PENDAHULUAN
Masa pandemi COVID-19 dapat diibaratkan sebagai “cermin” yang menunjukkan keaslian atau realita wajah pelayanan gereja. Sebelum masa pandemi, telah ada observasi yang menunjukkan adanya keterpisahan antara teologi yang Alkitabiah dan praksis pelayanan kejemaatan serta adanya pengabaian terhadap hal-hal yang primer dalam pelayanan. Kedua observasi ini seolah-olah dibuktikan kebenarannya dalam masa pandemi. Melalui penulisan penelitian tentang pelayanan gerejawi yang dilakukan Pusat Studi Pertumbuhan Gereja Sekolah Tinggi Teologi Baptis Injili, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah didapati bahwa gereja masih memiliki konsep teodisi yang tidak utuh atau proporsional, pelayanan gereja masih sangat bergantung kepada peran rohaniwan sebagai tenaga profesional dan terpusat secara sempit kepada aspek ibadah, ada kesenjangan yang serius antara generasi senior dan generasi muda, serta pelayanan gereja belum siap untuk berhadapan dengan teknologi. Merespons realita tersebut, artikel ini mengusulkan agar gereja melakukan penataan ulang pelayanan pascapandemi dalam enam hal, yaitu: membangun visi teologis yang bisa diejawantahkan dengan jelas dan utuh dalam pelayanan, menjadikan ibadah sebagai sentral tetapi bukan sebagai satu-satunya pelayanan yang penting, menggencarkan pembinaan dan pemuridan berbasis keluarga, memperkuat pelayanan pastoral yang menekankan relasi personal yang mendalam, memperhatikan pelayanan kepada generasi muda atau penerus, serta mengutamakan kapasitas pengutusan daripada kapasitas menampung orang di dalam gereja semata-mata. Pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia termasuk Indonesia tidak diragukan lagi telah mempengaruhi dan mengubah segala lini kehidupan manusia termasuk dimensi pela-yanan gereja. Setidaknya sejak 22 Maret 2020, sebagai respons atas anjuran presiden dan Surat Edaran Kementerian Kesehatan ter-tanggal 16 Maret 2020, hampir seluruh gereja di Indonesia menghentikan kegiatan ibadah dan pertemuan fisik yang dilakukan di lokasi tertentu, kemudian “memindahkannya” ke rumah masing-masing anggota.1 Sejak itu, seluruh aspek pelayanan gerejawi lainnya seperti “didesak” untuk berimprovisasi dan berubah bentuk, misalnya dari bentuk fisik menjadi bentuk digital. Tentu saja perubahan-perubahan dinamika pelayanan dan “migrasi” ke dalam dunia digital ini merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dihadapi Dengan banyak dan mendadaknya desakan-desakan perubahan yang terjadi, gereja-gereja, lembaga Kristen, bahkan sekolah teologi di Indonesia turut memberikan berbagai respons, misalnya melalui proyek penelitian, seminar, lokakarya, atau gerakan pelayanan, terlebih dikalangan injili. Artikel singkat ini ditulis untuk menunjukkan sebuah sketsa tentang pelayanan gereja se-belum dan selama masa pandemi berdasarkan kumpulan hasil laporan penelitian yang telah diadakan. Kenyataan riil pelayanan gereja selama masa pandemi sedikit banyak (mes-kipun tidak sepenuhnya) dapat membukakan wajah pelayanan gereja sebelumnya dan se-sungguhnya. Dengan kata lain, masa pandemi ini menjadi momen yang tepat bagi para praktisi pelayanan gereja untuk bercermin tentang keadaan pelayanannya selama ini. Tidak berhenti sampai di situ, data-data yang diperoleh dari penelitian selama masa pan-demi juga dapat menjadi semacam acuan untuk memikirkan prinsip, strategi, bahkan arah pelayanan yang harus dikembangkan di dalam masa kenormalan baru atau bahkan setelah masa pandemi, jika tetap ingin terus berkiprah bahkan menjadi semakin efektif di tengah dunia yang berubah.
PELAYANAN GEREJA SEBELUM MASA PANDEMI
Ketertarikan untuk menyelidiki realitas pelayanan gereja tentu saja telah muncul sebelum masa pandemi, dan bahkan jika tidak ada pandemi sekali pun. Sudah begitu banyak buku, penelitian, dan berbagai upaya lain yang dilakukan untuk mencari tahu “mengapa,” “ada apa,” serta “mau di bawa ke mana” pelayanan gereja di tengah kompleksitas zaman. Tentu saja pertanyaan dan keprihatinan ini juga tidak muncul dari ruang vakum. Ada beberapa observasi yang diperoleh dari berbagai literatur, pengalaman, dan riset-riset sebelum-nya dari berbagai belahan dunia dan ragam bentuk pelayanan. Pertama, ada observasi bahwa telah terjadi keterpisahan antara teologi yang alkitabiah tentang gereja dan praksis pelayanan jemaat. Tampaknya ada pedang tajam yang membelah prinsip-prinsip teologi yang didapat dari Kitab Suci, buku-buku, serta ruang kelas teologi, dengan realita praksis pelayanan di tengah-tengah jemaat. Adalah jamak bagi para “teolog” untuk mendulang kekayaan pemikiran teologi Kristen tetapi hidup terpisah dan tidak relevan sama sekali dengan kompleksitas pergumulan hidup umat, pun di saat yang bersamaan para praktisi pelayanan gerejawi berpikir bahwa kebenaran-kebenaran biblikal dan teologis yang telah ditemukan tidak relevan atau tidak operatif dalam keunikan konteks pelayanannya. Keterpisahan ini sedikit banyak menjelaskan mengapa pelayanan gereja terasa stagnan bahkan “mandul” di tengah begitu banyak buku, seminar, karya. Kedua, ada pula observasi bahwa gereja telah mengabaikan, entah disadari atau tidak, hal-hal yang esensial dalam pelayanan, dan menggantikan fokusnya kepada hal-hal yang tidak primer. Pengabaian ini terlihat misalnya dari ambiguitas tolok ukur atas “kesuksesan” gereja. Banyak gereja yang berpikir bahwa kesuksesan dalam pelayanan berarti peningkatan jumlah kehadiran, keuangan, dan ekspansi pelayanan secara fisik, padahal Kitab Suci jelas mengatakan bahwa kesuksesan utamanya berbicara mengenai penjangkauan, pertobatan dan pertumbuhan jiwa-jiwa di dalam Kristus, sebagai bentuk ketaatan seluruh umat Tuhan pada Amanat Agung Tuhan Yesus. Secara praktis, pengabaian ini juga dapat terlihat melalui pergeseran fokus pelayanan: dari pelayanan jiwa-jiwa kepada orientasi program-program, dari pertumbuh-an rohani kepada penekanan pada metode-metode, dari kerohanian yang sejati kepada kesibukan dengan berbagai kegiatan, dari fokus pelayanan firman kepada keahlian manajerial organisasi semata, dan akhirnya, pergeseran “hasil,” dari murid Kristus yang setia kepada para penggemar kekristenan atau tokoh-tokoh Kristen tertentu belaka. Jika berbagai observasi ini diringkaskan dengan satu kata, maka “krisis” yang melanda pelayanan gereja, bahkan sebelum masa pan-demi, adalah: ambiguitas. Adanya ambiguitas dalam refleksi dan visi teologis terhadap gereja dan pelayanannya, ambiguitas tolok ukur keberhasilan, ambiguitas tujuan dan sasaran yang hendak dicapai, bahkan juga ambiguitas cara dan metodologi yang digunakan. Persoal-annya, ambiguitas ini telah berlangsung secara masif, luas, dan sirkular seperti “lingkaran setan,” dari satu penyebab kepada satu akibat, yang menghantar pada penyebab baru dan akibat baru, dan begitu seterusnya. Agaknya dibutuhkan semacam “interupsi Ilahi” untuk bisa menyadarkan gereja dari ambiguitas ini dan menghantarkannya pada haluan yang semestinya. Untuk itu, para pemimpin gereja perlu bersedia untuk memikirkan ulang hal-hal yang primer dan esensial dalam kehidupan berjemaat, serta mengalibrasi segala praksis pelayanan gerejawi yang dilakukan selama ini agar selaras dan mendukung hal-hal esensial tersebut.
PELAYANAN GEREJA SELAMA MASA PANDEMI
Apakah lantas masa pandemi ini dapat menjadi “interupsi Ilahi” yang dibutuhkan ter-sebut? Melihat berbagai fenomena pelayanan gereja selama ini dan temuan-temuan dari berbagai riset, dalam skala tertentu, pandemi ini dapat dipandang sebagai semacam “inte-rupsi Ilahi” yang membangunkan gereja dari ambiguitas panjangnya. Penghentian “paksa” dan tiba-tiba dari berbagai kegiatan dan bentuk pelayanan, mau tidak mau, membuat para praktisi pelayanan gereja berhenti sejenak dari rutinitas dan melihat ulang apa yang telah dikerjakan, atau apa yang telah terjadi, selama ini. Jika “interupsi Ilahi” pandemi ini dires-pons dengan tepat oleh gereja-gereja, maka akan muncul pembaharuan yang hakiki dalam kehidupan berjemaat. Ada beberapa isu dalam konteks riil pelayanan gereja yang tercermin dalam berbagai temuan penelitian, yang perlu dipikirkan ulang dan direspons secara tepat oleh para pemimpin gereja.Pertama, masa pandemi menunjukkan masih minimnya konsep teodisi yang utuh dan proporsional. Secara masif, para teolog dan pemikir Kristen menerbitkan beberapa buku terutama untuk menjawab problematika teologis seputar kuasa Allah dalam realitas pandemi, sebut saja CORONAVIRUS AND CHRIST DARI PENDETA JOHN PIPER, WHERE IS GOD IN A CORONAVIRUS WORLD? DARI APOLOGIS DAN ILMUWAN JOHN C. LENNOX, DAN GOD AND THE PANDEMIC DARI TEOLOG BIBLIKA N. T. WRIGHT. Buku-buku ini, meskipun ditulis dalam disiplin ilmu dan pendekatan yang berlainan, tetapi seperti ingin menyuarakan pesan yang seragam: bahwa Allah berdaulat dan tetap mengasihi manusia sekali pun di tengah wabah yang tidak terpahami. Agaknya penerbitan judul-judul ini merupakan sebuah indikasi tentang langgengnya perdebatan tentang topik teodisi. Para pemimpin gereja perlu memperhatikan hal ini dan jika memungkinkan, memasukkan pesan tentang teodisi yang utuh dan tepat di dalam khotbah, pengajaran, persekutuan, bah-kan pendampingan pastoral. Menariknya, kebutuhan tentang teodisi yang tepat ini juga bukan hanya dapat dilihat dari penerbitan judul-judul di atas, tetapi juga berdasarkan pengamatan empiris khususnya dalam konteks Indonesia. ketua sinode Gereja Baptis Injili Indonesia, menunjukkan bahwa ada “krisis teologis” yang di-hadapi oleh masyarakat Kristen pedesaan. Krisis teologis tersebut antara lain: pemahaman bahwa pandemi ini terjadi sebagai hukuman Tuhan atas dosa manusia, pandemi ini merupakan tanda-tanda akhir zaman dan mendekatnya kedatangan Kristus kedua kali, serta adanya keengganan untuk memindahkan ibadah dari gereja ke rumah dengan alasan umat harus lebih takut akan Allah daripada takut tertular virus. Kalau dianalisis bahwa problematika teologis ini terjadi akibat kemunculan ajaran-ajaran yang keliru khusus-nya tentang teodisi tetapi marak tersebar di media massa dan media sosial. Kedua, masa pandemi menunjukkan bahwa pelayanan gereja masih sangat terfokus dan bergantung pada peran rohaniwan sebagai tenaga profesional dan belum melibatkan selu-ruh anggota tubuh Kristus sebagai komunitas pelayan. Pada masa pandemi, terlihat banyak sekali rohaniwan mencoba untuk membuat konten daring berupa khotbah, seminar, sapaan gembala, lagu pujian, dan berbagai bentuk lain. Akan tetapi, beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa jemaat justru merasa tidak mengalami engagement dari pendeta atau gembala jemaat setempat. Hal ini disebabkan misalnya oleh perubahan intensitas pelayanan dari tatap muka menjadi pembatasan fisik, adanya gembala atau pendeta yang tidak mengetahui kondisi spiritualitas atau pertumbuhan iman jemaatnya, serta jemaat menganggap bahwa pemberian renungan pastoral (secara digital) yang umum dilakukan oleh para rohaniwan tidak serta-merta berarti sapaan personal kepadanya. Tanda-tanda ini sejatinya dapat dibaca dari dua sisi. Di satu sisi, tentu saja tanda-tanda ini memperlihatkan kreativitas dan inovasi para rohaniwan yang tetap setia melayani dan berkarya di tengah krisis. Akan tetapi, di sisi lain, tanda-tanda ini juga menunjukkan kecenderungan jemaat untuk “bergantung” dan terpusat pada pelayanan rohaniwan se-mata-mata, dan secara bersamaan menganggap diri mereka sebagai “konsumen” yang harus terus-menerus “disuapi” dan seolah-olah “tidak bisa hidup” tanpa pelayanan rohaniwan. Padahal, sejatinya pertumbuhan rohani dan pelayanan kepada Allah merupakan tanggung jawab seluruh anggota tubuh Kristus, bukan hanya rohaniwan (bdk. Ef. 4:11-16). dalam konteks pedesaan yang tidak semuanya memiliki tenaga rohaniwan yang cukup, sangat diperlukan pemberdayaan pelayan awam khususnya dalam berkhotbah dan memuridkan. Sebagai kesimpulan, seharusnyalah didorong gereja-gereja untuk membuka ruang sebesar-besar-nya bagi keterlibatan pelayan awam dengan cara peralihan dari pelayanan yang berpusat pada rohaniwan menjadi berpusat pada rohaniwan dan pemimpin awam; peralihan dari pelayanan rohaniwan sebagai pelaksana tunggal menjadi sebagai pemerlengkap jemaat Allah; dan peralihan dari peran rohaniwan sebagai gembala bagi seluruh umat menjadi gembala bagi para anggota tim penggembala. Ketiga, masa pandemi menunjukkan bahwa pelayanan gereja masih secara sempit terfokus hanya pada dimensi ibadah dan belum atau tidak holistik menyentuh bidang-bidang lain yang juga penting. Hal ini terlihat dari fokus gereja di paruh awal masa pandemi yang agaknya terkuras sepenuhnya pada penyelenggaraan dan penyediaan konten ibadah online di gereja masing-masing, baik secara tayangan langsung (live streaming) maupun tayangan yang sudah direkam sebelumnya (pre-recorded streaming). Gereja-gereja tampaknya berupaya sekuat tenaga untuk “bersaing” menghadir-kan konten ibadah daring yang lebih baik. Hal ini sedikit banyak disebabkan oleh kekhawatiran bahwa jemaatnya akan lebih memilih mengikuti ibadah daring di gereja lain. Survei kuantitatif yang dilakukan oleh Sinode GKI Wilayah Jawa Barat menunjukkan bahwa 80% jemaat mengikuti ibadah dan pelayanan daring di gerejanya, namun di saat bersamaan 60% jemaat mengikuti ibadah daring di kanal atau situs gereja lain. Upaya untuk “memenangkan” persaingan viewers di tengah dunia ibadah digital ini juga ditangkap dalam data Survei Nasional STT – STT INJILI di Indonesia yang dipresentasikan dalam sebuah seminar dan menyimpulkan bahwa di awal masa pandemi perhatian utama gereja-gereja ada pada pelaksanaan ibadah, sementara hal-hal lainnya dilakukan dengan agak gagap dan tidak terpikirkan. Fenomena ini, terjadi karena sejak sebelum pandemi pun fokus perhatian gereja-gereja memang lebih banyak tertuju pada ibadah Minggu, dan kurang pada aspek-aspek penting lainnya dalam pelayanan gerejawi. Tambahan pula, berdasarkan pembacaan Calvin Tong terhadap penelitian pengalaman ibadah jemaat dalam beribadah daring khususnya dalam konteks gereja di perkotaan, upaya pembuatan konten Webinar Hasil Survei Pengalaman Ibadah Jemaat dalam Ibadah Online, Pusat Studi Pertumbuhan Gereja STT Reformed Injili, Jakarta, 8 Juni 2020. Kekhawatiran yang dimaksud adalah jika di masa pandemi jemaat sangat mudah membanding-bandingkan layanan ibadah daring gerejanya dengan gereja lain, maka dikhawatirkan setelah masa pandemi jemaat akan benar-benar berpindah hati, fisik, dan bahkan keanggotaan. ibadah daring adalah hal yang tidak mudah, bahkan dapat dikatakan sangat menguras energi, waktu, tenaga, dan sumber daya baik manusia maupun material. Tentu saja pelayanan ibadah bukan tidak penting, tetapi realita di masa sebelum dan selama pandemi menunjukkan adanya perhatian yang tidak seimbang: terlalu berfokus kepada ibadah dan mengabaikan bidang-bidang lain yang sama pentingnya. Penelitian dari STT BAPTIS INJILI menunjukkan setidaknya empat elemen pelayanan selain ibadah yang “terabai-kan” atau kurang mendapat perhatian yang cukup, yaitu: keuangan, sekolah Minggu, pelayanan keluarga, dan penginjilan.Hal ini patut dipikirkan secara serius karena gereja yang sehat tidak hanya perlu memikirkan aspek ibadah, tetapi juga aspek-aspek lain seperti persekutuan, pengajaran, dan kesak-sian. Di samping itu, ada pula beragam pelayanan yang berbasis kebutuhan (needs-based ministry) seperti misalnya pelayanan kelompok usia tertentu dalam kelompok kecil, pelayanan konseling, pelayanan di ruang sosial, dan pelayanan pemberdayaan ekonomi jemaat yang juga patut mendapat perhatian gereja. Keempat, masa pandemi menunjukkan ada-nya kesenjangan (gap) yang serius antara generasi tua dan muda di dalam gereja. Kesenjangan antara generasi tua (senior) dan muda (junior) ini terjadi bukan hanya di kalangan jemaat awam, tetapi mula-mula dari kalangan rohaniwan. Lagi-lagi penelitian dari STT BAPTIS INJILI memperlihatkan temuan yang menarik. Dilansir bahwa kebanyakan ibadah utama yang di-tayangkan secara online dilayani oleh hamba-hamba Tuhan yang senior, sehingga hamba-hamba Tuhan muda atau yang masih junior merasa tidak dibutuhkan dan tidak mendapat kesempatan dan tempat, demikian halnya para pengkhotbah non pendeta di gereja-gereja presbiterian ataupun para majelis, kehilangan ruang. Terlepas dari faktor-faktor internal gereja masing-masing, realita ini menunjukkan ada masalah dalam regenerasi kepemimpinan dan pelayanan gereja. Padahal, dalam disertasinya yang meneliti tentang revitalisasi gereja pada empat gereja lokal dari empat sinode berbeda di empat kota besar di Indonesia, menunjukkan salah satu faktor penyebab revitalisasi gereja adalah adanya tim kepemimpinan bersifat intergenerasi yang kuat dan harmonis. Penemuan ini juga diteguhkan kembali dalam panel diskusi STT BAPTIS INJILI dan REFORMED INJILI tentang pelayanan kaum muda, didapati bahwa kaum muda di gereja-gereja (INJILI) menghadapi kesulitan dalam mengikuti ibadah, salah satunya karena “konsumsi” dalam ibadah umum dirasa terlalu berat. Hal ini menunjukkan belum ada, atau kurangnya, pemahaman dan praktik pelayanan-pelayanan bersifat intergenerasi di dalam gereja. Kelima, masa pandemi menunjukkan bahwa gereja-gereja pada umumnya tidak siap berha-dapan dengan kemajuan teknologi. Temuan ini dilaporkan oleh Yohanes Handoko dalam catatan keynote speaker me-ngenai konteks gereja berbasis pelayanan digital. Hasil penelitian Yohanes Handoko menunjukkan bahwa tidak semua gereja bisa mengadakan ibadah online, karena ada yang tidak mempunyai infrastruktur yang memadai, atau ada pula yang tidak mengetahui caranya padahal infrastruktur yang dimiliki cukup mendu-kung.25 Selain itu, dalam penelitian lain yang dilakukan Yohanes Handoko secara kuantitatif terhadap berbagai gereja di perkotaan Indonesia dari tiga aliran berbeda (Presbiteral, injili dan Pentakosta/Karismatik), didapati bahwa sebagian besar gereja tidak mempunyai bidang atau komisi khusus digital, dan kalau pun ada, pada umumnya baru dibentuk pada masa pandemi COVID-19. dua poin penting, yaitu bahwa banyak gereja masih enggan dan tergopoh-gopoh mengikuti perkembangan teknologi; serta banyak hamba Tuhan dan gereja injili yang belum serius menggarap pelayanan digital. Beberapa temuan di atas menunjukkan bahwa masa pandemi menjadi cermin yang mereflek-sikan wajah gereja sesungguhnya. Tentu saja poin-poin ini hanya dipaparkan secara garis besar dan umum. Masih ada poin-poin spesifik lain yang tidak terangkum. Tetapi, dari kelima poin di atas, agaknya tidak berlebihan untuk menyimpulkan bahwa observasi yang telah dimiliki tentang pelayanan gereja selama ini dapat terbukti benar. Adanya ambiguitas visi teologis dalam pelayanan yang berakibat juga pada ambiguitas praksis pelayanan. Pertanyaan selanjutnya yang perlu digumulkan adalah: bagaimana kemudian gereja merevitalisasi pelayanannya di dalam masa kenormalan baru bahkan sesudah masa pandemi?
PELAYANAN GEREJA SESUDAH MASA PANDEMI
Mengasumsikan bahwa pelayanan gereja akan serta-merta berubah setelah diterpa pandemi adalah sebuah kekeliruan yang sama dengan harapan kosong. Seorang pengajar dan peneliti pertumbuhan gereja bernama Ed Stetzer berkata bahwa di tengah anggapan banyak orang tentang perubahan pelayanan gereja secara besar-besaran setelah pukulan pan-demi, ia justru lebih mengkhawatirkan pelayanan gereja yang akan kembali menjadi sama lagi seperti sebelum pandemi dan tidak akan mengalami perubahan apa-apa.28 Menurutnya, gereja sepanjang zaman telah mengalami berbagai gejolak tantangan dan “pandemi” lain selain COVID-19, tetapi tetap tidak mudah untuk meninggalkan perspektif yang keliru dan cara pelayanan yang kurang efektif. Jika demikian, maka apa lagi yang dapat kita katakan? Atau lebih tepatnya, jika pandemi yang berpengaruh sebesar ini saja tidak cukup untuk membawa pembaharuan, maka apa atau siapa yang mampu melakukannya? Lalu, bagaimana cara mewujudkan pembaharuan tersebut? Tentu saja peringatan Stetzer ini tidak bertujuan untuk mematahkan semangat pelayanan gereja atau membuyarkan semangat di masa datang, melainkan justru menjadi sebuah catatan serius yang perlu diperhatikan. Setelah menyadari beberapa hasil observasi dan melihat pantulan realita dari “cermin” pandemi, sudah waktunya gereja-gereja memikirkan hal-hal yang seharusnya ada dan diupayakan tetapi mungkin selama ini diabaikan. Thom Rainer di dalam bukunya The Post-Quarantine Church mengatakan bahwa masa pasca-pandemi merupakan waktu yang ideal untuk gereja menata ulang (reset) pelayanannya menjadi lebih selaras dengan Injil. Akan tetapi, perlu terlebih dahulu dicatat bahwa dunia pelayanan gerejawi pasca-pandemi itu sendiri adalah sesuatu yang masih buram, tidak pasti, dan belum terpetakan (uncharted), bahkan secara waktu sekali pun belum ada yang dapat memastikan kapan masa pandemi ini akan benar-benar berakhir. Maka, alih-alih menjadi panduan atau “tips dan trik” pelayanan, bagian ini ditulis lebih sebagai sebuah antisipasi. Melalui observasi sebelum masa pandemi dan pantulan wajah gereja dari berbagai temuan penelitian di masa pandemi, setidaknya dapat dianalisis hal-hal yang perlu dikaji ulang dalam pelayanan gereja. Hal esensial yang perlu diingat dan dikaji ulang bagi pelayanan pascapandemi adalah tujuan eksistensi gereja, yaitu melakukan pelayanan kepada Allah melalui ibadah, pelayanan kepada sesama melalui pembinaan dan penggembalaan, serta pelayanan kepada dunia melalui pekabaran Injil dan kesaksian sosial. Ketiga dimensi pelayanan ini perlu dijalankan dengan utuh dan seimbang. Untuk itu, penulis berpandangan bahwa gereja perlu menata ulang fokus perhatian (refocus) kepada seti-daknya enam hal untuk mencapai tujuan ini. Pertama, gereja perlu berfokus untuk mem-persempit atau bahkan menghilangkan kesenjangan antara teologi dan praksis pelayanan, dengan cara membangun sebuah visi atau refleksi teologis yang sehat dan menjadi nilai utama yang terpenetrasi dan mempengaruhi seluruh dinamika pelayanan. Tim Keller men-jelaskan hal ini dengan menarik. Ia mema-parkan bahwa gereja pada umumnya memiliki “perangkat lunak” kebenaran doktrinal, peng-akuan iman, falsafah teologis, atau eksposisi biblikal. Gereja juga pada umumnya memiliki “perangkat keras” praktik pelayanan, struktur organisasi, tata gereja, atau sistem pengelolaan pelayanan. Tetapi, kedua hal ini saja tidak cukup dan justru malah sering dipertentangkan satu sama lain. Gereja membutuhkan “perangkat tengah” (middleware) refleksi teologis, yaitu bagaimana konsep teologis yang solid diejawantahkan dan dihidupi dalam konteks yang spesifik. Agaknya, refleksi teologis ini yang akan sangat menentukan respons gereja ketika menghadapi berbagai perubahan zaman dan tantangan eksternal seperti pandemi. Refleksi teologis inilah yang akan membuat kebenaran Alkitab tidak hanya menjadi milik para tokoh Alkitab atau teolog, tetapi menjadi milik seluruh jemaat Kristus. Namun, apa dan bagaimana sebenarnya bentuk konkret dari refleksi teologis ini? Ed Stetzer menjelaskan bahwa refleksi teologis ini merupakan hal berharga yang harus dimiliki dan dihasilkan oleh pemimpin gereja. Ia menyebutnya dengan istilah “praktikalitas.” Praktikalitas ini berbeda dengan pragmatisme atau semangat hanya mau mengurusi hal-hal operasional tanpa memikirkan hal-hal yang filosofis, teologis dan fondasional. Praktikalitas ini adalah kemampuan pemimpin dan jemaat gereja untuk mencerna teologi secara dalam dan matang, kemudian mengartikulasi-kannya dalam praktik hidup keseharian dan pelayanan, untuk memobilisasi umat Tuhan melaksanakan kehendak Allah di tengah dunia. Praktikalitas ini dapat dibangun dengan misalnya memasukkan aspek refleksi teologis, ilustrasi, atau aplikasi yang konkret di dalam khotbah dan pengajaran, serta melatih jemaat untuk bertanya: “Apa artinya bagi saya?” untuk setiap kebenaran teologi yang dicerna dan didapatkan. Kedua, gereja perlu fokus kepada ibadah sebagai sentral (central) dalam pelayanan, tetapi bukan pusat (center) dari bagian-bagian pelayanan yang lain.Pelayanan ibadah seharusnya tidak dianggap lebih superior dan semua bidang pelayanan lain hanya “pelengkap” untuk ibadah. Melainkan, pelayanan ibadah seharusnya menjadi sentral yang menjadi pusat pertemuan sekaligus memberi daya bagi sendi-sendi kehidupan gerejawi lainnya. Melalui pelayanan ibadah yang dipersiapkan dengan baik, meliputi liturgi yang menceritakan Injil Kristus, khotbah yang berakar pada pengajaran Kitab Suci yang kokoh dan lurus, serta sakramen yang dilaksanakan dengan setia, jemaat dapat dipikat dalam narasi misi Kristus di dalam dunia dan justru digerakkan untuk menghidupi dan mewartakan Injil. Ibadah yang dipersiapkan dengan baik juga dapat menjadi kesaksian bagi orang-orang di luar kekristenan tentang narasi Injil yang menyelamatkan. Adalah penting untuk mempersiapkan ibadah dengan baik, tetapi perlu dicatat juga bahwa pelayanan ibadah bukanlah satu-satunya apalagi segala-galanya di dalam dinamika bergereja. Perlu disadari bahwa pelayanan ibadah pasca-pandemi mungkin akan berbeda dengan keadaan sebelum pandemi. Setelah adanya budaya pelayanan daring, gereja perlu memikirkan dengan strategis mengenai pertemuan-pertemuan yang dilakukan dan secara fisik, dan pelayanan serta penjangkauan yang dapat atau perlu juga dilakukan secara digital. Konsekuensinya, alokasi dana untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas fisik dapat dialihkan guna menunjang bentuk-bentuk pelayanan lain. Pun pelayanan ibadah dapat secara bersamaan dikelola sebagai sarana penjangkauan dan pemberitaan Injil dalam dunia global. Ketiga, gereja perlu berfokus pada pembinaan dan pemuridan berbasis keluarga. Masa pandemi telah menunjukkan bahwa pelayanan mimbar yang terpusat hanya dari dan di dalam gereja, serta dilakukan semata-mata oleh rohaniwan sebagai tenaga profesional, adalah tidak cukup dan sangat terbatas dalam menjawab kebutuhan rohani jemaat. Di tengah realita jemaat yang “dipulangkan ke rumah” dan segala sesuatunya berlangsung dari rumah, maka pelayanan keluarga menjadi sangat sentral dan penting. Urgensi pelayanan keluarga ini menjadi tambah meningkat dalam konteks pelayanan yang mungkin minim tenaga rohaniwan profesional. Karena itu, gereja perlu menyadari dan mengedepankan pen-tingnya pelayanan pembinaan iman dan pemuridan yang dimulai dan berbasis dari keluarga. Dalam bentuk ini, keluarga dipandang sebagai pemurid yang utama dan gereja memainkan peran untuk memperlengkapi orang tua membina iman anak-anak. Gereja dapat menjalankan pelayanan ini misalnya dengan memperlengkapi dan melatih orang tua dalam materi dan keterampilan mengadakan ibadah keluarga, mengajar sekolah Minggu anak-anak di rumah, dan mengadakan percakapan iman (faith talk), serta menyediakan mentor-mentor yang dapat mendampingi orang tua dalam proses bertumbuh membina iman anak dari rumah. Keempat, gereja perlu berfokus pada pelayanan pastoral yang menekankan relasi personal yang mendalam. Sudah banyak saran-saran pelayanan dan konsep penggembalaan yang mengemukakan pentingnya orang (people) daripada program. Tetapi, sesering itu pula “relasi dengan orang” yang digemakan itu justru kembali berakhir dan terhenti menjadi sebuah program lain. Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan hal ini, tetapi harus diakui bahwa menjalin relasi yang otentik dan mendalam merupakan perkara yang tidak mudah dan bahkan bisa menuntut harga yang “lebih mahal” dibandingkan dengan menjalankan agenda kegiatan semata. Tentu saja keter-batasan kapasitas seorang rohaniwan tidak akan cukup untuk menopang kebutuhan relasional ini. Karena itu, gereja perlu beralih dari pelayanan yang berpusat pada rohaniwan (pastor-centered) menjadi kombinasi dan sinergi antara pelayanan rohaniwan dan para pemimpin awam. Tenaga rohaniwan tidak lagi berfungsi sebagai “pemain tunggal” (sole doer) dan satu gembala bagi seluruh gereja, melainkan berubah menjadi pemerlengkap (equipper) tubuh Kristus dan gembala bagi para gembala lain. Hanya dengan sinergi, kolaborasi, dan pemberdayaan kaum awam seperti ini, relasi yang mendalam antara seluruh anggota tubuh Kristus dapat tercipta. Kelima, gereja perlu fokus kepada pengembangan pelayanan dan penjangkauan generasi muda. Pelibatan dan penjangkauan kaum muda ini menjadi penting khususnya di era setelah pandemi, ketika pelayanan digital akan menjadi sebuah keniscayaan. Fokus melibatkan dan menjangkau generasi muda ini dapat dimulai dengan misalnya memberi ruang bagi hamba-hamba Tuhan muda (junior) untuk mengambil peran strategis dalam pelayanan, sementara hamba Tuhan senior dapat berperan sebagai mentor, pelatih, atau penasihat yang mendukung. Selain itu, gereja juga perlu membuka pintu lebih lebar bagi generasi muda untuk berada pada posisi konseptor, pengambil keputusan, atau bagian dari tim kepemimpinan, dan bukan hanya “pelaku” atau “asisten” dari orang-orang dewasa. Sebagai catatan, pelibatan generasi muda dan pemuridan berbasis keluarga sebenarnya da-pat dijalankan bersamaan melalui model pelayanan intergenerasi. Pelayanan intergenerasi terjadi ketika sebuah gereja secara intensional membawa dan memfasilitasi berbagai generasi yang berbeda untuk terlibat di dalam proses saling beribadah, berkomunitas, dan melayani bersama-sama sebagai bagian dari satu ke-satuan tubuh Kristus. Pelayanan intergenerasi dibangun atas keyakinan bahwa seluruh anggota jemaat, dalam kelompok usia mana pun, adalah bagian yang sama penting dan setara dalam kesatuan tubuh Kristus, dan pertumbuhan dapat terjadi dengan lebih ideal jika diupayakan ketersalingan. Pelayanan intergenerasi memberi ruang bagi pemberdayaan generasi muda sekaligus memperlengkapi orang tua untuk menjadi pembina iman dan teladan rohani. Terakhir, gereja perlu berfokus pada kapasitas pengutusan (sending capacity) ketimbang kapasitas penampungan jemaat (seating capa-city). Pandemi membukakan gereja bahwa Kerajaan Allah memiliki cakupan global dan bukan hanya berdimensi lokal dalam satu gereja atau sinode tertentu. Maka, sudah sepa-tutnya gereja mengubah tolok ukur keberhasilannya dari kehadiran (attendance), bangunan fisik (building), dan keuangan (cash) menjadi kapasitas pengutusan (sending) jemaat sebagai pelayan Allah di tengah dunia. Gereja perlu mengingat bahwa umat Allah seharusnya di-utus ke tengah dunia, bukan hanya di dalam tembok gereja. Gereja perlu memperlengkapi jemaat untuk menjadi utusan “misi” Allah di dalam pekerjaan, keluarga, lingkungan, bahkan dunia digital.
KESIMPULAN
Gereja yang tenggelam, bertahan, atau berkembang? Masa pandemi telah menjadi sebuah gelombang besar yang mengejutkan pelayanan gereja. Sampai sekarang, masih belum jelas kapan pandemi ini akan berakhir dan apa (saja) sisa-sisa dampak yang ditinggalkannya. Tetapi, gereja Tuhan mempunyai pilihan: akan “tenggelam” dan mati (dying), bertahan (surviving) atau justru maju pesat dan berkembang (thriving). Anugerah Allah yang akan memampukan gereja tetap bertahan dan bahkan berkembang di tengah realitas pandemi, tetapi juga diperlukan antisipasi dan langkah-langkah hikmat yang diambil dan diterapkan. Kiranya cerminan wajah gereja yang telah ditunjukkan selama masa pandemi ini tidak kembali diabaikan, tetapi justru dapat dijadi-kan bahan refleksi dan evaluasi untuk menaati kehendak Tuhan dengan lebih efektif dan jernih. (STT BAPTIS INJILI, CEPOGO, BOYOLALI, JATENG, 2020, TITUS ROIDANTO), ๐๐๐Selamat menghikmati perubahan, ๐๐๐Tuhan memberkati
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Stetzer, Ed. “Time for a New Normal,” Christianity Today, 9 Juli 2020, diakses 20 Desember 2020. https://www.christianity today.com/edstetzer/2020/july/time-for-new-normal.html.
Wright, N. T. “Christianity Offers No Answers About the Coronavirus. It’s Not Supposed To.” Time, 29 Maret 2020, diakses 15 November 2020. https://time.com/5808495/ coronavirus-christianity.
———. God and the Pandemic: A Christian Reflection on the Coronavirus and Its Aftermath. Grand Rapids: Zondervan, 2020.
Handoko, Yohanes. “Gereja Berbasis Anak Muda.” Disampaikan dalam Rembuk Nasional STT Baptis Injili. Boyolali, 10 Mei 2020.
Handoko, Yohanes. “Tantangan yang Dihadapi Gereja-gereja Perkotaan di Masa Pandemi dan Pascapandemi.” Disampaikan dalam Rembuk Nasional STT Baptis Injili. Boyolali, 10 Mei 2020.
———. “Webinar Hasil Survei Pengalaman Ibadah Jemaat dalam Ibadah Online.” Pusat Studi Pertumbuhan Gereja STT Baptis Injili. Boyolali, 8 Juni 2020.
Hutahean, Hasahatan, Bonnarty Steven Silalahi, Linda Zenita Simanjuntak. “Spiritualitas Pandemik: Tinjauan Feno-menologi Ibadah di Rumah.” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat 4, no. 2 (Juli 2020): 234-249, https://doi.org/10.46445/ejti.v4i2.270
Irawan, Handi dan Cemara A. Putra. “7 Tantangan Gereja di Masa Pandemi COVID-19 dan Alternatif Solusinya.” Bilangan Research Center, 2020. Tidak diterbitkan.
Marshall, Collin dan Tony Payne. The Trellis and the Vine: The Ministry Mind-shift that Changes Everything. Sydney: Matthias Media, 2009.
Partners in Ministry. “How Did a Range of Churches Meet the Challenge of Church on Sunday 22nd March 2020?” Partners in Ministry. Maret 2020. Diakses 28 Agustus 2020. https://www.partnersinministry.com/ resources/churches-under-self-isolation.
Piper, John. Coronavirus and Christ. Wheaton: Crossway, 2020.
Roidanto, Titus. “Respons Gereja Terhadap Pengalaman Ibadah Jemaat dalam Ibadah Online.” Disampaikan dalam Webinar Hasil Survei Pengalaman Ibadah Jemaat dalam Ibadah Online. Pusat Studi Pertumbuhan Gereja (PSPG) STT Baptis Injili. Boyolali, 8 Juni 2020.
Powell, Kara dan Chap Clark. Sticky Faith: Everyday Ideas to Build Lasting Faith in Your Kids. Grand Rapids: Zondervan, 2011.
Powell, Kara dan Steven Argue. Growing With: Every Parent’s Guide to Helping Teenagers and Young Adults Thrive in Their Faith, Family, and Future. Grand Rapids: Baker, 2019.