𝗞𝗮𝗺𝗶𝘀 𝗣𝘂𝘁𝗶𝗵, Minggu Palem dan Minggu Sengsara umat Kristen memasuki Pekan Suci (𝘏𝘦𝘣𝘥𝘰𝘮𝘢𝘴 𝘔𝘢𝘪𝘰𝘳 atau 𝘏𝘰𝘭𝘺 𝘞𝘦𝘦𝘬). Ada tiga hari secara berendeng yang dirayakan secara khidmat oleh umat Kristen, yaitu 𝘵𝘳𝘪𝘥𝘶𝘶𝘮 𝘴𝘢𝘤𝘳𝘶𝘮. Secara populer 𝘵𝘳𝘪𝘥𝘶𝘶𝘮 𝘴𝘢𝘤𝘳𝘶𝘮 diindonesiakan sebagai Trihari Suci. Sangat dipahami penamaan Trihari Suci agar sejalan dengan penamaan Pekan Suci.
Trihari Suci hendak menyampaikan narasi satu-drama tiga-aksi yang memerkuat narasi penyelamatan Allah melalui kebangkitan Kristus. Trihari Suci merupakan tiga hari “utama“ sekitar sengsara, kematian, dan pemakaman Yesus. Kesatu-tigaan topik tersebut tampil dalam Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Sunyi.
𝗞𝗮𝗺𝗶𝘀 𝗣𝘂𝘁𝗶𝗵 (𝙈𝙖𝙪𝙣𝙙𝙮 𝙏𝙝𝙪𝙧𝙨𝙙𝙖𝙮)
Kamis Putih adalah penanda hari terakhir atau penutup masa Pra-Paska. Mengapa 𝘮𝘢𝘶𝘯𝘥𝘺 diindonesiakan menjadi putih?
𝘔𝘢𝘶𝘯𝘥𝘺 berakar kata Latin 𝘮𝘢𝘯𝘥𝘢𝘵𝘶𝘮 yang berarti perintah. Dalam pautannya dengan Kamis Putih perintah Yesus itu disebut 𝘮𝘢𝘯𝘥𝘢𝘵𝘶𝘮 𝘯𝘰𝘷𝘶𝘮 atau perintah baru, yang diperagakan oleh Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya “Aku memberi suatu teladan kepadamu …” (Yoh. 13:14), yang kemudian disambung “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” (Yoh. 13:34).
Pembasuhan kaki bukanlah barang baru dalam tradisi Yahudi. Pembasuhan kaki dilakukan oleh hamba-hamba atau pelayan-pelayan tuan rumah sebelum perjamuan. Akan tetapi yang Yesus lakukan radikal. Yesus yang adalah Guru membasuh kaki para murid-Nya. Jabatan atau status lebih tinggi melayani pihak yang berstatus lebih rendah.
Kembali lagi ke pertanyaaan mengapa disebut Kamis Putih? Pada Kamis Putih dilayankan Liturgi Sabda, Upacara Pembasuhan Kaki, Perjamuan Kudus atau Ekaristi, dan Pemindahan Peralatan Sakramen. Warna liturgi putih. Sesudah perarakan pemindahan peralatan sakramen, altar diselubungi atau ditutup kain putih sehingga tampak polos tanpa ornamen apa pun. Penyelubungan dengan kain putih itu adalah simbol bahwa gereja tidak lagi melayankan sakramen sampai Sabtu Sunyi. Memang tak semua Gereja menyelubungi dengan kain putih, tetapi pada dasarnya altar dibuat kosong dari peralatan sakramen. Gereja memula melayankan sakramen lagi pada Minggu Paska.
Yang menjadi dagelan ada gereja ikut-ikutan merayakan Kamis Putih, tetapi pada Jumat Agung melayankan Perjamuan Kudus. Merayakan Kamis Putih, tetapi tidak mengetahui makna dan pesan pastoral Kamis Putih.
𝗝𝘂𝗺𝗮𝘁 𝗔𝗴𝘂𝗻𝗴 (𝙂𝙤𝙤𝙙 𝙁𝙧𝙞𝙙𝙖𝙮), Pengindonesiaan Jumat Agung erat pautannya dengan perayaan. Jumat Agung adalah hari kematian Yesus. Lha kok dirayakan? Pertanyaan itu lumrah terangkat karena cerapan orang Indonesia pada kata merayakan dan perayaan adalah berpesta, kegiatan hingar-bingar penuh sukacita dan tidak lengkap apabila tanpa makan bersama.
Dalam liturgi ada dua macam ibadah: selebrasi dan aksi. Ibadah selebrasi adalah berhimpun di rumah ibadah. Misal, kebaktian Minggu. Ibadah aksi adalah praksis umat sehari-hari dalam rangka membawa misi dari ibadah selebrasi. Ingat, dalam penutupan ibadah selebrasi ada sesi pengutusan, yang pemimpin ibadah mengatakan, “Pergilah, … “
Selebrasi berarti perayaan. Perayaan bersinonim dengan pemuliaan, pengagungan. Dalam bentuk kata kerja merayakan berarti memuliakan, mengagungkan. Dalam kebaktian Minggu umat Kristen sedang merayakan, memuliakan, mengagungkan kebangkitan Kristus yang diimani terjadi pada hari pertama (Minggu). Merayakan Jumat Agung berarti memuliakan, mengagungkan salib. Mengapa memuliakan salib?
Injil sinoptik memandang suram pada salib. Salib adalah simbol kehinaan dan kekejian. Bahkan penulis Injil Markus dan Matius menampilkan Yesus sedang putus asa di kayu salib, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Penulis Injil Yohanes menolak pandangan di atas. Salib adalah simbol kemuliaan “… 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘔𝘶𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘭𝘢𝘳 𝘥𝘪 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘨𝘶𝘳𝘶𝘯, 𝘥𝘦𝘮𝘪𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘈𝘯𝘢𝘬 𝘔𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘥𝘪𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘬𝘢𝘯, 𝘴𝘶𝘱𝘢𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢-𝘕𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘭.” (Yoh. 3:14-15). Ucapan terakhir Yesus di kayu salib dibuat begitu gagah oleh penulis Injil Yohanes, “Sudah selesai!” Perayaan Jumat Agung merujuk teologi Injil Yohanes: 𝗺𝗲𝗺𝘂𝗹𝗶𝗮𝗸𝗮𝗻 atau 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗴𝘂𝗻𝗴𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗮𝗹𝗶𝗯. Bacaan ekumenis selalu mengambil dari Injil Yohanes 18 – 19.
Pada Jumat Agung Gereja tidak melayankan sakramen. Tidak ada Ekaristi atau Perjamuan Kudus. Ekaristi dari kata 𝘦𝘶𝘤𝘩𝘢𝘳𝘪𝘴𝘵𝘪𝘢 yang berarti pengucapan syukur. “Tidaklah pantas kita berpesta pada hari Sang Mempelai laki-laki diambil dari kita,” kata Tertulianus yang sejalan dengan Matius 9:14-15. Muatan teologis Ekaristi atau Perjamuan Kudus adalah perayaan iman gereja atas karya, kematian, kebangkitan Kristus, dan penantian kedatangan-Nya kembali (𝘱𝘢𝘳𝘰𝘶𝘴𝘪𝘢). Kata Rasul Paulus, “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan (Yesus) sampai Ia datang.” Pada Jumat Agung Yesus belum bangkit.
Umat Kristen menghayati ulang kematian Yesus, mereka menghayati suatu kehidupan suci dan agung Yesus yang telah diserahkan, ditiadakan, dilenyapkan, dipermalukan melalui hukuman mati pada salib untuk pembebasan orang lain. 𝘝𝘪𝘤𝘢𝘳𝘪𝘰𝘶𝘴 𝘴𝘶𝘧𝘧𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨, suatu penderitaan yang ditanggung demi orang lain agar tidak mengalami sendiri penderitaan itu. Suatu penghayatan yang sangat membangun dan membebaskan umat dari perasaan dan situasi batin yang terkalahkan oleh beban-beban penderitaan dari dunia ini.
𝗦𝗮𝗯𝘁𝘂 𝗦𝘂𝗻𝘆𝗶 (𝙃𝙤𝙡𝙮 𝙎𝙖𝙩𝙪𝙧𝙙𝙖𝙮)
Seperti pengindonesiaannya dari 𝘏𝘰𝘭𝘺 𝘚𝘢𝘵𝘶𝘳𝘥𝘢𝘺 menjadi Sabtu Sunyi sesudah Jumat Agung Gereja memelihara keheningan. Tidak ada liturgi pada Sabtu Sunyi. Tidak ada ibadah pada Sabtu Sunyi. Mengapa?
Ibadah Kristen berpusat pada Kristus. Pada Sabtu Sunyi Yesus berada dalam keheningan dan kesendirian di dalam kubur. Menjadi aneh ibadah Kristen tanpa dihadiri oleh Kristus. Gereja memelihara keheningan agar umat terus merenungkan kesengsaraan Yesus secara agung.
Ada tradisi umat berhimpun pada Sabtu Sunyi, namun bukan untuk beribadah selebrasi yang dipimpin oleh pemimpin ibadah. Untuk menambah kekhidmatan umat membaca Kitab Suci. Pembacaan yang dianjurkan dalam daftar bacaan ekumenis (RCL) adalah Ayub 14:1-14 yang kemudian disambut dengan Mazmur 31:1-4, 15-16 secara responsoria. Pembacaan dari Perjanjian Lama disusul dengan pembacaan Surat Rasuli dari 1Petrus 4:1-8 dan akhirnya pembacaan Injil dari Yohanes 19:38-42.
Dengan penerbitan Titik Pandang ini pastilah akan tersembul pertanyaan: “Bukankah Yesus sudah bangkit, terangkat ke surga, dan akan kembali lagi? Jadi, Perjamuan Kudus bisa kapan saja.”
Pertanyaan tersebut di atas sangat logis. Berhubung sangat logis,maka konsekuensi logisnya orang itu tidak memerlukan lagi hari-hari raya liturgi dan kebaktian Minggu. Ia bisa kapan saja melakukan kebaktian. Ia bisa kapan saja merayakan Hari Natal (tak perlu 25 Desember), merayakan Jumat Agung (tak perlu Jumat), merayakan Paska (tak perlu Minggu pertama sesudah bulan purnama yang jatuh pada atau sesudah 𝘦𝘲𝘶𝘪𝘯𝘰𝘹 Maret), merayakan Pentakosta (tak perlu menanti 50 hari sesudah Paska), dlsb.
Hari raya liturgi gereja dimula dan berpusat pada misteri Paska. Pada mulanya tidak ada susunan sistematis dan terencana untuk merayakan peristiwa-peristiwa Kristus. Secara evolusi gereja memberikan tanggapan atas peristiwa-peristiwa tersebut satu per satu. Bapak-bapak gereja sejak abad II merapikan, membentuk, menyusun, dan merekayasa (𝘵𝘰 𝘦𝘯𝘨𝘪𝘯𝘦𝘦𝘳) kisah teologinya sehingga menjadi bermakna, bertema, dan bercerita saling berurutan satu dengan lainnya. Hari raya liturgi merupakan drama sarat makna; suatu rekayasa gereja untuk memastori dan membina umat agar dapat lebih menghayati kisah Kristus menurut kesaksian Alkitab dalam bentuk perayaan.