SUDUT PANDANG LEKTOR DALAM SEJARAH
Pengantar
lektor , dalam
agama Kristen , seseorang yang dipilih atau dikhususkan untuk membaca Kitab Suci dalam kebaktian
gereja . Di Gereja Timur
Lektor gereja Ortodoks adalah salah satu ordo minor dalam persiapan untuk menjadi imam. Meskipun sebelumnya merupakan ordo minor dalam
Gereja Katolik Roma , kantor tersebut dinamakan sebuah pelayanan oleh Paus
Paulus VI dalam
motu proprio (diprakarsai oleh Paus tanpa nasihat, efektif 1 Januari 1973) dan dibuka untuk
kaum awam . Secara resmi, jabatan ini diperuntukkan bagi kaum pria, meskipun dalam praktiknya kaum wanita dapat melayani sebagai lektor tanpa dilantik secara resmi dalam jabatan tersebut. Di gereja Protestan, orang yang berfungsi sebagai pembaca, baik awam maupun
pendeta , umumnya disebut lektor. di
Kekristenan , jabatan yang dipegang oleh orang-orang yang dipisahkan oleh otoritas
gerejawi untuk menjadi pendeta di
gereja atau yang panggilannya untuk pelayanan kejuruan khusus di gereja diberikan pengakuan umum. Jenis pelayanan bervariasi di gereja-gereja yang berbeda. Yang berkembang di
gereja mula-mula dan dipertahankan oleh gereja Katolik Roma, Ortodoks Timur, Katolik Lama, Anglikan, dan beberapa gereja Protestan adalah episkopal (
lihat episkopat ) dan didasarkan pada tiga ordo, atau jabatan, yaitu
uskup ,
imam , Presbyter dan
diakon . Sepanjang sebagian besar sejarah gereja Kristen, pelayanan episkopal dianggap biasa saja, tetapi Reformasi Protestan menantang otoritas kepausan dan dengannya otoritas pelayanan episkopal. , di
Kekristenan protestan atau reform, jabatan yang dipegang oleh orang-orang yang dipisahkan oleh otoritas
gerejawi untuk menjadi pendeta di
gereja atau yang panggilannya untuk pelayanan kejuruan khusus di gereja diberikan pengakuan umum. Jenis pelayanan bervariasi di gereja-gereja yang berbeda. Yang berkembang di
gereja mula-mula dan dipertahankan oleh gereja Katolik Roma, Ortodoks Timur, Katolik Lama, Anglikan, dan beberapa gereja Protestan adalah episkopal (
lihat episkopat ) dan didasarkan pada tiga ordo, atau jabatan, yaitu
uskup ,
imam , dan
diakon .
Sepanjang sebagian besar sejarah gereja Kristen, pelayanan episkopal dianggap biasa saja, tetapi Reformasi Protestan menantang otoritas kepausan dan dengannya otoritas pelayanan episkopal.
Martin Luther memperkenalkan konsep imamat semua orang beriman , yang menolak kewenangan khusus apa pun pada jabatan episkopat.Luther bermaksud untuk menegaskan kembali pelayanan seluruh gereja sebagai suatu komunitas dengan misi ke seluruh dunia dan tidak ada batasan khusus pada imamat. Para pendeta didorong untuk menikah dan tidak dianggap sebagai ordo terpisah di gereja. Gereja-gereja Lutheran mengembangkan berbagai pelayanan, beberapa mempertahankan bentuk episkopal yang dimodifikasi dan yang lainnya mengadopsi jemaat danbentuk presbyterian .
Bentuk pelayanan Presbyterian, yang dikembangkan oleh
John Calvin , digunakan di sebagian besar gereja Presbyterian dan
Gereja-gereja yang direformasi . Pendeta-pendeta sedang mengajar
para penatua dan berbagi dengan para penatua awam dan badan-badan regional
kolegial(presbiteri) tata kelola gereja.
Pemerintahan gereja kongregasi , diadopsi oleh
Baptis ,
Gereja Bersatu Kristus di
Amerika Serikat , dan beberapa gereja lainnya, menerima banyak teologi Reformasi namun menekankan otoritas gereja lokal.
jemaat , bukan otoritas pusat atau regional. Meskipun secara historis
Metodisme menolak episkopat, di Amerika Serikat bentuk yang dimodifikasi dikembangkan, mempertahankan jabatan uskup dan memperkuat pengaruh jemaat.
Pantekosta dan
Kelompok
penginjilan menganggap karunia karismatik sebagai elemen penting dalam
penahbisan . Beberapa gereja (
misalnya ,
Serikat Sahabat ) tidak memiliki pelayanan yang ditahbiskan. Setelah adanya konses.i di kota LIMA, peran LEKTOR dihidupkan kembali di gereja-gereja reformire atas dasar pemakaian liturgi leksionari dimana semua gereja akan menggumuli bagian Alkitab yg sama secara serentak.
• Sejarah Lektor
Keberadaan seorang pembaca Sabda Allah (lector, Latin) dalam peribadatan suci sudah ditemukan dalam tradisi agama Yahudi. Jejaknya dapat dijumpai terutama dalam sumber Perjanjian Lama. Bahkan, dalam sumber Perjanjian Baru, jejak itu masih tampak saat Yesus datang ke Nazaret (Luk 4:16-30), masuk ke rumah ibadat, lalu membaca dan mengajar dari teks Yesaya 61:1-2 : “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab, Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”
Dari tradisi peribadatan Yahudi di sinagoga itu, biasanya seorang tampil dari tengah jemaat. Kepadanya diberikan kitab yang diambil dari Kitab Taurat dan Para Nabi. Dan setelah dibuka, dibacalah salah satu teks. Selesai pembacaan, kitab tersebut ditutup dan kemudian diberikan kembali kepada pejabat. Pengajaran menyusul kemudian. Meneruskan tradisi Yahudi, kebiasaan membaca Kitab Suci juga ditemukan dalam era Gereja Perdana (bdk Kis 2:41-47).
Dalam tradisi Gereja, keberadaan lektor ditemukan jejaknya dalam periode abad-abad pertama sejarah kekristenan. Homili St Yustinus martir (wafat sekitar thn 165) menyebut adanya pembaca liturgis, anaginoskon. Paus Cornelius I (251-253), dalam suratnya kepada Fabius dari Antiokhia, menunjukkan bahwa Gereja Roma pada saat itu, selain mempunyai 42 akolit dan 52 eksorsis, memiliki juga sejumlah lektor. Jejak adanya lektor juga ditemukan di Gereja Cirta, Afrika, pada abad keempat saat dilaporkan bahwa Gereja setempat memiliki 4 imam, 3 diakon, 4 subdiakon dan 7 lektor.
Dalam abad-abad awal kekristenan, pembacaan Kitab Suci dalam liturgi, termasuk surat-surat Perjanjian Baru dan Injil, dibawakan oleh lektor. Peran lektor sangat penting dan terhormat, masuk dalam tata tahbisan minor subdiakon, diberikan dalam ritus khusus melalui penumpangan tangan uskup dan disertai doa. Dalam tradisi Gereja Barat, lektor termasuk dalam tingkat kedua dari tata tahbisan minor (ostiarius, lector, exorcista, acolythus). Untuk tingkat tahbisan minor ini tidak dikenakan kewajiban selibat. Juga dalam kebiasaan Gereja Timur, para lektor termasuk dalam tata tahbisan minor sebelum penerimaan diakonat - suatu jenjang menuju imamat dalam tata tahbisan mayor. Dapat dipahami kemudian bahwa peran lektor mengandaikan standar pendidikan khusus. Meskipun eksklusif untuk mereka yang tertarik menjadi imam, kehadiran schola lectorum (sekolah para lektor) pada abad kelima memberi indikasi kuat tentang pentingnya peranan membaca Sabda Allah oleh seorang yang memiliki kualifikasi pantas. Bahkan pada abad 6-7, dengan munculnya schola cantorum (sekolah menyanyi), pembacaan Sabda Allah dengan cara melagukan semakin melambungkan gengsi peran lektor.
Kehormatan peran lektor cukup ditampakkan juga oleh Kanon Barat, khususnya no. 8, yang diyakini berasal dari abad keenam, yang berbicara tentang tata cara pentahbisan. Kanon 8 tersebut menyebutkan, “Ketika seorang lektor ditahbiskan hendaklah uskup berbicara tentang dia kepada jemaat sambil menunjukkan (kelayakan) iman, hidup dan kemampuannya. Setelah itu, sementara jemaat memandangnya, hendaklah uskup memberikannya buku (Kitab Suci), yang darinya harus dibacanya, sambil berkata kepadanya: Terimalah ini dan jadilah pewarta Sabda Allah.”
Sementara kehormatannya tetap terjaga, secara perlahan wilayah tugas lektor berkurang. Sekarang, terutama sejak ada pembaharuan dalam Gereja Roma melalui Konsili Vatikan II (1962-1965) - termasuk pembaharuan dalam liturgi, hak membaca Injil mulai dicabut dari peran lektor. Tugas membaca Injil hanya dipercayakan kepada diakon, atau imam konselebran jika tak ada diakon, atau imam selebran bila tidak ada diakon maupun imam konselebran (PUMR 59). Sedang pembacaan Kitab Suci kecuali Injil - berarti hanya kitab-kitab Perjanjian Lama dan surat-surat Perjanjian Baru, menjadi tugas lektor terlantik (PUMR 99). Meski demikian, bila dalam Perayaan Ekaristi tidak ada lektor terlantik, tugas pembacaan Kitab Suci - melalui Bacaan I dan II, dapat dibawakan oleh umat awam, baik pria maupun wanita, yang memiliki kelayakan. Namun, tak boleh ditolerir, mereka “harus sungguh trampil dan disiapkan secara cermat untuk melaksanakan tugas ini, sehingga dengan mendengarkan bacaan-bacaan dari naskah kudus, umat beriman dapat memupuk dalam diri mereka rasa cinta yang hangat terhadap Alkitab” (PUMR 101)
• Peran Lektor
Bidang peran lektor ada dalam area pelayanan liturgi kudus. Tiga hal pokok perlu disadari oleh setiap lektor. Pertama, keberadaan lektor terkait dengan identitasnya sebagai orang beriman - berkat pembaptisannya, dan tempatnya dalam tata komunitas Gereja - berkat peran pelayanannya. Kedua, panggilan lektor ada di bidang liturgi, yakni peribadatan kudus di mana Allah hadir dan menyelenggarakan karya keselamatan-Nya. Ketiga, peran lektor terletak pada partisipasinya dalam pelayanan liturgis.
Pokok pertama bermanfaat untuk mengingatkan kontribusi dan tanggungjawab partisipatif (participatio actuosa) sebagai anggota jemaat. “Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri bersama umat Allah yang tersusun secara hirarkis” (PUMR 16). Sebagai demikian, Perayaan Ekaristi merupakan perayaan umat (SC 41; ME 3d; PUMR 19, 34) di mana jemaat beriman dan para pelayan liturgi berperan menurut tugas dan fungsi partisipatif masing-masing (PUMR 17).
Pokok kedua berguna untuk mengingatkan bahwa liturgi bukanlah seremoni profan. Sebaliknya, liturgi merupakan tindakan kudus dari Kristus Imam Agung dan Tubuh-Nya, yakni Gereja (SC 7). Sebagaimana Allah kudus dari hakikat-Nya, demikian pula Gereja dan liturgi itu sendiri suci dari martabatnya. Karena itu, pelayanan lektor hendaklah dilaksanakan dalam citra batin liturgi yang agung dan mulia serta sikap penghayatan penuh rasa hormat dan takut akan Allah, kedalaman syukur dan keheningan sukacita. Lektor sendiri hendaklah selalu memurnikan diri dalam semangat pertobatan. Pokok ketiga membantu memotivasi agar lektor menyadari tugasnya sebagai panggilan pelayanan bagi umat Allah (PUMR 97). Dari mereka diharapkan kemudahan untuk membiasakan diri serius dalam mempersiapkan diri, melatih ketrampilan serta selalu mengevaluasi pelaksanaan tugasnya. Diharapkan pula agar mereka senantiasa melakukan tugas pembacaan Sabda Tuhan dalam norma kesempurnaan: benar, baik dan indah.
Ketiga pokok kesadaran tersebut sangat berarti bagi lektor untuk mensyukuri karunia iman yang diterimanya serta mengekspresikannya dalam pelayanan tugas pembacaan Sabda Allah. Dalam semangat mengekspresikan imannya, hendaklah lektor menyadari bahwa dirinya dipanggil untuk menyampaikan, melalui suaranya, Sabda yang berasal dari Tuhan sendiri. Ekspresi iman ini hendaklah ditopang oleh penghayatan mendalam citra dirinya sebagai penyampai Sabda Allah.
(16062025)(TUS)