Selasa, 18 Januari 2022

KHOTBAH LINTAS IMAN, SERIAL SUDUT PANDANG

KHOTBAH LINTAS IMAN, SERIAL SUDUT PANDANG

"Monggo pak dosen, badhe ngersakaken mundhut menapa?" Seorang bapak yang tampaknya pemilik kios mempersilakan saya. Saya tidak terlalu heran, bapak itu mengenal saya sebagai seorang dosen STT sebab CEPOGO adalah wilayah yang kecil. Tanpa menunggu jawaban saya, bapak itu mengulurkan tangan sambil berkata, "Kula menika remen yen mireng khotbah panjenengan lho....!" Kali ini saya benar-benar heran sebab jelas ia bukan warga gereja, lagipula bila ditilik dari pakaiannya cukup jelas bahwa ia seorang muslim. Seperti memahami keheranan saya, bapak itu memberikan penjelasan, "Kula mirengke khotbah panjenengan yen ngepasi wonten upacara kesripahan utawi ular-ular temanten!" Aduuhhh... saya jadi tersipu dan takut kalau helm yang saya kenakan pecah karena bertambah besar. Maka saya segera menyebut apa yang hendak saya beli agar segera bisa pergi dari kios itu. 

Sebenarnya saya sudah beberapa kali mengalami ketemu orang yang belum saya kenal dan bukan seiman, tetapi mengatakan menyukai khotbah saya. Namun saya sangat yakin bahwa jika benar orang-orang itu menyukai khotbah-khotbah saya, itu pasti bukan karena saya ini orator ulung yang berbicara dengan timbre suara yang mantap  dan gesture yang menarik. Saya juga bukan tipe pembicara yang humoris dan pintar bernyanyi dengan suara merdu sebagai selingan. Aduhhh... trus karena apa? 

Pastor Edward Foley dalam buku Theological Reflection Across Religious Tradition menulis bahwa setiap kali menyusun khotbah untuk ibadah di gereja yang dilayaninya, dalam refleksi ia selalu mempertimbangkan keyakinan dari para pendengarnya yang berbeda-beda. Lho... bukankah di gereja itu hanya ada satu keyakinan saja, yaitu keyakinan Kristen? Foley mengamati bahwa yang hadir di gerejanya bukan hanya orang Kristen saja. Kok bisa? Iya, karena diantara mereka yang hadir mungkin ada anak-anak yang pergi merantau kemudian pulang mengunjungi orang tuanya. Mungkin saja mereka sudah bukan Kristen lagi, sedang mempelajari suatu keyakinan atau bahkan memilih menjadi seorang ateis. Nah, untuk menghormati orang tuanya pada hari minggu mereka bersama-sama pergi ke gereja. Jadi refleksi yang dibuat pastor Foley melalui khotbahnya bukan hanya refleksi Kristen, tetapi refleksi-refleksi dari sudut pandang lain lain yang bisa diterima oleh banyak pihak sehingga mereka merasa di terima dan nyaman dalam komunitas gereja itu. 

Pastor Foley mengaku bahwa refleksinya yang demikian itu terinspirasi oleh refleksi yang dilakukan oleh Tuhan Yesus sendiri. Ketika Tuhan Yesus bertemu dengan perempuan Siro-Fenesia yang memohon agar anaknya yang kerasukan roh jahat disembuhkan, Tuhan Yesus menjawab: "Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." Jawaban Tuhan Yesus ini khas refleksi orang Yahudi yang merasa dirinya sebagai bangsa terpilih sehingga segala kebaikan hanya untuk orang Yahudi saja. Jawaban ini tentu terdengar sangat menyakitkan bagi perempuan itu, tetapi perempuan itu tidak putus asa dan justru menjadikan refleksi khas Yahudi itu sebagai dasar untuk membuat refleksi baru yang sesuai untuk dirinya. Ia menjawab: "Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak." Tuhan Yesus membenarkan refleksi baru ini dan Tuhan Yesus kemudian bertindak berdasarkan refleksi ini. SabdaNya: "Karena kata-katamu itu, pergilah sekarang sebab setan itu sudah keluar dari anakmu." 

Coba perhatikan, ada dua hal istimewa di sini: (1) Tuhan Yesus keluar meninggalkan refleksi Yahudi bahwa roti disediakan bagi anak-anak dan tidak patut bila diberikan untuk anjing, kemudian masuk kembali dengan meminjam refleksi perempuan Siro-Fenesia itu. Dengan cara seperti itu rahmat diberikan kepada perempuan itu dan anak-anaknya. (2) Alkitab tidak mencatat bahwa perempuan itu kemudian menjadi anggota dari komunitas yang mengikut Tuhan Yesus. 

Kadang-kadang kita diracuni oleh hegemoni keyakinan agama dengan menganggap bahwa keyakinan lain adalah sesat, kafir atau berhala dan yang benar hanyalah keyakinan kita sendiri. Contoh yang paling jelas adalah kasus oknum yang menendang dan membuang sesajen di daerah gunung Semeru karena menganggap itu sebagai hal buruk yang menyebabkan Allah murka dan mendatangkan bencana di situ. Hegemoni itu telah membuat orang gagal bertoleransi pada keyakinan lain yang pada gilirannya gagal pula untuk menjadi rahmat bagi sesama. 

Mengapa ada beberapa orang yang tidak saya kenal dan berbeda agama mengaku menyukai khotbah saya? Bila itu bukan karena saya adalah orator ulung, mungkin salah satu faktor penyebabnya adalah dalam refleksi khotbah saya terus berjuang untuk menepis perasaan superioritas agama dan mengupayakan untuk tidak menyinggung atau merendahkan keyakinan lain. 

Semoga demikian adanya. STT Baptis Injili, CEPOGO, Boyolali, Jateng, Titus Roidanto

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...