Senin, 09 September 2024

Harus Baptis Selam atau tidak? Serial Sudut Pandang

Harus Baptis Selam atau tidak? Serial Sudut Pandang


PENGANTAR 

Kaum Fundamentalis selalu mempersoalkan cara baptis. Mereka mengatakan bahwa baptis itu ‘harus’ di selam. Padahal kata “selam” dalam bahasa Yunani adalah Καταδύσεις, bukan baptizo (βαπτιζω), atau baptismos. Sementara itu Yesus dan Para Rasul  tidak pernah mengharuskan cara baptis selam.Para Rasul dalam Didakhe 7 menjelaskan tentang cara Baptis sebagai berikut:

1. Dan mengenai baptisan, baptislah begini: Setelah meninjau semua pengajaran ini, baptis di dalam Nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, di dalam air yang mengalir (sungai, laut).

2. Tetapi jika air mengalir tidak tersedia, maka baptislah kedalam air lainnya (kolam atau bak); air dingin diutamakan, tetapi jika tidak tersedia (lakukan) di dalam air hangat.

3. Tetapi jika itu maupun tersedia, curahkan air tiga kali ke atas kepala di dalam Nama Bapa, Putra dan Roh Kudus.

4. Tetapi sebelum baptisan, baiklah yang bertugas berpuasa, dan juga orang yang dibaptis, dan semua orang lain yang bisa; Pastikan untuk memerintahkan orang yang akan dibaptis untuk berpuasa satu atau dua hari sebelumnya.

Selain itu arti baptize sendiri mempunyai banyak makna, mencelupkan, menuangkan, membersihkan.Oleh sebab itu, Gereja tidak mempermasalahkan cara apapun, yang terpenting bagi Gereja adalah bukan cara tetapi makna dari tindakan pembaptisan, dan meterai dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Yesus tidak pernah memerintahkan para murid ‘harus’ membaptis dengan cara selam. Dengan demikian bagi Yesus tidak penting cara baptis, tetapi yang terpenting adalah makna dan rumusan dari pembaptisan yang dilakukan.

METERAI 

Kalau mau jujur Baptis sebenarnya hanyalah ritual inisiasi, tapi orang pada ribut semua, malah gak memperhatikan kondisi batin nya yg di baptis, makanya Beberapa  gereja termasuk bbrp ordo ortodoks dan khatolik Roma itu di dekat altar ada kolam baptisan tapi kalau mau dibaptis percik juga gpp, kalau beberapa gereja arus utama, sarana gak jadi masalah bukan air pasirpun jadi, Krn dianggap air dipahami sebagai warisan budaya, tapi yg terpenting  bukan cara atau sarana tapi dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus yg dianggap sebagai inisiasi, karena menurut beberapa gereja termasuk dalam DIDAKTE ıtulah meterainya. Ditautkan pada pemahaman meterai PL dan PB, perkara meterai  Allah pada umat kepunyaanNya. Beberapa gereja memiliki tafsir beda, tafsir beda saja, gak masalah, semua tafsir itu tak ada yang salah, cuman tafsir harus ada argumentasi dan pertanggung jawabannya. Misalnya mengesahkan pembaptisan ulang, nah ..... itu sudah tidak bertanggung jawab tafsirnya, masak pengakuan iman menjadikan Yesus Kristus sebagai juru selamat terjadi beberapa kali dalam hidup seseorang, harusnya cuman sekali, menganggap cara baptis yang satu lebih baik dari yang lain itu juga tafsir yg tidak bertanggung jawab, menganggap baptisan yang lain bukan baptisan Roh itu juga tafsir yang tidak bertanggung jawab, dlsb. Beda tafsir, dalam kronologi Bapa - Bapa gereja, pembaptisan tanpa air pernah menjadi ritual pada gereja tertentu yg kesulitan mendapatkan air, pada kasus umat Kristen di Cina yg ditahan pemerintah komunis, dan tidak mereka melakukan dism-diam perjamuan kudus dg roti dari kotoran mereka dan anggur dari air kencing serta membaptis dg air kencing atau tanah yg ada di penjara. Dalam sejarah pembaptisan, di Afrika Selatan pernah terjadi satu suku dibaptis dg tanah Krn memang daerahnya sulit air. Nah, itu ..... selain dasar Alkitab, Makanya perlu sekali dalam dogma itu melihat kemungkinan yg terjadi ke depan atau melihat sejarah di belakang, makanya beberapa gereja, menumpukan baptis pada meterainya bukan sarana atau cara. Betul sekale, beberapa gereja menumpukan esensinya pada pemahaman tafsir meterai Nya, itu sebetulnya juga yg diusung oleh PAUS PIUS dari Khatolik pada zamannya. PAUS PIUS pada zamannya bahkan mengatakan baptisan tanpa sarana apapun tidak menjadi halangan asal dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, karena itu meterei atau tandanya, itu dikritisi oleh dewan kardinal/uskup saat itu, makanya tradisi pengusiran setan dalam seminari gereja khatolik menggunakan formulasi dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus Krn itu dianggap tanda atau meterai sebagai umat Allah, dan perintah dari Yesus jelas di Injil "baptislah mereka dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus ....." dalam kalimat ini maka ada 2 unsur utama "AIR/BAPTIZO" dan BAPA, PUTRA, dan ROH KUDUS ... artinya kalau ada yg menafsirkan ditumpukan pada AIR nya juga tidak salah, menafsirkan ditumpukan pada BAPA, PUTRA, dan ROH KUDUS juga tidak salah, ditumpukan pada keduanya juga tidak salah, semuanya berada pada argumentasi yg dapat dipertanggung jawabkan (Matius 28:19 (TB)  Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus). Beberapa gereja arus utama mengakui baptisan seperti itu adalah baptisan Roh, artinya tidak perlu ada baptisan ulang atau baptisan Roh lage. Kalaupun sarananya bukan air, tapi dalam nama meterai itu tetap tidak akan diulang oleh beberapa gereja arus utama, tapi kalau tidak dibaptis dalam nama meterei itu maka akan diulang oleh beberapa gereja tsb. Baptisan ulang yg dimaksudkan oleh beberapa gereja adalah kalau dilakukan lebih dari 1 x  Baptisan dalam meterai Bapa, Putra, dan Roh Kudus, kalau ada yg sudah dibaptis dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus dari denominasi manapun tidak akan diulang oleh beberapa gereja arus utama, perkara batin kemantapan selam atau percik tidak jadi masalah bagi beberapa gereja arus utama, maka  kalau untuk urusan kemantapan atau batin seseorang bisa dilakukan baptisan tanpa meterai Bapa, Putra, dan Roh Kudus, baik selam ataupun percik, demi menyelamatkan kondisi batin seseorang atau umat, itu memanusiakan manusia, makanya beberapa gereja tidak menumpukan pada AIR/BAPTIZO tp pada meterainya.

BEBERAPA PEMIKIRAN 

pandangan  tentang baptisan
Banyak jemaat protestan melayani baptisan anak-anak pada kebaktian memperingati hari pencurahan Roh Kudus. Dalam tradisi kristen, peristiwa itu dikenal dengan nama hari raya pentakosta. Melalui baptisan orang tua menyerahkan anak mereka untuk dimeteraikan oleh gereja sebagai milik Allah. Ibadah ini dilakukan dalam persekutuan jemaat dan sebagaimana biasa dalam beberapa gereja, baptisan dilakukan dengan cara percik ataupun selam. Ada tiga hal yang menegaskan keabsahan sebuah pelayanan baptisan, bila disimpulkan.

 1), Baptisan harus dilakukan dalam pertemuan jemaat. Meskipun baptisan dilakukan bagi orang per orang, tetapi ia tidak syah jika tidak dilakukan di dalam peribadahan jemaat. 
2), Upacara itu dilayani oleh pejabat yang diakui dan ditetapkan oleh gereja,  yang berhak melayani baptisan adalah pendeta. 
3), pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan formulasi tepat, yakni dilakukan dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus.

Pandangan mengenai baptisan cukup jelas. Baptisan adalah sakramen. Sebagai sakramen ia adalah "tanda keselamatan". Baptisan bukan keselamatan. Ia hanyalah tanda yang menunjuk pada keselamatan. Pernyataan Jürgen Moltmann ini pantas kita ingat. "Baptisan adalah bentuk dari kedatangan Roh Kudus. Baptisan bukan perbuatan yang memiliki kekuatan magis. J. Feineren mengatakan: 

"Baptisan bukan saluran yang membawa Roh Kudus berkarya di dalam kita." Roh Kuduslah yang mengerakan kita untuk memberi diri dibaptis."

 Jelasnya, baptisan merupakan pengakuan dari si penerima bahwa ia menerima pekerjaan Roh Kudus dalam dirinya. Itu sebabnya beberapa  gereja, tidak memberi harga mati pada bentuk-bentuk lahiriah dari pelayanan baptisan. Pada prinsipnya, beberapa gereja mengakui semua bentuk baptisan: percik, siram dan selam, tanpa mempertentangkannya. Meskipun demikian dalam pelaksanaannya tergantung pokok ajaran gereja bersangkutan atau tergantung dogmanya memilih baptis percik, selam, atau siram.

Seremoni yang dipersoalkan
Pelayanan baptisan dengan cara percik bagi warganya sering menimbulkan tanda tanya serius, bukan hanya dari pihak luar, tetapi juga dari warganya sendiri. Perasaan ragu-ragu dan sangsi terhadap efektifitas baptisan percik membuat banyak warga Gereja mengambil keputusan untuk dibaptis ulang dengan cara selam (ora Marem/gak afdol/gak mantap/gak kaya baptisnya Yesus, dlsb). Karena beberapa gereja arus utama tidak melayani baptis selam, meskipun tidak menolak, warga yang bimbang itu lari ke denominasi yang melayani kebutuhannya. Setelah dibaptis selam, warga itu tidak kembali ke gereja asalnya. Hal ini sering memicu adanya sikap saling curiga dan konflik antar denominasi kristen.
Di samping rasa tidak percaya pada baptisan percik, keputusan untuk dibaptis ulang dengan cara selam juga dikaitkan dengan rasa tidak puas pada baptisan anak-anak.

Alasannya seperti berikut: 
baptisan hanya bisa dilayankan kalau yang dibaptis telah mengaku imannya. anak-anak tidak dapat mengaku iman karena itu tidak dapat dibaptis. Baptisan yang dilakukan beberapa gereja arus utama dinilai banyak pihak memiliki cacat ganda. Ia dianggap tidak sah karena dua hal: dilakukan dengan cara percik dan dilayankan kepada anak-anak. Ini jelas-jelas bertentangan dengan baptisan Yesus di Yordan: selam dan waktu dewasa. Kalau baptisan dilihat sebagai inisiasi untuk menjadi pengikut Yesus Kristus, mestilah dilakukan menurut contoh Tuhan Yesus, supaya sah, tak bercacat.
Saya banyak mendengar ketidak-puasan dan dakwaan-dakwaan itu. Bahkan tidak sedikit warga  yang bertanya pada saya: Kalau benar gereja mengakui semua bentuk baptisan: percik, siram, selam, kepada anak-anak dan orang dewasa, mengapa beberapa gereja arus utama justru hanya memilih baptisan percik dan untuk anak-anak? Apa ada yang salah jika gereja bertanya lebih dahulu kepada calon baptisan: bentuk baptisan apa yang dia mau, supaya pelayanan baptisan gereja tidak kaku dan statis? Setelah lama berdiam diri, atau memberi jawaban lisan, saya akhir menuliskan dalam beberapa tulisan dan penelitian.

c. Perbuatan yang kontekstual
Sudah banyak tulisan atau penjelasan dibuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Kebanyakan jawaban memberi argumentasi teologis biblis. Menurut pendasaran teologisnya: cara percik dipilih karena bukan air, atau ritus baptisan, atau usia calon baptisan yang menjadi juru selamat manusia. Seandainya air yang menjadi juru selamat, maka bisa dianggap benar bahwa mereka yang dibaptis secara percik hanya bagian tubuh yang kena air baptisan yang selamat dan masuk sorga. Bagian tubuh yang lain tidak. Tapi berutunglah juruselamat manusia adalah Yesus Kristus. Ia ada sebagai juru selamat sejak lahir sampai sekarang. Sebelum dibaptis pun Dia adalah Anak Allah.
Mengenai baptisan anak-anak dikatakan bahwa anugerah Allah yang menyelamatkan mendahului jawaban manusia berupa kesadaran akan dosa, maupun percaya. Anugerah itu tidak hanya efektif bagi orang dewasa, tetapi juga bagi anak-anak. Itu sebabnya tidak ada soal bagi baptisan anak-anak secara teologis biblis.
Seperti sudah saya sebutkan, jawaban ini bersifat teologis biblis. Dimensi antropologis dan sosiologis belum nampak dalam jawaban ini. Jawaban teologis ini benar. Dan ia berlaku di mana-mana. Ia dapat diterima di Timor, di Sumba, di Belanda atau Amerika. Mantan guru saya yang sekarang adalah rekan dosen di STT BAPTIS INJILI mengkategorikan jawaban seperti ini ke dalam tradisi am (baca: prinsip yang berlaku di sembarang tempat dan waktu). 

Ditinjau dari tradisi am, baptisan percik dari gereja arus utama valid dan dapat diterima. Meskipun begitu tetap ada persoalan: mengapa gereja arus utama tidak pilih selam dan kepada orang dewasa saja? Apakah ada yang kurang pas bagi gereja arus utama dengan selam dan bagi orang dewasa?
Masih mengenai rekan itu, menurut dia identitas eklesiologis suatu komunitas percaya dibangun atau dibentuk bukan hanya oleh tradisi am, tetapi juga oleh tradisi lokal. Yang ia maksudkan dengan tradisi lokal ialah pemahaman atau pola pikir yang berkaitan erat dengan kondisi dan situasi masyarakat atau jemaat setempat. Dua sumber ini yang menjadi bahan baku dari pembentukkan identitas diri dan pelayanan gereja.
Kalau pikiran rekan saya ini diperluas ke soal baptisan soalnya jadi begini: di dalam hal pelayanan baptisan gereja arus utama memilih berpikir global bertindak lokal. Secara teologis biblis gereja arus utama mengakui semua bentuk baptisan dan untuk semua usia (berpikir global), tetapi dalam pelaksanaan beberapa gereja arus utama melayani baptisan percik dan kepada anak-anak (bertindak lokal). Soal teologis biblis sudah saya jelaskan. Sekarang saya coba menjelaskan alasan-alasan kontekstual: mengapa baptisan percik dan untuk anak-anak.
Pertama, baptisan anak-anak merupakan pilihan yang dilakukan dalam komitmen untuk bertindak lokal, meskipun gereja arus utama tidak menolak baptisan dewasa. Dengan membaptis anak-anak gereja arus utama  sedang memperdengarkan suara profetis dari gereja dalam masyarakat yang suka memperlakukan anak-anak secara tidak adil.
Kita semua tahu bahwa anak-anak seringkali dalam masyarakat selalu diperlakukan sebagai warga kelas tiga, menyusul perempuan selaku warga kelas dua dalam masyarakat. Hampir setiap suku menganggap anak-anak bukan sebagai manusia dalam arti penuh, bahkan dianggap sebagai "milik". Ini tercermin dalam perilaku orang tua dan masyarakat. Pengalaman saya sebagai peneliti menunjukkan kebenaran pandangan ini. Bayi yang meninggal pada waktu dilahirkan atau pada bulan-bulan pertama dikuburkan begitu saja, tanpa perkabungan, tanpa pemberitahuan luas kepada keluarga yang jauh dan juga tanpa tata cara pemakaman seperti yang terjadi bagi orang dewasa. Dalam adat suku Sabu, orang dewasa yang meninggal harus dikuburkan pada waktu sore, menjelang matahari terbenam. Orang Sabu bilang "horo lodo". Tetapi kalau bayi yang baru lahir atau berusia beberapa bulan harus dikuburkan pagi-pagi sekali. Di kalangan suku Atoni bayi yang meninggal sebelum mencapai usia 40 hari biasanya dikuburkan dalam rumah, di bawah balai-balai di mana ibunya tidur. Si bayi dianggap anak kegelapan. Ia bukan manusia.
Dalam upacara siklus kehidupan dari banyak suku ada ritus memperkenalkan anak yang baru lahir kepada komunitas sekampung. Di kalangan suku Atoni kita kenal yang namanya "napoitan li ana". Tapi ritus ini baru diadakan 40 hari setelah lahir. Ada ketakutan, rasa was-was dan belum percaya dari keluarga akan kemanusiaan anak itu. Mereka perlu menunggu dan mengamati dengan saksama. Waktu 40 hari dipakai untuk itu.
Selanjutnya, suku-suku lebih menghormati orang dewasa daripada anak-anak. Anak-anak "diusir” dari ruang keluarga, jika ada tamu. Menu makanan untuk mereka beda jauh dibanding menu bagi orang dewasa. Anak-anak hanya dapat nasi dan kuah dalam acara-acara pesta. Anak paling sering mendapat umpatan, makian bahkan rotan dari ayah dan ibu jika lalai memberi makan pada ayam atau hewan piaraan. Tetapi jarang sekali anak itu mendapat penghargaan atas jerih lelahnya. Kalau ayam atau babi itu dipotong, daging yang empuk, lezat dan bergizi dihidangkan kepada orang dewasa. Anak yang banyak berlelah untuk binatang itu hanya dapat yang sisa. Ini benar-benar tindakan yang diskriminatif terhadap anak-anak. 
Kalau baptisan dewasa yang dilakukan beberapa gereja dalam masyarakat yang demikian, fungsi garam macam apakah yang diberikan gereja kepada masyarakat di mana dia ada dan melayani? Tidak ada sama sekali. Garam yang ada padanya kehilangan asinnya. Gereja yang melakukan baptisan dewasa dalam konteks yang demikian menyangkal tugasnya sebagai agen pembaharu (garam dan terang) budaya dan masyarakat. Ia bukan hanya ada dalam dunia, tetapi telah menjadi serupa dengan dunia. Ini gereja adaptasi dan bukan gereja reformasi. Dia menjadi gereja yang mengejar keselamatan masa depan dari "anak-anak Allah", tetapi kehilangan keselamatan masa kini dari anak-anak Allah. Gereja melayani baptisan anak-anak dalam masyarakat yang memposisikan anak-anak sebagai warga kelas tiga, karena gereja percaya bahwa anak-anak adalah manusia yang utuh dan sempurna, bukan hanya sejak dilahirkan. Semasa dalam kandungan pun ia adalah manusia yang utuh dan penuh, itu sebabnya gereja juga mengutuk abortus atau pengguguran kandungan. Anak-anak bagi gereja bukan manusia minus. Itu sebabnya segala bentuk diskriminasi terhadap anak-anak harus diperangi dan dihentikan. Pilihan gereja arus utama pada baptisan anak-anak mengisyaratkan kepeloporan  sebagai agen pembaharu budaya dan masyarakat.
Jadi dengan melayani baptisan anak-anak gereja sedang mengajar para orang tua dan saksi baptisan untuk memperlakukan anak-anak sebagaimana Allah sendiri memperlakukan mereka. Adalah satu kekeliruan bahkan kemunafikan jika setelah membaptisan anak-anaknya para orang tua dan saksi baptisan masih berlaku diskriminatif terhadap anak-anak.
Kedua, gereja ada dan melayani dalam masyarakat  yang hidup secara komunal. Dalam masyarakat komunal pendapat dan keputusan individu adalah relatif. Individu tunduk dan taat pada keputusan komunal. Baptisan orang dewasa dengan pertimbangan bahwa calon baptisan harus mengambil keputusan sendiri.
Prinsip mengutamakan persekutuan di atas pendapat pribadi juga merupakan ciri khas dari kehidupan bergereja. Hal ini ditunjukan dengan cukup jelas oleh Harun Hadiwijono. Ia menulis sebagai berikut: “Menurut Alkitab, keselamatan yang dikaruniakan oleh Tuhan Allah dengan perantaraan karya Tuhan Yesus Kristus itu pertama-tama bukan ditujukan kepada perorangan, melainkan kepada umat Allah sebagai keseluruhan, atau kepada umat Allah yang mewujudkan suatu kesatuan. Yang disebut anak Allah pertama-tama adalah seluruh persekutuan orang beriman. Itu sebabnya maka menurut Alkitab, orang beriman tidak berdiri sendiri-sendiri, yang seorang lepas daripada yang lain.” 
Ketiga, betapapun gereja mengakui semua bentuk baptisan, cara percik, siram atau selam yang dipilih gereja sebagai salah satu identitas eklesiologisnya. Ini pun merupakan pilihan yang kontekstual. Suku-suku mengenal ritus-ritus mendinginkan rumah baru, kebun baru, dsb. Air merupakan unsur penting dalam ritus itu. Rumah yang didinginkan tidak dimandikan atau diselamkan dalam air, tapi cukup dipercik.
Oleh banyak suku, bayi yang baru lahir dianggap makluk yang masih rentan terhadap bahaya. Sejumlah ritus perlu dilakukan padanya untuk mencegah dia dari mara bahaya. Perlu ada semacam upacara "mendinginkan" bayi itu supaya dapat berintegrasi dalam masyarakat. Seorang bayi yang hendak diperkenalkan kepada masyarakat (didinginkan), cukup dipercik dengan air. Mencelupkan tubuh bayi seluruhnya ke dalam air dapat berakibat gangguan kesehatan.
Saya juga mengenal tradisi suku-suku yang dapat dijadikan analogi bagi baptisan. Di kalangan suku Atoni ada kebiasaan dari tiap marga untuk menandai sesuatu sebagai milik mereka. Sebutan lazim untuk kebiasaan ini adalah malak ma hetis. Malak adalah pemberian tanda kepada binatang besar seperti sapi di bagian paha. Sedangkan hetis diutamakan untuk binatang kecil seperti babi dan kambing. Caranya ialah memotong telinga binatang itu. Kadang kedua tanda itu, malak ma hetis, diberikan untuk binatang yang sama.
Menaruh malak atau hetis di paha atau telinga sama sekali tidak berarti bahwa suku itu hanya berhak memiliki paha atau telinga binatang tersebut. Tidak! Meskipun tanda itu hanya ditaruh di paha atau telinga, binatang itu seluruhnya adalah miliki keluarga tersebut, sebab pada salah satu bagian tubuhnya ada tanda dari keluarga tersebut. Bahkan anak yang dilahirkan binatang itu dengan sendirinya adalah milik keluarga pemilik tanda itu.
Baptisan, seperti sudah kita catat, adalah tanda bahwa seseorang adalah milik Allah. Baptisan adalah tanda kepemilikan. Ia cukup ditaruh di satu tempat saja. Itu saja sudah cukup sebagai pemberitahuan bahwa seluruh hidup dari orang yang menerima baptisan adalah milik Allah. Anak yang lahir dari orang itu juga otomatis adalah milik Allah. Anak itu juga harus dibaptis.
Inilah sebabnya gereja melakukan baptisan kepada anak-anak dengan cara percik (dewasa dapat selam atau siram). Semoga anda tidak sangsi lagi. Bawalah anak-anak anda untuk menerima baptisan percik.

(10092024)(TUS)

Sumber Pustaka :1. Aaron Milavec, The Didache : text, translation, analysis, commentary Milavec Collegevi Minnesota : Liturgical Press, 2004.2. Rm. Fx. Adisusanto SJ, Menyusuri Sejarah Pewartaan Gereja, Jilid I, Yogyakarta, Lembaga Pengembangan Kateketik Pusat, 1997.

Baca juga :
https://titusroidanto.blogspot.com/2024/09/baptis-selam-serial-sudut-pandang.html

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...