PERKARA SURGA DAN NERAKA, SERIAL SUDUT PANDANG
Dogma surga dan neraka diciptakan pada mulanya oleh komunitas Yahudi yang sedang ditindas oleh bangsa asing pada abad kedua SZB. Mereka tidak memiliki kekuatan militer unggul. Akibatnya mereka tertimpa banyak kekalahan. Banyak tentara Yahudi yang mati tampak sia-sia. Tidak sedikit juga yang tidak tahan dijajah sehingga membelot ke pihak musuh. Mengapa kami menyembah Allah koq menderita? Mengapa bangsa kafir berjaya? Begitu kira-kira rintihan mereka. Dalam situasi dan kondisi perang seperti ini para imam Yahudi menyusun dogma surga dan neraka baik berupa doktrin maupun berupa kisah-kisah perjuangan para martir. Tujuan mereka untuk membangun semangat tempur sampai titik darah penghabisan dalam diri para pejuang. Mereka dipompa, kendati akan mati dalam perang, jangan menyerah, karena walaupun mereka mati, mereka akan diberi pahala masuk surga. Janji pahala surga ini sangat efektif.
Firdaus, di dalam Alkitab, Persia: Pardes, Arti:taman yang ditumbuhi pepohonan. Kata "Firdaus" berasal dari kata Persia "pardes" yang berarti taman yang ditumbuhi pepohonan, di mana semuanya damai dan indah. Bangsa Israel mulai menggunakan kata pinjaman ini setelah mereka kembali dari pembuangan di Babel. Dalam Neh 2:8, kata ini menunjuk pada hutan milik raja, dan dalam Kid 4:13 dan Pkh 2:5 kata ini berarti kebun buah-buahan yang subur. Beberapa nabi Israel juga mulai memberitakan bahwa orang beriman yang meninggal akan hidup kembali (Dan 12:2-3). Kata "Firdaus" kemudian dipakai untuk menyebut tempat bagi mereka yang hidup setelah mati. Beberapa orang beranggapan bahwa "Firdaus" berada di bumi atau di surga. Yang lain yakin bahwa Firdaus adalah Taman Eden yang baru, tempat pohon kehidupan (Kej 2:9) akan tumbuh selamanya. Ada juga yang berpandangan bahwa Firdaus adalah tempat bagi orang-orang beriman yang telah mati untuk menunggu hari penghakiman. Disisi yg lain, dalam dunia tafsir Yahudi PARDES sendiri dalam kosmologi Yahudi merupakan akronim, PARDES terdiri dari PETSEP yg memiliki makna menafsir secara hurufiah atau kata perkata, RHEMAS menafsir secara tersirat atau mencari yg tersirat, apa yg ada dibalik kata-kata, DIRUS atau DHIRAKSAH, menafsir dg mencari makna kehidupan (mungkin kalau saat ini disebut kontekstual), SHOPT, menafsir dg mencari makna misteri, dipahami dalam kosmologi Yahudi bahwa akan selalu ada misteri yg tak terpecahkan atau di luar jangkauan manusia dalam menafsir. Jadi, dalam kosmologi Yahudi, dipahami orang akan mendapat FIRDAUS ketika ia menafsir kitabnya (dalam hal ini torat karena dalam konteks budaya Yahudi) dg cara seperti tsb di atas.
Pada Mulanya Manusia Menciptakan Surga dan Neraka. Kalau kita membuka Kitab Kejadian apakah manusia pertama, yang belakangan dikenal dengan Adam dan Hawa, tinggal di surga kemudian diusir dari surga? Tidak. Mereka tinggal di Taman Eden, bukan di surga, kemudian diusir dari taman itu.
Bangsa Israel (Kuno) tidak mengenal surga dan neraka dalam arti dogma sesudah kematian sampai pada masa pembuangan ke Babel dalam masa 586 – 538 SZB. Doktrin dan dogma adalah sinonim. Doktrin dari bahasa Latin doctrina, dogma dari bahasa Grika δόγμα yang keduanya berarti ajaran. Mereka tidak mengenal doktrin sesudah kematian masuk surga atau neraka. Bumi adalah datar menyerupai tampah yang diselimuti kubah langit seperti tempurung. Manusia tinggal di permukaan bumi. Orang-orang mati tinggal di DOM (daerah orang mati) di bawah bumi yang dingin. Allah tinggal di “bulatan bumi” yaitu puncak tempurung langit yang menyelimuti bumi (bdk. Yes. 40:22) .
Sistem Yudaisme atau keyahudian lahir dari pengalaman orang-orang Yehuda dibuang ke Babel. Yudaisme merupakan campuran antara kehidupan beragama dan sosio-politik serta ekonomi dengan imam yang terpusat menggantikan peran raja. Dalam ilmu sejarah jika menyebut Yahudi dan Yudaisme itu berarti merujuk orang-orang dari Kerajaan Yehuda pasca-pembuangan di Babel. Sebelum masa itu belum dikenal istilah Yahudi dan Yudaisme. Perbedaan mencolok ajaran Yudaisme vs pra-Yudaisme dapat kita lihat dalam, misalnya, Kitab Kejadian 1 – 2:4a vs Kejadian 2:4b-ff dan 1Tawarikh 21:1 vs 2Samuel 24:1.
Selepas dari Babel orang-orang Yehuda tidak kunjung bebas tekanan dari kekuasaan luar. Muncullah dogma surga dan neraka. Dogma surga dan neraka sebagai ajaran sesudah kematian dalam tradisi Yudaisme muncul dengan lengkap pertama kali dalam Kitab Daniel yang ditulis pada abad ke-2 SZB. Saat itu bangsa Yahudi sedang bertempur melawan Kekaisaran Seleukid yang diperintah oleh Kaisar Antiokhus IV Epifanes. Kaisar bengis ini melancarkan politik hellenisasi besar-besaran atas negeri bangsa Yahudi.
Hellenisasi merupakan upaya politik dan kolonialisme untuk menjadikan kebudayaan dan agama Grika sebagai kebudayaan dan agama-agama bangsa-bangsa jajahan Alexander Agung dan para penerusnya. Dalam sejarah Yahudi perang ini dikenal sebagai Perang atau Pemberontakan Makkabe (167 - 160 SZB), karena dipimpin oleh keluarga Makkabeus.
Dogma surga dan neraka diciptakan pada mulanya oleh komunitas Yahudi yang sedang ditindas oleh bangsa asing, sedang mereka tidak memiliki kekuatan militer unggul. Akibatnya mereka tertimpa banyak kekalahan. Banyak tentara Yahudi yang mati tampak sia-sia. Tidak sedikit juga yang tidak tahan dijajah sehingga membelot ke pihak musuh.
Mengapa kami menyembah Allah koq menderita? Mengapa bangsa kafir berjaya? Begitu rintihan mereka. Dalam situasi dan kondisi perang seperti ini para imam Yahudi menyusun dogma surga dan neraka baik berupa doktrin maupun berupa kisah-kisah perjuangan para martir.
Tujuan mereka untuk membangun semangat tempur sampai titik darah penghabisan dalam diri para pejuang. Mereka dipompa, kendati akan mati dalam perang, jangan menyerah, karena walaupun mereka mati, mereka akan diberi pahala masuk surga sesudah mati syahid. Janji pahala surga ini sangat efektif. Pada zaman kuno perang dilakukan karena alasan agama dan politik sekaligus, karena belum dikenal pemisahan antara agama dan politik.
Bangsa Yahudi yang terancam kalah dihadapkan pada sebuah pertanyaan besar: Mengapa Allah mereka diam saja dan kalah ketika berhadapan dengan musuh mereka? Pada zaman baheula bangsa beragama yang kalah perang berarti Allah atau Sesembahan mereka juga kalah.
Pertanyaan besar seperti di atas dijawab dengan doktrin neraka. Jangan takut dan jangan kehilangan kepercayaan, karena akan tiba saatnya, ketika zaman berakhir tak lama lagi, semua musuh mereka akan dengan adil dibalas oleh Allah dengan membuang mereka semua ke dalam api yang menyala-nyala, yang akan membakar mereka selamanya. Doktrin neraka merupakan ajaran kebencian dan dendam membara yang tidak lekang dan tetap dipelihara sampai sesudah kematian. Kelahiran doktrin surga dan neraka tentu saja dilengkapi dengan doktrin kiamat, kehadiran dajjal dan makhluk-makhluk monster, bencana, dlsb. Itu sebabnya Kitab Daniel genre-nya sastra apokaliptik seperti halnya Kitab Wahyu. Kedua kitab ini pada dasarnya pastoral bagi umat yang tertindas. Namun kitab-kitab oleh banyak orang Kristen (terutama Kitab Wahyu) tak ubahnya seperti kitab ramalan porkas atau togel.
𝗠𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗣𝗮𝘂𝘁𝗸𝗮𝗵 𝗗𝗼𝗴𝗺𝗮 𝗦𝘂𝗿𝗴𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗡𝗲𝗿𝗮𝗸𝗮 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗠𝗮𝘀𝗮 𝗞𝗶𝗻𝗶?
Anda dapat saja tidak bersetuju dengan tulisan saya bahwa konsep surga dan neraka agama Samawi adalah buatan komunitas Yahudi yang tertindas pasca-pembuangan di Babel. Yang tidak bersependapat mengajukan dalih, selain dalih dogmatis, andai dogma surga dan neraka sesudah kematian tidak diajarkan, maka terjadi eskalasi kejahatan di bumi. “𝘒𝘦𝘦𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯 orang jahat dong kalau begitu? Tidak ada hukuman atas kejahatan mereka sesudah kematian.” Sergah mereka sambil membanting pintu.
Kejahatan diberantas dengan hukum positif negara, bukan dengan dogma surga dan neraka. Kalau ada yang lolos dari jerat hukum, bereskan dengan membuat hukum lebih mempan dan dijalankan dengan penuh integritas.
Dalam zaman modern ini ada sangat banyak orang yang tidak menerima lagi doktrin surga dan neraka termasuk di jajaran pemimpin negeri ini termasuk pemimpin massa. Para pejabat dengan mudah melakukan korupsi sudah sangat jelas tidak mengakui dan menerima doktrin surga dan neraka. Orang-orang seperti mereka sudah tidak mempan lagi ditakut-takuti oleh pembakaran abadi di neraka. Untuk membangun suatu masyarakat yang taat hukum dan tak melakukan kejahatan dibutuhkan pembinaan moral bertahap dan terus-menerus untuk menghasilkan nurani yang dewasa, fungsional, dan bertanggungjawab.
𝗔𝗹𝗸𝗶𝘁𝗮𝗯 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗯𝗮𝗰𝗮𝗮𝗻 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗲𝘄𝗮𝘀𝗮. Anak-anak tidak boleh membaca Alkitab tanpa didampingi oleh orang dewasa, Penekanan atau strategi pengajaran gereja adalah pendewasaan orang dewasa. Dengan begitu orang dewasa yang sudah didewasakan oleh gereja menjadi pembimbing orang-orang yang lebih muda bahkan anak-anak. Orang-orang dewasa memikul beban persoalan dan perasaan jauh lebih berat ketimbang anak-anak. Untuk itulah orang-orang dewasa membutuhkan asupan dan topangan dari gereja. Persoalannya pengajaran pendeta dari mimbar lebih banyak tema doktriner 𝘤𝘩𝘪𝘭𝘥𝘪𝘴𝘩. Secara didaktik ini tidak menopang, melainkan menggemburkan fondasi. Pijakan makin lemah.
Iming-iming masuk surga dan teror masuk ke neraka adalah cara beragama 𝘤𝘩𝘪𝘭𝘥𝘪𝘴𝘩, kekanak-kanakan. Seperti kanak-kanak berbuat baik karena diganjar hadiah permen, seperti kanak-kanak tidak berani berbuat buruk karena takut dihukum oleh ortu atau gurunya. Fakta membuktikan doktrin surga dan neraka membuat orang jahat makin jahat, orang yang suam-suam kuku menjadi jahat, dan bahkan orang yang sebelumnya netral menjadi jahat. Orang sudi membunuh dan menganiaya sesama manusia, menebar teror kepada masyarakat lewat kerumunan massa, menghancurkan fasilitas publik, mengganggu ketertiban umum, dlsb. demi mendapatkan ganjaran surga dan menghindari api neraka.
Kita sah-sah saja untuk percaya bahwa neraka dengan api yang bernyala-nyala abadi di alam baka dan akan dirasakan orang-orang jahat sesudah kematian mereka. Apabila kita menganut kepercayaan ini, sepatutnya kepercayaan anda ini membuat kita hidup sangat berhati-hati dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan atau hidup berakhlak agar anda tidak dicampakkan ke dalam api neraka sesudah kematian.
Kita juga bebas menentukan pilihan percaya bahwa keberadaan neraka di alam baka sesudah kematian tidak ada. Di dunia ini ada 𝘨𝘰𝘭𝘥𝘦𝘯 𝘳𝘶𝘭𝘦 atau etika global yang satu di antaranya 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘥𝘪𝘱𝘦𝘳𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯, 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘭𝘢𝘩 𝘩𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯. Orang dapat menjadi baik, berbudi luhur tidak harus karena ancaman hukuman di neraka sesudah mati. Fakta banyak orang besar baik yang beragama maupun yang tak beragama adalah orang-orang berbudi luhur dan agung. Orang tak beragama menjadi besar karena menyumbang besar pada pengembangan ilmu pengetahuan yang menolong orang berkehidupan lebih baik.
Kita juga sah-sah saja memegang dogma surga dan neraka sebagai metafora. Surga diperikan sebagai tempat damai dan menyenangkan, sedang neraka diperikan sebagai suasana dan keadaan kehidupan manusia yang amat mendera dan melahirkan penderitaan serta kesengsaraan sangat berat dalam waktu sangat panjang. Neraka sebagai metafora terlihat nyata di dalam kelaparan, kemelaratan, keterbelakangan, kebodohan, ketidakadilan sosial, persekusi mayoritas terhadap minoritas, penganiayaan, pandemi Covid19, dan lain sejenisnya yang saat ini terjadi mencolok di bumi Indonesia.
Surga sebagai tempat damai dan menyenangkan lama-lama juga membosankan. Sumber humor adalah penderitaan, kesialan, kekonyolan sendiri. Humor itu menertawai penderitaan, kesialan, kekonyolan sendiri. Di surga tidak ada penderitaan, kesialan, dan kekonyolan. Jadi, tidak ada humor di surga, kata 𝘮𝘣𝘢𝘩 Mark Twain.
Mark Twain bukanlah mengada-ada. “𝘒𝘦𝘳𝘢𝘫𝘢𝘢𝘯 𝘚𝘶𝘳𝘨𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘦𝘶𝘮𝘱𝘢𝘮𝘢 𝘳𝘢𝘨𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘢𝘮𝘣𝘪𝘭 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘦𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘢𝘥𝘶𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘵𝘦𝘱𝘶𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘪𝘨𝘶 𝘵𝘪𝘨𝘢 𝘴𝘶𝘬𝘢𝘵 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘬𝘩𝘢𝘮𝘪𝘳 𝘴𝘦𝘭𝘶𝘳𝘶𝘩𝘯𝘺𝘢.” kata Yesus menerangkan metafor Kerajaan Surga (lih. Luk. 13:20-21; Mat. 13:33). Ragi merupakan metafora kenajisan dan kecemaran untuk sesuatu yang marginal di dalam masyarakat yang distrukturkan menurut sistem puritas Yudaisme. Tindakan Yesus membangun dan memasuki persekutuan dan persaudaraan dengan orang-orang najis dan marginal serta makan bersama-sama dengan mereka tanpa memakai meja (𝘰𝘱𝘦𝘯 𝘤𝘰𝘮𝘮𝘦𝘯𝘴𝘢𝘭𝘪𝘵𝘺) sehingga terbentuk suatu komunitas yang anggota-anggotanya setara, egaliter, 𝘨𝘦𝘨𝘶𝘺𝘰𝘯𝘢𝘯 adalah kemaujudan bahwa Kerajaan Surga bukanlah tempat damai dan menyenangkan sesudah kematian. Kerajaan Surga berarti meruntuhkan hierarki sosio-religius yang dipertahankan dalam sistem puritas Yudaisme. Dalam Injil Markus 1:35-39 bahkan Yesus menganggap berdoa tidaklah begitu penting. Yesus lebih memilih bekerja dan menolong kepentingan banyak orang ketimbang meninggalkan mereka untuk berdoa sendirian.
Kerajaan Surga bagi saya adalah .......... ?
LAPANGAN PANCASILA, 10 Juni 2023 (T)