnya.


Boleh vs haram
Sebagian ulama yang memilih sikap untuk membolehkan ucapan selamat Natal bagi umat Nasrani menggunakan dasar hukum Al Quran surat al-Mumtahanah ayat 8: "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil". Makna dari ayat tersebut ditegaskan bahwa perbuatan baik kepada siapa saja tidak dilarang, selama mereka tidak memerangi dan mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat Natal dipercaya merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-Muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan. Sejumlah ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini di antaranya Yusuf al-Qardhawi, Musthafa Zarqa, Abdullah bin Bayyah, Ali Jum’ah, Habib Ali Aljufri, Quraish Shihab, Abdurrahman Wahid, Said Aqil Sirodj, dan lain sebagainya.

Sementara mereka yang mengharamkan ucapan selamat Natal mengambil dasar hukum yang tak kalah kuatnya yakni Al Quran surat al-Furqan ayat 72 yang berbunyi "Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya". Ayat tersebut memiliki makna yang dalam bahwa seseorang dijanjikan martabat yang tinggi di surga sepanjang tak memberikan kesaksian palsu di dunia. Ucapan selamat Natal kemudian dianggap sebagai ucapan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Nasrani tentang hari Natal.Maka ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani dianggap sebagai tasyabbuh sekaligus memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristen tentang kebenaran peristiwa Natal. Kemudian, kasus ini dianggap masuk juga ke dalam ranah akidah yang mengkompromikan antara tauhid dengan syirik. Berlatar belakang dasar itulah hukum ucapan Natal diharamkan secara tegas. Sejumlah ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini di antaranya Ibn Baz, Ibnu Utsaimin, Buya Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah), Buya Yahya (Habib Yahya Zainul Ma’arif), Ibrahim bin Ja’far, Ja’far At-Thalhawi, Khalid Basalamah, Abdul Somad, Adi Hidayat, dan lain sebagainya.


Jalan Tengah
Peneliti studi Islam UII Yogyakarta Saiful Aziz al-Bantany menuliskan bahwa beda pendapat para ulama kontemporer tentang hukum ucapan selamat Natal hendaknya tidak menjadikan internal umat Islam di Indonesia semakin terpecah hanya diakibatkan oleh perbedaan pemilihan sikap dalam kasus ini." Apabila kita memilih sikap untuk membolehkannya, pastikan bahwa pembolehan tersebut demi menjaga kedamaian dan kerukunan antarumat beragama, dengan tetap menjaga akidah kita sebagai seorang Muslim/Islam. Jangan sampai karena ada saudara kita yang mengambil sikap mengharamkan-nya, kita serta merta langsung menjustifikasi ia sebagai orang yang intoleransi," ucap dia menegaskan. Sebaliknya jika memilih sikap untuk mengharamkan-nya, pastikan bahwa pengharaman tersebut merupakan bentuk ghirah dalam menjaga prinsip akidah umat Islam yang tegas, namun tetap menjaga nilai-nilai toleransi antarumat beragama dengan bentuk yang berbeda. "Jangan sampai karena ada saudara kita yang mengambil sikap membolehkannya, kita bermudah-mudahan dalam menjustifikasi ia sebagai orang kafir," tutur-nya. Ada jalan tengah untuk tetap dapat menyapa mereka yang merayakan Natal dengan santun tanpa harus mengorbankan prinsip akidah, namun tetap bertoleransi. Beberapa ucapan yang secara semantik "tidak mengucapkan" selamat Natal di antaranya disampaikan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. "Atas nama pemerintah dan pribadi saya mengucapkan salam dan selamat merayakan Natal 25 Desember 2020," kata Menag. Gus Yaqut tidak mengucapkan selamat Natal melainkan selamat merayakan Natal sehingga secara semantik atau makna kebahasaan sangat berbeda. Hal serupa pun bisa diterapkan dalam bentuk-bentuk ucapan penuh toleransi kepada umat Nasrani tanpa melanggar sesuatu yang menjadi prinsip akidah di antaranya: "Semoga kedamaian kebahagiaan dan kesehatan selalu menyertai teman-teman yang merayakan Natal 2022 Selamat Tahun Baru 2023 semoga selalu damai dalam kebhinekaan".
sebagai umat Kristiani, mengatakan bahwa Natal merupakan Hari Raya yang ditetapkan Gereja Katolik/Orthodoks dan kemudian diwariskan oleh Gereja Protestan/Reformasi untuk merayakan kelahiran Kristus berdasarkan usaha-usaha Para Bapa Gereja untuk menemukan tanggal historis kelahiran Yesus Kristus.Natal sama sekali bukan perayaan pagan yang diadopsi ke dalam Kekristenan tetapi sebuah perayaan yang bersumber dari dalam Gereja Katolik/Orthodoks yg berlanjut pada gereja protestan/reformasi. Terkait ucapan selamat Natal, sangat memahami prinsip dan akidah Umat Islam/muslim sehingga sejati-nya tak ada tuntutan apapun dari umat Kristiani kepada Muslim/Islam, hanya terkadang risih dengan pro dan kontra yang timbul setiap tahunnya menjelang perayaan Natal. hal itu sungguh sangat tidak perlu. Tanpa ucapan selamat natal, bagi umat Kristiani, Natal tetaplah Natal tanpa mengurangi kesakralan-nya. Dan diucapi Selamat Natal bukan permintaan atau permohonan umat Kristiani, perayaan Natal bagi umat Kristiani lebih kepada perkara hati bertaut pada Allah dan ajaran keimanan, tak ada hubungannya dg ucapan Selamat Natal dari pihak lain.
Jadi, sejatinya selalu ada jalan tengah untuk semua, tetap bertoleransi tanpa mengorbankan prinsip akidah, tetap mengucapkan tanpa mengucapkan. Untuk Indonesia yang plural, maka toleransi adalah fondasi.

Cepogo,15.12.2022 (T)

Senin, 05 Desember 2022

SUDUT PANDANG MERAYAKAN NATAL SAAT ADVENT?

SUDUT PANDANG MERAYAKAN NATAL SAAT ADVENT?

PENGANTAR 
Adven yang dikerjakan oleh Yohanes (Pembaptis) amat terang dikerjakan siapkan infrastruktur, siapkan jalan, jangan ragu, ...... Kristus bakal kembali. Adven merupakan kesibukan bekerja dalam rangka menuju kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan tidak datang sekonyong-konyong. Ia perlu Adven. Adven bukanlah tujuan. Ia merupakan jalan untuk mencapai tujuan. Belum waktunya berpesta karena memang kita belum tiba di tujuan.Jadi, gak perlu pakai pesta, apalagi dilabeli pesta natal, perayaan natal, cukup ibadah raya natal, dan itupun dilakukan di gereja, untuk menghikmati keterhisapan kita pada anugerah persekutuan Tuhan dalam menghikmati Natal, Tuhan yang merapuh menjadi manusia, Tuhan melawat manusia, untuk menyelamatkan kan manusia, Tuhan berkarya Kata adven dari bahasa Latin ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ท๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ด, kata kerjanya ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ท๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ช๐˜ณ๐˜ฆ, yang berarti datang, tiba. Pada masa lampau kedatangan seorang penguasa di kota atau provinsi dalam suatu wilayah ekumenisnya juga menggunakan istilah ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ท๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ด. Misal, kedatangan Kaisar Agustus diabadikan dalam bentuk monumen atau uang dengan tulisan ๐˜ˆ๐˜ฅ๐˜ท๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ด ๐˜ˆ๐˜ถ๐˜จ๐˜ถ๐˜ด๐˜ต๐˜ช (Kedatangan Agustus). Istilah ini juga digunakan untuk kunjungan tahunan dewa ke kuil. Kata adven masuk ke khasanah Kristen ketika Kitab Suci Perjanjian Baru diterjemahkan ke bahasa Latin (๐˜๐˜ถ๐˜ญ๐˜จ๐˜ข๐˜ต๐˜ข) dari bahasa Grika. ๐˜๐˜ถ๐˜ญ๐˜จ๐˜ข๐˜ต๐˜ข menerjemahkan ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฐ๐˜ถ๐˜ด๐˜ช๐˜ข (kedatangan) dengan ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ท๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ด dalam kitab Injil. Namun, dalam beberapa Surat Rasuli ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฐ๐˜ถ๐˜ด๐˜ช๐˜ข dimaknai ๐˜ฑ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ช๐˜ข (kehadiran) (1Kor. 16:17; 2Ptr. 1:16).
Perayaan-perayaan liturgis dalam Lingkaran Natal tidaklah sebanyak dan serumit yang terjadi dalam Lingkaran Paska. Panjang masa Adven (๐˜ต๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ด ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ท๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ด) bukan empat pekan (๐˜ธ๐˜ฆ๐˜ฆ๐˜ฌ). Masa Adven ditetapkan ada empat hari Minggu (๐˜š๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ฅ๐˜ข๐˜บ) dihitung mundur dari hari Natal (25 Desember) dengan hari Minggu terjauh disebut Minggu kesatu yang adalah awal masa Adven. Panjang masa Adven dapat saja hanya 22 hari jika hari Natal jatuh pada Senin.
Masa Adven mengandung dua gatra (๐˜ข๐˜ด๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ค๐˜ต๐˜ด): eskatologis dan historis. Eskatologis, umat bersiap diri dalam pengharapan akan kedatangan kembali Kristus (๐˜ฑ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฐ๐˜ถ๐˜ด๐˜ช๐˜ข). Gatra eskatologis mengisi tema Minggu kesatu dan kedua Adven. Historis, umat bersiap diri untuk mengenang menuju perayaan peristiwa kelahiran Yesus yang terjadi sekitar dua ribu tahun yang lalu. Gatra historis mengisi tema Minggu ketiga dan keempat Adven.
Saya sering mendengar alasan orang Kristen  merayakan Natal di masa Adven. Kata mereka, Natal dihadirkan setiap hari di hati umat Kristen karena Yesus tidak lahir pada 25 Desember.  Natal bisa dirayakan kapan saja, kata banyak banyak orang Kristen bilang begitu. Pendapat itu omong kosong. Saya belum pernah melihat orang kristen yang berpendapat seperti itu merayakan Natal pada Mei, Juni, Juli, Jupri, Jupronz.

PEMAHAMAN
Alasan di atas tampaknya rasional, tetapi sesungguhnya menyesatkan. Mengapa? Iman Kristen tidak berpusat pada Natal. Tidak merayakan Natal tidak membatalkan iman Kristen. Jantung iman Kristen adalah Paska, Kebangkitan Kristus. Orang Kristen pergi beribadah setiap Minggu pada dasarnya merayakan Hari Paska, Hari Kebangkitan Kristus. Mengapa pada-pada akhirnya umat Kristen merayakan Natal? Agama tidak sekali jadi. Agama ber-evolusi. Peradaban berkembang, demikian juga kekristenan. Hari raya liturgi gereja dimula dan berpusat pada misteri Paska. Pada mulanya tidak ada susunan sistematis dan terencana untuk merayakan peristiwa-peristiwa Kristus. Secara evolusi gereja memberikan tanggapan atas peristiwa-peristiwa tersebut satu per satu. Bapak-bapak gereja sejak abad II merapikan, membentuk, menyusun, dan merekayasa (to engineer) kisah teologinya sehingga menjadi bermakna, bertema, dan bercerita saling berurutan satu dengan lainnya. Hari raya liturgi merupakan drama sarat makna; suatu rekayasa gereja untuk memastori dan membina umat agar dapat lebih menghayati kisah Kristus menurut kesaksian Alkitab dalam bentuk perayaan. Kata kunci masa Adven adalah bersiap diri; bersiap diri untuk mengenang, bersiap diri untuk menuju perayaan, dan bersiap diri menantikan kedatangan kembali Kristus. Jadi, masa Adven bukanlah waktu untuk merayakan Natal. Merayakan Natal di masa Adven ibarat ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ญ๐˜ฃ๐˜ช๐˜ฉ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ญ di bulan Ramadan. Umat diberi waktu merayakan Natal cukup panjang, dari 24 Desember 2025 selepas matahari terbenam sampai 11 Januari 2026 (Minggu Pembaptisan Yesus), masih bisa diperpanjang pada Minggu biasa sampai 15 February 2026 lah, sebelum Rabu abu, cukup fleksibel. Di sinilah kepentingan pemimpin umat dan umat  harus mengerti ilmu liturgi (liturgika atau liturgiologi). Kalau pemimpin umat dan umat tidak paham ilmu liturgi, maka mereka akan melakukan rasionalisasi jawaban seperti dalam pengantar di atas. Lho bukannya banyak umat dan pemimpin itu belajar ilmu liturgi waktu bersekolah teologi? Ada puluhan fakultas teologi dan sekolah tinggi teologi tersebar di seluruh Indonesia yang sudah meluluskan ribuan sarjana teologi yang pada gilirannya bagian terbesar menjadi pendeta atau umat atau akademisi. Sejauh ingatan saya jumlah dosen ahli liturgi dari kalangan Protestan/reformir/arus utama tidak lebih daripada jumlah jari sebelah tangan. Itu pun mereka menjadi pengajar di satu sekolah teologi. Jadi patut diduga bagian terbesar pendeta dan umat belajar ilmu liturgi memang bukan dari ahlinya. Misal, dosen Perjanjian Baru merangkap mengajar ilmu liturgi. Apakah gara-gara rasionalisasi alasan Natal saya menyederhanakan kesimpulan saya? Coba kita uji cerapan pendeta dan umat serta akademisi mengenai Ekaristi atau Perjamuan Kudus. Terlalu berat? Baiklah, kita tanya cerapan mereka tentang kolekte. Kalau banyak pendeta dan umat serta akaemisi tidak paham ilmu liturgi, lantas bagaimana? Seperti pesan Yesus, “Barangsiapa bertelinga hendaklah mendengar.”
Cepogo, 06.12.22 ( TUS)

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...