mengapa penduduk Sodom begitu terancam dengan kehadiran orang asing? Ternyata secara historis, kalau kita membaca secara keseluruhan maka kita akan mendapatkan informasi di Kejadian13-14.Khususnya pasal 14 menceritakan bahwa terjadi pemberontakan bangsa-bangsa untuk melawan Raja Kedorlaomer,"Lalu keluarlah raja negeri Sodom,raja negeri Gomora ... mengatur barisan perangnya melawan mereka dilembah Sidim, melawan Kedorlaomer" (Kej. 14:9).Yang terjadi adalah raja Sodom dan Gomora tumbang, ditangkap, dan orang-orang yang masih hidup diri ke pegunungan, bahkan segala harta benda Sodom dan Gomora serta segala makanan dirampas, termasuk juga Lot, beserta harta bendanya dibawa musuh. Konteks peperangan ini menyebabkan penduduk Sodom tercerai-berai.
Kemudian datanglah seorang pelarian dan menceritakan kepada Abram, bahwa Lot juga termasuk dalam jarahan perang. Maka Abram menyuruh semua orang terlatih untuk mengejar musuh sampai ke Dan. Mereka melawan musuh dan mengejar musuh sampai ke Hoba di sebelah utara Damsyik. Lalu Lot selamat dan harta benda juga dibawa kembali demikian juga perempuan-perempuan dan orang-orangnya (Kej. 14:13-16). Kemenangan Abram mengalahkan Kedorlaomer mendatangkan kegembiraan bagi raja Sodom (Kej. 14:17), lalu Melkisedek yang merupakan seorang raja Salem dan sekaligus Imam membawa roti dan anggur,lalu memberkati Abram (Kej. 14:18-19). Jadi, alasan keterancaman penduduk Sodom akan kehadiran orang asing menyitir pandangan bahwa kondisi pascaperang tentu membuat penduduk sodom siaga dalam mendeteksi kedatangan musuh. Setiap orang yang tidak dikenal atau pendatang baru di kota itu patut dicurigai. Penduduk Sodom awalnya tampak tenang karena menurut mereka kedua orang tersebut hanya akan singgah sejenak dirumah Lot. Tentunya, pandangan di atas memperlihatkan faktor psikologi (trauma) Pesca perang begitu kuat dalam relasi keberadaan dengan orang asing. Para ahli kejiwaan mengatakandemikian:
Dalam keadaan kritis yang tidak biasa, seperti dalam peperangan atau di penjara yang tata tertibnya payah, orang-orang laki-laki yang heteroseksual yang sering memerkosa sesama lelaki, tidak peduli apakah korbannya berorientasi seksual homoseksualiteitoseksual. Gejala ini disebut gang-rape. Penduduk Sodom berniat melakukan gang-rape terhadap para tamu Lot (Singgih, 2019: 45).
Situasi kritis yang terjadi bukan hanya dalam pengertian secara fisik, tetapi lebih kepada batin (psikologis). Dikarenakan tidak ada rujukan secara tekstual yang memperlihatkan bahwa penduduk Sodom ada dalam situasi chaos (kacau) sehingga pertanyaannya adalah mengapa tiba-tiba terjadi pengepungan (upaya) gang-rape (perkosaan beramai-ramai) secara massal? Ada rujukan di dalam Kejadian 18:20, pascaperang sudah usai tercatat demikian, ?Sesudah itu berfirmanlah Tuhan: Sesungguhnya banyak keluh kesah orang tentang Sodom dan Gomoradan sesungguhnya sangat berat dosanya" (TB-LAI). Keluh kesah di sini dalam bahasa Ibrani "zaqa" ,berarti'teriakan atau jeritan minta tolong'. Kata ini adalah istilah pengadilan untuk pendakwaan atau permintaan bantuan hukum.Dengan demikian,ada penindasan yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh penduduk Sodom kepada orang asing. Topik ini berkaitan dengan pelanggaran hak pendatang atas tamu dalam tradisi zaman itu, yang mengatakan bahwa penghormatan kepada tamu atau pendatang dalam kebudayaan zaman sangat penting, khususnya ketika para tamu dan pendatang itu memasuki daerah yang tidak aman dan telah mengucap salam, mereka mendapat hak untuk dilindungi kesalahan penduduk Sodom adalah pemerkosaan massal dan ketidak ramahan terhadap orang asing.Jadi,kalau melihat konteks budaya zaman itu, maka kota Sodom menjadi kota yang tidak aman untuk para tamu asing. Teolog Stephen Suleeman menyitir pandangan sejarawan Yahudi bernama Josephus (lahir sekitar tahun 37 ZB) mengungkapkan bahwa, "warga Sodom, yang sangat bangga akan jumlah mereka dan tingkat kekayaan mereka, menunjukkan diri mereka kurang ajar kepada manusia dan tidak beriman kepada Tuhan, sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi ingat manfaat yang mereka terima dari Dia, membenci orang asing dan menolak semua hubungan dengan orang lain. Allah murka akan perilaku ini dan memutuskan membalas dengan menghukum mereka karena kesombongan mereka? (Suleeman, 2015: 4). Bicara soal kesombongan atas jumlah dan tingkat kekayaan penduduk Sodom yang ditulis di atas, Bambang Subandrijo dalam Bagaimana (Seharusnya) Sikap Gereja Terhadap LGBT: Suatu Tinjauan Biblis (2019), merujuk pada tafsiran para Rabi Yahudi (Tosefta Sota 3:11-12), mengatakan bahwa kaum kaya Sodom telah membuat kebijakan untuk menganiaya orang asing agar mereka takut mengunjungi kota itu dan dengan begitu penduduk Sodom tak perlu lagi berbagi harta dengan orang asing (trauma pasca perang). Dari sini ada persoalan yang serius terkait dengan penduduk Sodom, yaitu menyangkut soal xenophobia (sikap membenci orang asing) sikap agresif yang memberlakukan kekerasan homosek, walaupun ini juga akibat dari trauma perang. Karena bbrp sejarahwan menuliskan kebiasaan perang pada zaman itu adalah bagi yang kalah maka lelakinya akan dikumpulkan dan diperkosa oleh yang menang, untuk meruntuhkan mental agar tidak melawan lagi dan dibelakang hari tidak memberontak, tentunya trauma semacam ini dimungkinkan setelah Sodom dan Gomora kalah berperang, shg memperlihatkan kebencian pada orang asing serta orang asing menjadi sasaran empuk melampiaskan trauma. "Xenophobia" adalah budaya yang berlawanan dg budaya zaman itu, yang menjunjung tinggi hospitalitas (keramahan), seperti kisah Abraham yang menjamu ketiga tamunya(Kej.18:2). Dari sini hospitalitas menjadi bagian penting dalam iman Israel, Pakar Yahudi R.J. Zwi Werblowsky mengatakan bahwa taurat mengatur hukum hospitalitas sehingga setiap orang wajib memberlakukan sikap ramah pada semua orang, termasuk orang yang miskin, mereka yang terabaikan, orang asing, siapa saja yang dianggap tidak layak. Selain kejahatan seksual dan ketidak ramahan, referensi di Kitab Yehezkiel
16:49-50 tercatat: "Lihat, inilah kesalahan Sodom, kakakmu yang termuda kecongkakan,makanan yang berlimpah-limpah dan kesenangan hidup padanya dan pada anak-anaknya perempuan, tetapi ia tidak menolong orang orang sengsara dan miskin. Mereka menjadi tinggi hati dan melakukan di hadapan-Ku; maka Aku menjauhkan mereka sesudah Aku melihat itu' (TB-LAI). Jadi, ada gambaran tentang kecongkakan, kerakusan, dan menolong/membela orang miskin. Kalau begitu kesimpulan teks Sodom dan Gomora di Kejadian 19 tidak berkaitan dengan terhadap LGBTIQ, melainkan persoalan ketidakadilan sosial. Dengan merujuk kepada Yesaya 1:9, Yesaya 13:19, Yeremia 23:14, mengatakan makna bahwa masa depan Yerusalem yang nyaris menjadi seperti Sodom dan Gomora, ternyata konteksnya adalah umat yang rajin beribadah dan umat melaksanakan ritual, tetapi tetap melakukan kejahatan-kejahatan moral berupa ketidakadilan sosial. Hal ini juga mengungkapkan bahwa dosa Sodom tidak hanya bersifat seksual (pemerkosaan) melainkan juga kekacauan umum dari masyarakat yang terorganisir untuk melawan Allah. Bicara soal ketidakadilan, tulisan Vania Sharleen Setyono yang berjudul Ketika Awam Membaca Sodom: Intercultural Hermeneutics terhadap Kisah Sodom dalam Kejadian19 (2020) memperlihatkan adanya perhatian pada isu patriarkat dalam teks ini, terlihat dari risetnya tentang kegelisahan saat membaca (menafsirkan) adegan Lot memberikan kedua anak perempuannya kepada kerumunan penduduk Sodom guna menggantikan dan membuat aman tamu laki-lakinya tersebut. Ada dua hal yang diperlihatkan yaitu sebagai berikut:
"Pertama, posisi perempuan yang selalu berada di bawah laki-laki. Hal ini ditunjukkan dari tindakan Lot yang rela memberikan anak perempuannya demi "menyelamatkan" tamu laki-lakinya ...
Kedua, identitas homoseksualitaa diri seseorang dianggap lebih tidak bermoral ketimbang ketika seseorang melakukan tindakan kekerasan seksual. apa yang dilakukan oleh Lot PD kedua anak perempuannya adalah bentuk kekerasan seksual".
Orang-orangyang dan melabrak Lot dan tamu-tamunya, ini adalah sebuah tindakan untuk memamerkan kekuasaan dan cara untuk menundukkan orang asing yang tidak berdaya secara politik adalah dengan memerkosanya. Sebab meniduri laki-laki menggantikan harkat martabat kelaki-lakiannya dengan rasa malu feminitas.Dalam budaya Israel kuno saat itu, pemerkosa secara anal kepada laki-laki dianggap merendahkan martabat laki-laki menjadi seperti perempuan sebab perempuan dianggap jauh lebih rendah daripada lak laki. Hal ini terjadi karena penduduk Sodom adalah penduduk yang dihegemoni oleh paradigma patriarkat dan yang memandang orang asing sebagai the others yang pantas untuk dieksekusi (direndahkan). Dari sini, dosa Sodom (kejahatannya) bisa dipahami dalam pengertian kekerasan seksual, penindasan thp orang asing dan juga dosa sosial termasuk kekuasaan korup dan ketidakadilan.
Cepogo, 18.09.2017
Baca juga :
http://titusroidanto.blogspot.com/2023/09/homoseksualitas-dan-gereja-baptis.html
https://titusroidanto.blogspot.com/2024/06/mengenal-dan-menyikapi-lgbt-sesama-kita.html