Kamis, 31 Maret 2022

𝗕𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗦𝗼𝗮𝗹 𝗣𝗲𝗿𝘀𝗲𝗽𝘂𝗹𝘂𝗵𝗮𝗻, Serial Sudut Pandang


𝗕𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗦𝗼𝗮𝗹 𝗣𝗲𝗿𝘀𝗲𝗽𝘂𝗹𝘂𝗵𝗮𝗻, Serial Sudut Pandang

Saban terjadi perbincangan tentang pendeta kaya raya, orang kemudian menyenggol kewajiban persepuluhan bagi umat yang membuat pendeta tersebut kaya raya dengan gaya hidup kaum jetset. Sejatinya yang membuat pendeta kaya raya bukanlah persepuluhan pada dirinya.

Pada gereja-gereja arus-utama atau 𝘮𝘢𝘪𝘯𝘴𝘵𝘳𝘦𝘢𝘮 seperti GKI, GKJ, GPIB,HKBP, BAPTIS INJILI, dlsb., terutama jemaat-jemaat besar di kota besar, pemasukan uang dari kolekte dan sumbangan bisa mencapai ratusan juta atau bahkan melewati angka miliar per bulan. Apakah pendeta-pendeta tampak kaya raya? Tidak. Mereka hidup berkecukupan ya, tetapi tidak kaya raya seperti kaum 𝘤𝘳𝘢𝘻𝘺 𝘳𝘪𝘤𝘩. Mengapa demikian?

Gaji pokok (atau apa pun sebutannya) pendeta-pendeta gereja-gereja arus-utama sudah ditetapkan oleh Sinode dengan menyesuaikan tingkat biaya hidup di suatu daerah. Gereja langsung memotong pajak penghasilan dari gaji pendeta dan para karyawan kantor gereja termasuk satpam. Bahkan honor pendeta tamu yang berkhotbah langsung dipotong pajak sebelum diterimanya.

Lalu ke mana uang pemasukan yang mencapai ratusan juta atau miliar? Uang itu digunakan untuk menjalankan program-program Gereja yang sudah ditetapkan oleh Majelis Jemaat (MJ) setiap tahun. Misal, untuk beasiswa, untuk menolong orang-orang miskin lewat program diakonia, untuk membantu korban bencana, untuk perayaan hari raya, dlsb.

Laporan keuangan selalu ditampilkan transparan lewat Warta Jemaat dan diaudit. Gereja membentuk tim audit dengan menunjuk warga jemaat yang kompeten dalam bidang audit keuangan. Ada juga gereja yang menunjuk tim audit independen dari luar gereja. Warga jemaat yang melihat atau mencium ketidakberesan dalam laporan keuangan berhak bersuara mengajukan keberatan. Harta benda adalah milik Jemaat, bukan milik pendeta atau pejabat gereja.

Pendeta-pendeta kaya raya 𝘤𝘳𝘢𝘻𝘺 𝘳𝘪𝘤𝘩 di Indonesia bukan dari gereja-gereja arus-utama. Mereka dari gereja 𝘧𝘳𝘢𝘯𝘤𝘩𝘪𝘴𝘦. Mereka ibarat membeli suatu 𝘣𝘳𝘢𝘯𝘥 gereja, kemudian mereka memasarkannya. Jemaat yang didirikan adalah milik pendeta pribadi. Harta benda adalah milik pendeta sebagai 𝘧𝘰𝘶𝘯𝘥𝘦𝘳. Kewajiban pendeta pemilik gereja hanyalah membayar royalti 𝘣𝘳𝘢𝘯𝘥 nama gereja kepada Sinode.

Tidak akan pernah ada laporan keuangan (dalam arti pemasukan dan pengeluaran) di Warta Jemaat. Kalau pun ada hanyalah laporan pemasukan kolekte ibadah Minggu. Tidak ada laporan pengeluaran keuangan. Tidaklah mengherankan kampanye persepuluhan gencar di gereja-gereja 𝘧𝘳𝘢𝘯𝘤𝘩𝘪𝘴𝘦. Gaya hidup pendeta-pendeta tersebut seperti raja minyak dengan penghasilan bersih ratusan juta bahkan miliaran per bulan.

Yang membuat gereja model itu aman adalah penerimaan keuangan lembaga agama tidak kena pajak. Akan tetapi apa pun yang diberikan oleh gereja yang membuat orang atau pihak mendapat tambahan kemampuan ekonomi adalah objek pajak. Petugas DJP sebenarnya dapat memula penyelidikan dari SPT pendeta 𝘤𝘳𝘢𝘻𝘺 𝘳𝘪𝘤𝘩 dengan membandingkan gaya hidup mereka.

Di balik uang besar selalu ada kejahatan, kata Mario Puzo. Tidaklah berlebihan untuk disebut gereja adalah tempat 𝘮𝘰𝘯𝘦𝘺 𝘭𝘢𝘶𝘯𝘥𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨 paling aman sedunia.(TUS), STT BAPTIS INJILI, BOYOLALI

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...