Kitab-kitab Injil tidak ditulis oleh 12 murid Yesus. Juga tidak ditulis oleh jurutulis Yesus. Kitab-kitab Injil ditulis secara retrospektif; penceritaan ulang atas peristiwa masa lalu. Para penulis Injil mengumpulkan bahan-bahan dari cerita lepas atau ucapan-ucapan lepas Yesus dari beraneka sumber. Dari bahan-bahan itu mereka menyusun narasi mereka masing-masing sesuai teologi yang diusung oleh penulis kitab Injil yang sangat boleh jadi menyesuaikan situasi saat Injil ditulis.
Sebagai contoh Injil Lukas yang ditulis beberapa tahun sesudah Bait Suci dihancurkan tentara Roma (70 ZB). Peristiwa itu sudah barang tentu meremukkan mental pengikut Kristus terutama di kalangan Jemaat Lukas. Jemaat, yang sangat mengharapkan kedatangan Yesus kembali, menghadapi kenyataan bahwa Bait Suci, yang adalah simbol kehadiran Allah di Yerusalem, dihancurkan oleh orang kafir. Penulis Injil Lukas hendak menjernihkan pengertian kedatangan Yesus kembali (𝘱𝘢𝘳𝘰𝘶𝘴𝘪𝘢) agar jemaat tidak putus harapan.
Bacaan diambil dari Lukas 21:5-19 adalah kumpulan ucapan tentang akhir zaman yang dinarasikan dalam Lukas 21:5-36, namun RCL membatasi sampai ayat 19. Kumpulan ucapan tentang akhir zaman itu mengandung topik-topik:
1. Bait Allah akan diruntuhkan (ay. 5-6),
2. Kesudahan yang tidak segera terjadi (ay. 8-9),
3. Peperangan, gempa bumi, penyakit sampar, kelaparan, dan bencana semesta (ay. 10),
4. Penganiayaan dan kesempatan bersaksi dengan bantuan Yesus (ay. 12-15),
5. Para murid akan dibenci semua orang, tetapi mereka akan dilindungi Allah (ay. 16-19),
6. Yerusalem akan diruntuhkan (ay. 20-24),
7. Kedatangan Anak Manusia (ay. 25-33), dan
8. Berjaga-jaga sambil berdoa (ay. 34-36).
Bacaan Injil Minggu ini hanya topik no. 1 – 5.
Dalam dunia nyata tampaknya Jemaat Lukas sedang gundah dan depresi melihat kenyataan Yesus tidak kunjung datang kembali sampai Bait Suci diruntuhkan. Dalam dunia cerita penulis Injil Lukas tetap memertahankan latar yang sudah dibuatnya sejak Lukas 20:1 “Ketika Yesus mengajar orang banyak di Bait Allah dan memberitakan Injil”, sedang percakapan Yesus dengan murid-murid-Nya dalam bacaan terjadi di Bukit Zaitun. Lho kok bisa?
Yesus mengajar di Bait Suci atau Bait Allah tidak dalam sehari. Tidak diceritakan berapa lama, tetapi tidak sehari. Ini ditunjukkan pada teks “Pada siang hari Yesus mengajar di Bait Allah dan pada malam hari Ia keluar dan bermalam di gunung yang bernama Bukit Zaitun” (Luk. 21:37).
Apabila ucapan Yesus versi Injil Markus (Mrk. 13:3) ditujukan khusus kepada “Petrus, Yakobus, Yohanes, dan Andreas”, penulis Injil Lukas merevisinya dengan istilah “murid-murid” (Luk. 21:7). Dengan menghapus empat nama murid itu dalam versi Injil Markus, penginjil Lukas hendak meluaskan cakupan pendengar Yesus yang dalam hal ini Jemaat Lukas.
Dalam bacaan Minggu ini Lukas mau memumpunkan bahwa kedatangan Yesus kembali (𝘱𝘢𝘳𝘰𝘶𝘴𝘪𝘢) masih lama dengan menghapus rujukan apa pun yang bertentangan dengan teologinya. Ia membaharui pernyataan penginjil Markus (Mrk. 13:8) “Semua itu barulah permulaan penderitaan menjelang zaman baru” dengan menghilangkan “zaman baru”. Yesus datang kembali masih lama. Begitu kira-kira Lukas memberi pastoral kepada jemaatnya dengan menambah “sebelum semuanya itu”.
Dengan menambah keterangan waktu “sebelum semuanya itu” (Luk. 21:12) penginjil Lukas tampaknya sedang membuat kronologi dari tanda-tanda akhir zaman. “Semuanya itu” merujuk peristiwa dan keadaan yang disebutkan di ayat-ayat sebelumnya: peperangan, gempa bumi, penyakit sampar, kelaparan, dan bencana semesta. Sebelum semua itu terjadi para murid akan ditangkap dan dianiaya “karena nama Yesus” (21:12). Frase “karena nama Yesus” sangat boleh jadi merujuk pengikut Yesus di dunia nyata. Bukan itu saja mereka akan dibenci oleh semua orang bahkan sebagian dari mereka akan dibunuh. Dalam Injil Lukas jilid II atau Kisah Para Rasul Lukas mengisahkan para murid Yesus mengalami penganiayaan dan pembunuhan (lih. kisah Stefanus).
Lukas memberi penguatan lewat ucapan Yesus, “𝘒𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘩𝘢𝘯, 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘳𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘮𝘶.” (Luk. 21:19). Memeroleh atau mendapat “hidup” ada dua penafsiran.
Pertama, jika mereka mati dibunuh dan mereka tetap bertahan dalam iman mereka, maka mereka akan dibangkitkan dan diberi “hidup kekal”. Penafsiran ini didukung dengan teks sebelumnya dalam ucapan Yesus di Lukas 9:24 dan 17:33: “𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘯𝘺𝘢𝘸𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘯𝘺𝘢𝘸𝘢𝘯𝘺𝘢; 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘯𝘺𝘢𝘸𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘈𝘬𝘶, 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢.”
Kedua, hidup ditafsir selamat, aman, sintas (𝘴𝘶𝘳𝘷𝘪𝘷𝘦) “Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan selamat.” Tafsiran ini didukung dengan teks-teks di Kisah Para Rasul (Kis. 8:1-4; 12:6-19; 16:19-40). Di pengujung “Injil Lukas jilid II” Lukas mengisahkan Rasul Paulus selamat tiba di Roma yang ditutup dengan berita gembira “Dengan terus-terang dan tanpa rintangan apa-apa ia (Paulus) memberitakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus.”
Dua tafsiran di atas tetap berujung pada kegembiraan. Yang amat sangat sulit adalah prasyarat 𝗯𝗲𝗿𝘁𝗮𝗵𝗮𝗻. Ya, memang menjadi murid Kristus itu nggak enak. Kalau tak kuat, lepaskan saja! Jangan sok bertahan tapi membalikan tubuh dari keteladanan Kristus.
Lapangan Pancasila, 12.11.22 (TUS)