bagian 2
Menurut sahabat pengagum YHWH atau Yahweisme, nama YHWH adalah nama diri (personal name), sehingga tidak boleh diterjemahkan. Mereka mengatakan, bahwa nama diri tidak boleh diterjemahkan karena YHWH itu nama diri dan bukan bahasa. Berikut kutipan pernyataan Yakub Sulistyo seorang teolog gerakan Yahweisme atau sahabat penyuka YAHWEH yang mengatakan, “Yahweh itu nama diri bukan bahasa, jadi kita bisa dalam bahasa apa saja tetapi nama diri tidak diterjemahkan.. Perjanjian Baru pun mau pakai bahasa apa saja tidak masalah, asal nama Yahweh jangan diubah”. Jadi menurut mereka, Alkitab boleh memakai bahasa apa saja asalkan nama diri YHWH tidak diterjemahkan. Bahkan menerjemahkan nama YHWH ke dalam bahasa lain dianggap menghujat Allah. Karena itu orang Kristen harus menyebut TUHAN dengan namaNya, yaitu YAHWEH (Pelafalan dugaan dari (YHWH). Peshitta (bahasa Suryani klasik: pšîṭtâ untuk "sederhana, umum, lugas, kasaran"; bahasa Latin: vulgata; kadang disebut Syriac Vulgate; diberi kode syrp) adalah versi standar Alkitab dalam bahasa dan abjad Suryani, yang dipakai oleh gereja-gereja dalam Kekristenan Siria dan kaum HAMASHIAH YHWH sejak mula berdirinya pada abad-abad awal Masehi. Bagian Perjanjian Lama Peshitta diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani dari bahasa Ibrani, diperkirakan sebelum abad ke-2 - 4 M. Bagian Perjanjian Baru Peshitta diterjemahkan dari bahasa Yunani. Bagian Perjanjian Baru, aslinya tanpa memuat sejumlah kitab yang saat itu masih diperdebatkan keasliannya (dikenal dengan sebutan "Antilegomena"), yaitu Surat 2 Petrus, Surat 2 Yohanes, Surat 3 Yohanes, Surat Yudas, dan Wahyu kepada Yohanes, telah menjadi standar pada permulaan abad ke-5 M. Kelima kitab itu ditambahkan dalam Versi Harklean (tahun 616 M) milik Thomas dari Harqel. Namun "United Bible Society Peshitta 1905" menggunakan edisi-edisi baru yang dipersiapkan oleh Irish Syriacist John Gwynn untuk kitab-kitab yang hilang. Perjanjian Lama versi Peshitta merupakan terjemahan independen yang kebanyakan berdasarkan suatu teks Ibrani yang mirip dengan Teks Proto-Masoretik. Menunjukkan sejumlah kemiripan linguistik dan eksegetik dengan Targum Aramaik, tetapi bukan diturunkan dari naskah itu. Dalam beberapa bagian, para penerjemah jelas menggunakan versi bahasa Yunani Septuaginta (abad ke-3 SM). Pengaruh Septuaginta sangat kuat khususnya pada Kitab Yesaya dan Kitab Mazmur, kemungkinan karena penggunaan dalam liturgi. Kebanyakan kitab-kitab Deuterokanonika diterjemahkan dari Septuaginta, dan terjemahan Kitab Yesus bin Sirakh didasarkan pada teks Ibrani. Menurut Alkitab, nama YHWH bukanlah satu-satunya nama diri. Louis Berkhof menjelaskan bahwa Allah mempunyai banyak nama, tidak hanya satu nama, “Nama-nama Allah membawa kesulitan-kesulitan bagi pemikiran manusia. Allah adalah Ia yang tak dapat sepenuhnya dipahami, yang ditinggikan secara tidak terbatas di atas segala sesuatu yang terbatas; akan tetapi di dalam nama-namaNya Ia turun kepada semua yang terbatas, dan menjadi seolah-olah setara dengan manusia. Disatu pihak kita tidak dapat menamai Dia, dan di lain pihak Ia mempunyai banyak nama”. Sebenarnya Allah tidak terbatas oleh apapun apalagi oleh sebuah nama, oleh huruf-huruf atau kata-kata ucapan manusia. Ketika Musa bertanya soal namaNya, Ia menjawab “Ehyeh esyer Ehyeh” atau “Aku adalah Aku” (Keluaran 3:13-14). Sungguh suatu keagungan dan kesempurnaan Allah yang tidak terbatas oleh apapun di dunia ini. Namun, agar manusia bisa mengenalNya dengan lebih konkret dan spesifik, Allah rela memperkenalkan diriNya dengan berbagai nama. Itupun, nama-nama yang dikaitkan dengan natur dan sifat-sifatNya dalam keterbatasan bahasa manusia. Menurut Charles C. Ryrie, “Nama utama yang kedua bagi Allah adalah nama Pribadi, YHVW, Tuhan atau Yahweh. Ini adalah nama yang paling sering dipakai, tercatat kira-kira 5.321 kali dalam Perjanjian Lama”. Selain itu, nama utama yang pertama untuk Allah disebutkan oleh Ryrie adalah “Elohim”. Menurut Ryrie, istilah “Elohim” dalam pengertian umum Keallahan terdapat sekitar 2.570 kali dalam Perjanjian Lama. Kira-kira 2310 istilah ini digunakan bagi Allah yang benar. Pertama kali disebutkan dalam ayat pertama Alkitab (Kejadian 1:1). Namun kata ini juga dipakai untuk menunjuk kepada keallahan palsu dalam Kejadian 35:2,4; Keluaran 12:12; 18:11; 23:24. Elohim adalah sebuah bentuk jamak, adalah khas Perjanjian Lama dan tidak muncul dalam bahasa Semitik yang lain”. Menurut Hebert Wolf, “Kata Elohim ini sepadan dengan kata bahasa Ugarit “El” atau kata bahasa Akadia “Ilu”. Kata Elohim ialah kata yang dipergunakan diseluruh Kejadian pasal 1 yang menekankan karya Allah sebagai Pencipta. Kata Elohim ni sebenarnya berbertuk jamak, tetapi secara terus menerus dipakai bersama-sama dengan sebuah kata kerja tunggal. Para sarjana sudah menjelaskan bahwa ini adalah bentuk jamak yang menunjukkan keagungan atau rasa hormat”. Paul Enns mengatakan bahwa nama Elohim berasal dari nama singkatan “El” yang kemungkinan besar memiliki akar kata yang berarti “menjadi kuat” (Kejadian 17:1; 28:3; 35:11 Yosua 3:10) atau “menjadi yang utama”. Telah disebutkan di atas bahwa nama pertama utama untuk Allah di dalam bahasa Ibrani adalah Elohim, merupakan variasi bentuk jamak dari kata EL dimana nama EL merupakan bentuk yang paling sederhana yang dengannya Allah disebut dalam Perjanjian Lama. EL ini dipakai sebagai nama generik dan nama diri. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “Allah” atau “Allah Yang Mahatinggi”, misalnya “Akulah Allah (El) yang dibetel itu (Kejadian 31:13), atau “Allah (Elohim) Israel ialah Allah (El)” (Kejadian 33:20). Kata El ini digunakan sebagai nama diri yang spesifik ketika digabungkan dengan istilah lain misalnya: El Shaddai (Allah Yang Mahakuasa - Kejadian 17:1); El Kana (Allah Yang Cemburu - Keluaran 20:5); El Elyon (Allah Yang Mahatinggi - Kejadian 14:18,22); El Olam (Allah Yang Kekal, Yang Misterius, Yang Menyatakan DiriNya – Kejadian 21:33); El Roi (Allah Yang Mahamemelihara - Kejadian 16:13; Mazmur 23:1); dan El De’ot ( Allah yang Mahatahu - 1 Samuel 2:3). Selain Elohim, nama Eloah juga merupakan variasi dari kata El. Panggilan ini diterjemahkan juga dengan Allah, dipakai untuk menunjuk kepada Allah yang berbentuk tunggal (Misalnya, Ulangan 32:15; Mazmur 18:32. Dalam Septaguinta para sarjana Yahudi telah mengubah nama YHWH dan menggantinya dengan Kurios. Septaguinta adalah Perjanjian Lama berbahasa Yunani merupakan terjemahan dari Tanakh Ibrani (naskah Perjanjian Lama berbahasa Ibrani; Tanakh merupakan singkatan dari Torah, Nevi'im dan Ketuvim) ditulis di Alexandria, Mesir antara tahun 250 – 150 SM, Di revisi tiga orang Yahudi (Akwila, Symmachus, Theodotiaon) dan tiga orang Kristen (Hesychian, Hexaplaric, Lucianic). Pada saat itu Raja Ptolomeus II memerintahkan agar kitab Suci Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani untuk kepentingan orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani di Aleksandria. Septuaginta atau dikenal dengan istilah LXX (angka Romawi tujuh puluh) karena diterjemahkan oleh sekitar 70 orang Yahudi berbahasa Yunani. Septuaginta adalah terjemahan tertua dan terpenting dari Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani. Nama Septuaginta berasal dari legenda yang diwariskan dalam surat Aristeas. Di dalam legenda itu disebutkan bahwa 72 orang Yahudi menyelesaikan terjemahannya selama 72 hari. Septuaginta dibuat di Aleksandria untuk memenuhi kebutuhan orang Yahudi diaspora, yang berbicara bahasa Yunani. Semula diterjemahkanlah Pentateukh (pertengahan abad 3 sebelum Masehi), kemudian secara lambat laun diterjemahkan pula kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya (sampai menjelang tahun 100 sebelum Masehi). Terjemahan Septuaginta segera digunakan menjadi Alkitab resmi dalam Yudaisme helenis di dalam sinagoge-sinagoge. Grant R. Osbone menyatakan, “Berkenaan dengan Perjanjian Baru, sumber aslinya telah hilang, dan harus dibangun kembali melalui kritik teks. Namun septaguinta tetap menjadi Alkitab utama di abad pertama, yang diterima bahkan di Palestina, dan banyak sekali kutipan Perjanjian Baru berasal dari Septuaginta. Misalnya dari delapan puluh kutipan dalam Matius, tiga puluh berasal dari Septuaginta. Namun semuanya dalam ucapan langsung Yesus dan Yohanes Pembaptis, meninggalkan kesan bahwa Yesus menggunakan Septaguinta. Hal yang serupa juga terlihat dari ucapan-ucapan dalam kisah Para Rasul. Bahkan surat rasuli yang paling bersifat Yahudi (Ibrani dan Yakobus) menggunakan septuaginta secara menyeluruh” lebih lanjut Grant R. Osbone menyatakan, “Sebagai kesimpulan, gereja mula-mula menggunakan Septuaginta secara luas sebagai sumber kutipan, namun kanon mereka secara umum adalah dua puluh empat (=tiga puluh sembilan) Kitab Perjanjian Lama yang diterima”. Yesus, para rasul, dan para penulis Perjanjian Baru lebih suka mengutip Perjanjian Lama dari Naskah Septaguinta ini. Gleason L. Archer menjelaskan, “Alasan untuk menggunakan Septaguinta berasal dari jangkauan pengabaran Injil oleh para utusan Injil dan para rasul pada zaman gereja mula-mula. Septaguinta telah menemukan jalan masuk ke setipa kota di lingkup kekaisaran Romawi ke mana bangsa-bangsa Yahudi terserak. Sebenarnya ini merupakan bentuk satu-satunya dari Perjanjian Lama yang dimiliki orang-orang percaya Yahudi yang tinggal di di luar daerah Palestina, dan pasti juga merupakan satu-satunya bentuk yang tersedia bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi yang beralih kepada kepercayaan Yahudatau kepada agama Kristen... Para rasul dan rekan kerja Yahudi mereka dari Palestina mungkin sudah cukup terdidik untuk membuat terjemahan asli mereka sendiri dari teks asli berbahasa Ibrani. Namun, tentu keliru kalau menggantikan bentuk Perjanjian Lama, yang telah berada di tangan para umat mereka dengan salinan mereka sendiri yang lebih bersifat harafia. Mereka benar-benar hampir-hampir tidak punya pilihan selain sebagian besar mengikuti Septaguinta dalam semua kutipan mereka tentang Perjanjian Lama. Karena itu, sangat penting untuk diketahui bahwa Yesus tidak pernah sama sekali memprotes penggantian nama YHWH menjadi Kurios yang dilakukan oleh para sarjana Yahudi dalam naskah Septaguita yang dipakai secara luas pada saat itu. Septaguinta inilah yang dipakai oleh Yesus dan Para Rasul, serta penulis Perjanjian Baru sebagai acuan ketika mengutip Perjanjian Lama dalam tulisan-tulisan mereka. Perlu diketahui bahwa nama berkaitan erat dengan pribadi dan bukan hanya kepada nama diri. Dalam kebudayaan orang Yahudi, nama selalu berkaitan erat dengan pribadi. Nama bukan menunjuk kepada nama diri, melainkan berkaitan erat dengan pribadi yang empunya nama itu. Dalam Alkitab nama dapat dirumuskan dalam 3 makna, yaitu: (1) Nama adalah pribadi itu sendiri (Mazmur 20:1); (2) Nama adalah pribadi yang diungkapkan (Amsal 18:10); (3) Nama adalah pribadi yang hadir secara aktif (Mazmur 76:1). Nama YHWH bukan hanya menunjuk kepada nama diri, tetapi menunjuk kepada pribadi yang dinamakan. Dalam Mazmur 20:1 dituliskan seperti ini, “Kiranya TUHAN menjawab engkau pada waktu kesesakan! Kiranya nama Allah Yakub membentengi engkau!” Apakah nama bisa membentengi? Tidak mungkin! Yang membentengi adalah Pribadi yang memiliki nama itu, yaitu Allah sendiri. Berkabut ke bagian 3