Jumat, 30 Agustus 2024

SUDUT PANDANG MARKUS 7 : 1 - 8, 14 - 15, 21 - 23, 𝙈𝙖𝙠𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙖𝙟𝙞𝙨𝙠𝙖𝙣𝙢𝙪!

SUDUT PANDANG MARKUS 7 : 1 - 8, 14 - 15, 21 - 23, 𝙈𝙖𝙠𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙖𝙟𝙞𝙨𝙠𝙖𝙣𝙢𝙪!

Kitab-kitab Injil ditulis untuk menjawab pergumulan umat Kristen perdana mengapa Mesias mati. Setiap jemaat memiliki pergulatan sendiri dan berbeda dari jemaat lain karena latar belakang budaya yang berbeda. Itulah sebabnya ada perbedaan teologi di empat kitab Injil kanonik, karena petulis Injil hendak menjawab dan menggembala jemaat mereka masing-masing. 

Jemaat Matius berlatar belakang Yahudi sehingga petulis Injil memandang tidak perlu menjelaskan secara rinci dan eksplisit adat istiadat Yahudi. Jemaat Markus berlatar belakang bukan-Yahudi sehingga petulis Injil memandang perlu merinci adat istiadat Yahudi untuk jemaatnya. Ketika Injil Markus ditulis, Bait Allah diduga kuat sudah dihancurkan oleh Titus, jenderal dari Roma. Imam-imam Yahudi kehilangan pengaruh. Ahli-ahli Taurat mengambil alih kepemimpinan Yahudi dan menolak jemaat Kristen membuka diri kepada orang-orang bukan-Yahudi.

Hari ini adalah Minggu kelima belas setelah Pentakosta. Bacaan  Injil Markus 7:1-8, 14-15, 21-23 yang didahului dengan Ulangan 4:1-2, 6-9, Mazmur 15, dan Yakobus 1:17-27.

Bacaan kembali ke Injil Markus sesudah beberapa Minggu diisi dengan Injil Yohanes. Konteks terdekat bacaan adalah keseluruhan pasal 7. Penjelasan Markus mengenai adat istiadat Yahudi untuk menyiapkan pembaca pada misi Yesus ke wilayah orang-orang kafir di mata orang-orang Yahudi.

Jemaat perdana bersikap mendua berpautan dengan peraturan Yahudi, terutama soal makanan, sehingga acap menaikkan ketegangan. Bagaimana dengan warga jemaat yang bukan dari kalangan bukan-Yahudi yang tidak mengenal peraturan itu?

Ulasan bacaan dikelompokkan menjadi empat bagian:
🛑 Antara tahir dan najis (ay. 1-5)
🛑 Tanggapan Yesus kepada orang Farisi dan ahli Taurat (ay. 6-8)
🛑 Tanggapan Yesus kepada orang banyak (ay. 14-15)
🛑 Tanggapan Yesus kepada murid-murid-Nya (ay. 21-23)

𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝘁𝗮𝗵𝗶𝗿 𝗱𝗮𝗻 𝗻𝗮𝗷𝗶𝘀 (𝗮𝘆. 𝟭-𝟱)

Pasal 7 dibuka dengan keterangan bahwa orang-orang Farisi dan beberapa ahli Taurat yang datang dari Yerusalem mengerumuni Yesus. Mereka melihat beberapa orang murid Yesus makan dengan tangan najis, tanpa dibasuh terlebih dahulu menurut adat istiadat nenek moyang yang mereka pegang teguh. Jika pulang dari pasar, mereka membasuh diri sebelum makan. (ay. 1-4a).

Dari teks-teks awal sudah disampaikan oleh petulis Markus bahwa Yesus berseberangan pandangan dengan orang Farisi dan ahli Taurat mengenai kesalehan (mis. Mrk. 1: 22, 2:18). Adat istiadat terdiri atas banyak aturan konkret yang oleh ahli Taurat ditafsir dari hukum Taurat. Hasilnya dijadikan tradisi, diturunalihkan secara lisan dengan tujuan untuk melakukan hukum Taurat secara teliti. Akibatnya pelaksanaan menjadi bertele-tele dan harfiah. Orang-orang Farisi menjadi “polisi” hukum Taurat. Mereka menemukan murid-murid Yesus tidak mematuhi peraturan mengenai ketahiran dalam hal makan dengan tidak membasuh tangan sebelumnya. Pembasuhan tangan lazim dalam upacara penahiran untuk membuang najis.

Pada mulanya kewajiban mencuci tangan dan kaki diterapkan kepada para imam yang hendak memasuki Kemah Suci (Kel. 30:19; 40:13). Sejalan dengan waktu peraturan mencuci tangan diterapkan meluas kepada seluruh orang Yahudi; membasuh tangan sebelum berdoa pagi, sebelum makan roti. Sesudah pembuangan ke Babel peraturan agama Yahudi makin banyak. Membasuh tangan sudah menjadi ritual. Pembasuhan itu bukan membenamkan tangan ke dalam air, tetapi cukup dengan satu gayung dituangkan di atas kedua tangan. Air harus mengalir.

Tidak seperti petulis Injil Matius pengarang Injil Markus mengurai lagi secara sinis mengenai warisan-warisan yang orang-orang Yahudi pegang. Misal, hal mencuci cawan, kendi, dan bejana perunggu, serta tempat pembaringan. Untuk itulah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bertanya kepada Yesus, “𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘮𝘶𝘳𝘪𝘥-𝘮𝘶𝘳𝘪𝘥-𝘔𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘳𝘶𝘵 𝘢𝘥𝘢𝘵 𝘪𝘴𝘵𝘪𝘢𝘥𝘢𝘵 𝘯𝘦𝘯𝘦𝘬 𝘮𝘰𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘪𝘵𝘢, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘫𝘪𝘴?” (ay. 4b-5)

Uraian Markus tentang pembasuhan alat dan perkakas di atas hendak memerikan kemunafikan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Pembasuhan barang disetarakan dengan ibadah. Namun, mereka menilai sebaliknya, Yesus dianggap gagal membina murid-murid-Nya dalam hal ketahiran. Tanggapan Yesus atas keberatan dan pertanyaan orang Farisi dan ahli Taurat terdiri atas tiga bagian, yang saya ulas di bawah ini.

𝗧𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮𝗽𝗮𝗻 𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗙𝗮𝗿𝗶𝘀𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗮𝗵𝗹𝗶 𝗧𝗮𝘂𝗿𝗮𝘁 (𝗮𝘆. 𝟲-𝟴)

Dalam menanggapi orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dengan mengutip kitab Yesaya. Jawab Yesus kepada mereka, “𝘛𝘦𝘱𝘢𝘵𝘭𝘢𝘩 𝘯𝘶𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘠𝘦𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘮𝘶, 𝘩𝘢𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘶𝘯𝘢𝘧𝘪𝘬, 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘢𝘥𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘶𝘭𝘪𝘴: 𝘉𝘢𝘯𝘨𝘴𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘭𝘪𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘈𝘬𝘶 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘪𝘣𝘪𝘳𝘯𝘺𝘢, 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘩𝘢𝘭 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘈𝘬𝘶. (ay. 6) 𝘗𝘦𝘳𝘤𝘶𝘮𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘪𝘣𝘢𝘥𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢-𝘒𝘶, 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘫𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘢𝘫𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 (ay. 7) 𝘗𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘢𝘣𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘵 𝘪𝘴𝘵𝘪𝘢𝘥𝘢𝘵 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘱𝘦𝘨𝘢𝘯𝘨. (ay. 8)”

Jawaban Yesus sangat keras dengan mengutip kitab Yesaya 29:13. Yesus langsung menghunjam tradisi yang dipaksakan. Kutipan dari Yesaya itu memertentangkan penyembahan dengan mulut dan hati. Adat istiadat hanyalah tambahan ajaran manusia yang lahiriah. Bagi Yesus perintah Allah bukanlah huruf-huruf hukum Taurat, melainkan makna yang hendak dicapai melalui hukum itu. Dengan menambah adat istiadat ahli-ahli Taurat justru merudapaksa perintah Allah. Diberikan contoh oleh Yesus tentang perintah untuk menghormati ayah dan ibu ditelikung oleh peraturan ahli-ahli Taurat mengenai kurban (lih. ay. 9-13).

Memang para imam diwajibkan menjaga kebersihan lahiriah sebagai ungkapan hormat terhadap benda-benda kudus yang mereka pegang di Bait Suci. Akan tetapi semua peraturan masih kalah penting apabila diperhadapkan kepada perintah Allah untuk mengasihi dengan segenap hati (Ul. 6:4) yang kemudian akan disimpulkan Yesus di Markus 12:28-31.

𝗧𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮𝗽𝗮𝗻 𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗮𝗻𝘆𝗮𝗸 (𝗮𝘆. 𝟭𝟰-𝟭𝟱)

Sesudah menanggapi orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, lalu Yesus memanggil lagi orang banyak dan berkata kepada mereka, “𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢, 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘮𝘪𝘭𝘢𝘩.” (ay. 14) Menurut Robert Boehlke ada delapan gaya mengajar Yesus yang dirangkai sekaligus sehingga membuat para pendengar takjub: berceramah, membimbing, menghafalkan, mewujudkan, berdialog, berstudi kasus, menantang, dan bersimbolik, yang jika disarikan mengajak orang untuk merenung, berefleksi. Rumusan 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘮𝘪𝘭𝘢𝘩 hendak mengajak orang menyiapkan diri untuk berefleksi.

Untuk merangsang orang berefleksi Yesus mengontraskan ketahiran lahiriah dengan moral. Kata Yesus, “𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘱𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢, 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘫𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘭-𝘩𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘫𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢.” (ay. 15).

Di kitab Imamat pasal 11-16 hal-hal seperti bersenggama, melahirkan, menyentuh mayat, penyakit kusta, makan babi, dll. menyebabkan orang menjadi najis dalam arti tidak suci untuk bergabung dalam ibadat. Namun, Yesus memandang hal-hal itu bukanlah takaran moral. 

Di ayat 15 tersebut Yesus membuat panduan dasar yang radikal bagi orang banyak bahwa manusia tidak menjadi najis oleh yang dimakannya tanpa pembasuhan tangan. Hal-hal yang keluar dari dalam diri seseorang itulah yang menajiskan. Bukan berarti Yesus menafikan kebersihan makanan dan hukum-hukum Musa. Di sini Yesus hendak mematahkan argumen orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bahwa tindakan lahiriah tidaklah dengan sendirinya membawa kesucian di hadapan Allah dan sekaligus untuk dijadikan perenungan bagi orang banyak atau para pendengar-Nya.

𝗧𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮𝗽𝗮𝗻 𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗺𝘂𝗿𝗶𝗱-𝗺𝘂𝗿𝗶𝗱-𝗡𝘆𝗮 (𝗮𝘆. 𝟮𝟭-𝟮𝟯)

Rupanya murid-murid Yesus tidak mengerti yang sudah disampaikan Yesus kepada orang banyak. Mereka bertanya kepada Yesus sesudah Ia meninggalkan orang banyak dan masuk ke sebuah rumah (ay. 17). 

Yesus menanggapi pertanyaan murid-murid-Nya, “𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘮? 𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘬𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘴𝘦𝘨𝘢𝘭𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵  𝘮𝘦𝘯𝘢𝘫𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢, (ay. 18) 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘵𝘪, 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘶𝘵𝘯𝘺𝘢, 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘬𝘦 𝘫𝘢𝘮𝘣𝘢𝘯?” (ay. 19a). 

Makanan tidak masuk ke dalam hati. Kata 𝘩𝘢𝘵𝘪 diterjemahkan dari 𝘬𝘢𝘳𝘥𝘪𝘢𝘴 yang berarti literal 𝘫𝘢𝘯𝘵𝘶𝘯𝘨. Jantung adalah pusat kepribadian menurut tradisi Yahudi. Makanan tidak membuat pribadi seseorang menjadi najis atau kotor, karena makanan masuk ke perut, dicerna, lalu ampasnya dibuang ke jamban. Di ayat 19b narator menyimpulkan bahwa Yesus menyatakan semua makanan halal.

Kata Yesus lagi, “𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘫𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢, (ay. 20) 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮, 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘵𝘪𝘮𝘣𝘶𝘭 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵, 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯, 𝘱𝘦𝘯𝘤𝘶𝘳𝘪𝘢𝘯, 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩𝘢𝘯, (ay. 21) 𝘱𝘦𝘳𝘻𝘪𝘯𝘢𝘩𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘴𝘦𝘳𝘢𝘬𝘢𝘩𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘭𝘪𝘤𝘪𝘬𝘢𝘯, 𝘩𝘢𝘸𝘢 𝘯𝘢𝘧𝘴𝘶, 𝘪𝘳𝘪 𝘩𝘢𝘵𝘪, 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘵, 𝘬𝘦𝘴𝘰𝘮𝘣𝘰𝘯𝘨𝘢𝘯, 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘣𝘦𝘣𝘢𝘭𝘢𝘯. (ay. 22)”

Dari sudut pandang Kitab Suci (dhi. Yes. 29:13) makanan tidak bersangkut paut dengan hati. Apabila seseorang memenuhi segala tuntutan ketahiran lahiriah, hatinya belum tentu berubah, karena perbuatan dari tuntutan itu belum mampu mengangkat kotoran hati yang menjadi sumber najis. Kedua belas macam kejahatan yang didaftar oleh Markus berpautan dengan kerusakan nasabah manusia dengan sesamanya. Keretakan itu akibat dari kejahatan moral yang muncul dari dalam pribadi manusia, yang sejatinya menajiskan manusia. Jauh berbeda dari kenajisan versi orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang hanya menyentuh hal-hal lahiriah.

Yesus menutup penjelasan kepada murid-murid-Nya dengan berkata, “𝘚𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘩𝘢𝘭 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵 𝘪𝘯𝘪 𝘵𝘪𝘮𝘣𝘶𝘭 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘫𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨.” (ay. 23) Secara radikal Yesus mematahkan argumen ahli-ahli Taurat sebagai pembuat peraturan turunan hukum Taurat dan orang-orang Farisi sebagai “polisi”-nya. Kesucian hati manusia tidak hilang karena kenajisan lahiriah. Niat jahat yang lahir dari hati itulah yang menajiskan manusia.

Perikop bacaan Minggu ini memang disiapkan oleh Markus untuk kelanjutan misi Yesus ke wilayah Tirus dan Dekapolis, yang dihuni oleh banyak orang kafir. Di sana Ia akan berjumpa dengan perempuan keturunan Siro-Fenesia dan menyembuhkan seorang bisu-tuli.

(01092024)(TUS)

Rabu, 28 Agustus 2024

𝗕𝗶𝘀𝗻𝗶𝘀 𝗚𝗲𝗿𝗲𝗷𝗮, Serial Sudut Pandang

𝗕𝗶𝘀𝗻𝗶𝘀 𝗚𝗲𝗿𝗲𝗷𝗮, Serial Sudut Pandang
Titus Roidanto Dmin

Kemarin saya menulis tentang pendeta 𝘤𝘳𝘢𝘻𝘺 𝘳𝘪𝘤𝘩. Mereka bisa kaya raya bukan lantaran persepuluhan, melainkan model kepemilikan harta benda gereja dan tentu saja pat-gulipat pajak penghasilan. 

Kok bisa sistem pemerintahan gereja membuat pendeta menjadi 𝘤𝘳𝘢𝘻𝘺 𝘳𝘪𝘤𝘩 laksana raja minyak? Sebagian sudah saya jelaskan dalam tautan di atas. Dalam tulisan kali ini saya mengajak pembaca untuk melihat lebih ke dalam tentang latar belakangnya sehingga membuka jalan untuk orang berbisnis gereja. 𝘍𝘢𝘴𝘵𝘦𝘯 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘴𝘦𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘭𝘵!

Sebelum saya menulis mengenai organisasi Gereja-gereja Protestan saya membatasi dahulu istilah yang saya gunakan. Gereja adalah kumpulan orang percaya kepada Kristus. Jemaat adalah kumpulan orang percaya kepada Kristus. Gereja dan jemaat adalah sinonim. Jadi, jika saya menggunakan istilah jemaat dan gereja dibolak-balik, itu artinya sama. Jemaat merujuk himpunan bukan individual. Apabila saya merujuk individual, maka saya akan menulis sebagai warga atau anggota jemaat. Sinode memiliki dua arti. Pertama, sidang para pemimpin gereja. Kedua, badan atau majelis pengurus atau pekerja tertinggi di gereja-gereja Protestan. Saya akan sering menggunakan arti kedua, walau sesekali menggunakan arti pertama.

Di Gereja-gereja Protestan arus-utama yang memiliki sejarah yang sama dalam pendirian biasanya membentuk satu sinode untuk mewadahinya. Persamaan sejarah ini dapat karena hasil dari badan zending yang sama, karena sama suku, karena sama daerah, dlsb. Contoh, ada GKI (Gereja Kristen Indonesia) Ngupasan, GKI Kebayoran Baru, GKI Kwitang, GKI Purworejo, dlsb. yang menggunakan nama GKI terhitung dalam satu sinode yang disebut Sinode GKI. Harap dicatat apabila saya menyebut GKI Kebayoran Baru itu artinya satu jemaat. Dalam satu jemaat ini ada ribuan warga atau anggota jemaat. Demikian juga halnya GPIB, HKBP, GKS, GKE, dlsb. Sinode-sinode itu tergabung lagi ke dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). 

Perlu digarisbawahi di sini PGI bukanlah seperti Vatikan. PGI seperti halnya KWI pada mulanya semata-mata organisasi untuk memudahkan atau melancarkan komunikasi antara Pemerintah dan Gereja serta kerjasama antar-lembaga baik di dalam gereja maupun di luar gereja terutama menyangkut isu-isu ekumenis. Ketua PGI dan KWI bukan bos gereja-gereja di Indonesia.

Bentuk kepemimpinan sinode di gereja-gereja arus-utama pada umumnya presbiterial-sinodal, yang kepemimpinan bersifat kolektif-kolegial.  Jika seseorang disebut sebagai ketua sinode sebenarnya ia bukanlah ketua sinode seperti halnya ketua RT, ketua PSSI. Ia adalah ketua badan pekerja majelis sinode. Untuk praktisnya disebut ketua sinode. Masa kerjanya berbeda-beda menurut sinode masing-masing. Ada yang dua tahun, tiga tahun, atau empat tahun.

Jemaat adalah satuan mandiri terkecil dalam organisasi gereja yang dapat dianalogikan dengan batalion. Untuk menjadi sebuah jemaat ada aturan dasar yang harus dipenuhi oleh bakal jemaat itu yang tentu setiap sinode berbeda persyaratannya. Namun penjenjangan status jemaat pada umumnya mirip. Misal, GKI Kebayoran Baru memiliki ribuan warga yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Untuk praktis pelayanan dibuatlah pos-pos kebaktian di wilayah yang warga-warganya jauh dari Kebayoran Baru. Contoh, Bakal Jemaat (Bajem) Gunung Sindur. Warga Bajem Gunung Sindur tetaplah warga GKI Kebayoran Baru sehingga majelis jemaat (MJ) Kebayoran Baru bertanggungjawab atas pembinaan di Bajem Gunung Sindur. Apakah bajem Gunung Sindur dapat berdiri sendiri menjadi jemaat yang sejajar dengan Kebayoran Baru? Tentu saja bisa. Ini adalah proses yang mengikuti aturan dasar dalam tata gereja. Apabila di masa mendatang semua persyaratan minimum terpenuhi, maka Bajem Gunung Sindur akan menjadi GKI Gunung Sindur dengan tetap di bawah payung Sinode GKI.

Setiap jemaat di lingkungan sinode berbeda kekuatannya. Ada yang sangat kaya dan ada yang biasa-biasa saja. Fungsi sinode satu di antaranya adalah mengatur semacam subsidi silang antar-jemaat; yang kuat membantu yang lemah. Tidak ada persaingan 𝘬𝘢𝘺𝘢-𝘬𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯 antar-jemaat.

Gereja-gereja arus-utama yang menganut sistem pemerintahan presbiterial-sinodal tidak khawatir kehilangan jemaat. Mengapa? Kuncinya pada harta benda gereja adalah milik jemaat, bukan milik pendeta atau pejabat gereja. Bahkan untuk memudahkan pergerakan organisasi suatu sinode gereja melepas jemaat untuk membentuk sinode baru. Contoh, Sinode Gereja Kristen Sumatra Bagian Selatan (GKSBS).

Sinode GKSBS bermula dari pendewasaan jemaat Kristen di Lampung dari Sinode Geredja Kristen Djawa Tengah Selatan (sekarang GKJ). Pendeta pertamanya adalah Pdt. Johannes Soeparmo Hardjowasito, ayah dari Pdt. Kadarmanto Hardjowasito. Pdt. J. Soeparmo Hardjowasito.

Gereja arus-utama biasanya punya standar pengajaran yang sama atau seajaran. Itu sebabnya sering terjadi program pertukaran pemimpin ibadah antar-gereja. Misal, pendeta GPIB  atau GKJ memimpin ibadah di GKI atau sebaliknya. Juga, sinode gereja arus-utama menerapkan standar akuntabilitas tinggi untuk keuangan dengan mengaudit yang kadang menggunakan jasa auditor independen.

Bagaimana dengan gereja dari kalangan evangelikal dan kharismatik? 

Gereja-gereja evangelikal pada umumnya tergabung ke dalam Persekutuan Injili Indonesia (PII), yang sekarang diperluas menjadi Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII). Saya sebut pada umumnya karena Gereja Reformed-Injili tidak sudi masuk ke sana. Sebagian gereja kharismatik masuk ke dalam PGLII. Sinode gereja-gereja Pentakosta membuat sendiri wadah yang setara dengan PGI dan PGLII yang disebut Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI). Namun ada sinode gereja Pentakosta yang masuk ke dalam PGI.

Pada umumnya bentuk sinode gereja-gereja evangelikal dan kharismatik/pentakostal adalah kongregasional. Artinya otonomi jemaat sangat kuat. Sinode seperti ini rentan perpecahan atau perlepasan. Mengapa? 

Saya ambil contoh Gereja Bethel Indonesia. Dalam Tata Gereja GBI disebutkan bahwa pemimpin tertinggi di jemaat lokal adalah pendeta gembala jemaat, bukan Majelis Jemaat (MJ). Pendeta gembala jemaat berwenang mengangkat dan memecat anggota MJ atau pengurus gereja.  Pendeta gembala jemaat berwenang untuk menentukan kebijakan-kebijakan pada jemaat yang dipimpinnya sepanjang tidak bertentangan dengan Tata Gereja GBI. Makin besar suatu jemaat lokal makin menggoda pemimpin jemaat menyempal dari Sinode GBI.

Mengapa menggoda menyempal?

Di gereja-gereja arus-utama harta benda adalah milik jemaat dan kepemimpinan di tangan MJ, bukan di tangan pendeta. Berbeda dari gereja arus-utama, di Sinode GBI, sebagai misal, sesuai dengan Tata Gereja GBI kepemimpinan jemaat adalah di tangan pendeta gembala jemaat dalam arti digembalakan secara otonom dalam pengelolaan kepemilikan, keuangan, program, kepengurusan, dan pembinaan warga gereja di tangan pendeta gembala jemaat.

Jemaat atau biasa disebut jemaat lokal atau jemaat induk boleh membuka cabang-cabang dengan pembinaaan dari jemaat lokal sebagai induk. Di sinilah persoalannya. Sering terjadi cabang-cabang itu sangat banyak anggotanya dan bisa ditingkatkan menjadi jemaat lokal baru. Apalagi menurut Tager GBI syarat minimum jemaat lokal adalah 12 anggota yang sudah dibaptis selam. Apabila cabang itu ditingkatkan menjadi jemaat lokal, maka ia lepas dari jemaat induk dan otonom serta kepemimpinan dan kepemilikan berpindah ke tangan pendeta gembala jemaat baru. 

Apakah 𝘧𝘰𝘶𝘯𝘥𝘦𝘳 jemaat induk mau melepas harta bendanya? Mereka yang tak mau melepas harta benda memilih keluar dari Sinode GBI dan membuat kerajaan eh sinode baru. Contoh paling fenomenal adalah GBI Bethany dan GBI Tiberias. Dengan demikian 𝘧𝘰𝘶𝘯𝘥𝘦𝘳 tetap menguasai seluruh harta benda gereja.

Bagaimana dengan gereja evangelikal? Di kalangan orang Kristen Tionghoa nama Gereja Kristus Jemaat Mangga Besar (GKJMB) bukanlah barang asing. GKJMB sekitar dua dasawarsa yang lalu di bawah payung Sinode Gereja Kristus (Sinode GK). GKJMB adalah jemaat yang sangat besar, kuat, dan kaya raya. GKJMB ini memiliki banyak Pos Kebaktian yang tidak saja di jakarta dan sekitarnya, tetapi juga di Bali. Walau secara administratif pos-pos tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk ditingkatkan statusnya menjadi Bajem dan jemaat, tetap saja oleh GKJMB tidak dinaikkan statusnya. Mengapa? Apabila mereka naik status, maka status mereka adalah otonom yang berarti segala harta benda di pos tersebut menjadi  milik jemaat baru.

Untuk tetap dapat menguasai harta benda tersebut, dengan segala alasan teologis (meski bagi saya mengada-ada), maka GKJMB menyatakan melepaskan diri dari Sinode GK. GKJMB membentuk sinode baru dengan nama Sinode Gereja Kristus Yesus (GKY). Dengan demikian segala harta benda GKJMB aman, karena Sinode GKY berkuasa atas harta benda jemaat-jemaatnya.

Dari penjelasan singkat di atas jangan pernah mudah percaya pada gereja yang melepaskan diri dari sinode itu karena untuk Kristus. Bukan! Itu adalah untuk pengamanan aset.
(31082024)(TUS)

Sabtu, 24 Agustus 2024

SUDUT PANDANG MEMAHAMI BUDAYA DALAM KONTEKSTUALISASI BERGEREJA


SUDUT PANDANG MEMAHAMI BUDAYA DALAM KONTEKSTUALISASI BERGEREJA 


Titus Roidanto Dmin


Dalam memandang budaya biasanya, pada umumnya, pendeta menggunakan rujukan buku kedaluwarsa Christ and Culture. Sangat mungkin pendeta itu tidak merujuk langsung buku karangan Richard Niebuhr itu, melainkan ia mendapat pengajaran dari seniornya yang merujuk buku itu.

Secara ringkas Niebuhr mengelompokkan sikap orang Kristen terhadap budaya: 
(1) sikap radikal, 
(2) sikap akomodatif, 
(3) sikap sintetik, 
(4) sikap dualistik, dan 
(5) sikap transformatif.

Proses pengambilan keputusan oleh orang-orang Kristen dalam menanggapi budaya bukanlah sesederhana yang diperikan oleh Niebuhr. Niebuhr sendiri tidak menjelaskan Kristus. baginya Kristus sudah final. Dapat saja Kristus adalah juga budaya, yaitu sintesis budaya Yahudi, Grika, dan Latin. Jadi, yang diuraikan oleh Niebuhr pada dasarnya adalah Budaya vs. Budaya.

Kontekstualisasi bukanlah pempribumian Injil, tetapi bergerak melampaui itu. Pada hakikatnya teologi kontekstual mau menolong orang Kristen menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh Kristen dan sekaligus sungguh-sungguh orang Indonesia. Kontekstual berarti juga melibatkan orang Kristen dalam bersalingtindak dengan sosio-budaya. Hal ini bukan dalam rangka asketisme dan sinkretisme, melainkan pengakaran. Akan tetapi jika pegakaran ini tidak mengakibatkan pengangkatan jatidiri dan martabat manusia juga tidak boleh disebut teologi kontekstual. 

Misal, debus dan kuda lumping. Barangkali kesenian ini menarik perhatian wisatawan asing, tetapi tidak bermakna bagi rakyat. Kesenian seperti itu tidak mendorong rakyat memerjuangkan hak-haknya. Negara kita sangat kaya akan aneka ragam kebudayaan. Sah-sah saja kalau kita mau membangkitkan kekayaan yang ada pada kita sendiri. Usaha ini bukan dalam rangka menolak masa lalu kita, melainkan menjaga keseimbangan agar warisan Barat tidak merajai (dominate) kebudayaan kita. 

Menjaga keseimbangan juga tidak berarti langsung menyulih (substitute) warisan Barat dengan hasil budaya lokal. Misal, untuk lebih afdol digunakanlah alat musik tradisional, seperti gamelan, dan pemakaian busana adat bagi pendeta beserta penatalayan lainnya. Selama penyulihan ini berhasil mengangkat jatidiri (inner-self) dan martabat orang Kristen Indonesia, maka hal itu patut dihargai. Namun, apabila hanya agar kelihatan lebih njawani, sepatutnya jangan diteruskan, karena hanya menjadi tontonan turis seperti halnya kuda lumping dan debus di atas.

(25082024)(TUS)

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...