Rabu, 16 Juni 2021

MEMANDANG PGI DARI DUA SUDUT PANDANG BERBEDA, PERIHAL TWK - KPK, SERIAL SUDUT PANDANG

MEMANDANG PGI DARI DUA SUDUT PANDANG BERBEDA, PERIHAL TWK - KPK, SERIAL SUDUT PANDANG

Apakah gereja boleh berpolitik? politik moral.  Boleh dan bahkan harus. Yesus berpolitik. "Kristus Yesus adalah Tuhan" dalam Filipi 2:11 juga pernyataan politik. Yang tidak boleh adalah gereja berpolitik praktis. Jagad maya digonjang ganjingkan dg pernyataan seruan kenabian PGI,  perihal TWK (test Wawasan Kebangsaan)-KPK. banyak argumentasi pro maupun kontra, kalangan kristiani ibaratkan binatang yg bisa membelah diri,  yang awalnya satu tubuh,  kini membelah diri dg posisi dan kedudukan masing - masing,  baik mendukung bahkan membela PGI atau malah menghujat bahkan mencibir PGI tentunya dengan berbagai argumentasinya. Gereja sudah sering mengandalkan Roma 13 untuk membuat posisi berpolitik. Sayangnya mereka sering juga lupa membenturkan Roma 13 dengan Wahyu 13. Pemerintah merupakan hamba Allah (Roma 13), tetapi juga dapat berubah menjadi monster yang menakutkan (Wahyu 13). Gereja juga sepatutnya mengikuti teladan Yesus yang saya imajinasikan dari Markus 12:13-17. Dalam perikop ini ada beberapa unsur yang ditampilkan, yaitu (1) orang Farisi dan pendukung Herodes yang Yesus sebut orang munafik, (2) Yesus sebagai orang jujur, mengajar dengan jujur, dan dengan segala kejujuran, dan (3) koin Dinar yang ada gambar dan tulisan kaisar (Roma). Sebenarnya Yesus tidak bersetuju, jika membayar pajak diartikan untuk menunjukkan pengakuan terhadap kekuasaan kaisar. Dengan bahasa masa kini barangkali Yesus akan bertanya,”Gambar siapa tuh?”. Jawab,”Gambar presiden!” Kalau begitu, berikan saja kepada presiden, kata Yesus. Sebenarnya Yesus mau mengatakan bahwa kekuasaan presiden cuma di uang itu thok! Yesus mau menyindir para pejabat yang mencari makan dari kekuasaan presiden dengan menindas bangsa sendiri, tetapi tidak berani melawan monster-monster penguasa yang menyeramkan itu. Baiklah kita coba menggumuli dua ringkasan sudut pandang agar kita bisa lebih bersikap berimbang perihal PGI dalam hal TWK -KPK.
SUDUT PANDANG PERTAMA
Sebetulnya urusan TWK - KPK itu urusan antar pekerja dan pemberi kerja, jadi yg turut campur seperti PGI atau yg laennya sudah salah kaprah. Kecelakaan kerja terjadi akibat dari akumulasi tindakan dan perilaku tak aman, yang dalam basa Jawanya unsafe acts and behaviours. Menghindari kecelakaan adalah dengan menurunkan unsafe acts and behaviours sampai nihil. Melihat kemarakan slogan keselamatan kerja dewasa ini saya jadi teringatkan betapa pentingnya TWK itu bagi pemegang kekuasaan. Salah kaprah karena Komnas HAM dan PGI, membela Novel Baswedan dan Yudi Purnomo berjumlah 75 orang yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan. persoalan Novel dengan KPK bukanlah persoalan politik, apalagi persoalan agama. “PGI perlu mengingat hal ini,”. Persoalan Novel cs adalah merupakan konflik pekerja, yakni antara pemberi gaji Pemerintah melalui KPK dengan penerima gaji. Dengan dibentuknya Wadah Pegawai (WP) di KPK oleh Novel Cs semakin mengukuhkan bahwa keberadaan Novel cs di KPK adalah pegawai alias pekerja. Di mana segala masalahnya sebagai pekerja harus berkordinasi dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Serikat Pekerja Indonesia (SPI). Begitu juga mengenai perselisihannya sebagai pekerja yang memiliki serikat pekerja atau serikat buruh atau wadah pegawai dalam satu perusahaan harus mengacu kepada Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan. Agar penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan lainnya, seperti pembayaran pesangon bisa segera tercapai. Hal tersebut lantaran Indonesia hanya mengenal Pegawai Negeri Sipil (ASN) yang tergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) dan pegawai swasta atau buruh yang tergabung dalam SPI. Jadi sangat salah kaprah jika Ombudsman dan Komnas HAM, mau diperalat dan diseret-seret Novel cs dalam masalahnya. Lebih salah kaprah lagi jika PGI sebagai lembaga gereja mau diseret-seret Novel cs,”. Dengan adanya WP di KPK, diarankan lembaga yang mereka buat inilah yang harusnya membangun komunikasi ke SPI dan Depnaker. Ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Seharusnya mengingatkan PGI dan organisasi yang mau diseret seret Novel Cs bahwa kewajiban tes TWK bagi calon ASN adalah syarat mutlak. Bagaimana pun seluruh ASN harus patuh dan berorientasi pada Wawasan Kebangsaan Pancasila agar ASN tidak dilumuri kelompok kelompok radikal, apalagi kelompok Taliban. Sehingga Keputusan pimpinan KPK yang mewajibkan pegawainya mengikuti TWK sudah sangat tepat dan sesuai statment Presiden. Bagi yang tidak lulus harus berjiwa besar segera keluar dari KPK. Lembaga antisuap  ini bukanlah milik pribadi Novel yang bisa dijadikannya sebagai kerajaan. Kemudian, jangan sampai terjadi penilaian bahwa KPK adalah Novel dan Novel adalah KPK, masih banyak orang yang lebih hebat dari Novel di dalam internal KPK. “Namun gegara framming terhadap Novel begitu dihebohebokan sehingga semua prestasi yang dicapai KPK selama ini, seolah olah adalah hasil kerja pribadi Novel Baswedan seorang mantan Komisaris Polisi. Kesan ini yang harus dibersihkan. “Seluruh anak bangsa harus menyadari KPK adalah milik bangsa Indonesia dan bukan milik pribadi Novel Baswedan,” Hal Kerajaan Allah itu seumpama TWK. Orang-orang sombong meremehkannya. Mereka menghina hikmat. Mereka tidak berjaga-jaga. Ketika tiba waktunya mereka kalah dari orang-orang bertekun. Orang-orang sombong itu dihempaskan ke ruang paling gelap yang penuh ratapan dan kertakan gigi. Pada kenyataannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah kepemimpinan Komjen Pol. Firli Bahruli patut diapresiasi seluruh lapisan masyarakat. Tercatat sejumlah torehan capaian kinerja lembaga antirasuah pada tahun 2020 memiliki peringkat tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sumber data tersebut merupakan hasil dari lembaga KPK. Kinerja KPK pada periode tahun 2020 telah berhasil memulihkan serta melakukan optimalisasi aset Pemda dan milik negara dengan total sekitar Rp 592 triliun. Ketika Firli Bahuri masuk dalam daftar pendek calon komisioner KPK (2019), ia mendapat pertentangan dan kecaman keras dari masyarakat lewat media. Singkat cerita Firli mendapat stigma orang jahat yang tidak pantas dan tidak boleh menjadi pemimpin KPK (kata yang benar adalah pemimpin bukan pimpinan, karena pimpinan adalah hasil memimpin). Dengan prapaham Firli adalah orang jahat, maka apa pun langkah yang dibuat Firli dinilai oleh masyarakat yang berseberangan dengan dirinya adalah buruk dan melemahkan KPK. Sepekan terakhir riuh dengan isu PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) yang membela 75 pegawai KPK yang gagal tes wawasan kebangsaan (TWK). PGI menolak stigma “Taliban” untuk mengeluarkan pegawai yang gagal TWK. Dalam laman PGI Sekum PGI mengatakan “Tujuh dari sembilan orang pegawai KPK yang berkunjung ke Grha Oikoumene PGI pada hari Jumat kemarin (28 Mei  – mds.) jelas-jelas tak bisa dikategorikan ‘kadrun’, ‘Taliban’, dan diksi-diksi serupa yang sangat bias identitas (agama), karena mereka merupakan warga gereja”. Sekum PGI dalam hal ini tepat sekali. Warga gereja tidak tepat disebut atau distigma “Taliban”. Sayangnya Sekum PGI tidak mengurai lebih lanjut ke khalayak. Entah lupa entah tutup mata. Istilah fundamentalis dan fundamentalisme justru dilekatkan pertama kali kepada gereja dan warga gereja pada awal abad XX. Ideologi fundamentalisme terbukti masuk ke dalam kehidupan bergereja di Indonesia. Bahaya fundamentalisme Kristen bagi kehidupan bergereja dan bernegara juga sudah dibahas panjang-lebar tinggi-rendah oleh teolog-teolog ekumenis di Indonesia. Apakah saya hendak mengatakan bahwa ketujuh orang yang disebut Sekum PGI itu fundamentalis Kristen? Bukan itu maksud saya. Yang saya kecam adalah pernyataan terburu-buru PGI bahwa pemecatan sejumlah pegawai KPK yang gagal TWK sebagai pelemahan KPK dan kecaman terhadap PGI oleh warganet dianggap oleh PGI sebagai korban konspirasi kelompok yang hendak melemahkan KPK dengan stigma “Taliban”. Saya mendukung dan mendorong Gereja untuk terus menyampaikan suara kenabian ketika Pemerintah menindas kaum marginal seperti yang Yesus lakukan. Gereja juga harus menentang kelompok-kelompok yang menggunakan segala cara untuk berkuasa. Pertanyaannya, apakah memang sudah diyakini 75 orang pegawai KPK yang gagal TWK itu adalah orang-orang tertindas? Bagaimana jika sebaliknya mereka justru orang-orang yang menggunakan kekuasaan mereka yang nyaris tanpa batas untuk menindas orang lain? Bagaimana jika mereka adalah orang-orang yang disebut di atas memberantas korupsi dengan semangat balas dendam? Jangan-jangan pengurus PGI membuat pernyataan dengan prapaham Firli Bahuri adalah orang jahat sehingga apa pun yang diputuskannya melemahkan KPK? Bacaan Injil Markus 4:26-34, Kerajaan Allah itu, kata Yesus, seumpama orang yang menaburkan benih di tanah. Pada malam hari ia tidur dan saat ia bangun pada siang hari benih itu mengeluarkan tunas dan makin meninggi setiap hari. Benih itu menjadi tanaman. Bagaimana pertumbuhannya tidak diketahui orang itu. Ketika tanaman itu berbuah, orang itu menuainya. Kemudian Yesus memberikan lagi perumpamaan kepada para pendengar-Nya. Hal kerajaan Allah itu seumpama biji sesawi yang ditaburkan di tanah. Biji sesawi merupakan biji terkecil di antara benih yang ada, kata Yesus, tetapi ia tumbuh dan menjadi lebih besar daripada segala sayuran yang lain dan mengeluarkan cabang-cabang besar sehingga burung-burung di udara dapat bersarang dalam naungannya.Pesan perumpamaan Yesus itu kepada gereja agar tidak arogan. Kerajaan Allah bukan ditunjukkan dengan gedung-gedung gereja megah dengan warga jemaat ribuan bahkan jutaan. Kalau kemudian gereja menjadi besar itu bukan hasil pekerjaan para pejabat gerejawi, bukan dari kolekte yang besar, melainkan Allah yang bekerja. Seperti halnya pohon sesawi yang melindungi dan menaungi demikian juga halnya dengan gereja. Di sini gereja adalah hamba misi Kerajaan Allah, yang menghadirkan ciri-ciri Kerajaan Allah, bukan Kerajaan Allah itu sendiri. Apakah langkah gereja lewat PGI yang membela 75 pegawai KPK yang gagal TWK berarti sudah menjalankan fungsi gereja menaungi orang-orang terpinggirkan? Belum tentu. Seperti yang saya sampaikan pekan lalu, bagaimana jika sebaliknya, 75 orang itu justru selama ini sombong menggunakan kekuasaan mereka yang nyaris tanpa batas untuk menindas orang lain? Jadi, menaungi orang-orang terpinggirkan seperti apa? Banyak. Satu contohnya adalah para transpuan. Kehidupan mereka menyedihkan lantaran mereka tak terterimakan dalam masyarakat. Akibat selanjutnya mereka tidak memiliki akses pendidikan dan pekerjaan yang layak bagi kehidupan. Bahkan banyak dari mereka yang tidak mengantongi kartu identititas negara. diambil dari Markus 3:20-35, Musuh-musuh politik Yesus selalu mengincar kalau-kalau Yesus melakukan kesalahan. Mengapa saya sebut musuh-musuh politik? Dalam Yudaisme tidak ada batas tegas antara politik dan agama. Para pemimpin agama Yahudi dapat dikatakan pemimpin politik, karena saat itu Roma berkuasa di Tanah Yudea. Begitu banyaknya pengikut Yesus membuat  para pemimpin agama Yahudi was-was dan merasa terancam kewibawaan mereka serta kehilangan pengikut. Kali ini ahli-ahli Taurat melempar fitnah kepada Yesus. Ia difitnah bersekutu dengan Beelzebub. Pada masa Perjanjian Lama Beelzebub dikenal sebagai BaalZebub, Dewa Ekron. Dalam perkembangannya Dewa Ekron itu bergeser maknanya menjadi penghulu setan. Niat tulus Yesus yang mau memberdayakan kaum marginal dipolitikkan oleh ahli-ahli Taurat. Yesus dengan cerdas membalas fitnah mereka dengan menyindir cara berpolitik mereka yang memecahbelah bangsa. Ahli-ahli Taurat itu bahkan menggunakan isu yang paling sensitif yaitu tauhid Yahudi. Yesus menanggapi mereka dengan nada tinggi “Tetapi apabila seorang menghujat Roh Kudus, ia tidak mendapat ampun.” (ay. 29). Yesus hendak mengatakan bahwa jangan main-main dengan tauhid. Yesus sedang mengabarkan Injil  Allah dengan memberdayakan kaum marginal. Sementara ahli-ahli Taurat menuduh Yesus bersekutu dengan Beelzebub. Allah itu Roh. Menyekutukan Roh Allah dengan Dewa Ekron alias Beelzebub adalah pelanggaran berat. Kerajaan Israel Bersatu bubar, karena raja berselingkuh dengan ilah lain. Itu yang hendak disampaikan Yesus kepada ahli-ahli taurat yang menghalalkan segala cara untuk berkuasa.
SUDUT PANDANG KEDUA
Pada sudut pandang diisi yang laen,  medsos bbrp waktu yg lalu dipenuhi dengan pertanyaan atau komentar mengenai apa yang PGI nyatakan mengenai penentangan akan pelemahan KPK. Komentar Pdt. Gomar Gultom, Ketua Umum PGI langsung ramai-ramai dikomentari, bahkan cenderung mengarah ke personal. Di sini juga bukannya saya menginginkan gereja menghentikan kemitraan dengan penguasa. Masalahnya, kemitraan mustahil berarak, jika tidak ada keseimbangan antara kedua lembaga/pihak tersebut. Kemitraan yang seimbang tidak boleh sekadar slogan. Gereja mesti percaya diri akan jatidirinya. Yang saya maksudkan jatidiri bukanlah identity, melainkan innerself. Pengurus PGI dapat memulanya dengan membuang kebiasaan mengundang pejabat negara atau mantan pejabat/penguasa untuk membuka dan memberikan pengarahan pada acara atau rapat gerejawi. Gereja jangan lagi mengobral pernyataan kritis, namun harmless. Misal, berkampanye anti-rokok, mengecam perselingkuhan dalam pernikahan, mengecam film-film porno, dan lain sejenisnya. Semua itu kritis dan baik, namun harmless. Ia tidak berdaya sengat dan tidak berisiko politis. Gereja harus berani mengeluarkan penyataan kritis yang berisiko politis ketika hak-hak rakyat dikebiri. Gereja harus panggah berbelarasa pada orang-orang yang tertindas dari apa pun golongan dan agama mereka. Saya melihat banyak sekali pertanyaan, atau cenderung hujatan, yang saya lihat berasal dari saudara orang Kristen juga dengan kata-kata yang cenderung kok ya kurang santun. Saya punya sudut pandang kedua seperti berikut.  Pertama, sebagai persekutuan gereja-gereja, PGI memiliki dasar, baik teologis maupun organisasi yaitu Dokumen Keesaan Gereja yang berisi berbagai dokumen mengenai kesepakatan bersama gereja-gereja di Indonesia mengenai apa tugas yang harus PGI laksanakan. Berdasarkan mandat Sidang Raya PGI PGI ke XVII di Waingapu Sumba 2019, 2 dari 8 pokok-pokok tugas PGI adalah: "D. Memperjuangkan Keadilan dan Kemandirian Ekonomi  E. Membangun Kesadaran dan Jejaring Politik Warga Gereja " Kedua, salah satu panggilan persekutuan gereja-gereja adalah pelayanan sosial-ekologis, yang dinyatakan dalam Dokumen Keesaan Gereja PGI 2019, Bagian II Pemahaman Panggilan Bersama, A. Pemahaman Panggilan Gereja, Pasal 12.c.:  "Menjalankan pelayanan dalam kasih dan usaha menegakkan keadilan dan Hak Asasi Manusia, perdamaian dan keutuhan ciptaan (bnd. Mrk. 10:45; Luk. 4:18; 10:25– 37; Yoh. 15:16); panggilan gereja pun mengharuskan gereja memerangi segala penyakit, kelemahan, ketidakadilan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam masyarakat. Demikian juga gereja berkewajiban mengusahakan dan memelihara secara bertanggung jawab sumber-sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sebab waktu Yesus berkeliling di seluruh Galilea, Ia melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa ini (bnd. Mat. 4:23). Inilah tugas pelayanan dalam kasih serta keadilan."  Jadi, tugas gereja bicara soal keadilan tidak hanya melulu soal penutupan gereja, tapi juga ketidakadilan, pembelaan terhadap hak asasi manusia, bicara soal perusakan alam, termasuk korupsi sebagai penyakit dan kelemahan bangsa kita. Sayangnya, sampai sekarang gereja masih jarang bicara mengenai topik ini. Jika gereja masih berkhotbah soal keadilan, jangan mencuri, jangan berbohong, jangan mengingini harta sesamamu, maka jangan korupsi juga menjadi topik pengajaran penting. Bahkan, salah satu poin Konteks Panggilan Bersama PGI  dalam Dokumen Keesaan Gereja PGI 2019, Bagian II Pemahaman Panggilan Bersama, Poin B Konteks Panggilan Bersama, Pasal 16 adalah, "16. Konteks sosial-ekologis panggilan gereja-gereja di Indonesia adalah masyarakat yang berada dalam proses reformasi menuju masyarakat yang berkeadaban di mana masalah-masalah sosial-ekologis, ketidakadilan, kemiskinan, pelanggaran Hak Asasi Manusia, korupsi, politik transaksional, politik identitas dan fundamentalisme agama, serta kerusakan ekologis menjadi tantangan bersama seluruh masyarakat, bangsa dan negara, termasuk di dalamnya gereja-gereja. Karena itu, pemberitaan Injil lebih mengambil bentuk pelayanan sosial-ekologis, di samping pemberitaan verbal, dengan memberi perhatian khusus kepada korban-korban ketidakadilan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia, terhadap orang-orang miskin dan tertindas serta terhadap rusaknya ekologi. Ini merupakan masalah-masalah sosial-ekologis yang peka dan mendesak untuk diatasi." Perlu dicatat, masalah korupsi, ketidakadilan, pelanggaran Hak Asasi Manusia juga harus disuarakan. Tugas PGI adalah menjadi suara moral, suara nurani, bersuara kepada semua elemen bangsa ini. Mimbar berkhotbah bukan hanya di altar, kita bisa menyuarakan keadilan di mana saja. Nabi Yehezkiel aja bicara keadilan kepada tulang belulang, karena manusianya tidak mau mendengar lagi. Jadi, jika kita setuju PGI menentang perusakan lingkungan di berbagai daerah, kita juga menyetujui isu PGI melawan korupsi. PGI sudah lama bicara mengenai masalah korupsi, juga mengenai pelemahan KPK. Di 2015, PGI sudah bicara soal Revisi UU KPK misalnya, PGI meminta agar revisi adalah untuk menguatkan KPK, bukan melemahkannya. Di 2017 menjalin kerjasama dengan KPK tentang kampanye antikorupsi, bahkan PGI menerbitkan buku saku Gereja Melawan Korupsi di 2018. Di 2019, sudah ada pernyataan PGI menolak revisi UU KPK, yang kemudian tetap terjadi. Jadi kalau sekarang PGI bicara soal isu TWK sebagai bagian dari pelemahan KPK, dia bukan isu baru bagi PGI. Yang terjadi, ada beberapa orang yang gagal lulus di Tes Wawasan Kebangsaan mengadukan kegagalan mereka sebagai upaya pelemahan KPK ke PGI, lalu wartawan mengutip ucapan Ketua Umum PGI. Setelah itu, berbagai pihak langsung melakukan penyerangan tanpa betul-betul membaca isi, atau peristiwa yang terjadi. Kenapa PGI meminta ke Presiden? Karena Presiden punya perangkat untuk menyelamatkan KPK supaya tetap diperkuat. PGI meminta pertimbangan dari pemimpin bangsa kita. Apakah PGI sedang berpolitik? Iya, berpolitik moral,  PGI sedang menyuarakan suara nurani, dengan menyampaikan permintaan kepada Presiden Joko Widodo. Apakah PGI menyerang presiden atau pemerintah? Jika tiap anak yang meminta kepada orangtuanya dianggap menyerang, kepada siapa lagi dia meminta? PGI hampir selalu mendukung program pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk kesejahteraan rakyat, dan sesekali bersuara jika merasa ada yang perlu diangkat seperti permintaan penundaan implementasi Omnibus Law di 2020. Kenapa PGI berkomentar soal TWK? Prinsip PGI adalah melawan pelemahan KPK dan keadilan, yang menjadi tugas moral PGI. Ini bukan sekadar pecat memecat karyawan biasa. Beberapa yang tidak lulus TWK sedang memegang kasus besar. Kalau mau menegakkan TWK, yang kita juga setuju, kenapa tidak memulainya di BUMN? Lalu, bagaimana respons kita ketika Menhan di 2019 menyebut 3 persen TNI terpapar radikalisme? Kenapa tidak dimulai di sana? Teman-teman saya dari NU dan Muhammadiyah juga bicara dan mengeluhkan TWK. Kalau mau, boleh juga kita coba menjawab TWK, lalu lihat apakah bisa lulus? Kedua, mari kita minta saja supaya hasil ujiannya dibuka ke publik, demi prinsip keterbukaan dan biar tidak ada masalah lain. Jika hasil menunjukkan tidak lulus, asal nilai terbuka, pasti semua pihak adem. Mari dibuka. Lalu, apakah Ketua Umum PGI jadi kadrun atau jadi pembela kadrun karena menyatakan hal itu? Jika mengenal PGI dan perangkatnya, juga siapa Pdt. Gomar Gultom, yang sudah lama melayani di gereja dan dunia oikumene, dua kali Sekum PGI dan sekarang menjadi Ketum, pasti kita tidak akan bicara sembarangan mengenai beliau. Pemimpin-pemimpin gereja anggota PGI tiga kali memilih beliau di MPH PGI karena mengenal siapa beliau. Mari berdiskusi dan berdebat dengan sehat, tapi harus tahu bahwa tidak semua pihak akan terpuaskan. Bagaimana dengan gereja yang ditutup? Sudah. PGI berulangkali hadir di tempat gereja ditutup, menulis permintaan, beribadah bersama teman-teman di GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, tapi yang memiliki kemampuan membuka gereja yang ditutup itu kan pemerintah. Apakah kalau kita meminta bantuan ke Presiden untuk meminta membuka gereja-gereja yang ditutup juga dianggap menyerang beliau? Tentu tidak, karena kita meminta tolong pemimpin bangsa kita. Apakah PGI tidak hadir di kasus Poso, Papua, Jambi? PGI sudah hadir ke sana, menjalankan advokasi, dan mengeluarkan statemen mengenai berbagai isu. Hanya saja, tidak semua diliput oleh media.
PENUTUP 
Setelah melihat dua sudut pandang  ini,  kiranya kita bisa lebih netral berimbang melihat permasalahan nya,  Jadi bagaimana sekarang? Mari doakan supaya KPK tetap memiliki taji dalam pemberantasan korupsi. Mari doakan supaya kepolisian dan kejaksaan agung juga terus bersinergi untuk pemberantasan korupsi. Mari doakan gereja-gereja untuk tetap bersuara melawan korupsi. Mari doakan PGI untuk terus bersuara mengenai situasi bangsa kita. Mari doakan pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang kita kasihi untuk memimpin bangsa kita dengan hikmat dari Tuhan. Mari jaga lidah dan jari untuk saring sebelum sharing. Akhir kata, biar tidak terlalu tegang, mari kita baca dan cari info yang benar, baru komentar. Kalau ada salah kata dari saya, saya juga minta maaf, kan orang Kristen bisa saling memaafkan 😊. Semoga kita sehat selalu, God bless us, God bless Indonesia!🙏🙏🙏 Selamat berpolitik, 🙌🙌🙌 Tuhan memberkati (STT BAPTIS INJILI, CEPOGO, BOYOLALI, 2021,TITUS ROIDANTO)

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...