Kitab Injil tertua dalam Alkitab yang kita pegang saat ini adalah Injil Markus. Injil Markus kemudian menjadi sumber penulisan Injil Matius dan Lukas. Secara sederhana apabila ada kemiripan dalam ketiga Injil, diduga pengarang Injil Matius dan Lukas merujuk Injil Markus sebagai sumber.
Apabila ada kemiripan teks di Injil Matius dan Lukas, tetapi tidak ada di Injil Markus, kemungkinan penulis Injil Matius dan Lukas mengambil Sumber Q (dari kata bahasa Jerman 𝘘𝘶𝘦𝘭𝘭𝘦 yang berarti sumber). Sumber Q merupakan ucapan-ucapan lepas Yesus tanpa konteks. Apabila ada teks unik di Injil Matius dan Lukas itu berarti pengarang Injil memiliki sumber sendiri atau hasil kreasi sendiri.
Saya mengakui para pengarang Injil itu hebat. Mereka melakukan sigi besar sebelum menulis Injil. Padahal dua ribu tahun lalu belum ada perpustakaan daring.
Contoh kemiripan teks yang ada di Injil Matius dan Lukas, tetapi tidak ada di Injil Markus, adalah “Doa Bapa Kami”. Dalam Injil Matius “Doa Bapa Kami” diberi konteks rangkaian pengajaran Yesus dalam pasal 5 sampai 7 yang kita kenal dengan “Khotbah di Bukit”. Bagaimana dengan versi Injil Lukas?
Bacaan Injil Lukas 11:1-13 saya kutipkan ayat 1-4 dari Alkitab LAI TB II 1997: Pada suatu kali Yesus sedang berdoa di suatu tempat. Ketika Ia selesai berdoa, berkatalah seorang dari murid-murid-Nya kepada-Nya: ”𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯, 𝘢𝘫𝘢𝘳𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘢, 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘢𝘫𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘠𝘰𝘩𝘢𝘯𝘦𝘴 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘶𝘳𝘪𝘥-𝘮𝘶𝘳𝘪𝘥𝘯𝘺𝘢.” Jawab Yesus kepada mereka: ” 𝘈𝘱𝘢𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘢, 𝘬𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩: 𝘉𝘢𝘱𝘢, 𝘥𝘪𝘬𝘶𝘥𝘶𝘴𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘯𝘢𝘮𝘢-𝘔𝘶; 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨𝘭𝘢𝘩 𝘒𝘦𝘳𝘢𝘫𝘢𝘢𝘯-𝘔𝘶. 𝘉𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘤𝘶𝘬𝘶𝘱𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘮𝘱𝘶𝘯𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘰𝘴𝘢-𝘥𝘰𝘴𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘪, 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘱𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘮𝘱𝘶𝘯𝘪 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘪; 𝘥𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘸𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘯𝘤𝘰𝘣𝘢𝘢𝘯.”
• “Doa Bapa Kami” di Injil Lukas lebih ringkas daripada versi Injil Matius (Mat. 6:9-13).
• “Doa Bapa Kami” di Injil Lukas diajarkan sesudah Yesus berkunjung ke rumah Marta dan sesudah Maria “duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya” (Luk. 10:39).
• “Doa Bapa Kami” di Injil Lukas diajarkan Yesus sesudah Yesus selesai berdoa (Luk. 11:1).
• “Doa Bapa Kami” di Injil Lukas diajarkan Yesus sesudah para murid meminta diajarkan berdoa (Luk. 11:1).
• “Doa Bapa Kami” yang diajarkan Yesus di Injil Lukas adalah jawaban dari permintaan para murid (Luk. 11:1).
Perbedaan konteks dari “Doa Bapa Kami” versi Matius dan versi Lukas itu membuktikan bahwa pada mulanya “Doa Bapa Kami” merupakan ucapan-ucapan Yesus yang beredar tanpa konteks atau ucapan-ucapan lepas atau Sumber Q. Baru kemudian pada saat Injil ditulis ucapan-ucapan lepas itu diberi konteks oleh pengarang Injil. Konteks itu pada gilirannya memberi makna pada ucapan-ucapan lepas itu.
𝗗𝗮𝘁𝗮𝗻𝗴𝗹𝗮𝗵 𝗞𝗲𝗿𝗮𝗷𝗮𝗮𝗻-𝗠𝘂. Kerajaan Allah belum datang. Masih perlu didoakan agar datang. Tampaknya Kerajaan Allah yang dimaksud dalam doa itu adalah Kerajaan Allah pada akhir zaman atau Kerajaan Allah “sepenuhnya.” Dalam iman Kristen Kerajaan Allah sudah, sedang, dan akan datang.
𝗠𝗮𝗸𝗮𝗻𝗮𝗻 𝘀𝗲𝘁𝗶𝗮𝗽 𝗵𝗮𝗿𝗶. Dalam versi Matius permintaan makanan secukupnya pada hari ini (saja). Menurut Lukas itu tidak cukup. Yang cukup adalah makanan secukupnya setiap hari.
“Doa Bapa Kami” versi Lukas dilanjutkan dengan perumpamaan tentang seorang sahabat yang tidak tahu malu meminta.
Lalu kata-Nya kepada mereka: ”𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘩𝘢𝘣𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘵𝘦𝘯𝘨𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢: 𝘚𝘢𝘩𝘢𝘣𝘢𝘵𝘬𝘶, 𝘱𝘪𝘯𝘫𝘢𝘮𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘨𝘢 𝘳𝘰𝘵𝘪, 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘩𝘢𝘣𝘢𝘵𝘬𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘴𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘩 𝘬𝘦 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩𝘬𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢𝘪 𝘢𝘱𝘢-𝘢𝘱𝘢 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘥𝘪𝘩𝘪𝘥𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢; 𝘮𝘢𝘴𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣: 𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘢𝘬𝘶, 𝘱𝘪𝘯𝘵𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘶𝘵𝘶𝘱 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘳𝘵𝘢 𝘢𝘯𝘢𝘬-𝘢𝘯𝘢𝘬𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘶𝘳; 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶. 𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶: 𝘚𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪𝘱𝘶𝘯 𝘪𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘶 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘩𝘢𝘣𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢, 𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘪𝘬𝘢𝘱𝘯𝘺𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘭𝘶 𝘪𝘵𝘶, 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘱𝘦𝘳𝘭𝘶𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢. 𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶: 𝘔𝘪𝘯𝘵𝘢𝘭𝘢𝘩, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶; 𝘤𝘢𝘳𝘪𝘭𝘢𝘩, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵; 𝘬𝘦𝘵𝘶𝘬𝘭𝘢𝘩, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘱𝘪𝘯𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘣𝘶𝘬𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘨𝘪𝘮𝘶. 𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢, 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘢𝘳𝘪, 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘵𝘶𝘬, 𝘣𝘢𝘨𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘪𝘯𝘵𝘶 𝘥𝘪𝘣𝘶𝘬𝘢𝘬𝘢𝘯. (Luk. 11:5-10; TB II 1997)
Tidak tahu malu di sini bukan berarti memalukan. Orang itu tidak malu mengakui kekurangannya, tidak malu mengakui tidak punya apa-apa.
Rangkaian ajaran tentang berdoa ini ditutup dengan penegasan bahwa Allah pasti akan menjawab doa permintaan umat-Nya karena Allah adalah Bapa yang baik. “𝘉𝘢𝘱𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘯𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶, 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘢𝘯𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘪𝘬𝘢𝘯, 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘭𝘢𝘳 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘢𝘯𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘨𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘪𝘬𝘢𝘯? 𝘈𝘵𝘢𝘶, 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘵𝘦𝘭𝘶𝘳, 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘫𝘦𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯𝘨? 𝘑𝘢𝘥𝘪, 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘢𝘯𝘢𝘬-𝘢𝘯𝘢𝘬𝘮𝘶, 𝘢𝘱𝘢𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘉𝘢𝘱𝘢𝘮𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘴𝘶𝘳𝘨𝘢! 𝘐𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘙𝘰𝘩 𝘒𝘶𝘥𝘶𝘴 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢-𝘕𝘺𝘢.” (Luk. 11:11-13; TB II 1997)
Lukas 11:13 terasa rada aneh. Pada ayat 11 dan 12 hal yang dibicarakan adalah makanan: ikan dan telur.
𝘒𝘰𝘬 tiba-tiba ada Roh Kudus? Tidak mudah untuk dijawab.
Seperti saya jelaskan di atas bahwa Lukas diduga menggunakan Sumber Q. Matius juga menggunakan Sumber Q.
Versi Matius: “𝘑𝘢𝘥𝘪, 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘢𝘯𝘢𝘬-𝘢𝘯𝘢𝘬𝘮𝘶, 𝘢𝘱𝘢𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘉𝘢𝘱𝘢𝘮𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘴𝘶𝘳𝘨𝘢! 𝘐𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢-𝘕𝘺𝘢" (Mat. 7:11; TB II 1997). Tidak ada yang aneh di versi Matius. Matius tampaknya sekadar mengikuti “kesimpulan logis” yang diberikan Sumber Q bahwa Allah akan memberikan “yang baik.”
Pengarang Injil Lukas tampaknya “merenungkan” lebih lanjut kesimpulan itu: apa ya kira-kira “yang baik” itu? Nah, menurut Lukas, "yang baik" itu adalah Roh Kudus. Allah akan memberikan yang baik, yaitu Roh Kudus.
Dari sini semoga kita makin memahami bahwa Kitab Injil (dan kitab-kitab lainya di dalam Alkitab) tidak jatuh utuh dari langit. Setiap pengarang memiliki narasi masing-masing dalam menyampaikan teologi mereka yang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan narasi tidak perlu membuat kita berpusing kepala mendamaikan atau mengharmoniskan. Keberanekaan itu justru membawa maslahat bagi kita bahwa kesaksian tentang Yesus tidaklah tunggal. Orang Kristen tidak boleh mengurung Yesus dalam ajaran tunggal dan mendaku penafsiran mereka yang benar. Penafsiran itu bukan soal benar atau salah, melainkan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Jakarta
24.07.2023 (TUS)