Kitab-kitab Injil ditulis untuk menjawab pergumulan umat Kristen perdana mengapa Mesias mati. Setiap jemaat memiliki pergulatan sendiri dan berbeda dari jemaat lain karena latar belakang budaya yang berbeda. Itulah sebabnya ada perbedaan teologi di empat kitab Injil kanonik, karena petulis Injil hendak menjawab dan menggembala jemaat mereka masing-masing.
Jemaat Matius berlatar belakang Yahudi sehingga petulis Injil memandang tidak perlu menjelaskan secara rinci dan eksplisit adat istiadat Yahudi. Jemaat Markus berlatar belakang bukan-Yahudi sehingga petulis Injil memandang perlu merinci adat istiadat Yahudi untuk jemaatnya. Ketika Injil Markus ditulis, Bait Allah diduga kuat sudah dihancurkan oleh Titus, jenderal dari Roma. Imam-imam Yahudi kehilangan pengaruh. Ahli-ahli Taurat mengambil alih kepemimpinan Yahudi dan menolak jemaat Kristen membuka diri kepada orang-orang bukan-Yahudi.
Hari ini adalah Minggu kelima belas setelah Pentakosta. Bacaan Injil Markus 7:1-8, 14-15, 21-23 yang didahului dengan Ulangan 4:1-2, 6-9, Mazmur 15, dan Yakobus 1:17-27.
Bacaan kembali ke Injil Markus sesudah beberapa Minggu diisi dengan Injil Yohanes. Konteks terdekat bacaan adalah keseluruhan pasal 7. Penjelasan Markus mengenai adat istiadat Yahudi untuk menyiapkan pembaca pada misi Yesus ke wilayah orang-orang kafir di mata orang-orang Yahudi.
Jemaat perdana bersikap mendua berpautan dengan peraturan Yahudi, terutama soal makanan, sehingga acap menaikkan ketegangan. Bagaimana dengan warga jemaat yang bukan dari kalangan bukan-Yahudi yang tidak mengenal peraturan itu?
Ulasan bacaan dikelompokkan menjadi empat bagian:
🛑 Antara tahir dan najis (ay. 1-5)
🛑 Tanggapan Yesus kepada orang Farisi dan ahli Taurat (ay. 6-8)
🛑 Tanggapan Yesus kepada orang banyak (ay. 14-15)
🛑 Tanggapan Yesus kepada murid-murid-Nya (ay. 21-23)
𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝘁𝗮𝗵𝗶𝗿 𝗱𝗮𝗻 𝗻𝗮𝗷𝗶𝘀 (𝗮𝘆. 𝟭-𝟱)
Pasal 7 dibuka dengan keterangan bahwa orang-orang Farisi dan beberapa ahli Taurat yang datang dari Yerusalem mengerumuni Yesus. Mereka melihat beberapa orang murid Yesus makan dengan tangan najis, tanpa dibasuh terlebih dahulu menurut adat istiadat nenek moyang yang mereka pegang teguh. Jika pulang dari pasar, mereka membasuh diri sebelum makan. (ay. 1-4a).
Dari teks-teks awal sudah disampaikan oleh petulis Markus bahwa Yesus berseberangan pandangan dengan orang Farisi dan ahli Taurat mengenai kesalehan (mis. Mrk. 1: 22, 2:18). Adat istiadat terdiri atas banyak aturan konkret yang oleh ahli Taurat ditafsir dari hukum Taurat. Hasilnya dijadikan tradisi, diturunalihkan secara lisan dengan tujuan untuk melakukan hukum Taurat secara teliti. Akibatnya pelaksanaan menjadi bertele-tele dan harfiah. Orang-orang Farisi menjadi “polisi” hukum Taurat. Mereka menemukan murid-murid Yesus tidak mematuhi peraturan mengenai ketahiran dalam hal makan dengan tidak membasuh tangan sebelumnya. Pembasuhan tangan lazim dalam upacara penahiran untuk membuang najis.
Pada mulanya kewajiban mencuci tangan dan kaki diterapkan kepada para imam yang hendak memasuki Kemah Suci (Kel. 30:19; 40:13). Sejalan dengan waktu peraturan mencuci tangan diterapkan meluas kepada seluruh orang Yahudi; membasuh tangan sebelum berdoa pagi, sebelum makan roti. Sesudah pembuangan ke Babel peraturan agama Yahudi makin banyak. Membasuh tangan sudah menjadi ritual. Pembasuhan itu bukan membenamkan tangan ke dalam air, tetapi cukup dengan satu gayung dituangkan di atas kedua tangan. Air harus mengalir.
Tidak seperti petulis Injil Matius pengarang Injil Markus mengurai lagi secara sinis mengenai warisan-warisan yang orang-orang Yahudi pegang. Misal, hal mencuci cawan, kendi, dan bejana perunggu, serta tempat pembaringan. Untuk itulah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bertanya kepada Yesus, “𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘮𝘶𝘳𝘪𝘥-𝘮𝘶𝘳𝘪𝘥-𝘔𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘳𝘶𝘵 𝘢𝘥𝘢𝘵 𝘪𝘴𝘵𝘪𝘢𝘥𝘢𝘵 𝘯𝘦𝘯𝘦𝘬 𝘮𝘰𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘪𝘵𝘢, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘫𝘪𝘴?” (ay. 4b-5)
Uraian Markus tentang pembasuhan alat dan perkakas di atas hendak memerikan kemunafikan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Pembasuhan barang disetarakan dengan ibadah. Namun, mereka menilai sebaliknya, Yesus dianggap gagal membina murid-murid-Nya dalam hal ketahiran. Tanggapan Yesus atas keberatan dan pertanyaan orang Farisi dan ahli Taurat terdiri atas tiga bagian, yang saya ulas di bawah ini.
𝗧𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮𝗽𝗮𝗻 𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗙𝗮𝗿𝗶𝘀𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗮𝗵𝗹𝗶 𝗧𝗮𝘂𝗿𝗮𝘁 (𝗮𝘆. 𝟲-𝟴)
Dalam menanggapi orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dengan mengutip kitab Yesaya. Jawab Yesus kepada mereka, “𝘛𝘦𝘱𝘢𝘵𝘭𝘢𝘩 𝘯𝘶𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘠𝘦𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘮𝘶, 𝘩𝘢𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘶𝘯𝘢𝘧𝘪𝘬, 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘢𝘥𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘶𝘭𝘪𝘴: 𝘉𝘢𝘯𝘨𝘴𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘭𝘪𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘈𝘬𝘶 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘪𝘣𝘪𝘳𝘯𝘺𝘢, 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘩𝘢𝘭 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘈𝘬𝘶. (ay. 6) 𝘗𝘦𝘳𝘤𝘶𝘮𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘪𝘣𝘢𝘥𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢-𝘒𝘶, 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘫𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘢𝘫𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 (ay. 7) 𝘗𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘢𝘣𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘵 𝘪𝘴𝘵𝘪𝘢𝘥𝘢𝘵 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘱𝘦𝘨𝘢𝘯𝘨. (ay. 8)”
Jawaban Yesus sangat keras dengan mengutip kitab Yesaya 29:13. Yesus langsung menghunjam tradisi yang dipaksakan. Kutipan dari Yesaya itu memertentangkan penyembahan dengan mulut dan hati. Adat istiadat hanyalah tambahan ajaran manusia yang lahiriah. Bagi Yesus perintah Allah bukanlah huruf-huruf hukum Taurat, melainkan makna yang hendak dicapai melalui hukum itu. Dengan menambah adat istiadat ahli-ahli Taurat justru merudapaksa perintah Allah. Diberikan contoh oleh Yesus tentang perintah untuk menghormati ayah dan ibu ditelikung oleh peraturan ahli-ahli Taurat mengenai kurban (lih. ay. 9-13).
Memang para imam diwajibkan menjaga kebersihan lahiriah sebagai ungkapan hormat terhadap benda-benda kudus yang mereka pegang di Bait Suci. Akan tetapi semua peraturan masih kalah penting apabila diperhadapkan kepada perintah Allah untuk mengasihi dengan segenap hati (Ul. 6:4) yang kemudian akan disimpulkan Yesus di Markus 12:28-31.
𝗧𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮𝗽𝗮𝗻 𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗮𝗻𝘆𝗮𝗸 (𝗮𝘆. 𝟭𝟰-𝟭𝟱)
Sesudah menanggapi orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, lalu Yesus memanggil lagi orang banyak dan berkata kepada mereka, “𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢, 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘮𝘪𝘭𝘢𝘩.” (ay. 14) Menurut Robert Boehlke ada delapan gaya mengajar Yesus yang dirangkai sekaligus sehingga membuat para pendengar takjub: berceramah, membimbing, menghafalkan, mewujudkan, berdialog, berstudi kasus, menantang, dan bersimbolik, yang jika disarikan mengajak orang untuk merenung, berefleksi. Rumusan 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘮𝘪𝘭𝘢𝘩 hendak mengajak orang menyiapkan diri untuk berefleksi.
Untuk merangsang orang berefleksi Yesus mengontraskan ketahiran lahiriah dengan moral. Kata Yesus, “𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘱𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢, 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘫𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘭-𝘩𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘫𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢.” (ay. 15).
Di kitab Imamat pasal 11-16 hal-hal seperti bersenggama, melahirkan, menyentuh mayat, penyakit kusta, makan babi, dll. menyebabkan orang menjadi najis dalam arti tidak suci untuk bergabung dalam ibadat. Namun, Yesus memandang hal-hal itu bukanlah takaran moral.
Di ayat 15 tersebut Yesus membuat panduan dasar yang radikal bagi orang banyak bahwa manusia tidak menjadi najis oleh yang dimakannya tanpa pembasuhan tangan. Hal-hal yang keluar dari dalam diri seseorang itulah yang menajiskan. Bukan berarti Yesus menafikan kebersihan makanan dan hukum-hukum Musa. Di sini Yesus hendak mematahkan argumen orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bahwa tindakan lahiriah tidaklah dengan sendirinya membawa kesucian di hadapan Allah dan sekaligus untuk dijadikan perenungan bagi orang banyak atau para pendengar-Nya.
𝗧𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮𝗽𝗮𝗻 𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗺𝘂𝗿𝗶𝗱-𝗺𝘂𝗿𝗶𝗱-𝗡𝘆𝗮 (𝗮𝘆. 𝟮𝟭-𝟮𝟯)
Rupanya murid-murid Yesus tidak mengerti yang sudah disampaikan Yesus kepada orang banyak. Mereka bertanya kepada Yesus sesudah Ia meninggalkan orang banyak dan masuk ke sebuah rumah (ay. 17).
Yesus menanggapi pertanyaan murid-murid-Nya, “𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘮? 𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘬𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘴𝘦𝘨𝘢𝘭𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘫𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢, (ay. 18) 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘵𝘪, 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘶𝘵𝘯𝘺𝘢, 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘬𝘦 𝘫𝘢𝘮𝘣𝘢𝘯?” (ay. 19a).
Makanan tidak masuk ke dalam hati. Kata 𝘩𝘢𝘵𝘪 diterjemahkan dari 𝘬𝘢𝘳𝘥𝘪𝘢𝘴 yang berarti literal 𝘫𝘢𝘯𝘵𝘶𝘯𝘨. Jantung adalah pusat kepribadian menurut tradisi Yahudi. Makanan tidak membuat pribadi seseorang menjadi najis atau kotor, karena makanan masuk ke perut, dicerna, lalu ampasnya dibuang ke jamban. Di ayat 19b narator menyimpulkan bahwa Yesus menyatakan semua makanan halal.
Kata Yesus lagi, “𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘫𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢, (ay. 20) 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮, 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘵𝘪𝘮𝘣𝘶𝘭 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵, 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯, 𝘱𝘦𝘯𝘤𝘶𝘳𝘪𝘢𝘯, 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩𝘢𝘯, (ay. 21) 𝘱𝘦𝘳𝘻𝘪𝘯𝘢𝘩𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘴𝘦𝘳𝘢𝘬𝘢𝘩𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘭𝘪𝘤𝘪𝘬𝘢𝘯, 𝘩𝘢𝘸𝘢 𝘯𝘢𝘧𝘴𝘶, 𝘪𝘳𝘪 𝘩𝘢𝘵𝘪, 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘵, 𝘬𝘦𝘴𝘰𝘮𝘣𝘰𝘯𝘨𝘢𝘯, 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘣𝘦𝘣𝘢𝘭𝘢𝘯. (ay. 22)”
Dari sudut pandang Kitab Suci (dhi. Yes. 29:13) makanan tidak bersangkut paut dengan hati. Apabila seseorang memenuhi segala tuntutan ketahiran lahiriah, hatinya belum tentu berubah, karena perbuatan dari tuntutan itu belum mampu mengangkat kotoran hati yang menjadi sumber najis. Kedua belas macam kejahatan yang didaftar oleh Markus berpautan dengan kerusakan nasabah manusia dengan sesamanya. Keretakan itu akibat dari kejahatan moral yang muncul dari dalam pribadi manusia, yang sejatinya menajiskan manusia. Jauh berbeda dari kenajisan versi orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang hanya menyentuh hal-hal lahiriah.
Yesus menutup penjelasan kepada murid-murid-Nya dengan berkata, “𝘚𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘩𝘢𝘭 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵 𝘪𝘯𝘪 𝘵𝘪𝘮𝘣𝘶𝘭 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘫𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨.” (ay. 23) Secara radikal Yesus mematahkan argumen ahli-ahli Taurat sebagai pembuat peraturan turunan hukum Taurat dan orang-orang Farisi sebagai “polisi”-nya. Kesucian hati manusia tidak hilang karena kenajisan lahiriah. Niat jahat yang lahir dari hati itulah yang menajiskan manusia.
Perikop bacaan Minggu ini memang disiapkan oleh Markus untuk kelanjutan misi Yesus ke wilayah Tirus dan Dekapolis, yang dihuni oleh banyak orang kafir. Di sana Ia akan berjumpa dengan perempuan keturunan Siro-Fenesia dan menyembuhkan seorang bisu-tuli.
(01092024)(TUS)