Selasa, 02 Maret 2021

YHWH bukan bahasa yang turun dari surga. bagian 4 Dari 4 bagian tulisan (tamat)

Bagian 4
Untuk mendukung pandangannya bahwa Asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani, kaum Yahweisme mengutip Matius 27:7-9, bahwa teks tersebut dalam bahasa Yunani mengandung kesalahan, sedangkan teks dalam bahasa Ibrani (Brit Khadasa) itu benar. Berikut ini tanggapan atas tuduhan tersebut: Pertama, memang harus diakui bahwa Matius 27:7-9 ini merupakan satu dari beberapa bagian yang sukar dalam Perjanjian Baru. Tetapi yang perlu diingat, sukar bukan berarti salah! Kelihatannya, kaum Yahweisme telah memanfaatkan teks yang sukar ini dan menggiring orang-orang untuk meragukan bahwa Naskah asli Perjanjian Baru berbahasa Yunani. Ironinya, Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang dipakai menjadi acuan kaum Yahweisme untuk membandingkan teks tersebut adalah Brit Khadasha, yaitu kitab Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang diterjemahkan dari Perjanjian Baru bahasa Yunani oleh United Bible Society pada tahun 1970 Untuk kepentingan orang-orang Kristen Yahudi modern saat ini. Tentu saja Perjanjian Baru versi ini telah mengalami banyak perbaikan untuk memudahkan pembacanya dan menghindari kesukaran-kesukaran dalam teks tertentu. Jadi Perjanjian Baru berbahasa Ibrani Ha B’rit ha-Hadasah inilah yang dijadikan acuan dan diperlakukan oleh kaum Yahweisme seakan-akan itu merupakan teks bahasa alinya. Ini tidak hanya ironis tetapi juga merupakan suatu hal yang konyol! Kedua, pertanyaannya adalah seberapa jauh Naskah berbahasa Yunani dapat dipercaya sebagai bahasa asli Perjanjian Baru? Apa yang dianggap kesalahan karena mengandung kontradiksi dalam naskah Perjanjian Baru Yunani seperti pendapat Kaum Yahweisme tersebut sebenarnya adalah paradoksi. Paradoksi bukanlah kontradiksi! Kontradiksi tidak dapat dijelaskan, sedangkan paradoksi dapat dijelaskan. Paradoksi sepertinya bertentangan tetapi bila dicermati maka akan ditemukan penjelasannya. Karena itu Augustinus memberikan pernyataan yang tegas mengenai situasi ini, “Jika kita bingung karena adanya hal-hal yang kelihatannya bertolak belakang di dalam Alkitab, kita tidak boleh berkata, pengarang kitab ini salah, tetapi bisa jadi (1) manuskrip atau salinan naskah kunonya yang cacat, atau (2) penerjemahannya keliru, atau (3) kita memang belum mengerti”. Sebagai contoh Matius 27:5 yang dianggap sebagai kontradiksi Alkitab Perjanjian Baru, padahal sebenarnya adalah paradoksi, yaitu peristiwa kematian Yudas (bagian yang masih berhubungan dengan Matius 27:9 yang dipermasalah oleh kaum Yahweisme. Injil Matius 27:5 menyebutkan bahwa kematian Yudas itu disebabkan karena ia gantung diri. Sedangkan Lukas dalam Kisah Para Rasul 1:18 menulis bahwa kematian Yudas disebabkan karena ia jatuh tertelungkup, perutnya terbelah dan semua isi perutnya tertumpah keluar. Para kritikus menuduh mana yang benar, dan menyatakan bahwa ini kontradiksi. Kekristenan menjawab bahwa ini adalah paradoksi yang bisa dijelaskan karena kedua laporan penulis Kitab itu benar adanya. Yudas memang gantung diri, kemudian oleh sesuatu hal talinya putus, ia jatuh tertelungkup, perutnya terbelah dan isi perutnya semuanya keluar. Kedua kisah kematian Yudas ini saling melengkapi satu sama lain. Kisah ini akan semakin dipahami apabila kita mempelajari lokasi Hakal Dama di lembah Hinnom. Yudas “menggantungkan dirinya (matius 27:5). Tepatnya ditepi tebing Lembah Ben Hinnom, “… lalu ia jatuh tertelungkup, dan perutnya terbelah sehingga semua isi perutnya tertumpah keluar” (kisah Para Rasul 1:18). Jadi kedua kisah tersebut tidak bertentangan Karena Matius menjelaskan “cara matinya” sedangkan Lukas menjelaskan “keadaan ketika Yudas mati”. Tetapi masalah dalam kisah kematian Yudas ini belum selesai, sebab dalam Matius 27:6-7 disebutkan bahwa para imam yang membeli tanah hakal dama itu; sedangkan menurut Kisah Para Rasul 1:18 menyebutkan bahwa Yudaslah yang membeli tanah tersebut. Dari kedua laporan tersebut, mana yang benar ? sekali lagi Alkitab oleh para kritikus dituduh kontradiksi. Sebenarnya tidak kontradiksi tetapi hanya paradoksi, dan ini bisa dijelaskan. Jadi kedua laporan itu benar adanya, yaitu bahwa para imam membeli tanah tersebut atas nama Yudas (sertifikat hak milik Yudas). Hal ini masuk akal, karena kata yang diterjemahkan dengan “membeli” dalam kedua ayat tersebut merupakan kata yang berbeda. Matius 27:7 menggunakan kata “egorazon” yang berarti “membeli secara transaksional, sedang Lukas dalam Kisah Para Rasul 1:18 menggunakan kata “ektesato” lebih bermakna kata sindiran yang bukan transaksional. Kata sindiran dalam Kisah Para Rasul 1:18 ini sesuai apabila dihubungkan dengan ungkapan “upah pengkhianatanya yang jahat”. Karena itu lebih tepat kata “ektesato” tersebut diterjemahkan dengan “mendapatkan”. Ketiga, berdasarkan penjelasan di atas, bagaimana kita menjelaskan kesulitan dalam teks berikutnya, yaitu dalam Matius 27:7-9 tersebut? Kesukaran dalam bagian ini adalah dikarenakan Matius mengatakan “nubuat nabi Yeremia” (ayat 9) sedangkan ayat rujukan yang paling cocok dengan peris­tiwa ini kelihatannya adalah Zakharia 11:12-13. Mungkin karena inilah maka terjemahan Brit Khadasa yang dipakai oleh kaum Yahweisme menghilangkan kata “Yeremia” untuk menghindari kesulitan ini. Jawaban untuk kesulitan ini ada Matius ketika menyatakan bahwa peristiwa pembelian Tanah Tukang Periuk itu merupakan penggenapan dari nubuatan Nabi Yeremia maka ia sedang memadukan unsur-unsur simbolisme nubuat nabi Yeremia (Yeremia 32:6-9) dan nabi Zakharia (Zakharia 11:12-13). Ketika memadukan kedua nubuatan ini, seperti kebiasaan yang sering dipakai saat itu dalam mengutip ayat-ayat dari kitab para nabi, maka nama nabi yang tua dan terkenalah yang disebutkan, yaitu Yeremia. Penafsiran saya tersebut di atas didukung oleh pendapat Pakar Bahasa Ibrani Perjanjian Lama Profesor Gleason L. Archer yang menjelaskan demikian, “Matius sedang menggabungkan dan merangkum unsur-unsur simbolisme yang ada dalam Kitab-nabi-nabi baik Zakharia maupun Yeremia. Namun, karena Yeremia adalah yang lebih menonjol di antara dua nabi tersebut maka dia memprioritaskan nama Yeremia daripada nama nabi kecil itu. Cara yang sama diikuti oleh Markus 1:2-3 yang hanya menyebutkan Yesaya sebagai sumber dari kutipan gabungan dari Maleakhi 3:1 dan Yesaya 40:3. Dalan kasus itu juga, yang disebut namanya ialah yang lebih terkenal di antara dua nabi tersebut. Oleh karena hal semacam itu merupakan praktik yang lazim dalam kesusastraan abad pertama Masehi, yaitu ketika Kitab-kitab Injil di tulis, maka pra penulisnya tidak mungkin dapat dipersalahkan karena tidak mengikuti kebiasaan zaman modern untuk memberikan identifikasi serta pencantuman catatan kaki secara persis (yang tidak mungkin bisa dilakukan dengan mudah sebelum dibuat penyalinan dari gulungan kitab menjadi kodeks dan setelah ditemukannya percetakan)”. Jadi kesimpulannya, apa yang dianggap (dtuduh) sebagai kesalahan oleh kaum Yahweisme sebenarnya hanyalah kesulitan. Dan konyolnya, bukannya mencari jawaban yang benar atas kesulitan itu kaum Yahweisme malah menggunakan kesulitan itu untuk membangun opini bahwa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani. Perlu diketahui, ada banyak kesulitan-kesulitan di dalam Alkitab seperti contoh tersebut diatas. Ahli filsafat dan pakar teologi Norman Geisler mendaftarkan sejumlah 800 hal yang dianggap kontradiksi Alkitab oleh para kritikus dalam bukunya yang berjudul The Big Book of Bible Difficulties: Clear and Concise Answer From Genesis to Revelation, dan ia meunjukkan bahwa tidak satupun diantaranyanya terbukti benar. Ada suatu tulisan menarik, yang tentu saja harus dibuktikan kebenarannya. Tulisan ini menyatakan bahwa tahun 1567 seseorang bernama Genebrardus menemukan bahwa nama "dugaan" tadi adalah IAHVE, JAHVE (Chronographia, Paris, 1567). Bagaimana kisahnya? Ternyata Genebrardus meminjam istilah Klemen dari Aleksandria dari kalangan Platois Gnostik, ejaan Yunani dari nama dewa Zeus yaitu IAOVE, yang juga dikenal sebagai JOVE, dewa Yupiter Romawi. Ejaan IAOVE ini diubah menjadi YAOVE kemudian menambah huruf H dan membuang huruf O sehingga menjadi YAHVE. Agar penemuannya ini ada dukungannya, ia mengutip pula Alkitab Samaria yaitu kata IABE. Diubahnya menjadi YABE, dan terakhir mengubah B menjadi V sehingga menjadi YAVE, tinggal disesuaikan dengan empat huruf sakral YHVH yakni menambah dua huruf H di tengah dan di akhir kata, jadilah YAHVEH. Jika ingin baca selengkapnya, Ucapan YEHOVÂH berasal dari kata YHVH dibubuhi vokal 'ADONÂY oleh para ahli Masora yang juga tidak mengetahui bagaimana pengucapan yang benar. Banyak yang hanya menebak atau menduga bahwa empat huruf ini dibunyikan YAHAVAH, YEHUWA, YAHEVEH, YAHUWEH, YAHAVEH, dan seterusnya, jadi semuanya hanya menduga sehingga akhirnya baik YEHOVÂH maupun YAHWEH hanyalah merupakan nama "dugaan".  Menurut Linwood Urban, “Hingga sekitar 200 SM sudah menjadi kebiasaan agar tidak pernah mengucapkan nama yang sebenarnya dari Allah dalam Kitab Suci, Yahweh, dan sebagai gantinya selalu menyebut Adonai atau Tuhan (Lord). Kebiasaan yang bersifat tetapt ini, pada tahun 200 SM diperlihatkan oleh Septuaginta, terjemahan kitab Suci Ibrani dalam bahasa Yunani yang tidak mentransliterasi kata Yahweh, tetapi menggantinya dengan kata Yunani Kurios untuk Tuhan”. (Urban, Linwood.,2006. Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. Terjemahan, Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 10). Jadi di dalam Perjanjian Lama (Tanakh) kita menjumpai variasi nama-nama ilahi seperti EL/ELOAH/ELOHIM yang umumnya dikenal sebagai common noun  (kata generik), serta YHWH angg umumnya dikenal sebagai proper noun (nama diri).  Jika mencermati penggunaannya dalamm Perjanjian Lama (Tanakh) kata EL/ELOAH/ELOHIM dalam teks tertentu dapat juga dipahami sebagai nama diri sesuai konteks yang ada (Misalnya Kej 33:30). Demikian pula nama diri YHWH digunakan nama pengganti seperti Adonai atau pun Ha Shem. Perlu diketahui bahwa dalam Perjanjian Lama, nama bukanlah semata-mata untuk mebedakan seseorang dari orang lain, tetapi berkaitan erat dengan keberadaan orang itu. Nama seseorang mewakili sifat maupun kepribadiannya. Mengetahui nama seseorang berarti memiliki suatu hubungan yang dalam sekali dengan dia (LaSor, W.S, D.a Hubard, D.W. Bush., 2014. Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat dan Sejarah. Terjemahan, Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 192-193). Ungkapan dalam bahasa Ibrani “ehyeh asyer ehyeh” dalam Keluaran 3:14  yang diterjemahkan “Aku adalah Aku” yang secara harafiah berarti “Aku (akan) ada yang Aku (akan) ada”. Para ahli sepakat bahwa kata kerja “ada” merupakan bentuk kekinian atau keakanan dalam arti “ada”, merupakan lawan dari “tidak ada”. Kata kerja “ada” ini juga berarti “ hadir sebgai Dia yang menyertai, mengadakan, dan bertindak”. Ungkapan “Aku adalah Aku” ini merupakan contoh cara bicara yang menerangkan sesuatu dengan menunjukkan kembali kepada hal itu sendiri. Cara itu dipakai bila pembicara tidak ingin atau tidak mampu membuat hal itu lebih jelas. Karena itu, cara tersebut dapat menyatakan sesuatu yang belum tentu, tetapi juga menyatakan keseluruhan atau ketegasan. Ungkapan “Aku akan memberi kasih karunia kepada siapa yang Kuberi kasih karunia dan mengasihi siapa yang Kukasih (Keluaran 33:19) berarti “Sesungguhnya Aku adalah Dia yang penuh kasih karunia dan belas kasihan”. Sejalan dengan itu, maka ungkapan “Aku adalah Aku” berarti “Sesungguhnya Aku adalah Dia yang ada”. Keberadaan ini bukanlah keberadaan metafisik, sebagaimana dalam pernyataan filosofis, tetapi keberadaan yang akstif “Akulah Dia yang ada disini (demi kamu), benar-benar hadir, siap untuk menolong dan bertindak”. Dengan mengungkapkan namaNya YHWH, Allah hendak menyatakan bahwa Ia telah membuka hakikat keberadaanNya kepada manusia, Ia membiarkan orang untuk menghampiriNya dalam persekutuan dengan Dia dan menyatakan diriNya sebagai penyelamat. Bentun nama YHWH itu sendiri dalam keluran 3:15 dan hubungannya dengan keterangan “Aku adalah Aku” dalam ayat 14. Dalam ayat 14 nama itu mempunyai bentuk orang ketiga tunggal, berasal dari kata kerja “haya “ada” yaitu “dia ada”. Tetapi ketika berbicara tentang diri Allah, Allah tidak mengatakan “Dia ada” melainkan “Aku ada”. Orang-orang lain bila berbicara tentang Allah harus berkata “Dia ada”. (lihat: Barth, Christoph., 2008. Teologi Perjanjian Lama 1 & 2. Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 156; LaSor, W.S, D.a Hubard, D.W. Bush., 2014. Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat dan Sejarah. Terjemahan, Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 196-197; Wolf, Herbert., 2004. Pengenalan Pentateukh. Terjemahan, penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 29-31). Lembaga Alkitab Indonesia tidak hanya menerjemahkan kata YHWH menjadi TUHAN. Tetapi juga menerjemahkan kata Elohim menjadi Allah, Adonai menjadi Tuhan. Pemakaian kata TUHAN paling sering dipakai untuk menerjemahkan YHWH, sedangkan kata ALLAH hanya muncul pada saat ada kata Adonai YHWH. Karena itu di dalam Perjanjian Lama kita seringkali menjumpai kata : TUHAN, Tuhan, ALLAH, Allah. Keempat kata ini merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani ke bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Lembaga Alkitab Indonesia. Namun kelompok Yahweisme menyalahkan penerjemahan kata YHWH, Elohim dan Adonai ini. Misalnya sebagai contoh perhatikan ayat-ayat berikut ini. “Pada mulanyaAllah (Elohim) menciptakan langit dan bumi” (Kejadian 1:1). “Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan. Ketika TUHAN (YHWH) Allah (Elohim) menjadikan bumi dan langit” (Kejadian 2:4). “Abram menjawab: ‘Ya Tuhan (Adonai) ALLAH (YHWH), apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu” (Kejadian 15:2). Selamat mengerti YHWH, STT BAPTIS INJILI, CEPOGO, BOYOLALI, JAWA TENGAH, 2014, Titus Roidanto (tamat) 

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...