Dalam kehidupan orang membutuhkan simbol. Simbol menolong orang memahami hakikat di balik simbol itu. Orang merasa belum sah belum afdol menjadi sarjana sampai kucir topi sarjananya dialihkan dari kiri ke kanan oleh pemimpin universitas dalam upacara wisuda. Padahal tanpa ikut upacara wisuda, asalkan ia sudah mendapat ijazah, maka ia sudah sah menjadi sarjana. Orang Kristen (apalagi Katolik!) beribadah akan merasa tidak afdol tanpa kehadiran simbol salib. Padahal simbol salib tak menentukan keabsahan ibadah, melainkan ketahiran hati.
Sekitar 10 tahun lalu saya berbincang dengan seorang pendeta. Saya mengajukan satu kasus. Ada warga jemaat yang merasa dirinya berdosa, berada di titik nadir. Ia sudah berdoa mohon ampun atas segala dosa-dosanya, tetapi ia sama sekali tidak merasa diampuni. Ia kemudian menemui pendeta untuk dibaptis selam agar ia merasa lega dan diampuni. “Apa yang kamu lakukan?” tanya saya kepada pendeta itu.
“Tidak akan saya lakukan, karena peraturan Gereja jelas, tidak ada baptis ulang dan tidak ada baptis selam.” jawabnya tegas.
“Bagaimana jika ia kecewa, lalu pindah Gereja, bahkan pindah agama?”
“Bukan urusanku.” tukas pendeta itu sambil mengangkat bahu.
“Itu artinya kamu gagal menjadi gembala. Jemaat rugi menggaji kamu!”
“Lha gimana dong?”
Andaikata saya pendeta, saya akan ikuti permohonan warga jemaat itu. Kesatu, dasar Alkitabnya adalah baptisan Yohanes. Baptisan pengampunan dosa. Kedua, saya akan ajak orang ke kolam renang dan membaptis dengan menyelamkannya dan berkata: “Dosamu sudah diampuni. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi.”
Saya melakukannya ada dasar alkitabiah dan sekaligus tidak melanggar aturan Gereja, karena saya tidak membaptis dengan formula: dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Yang jauh lebih penting adalah saya mengembalikan harga diri warga jemaat itu.
“Iya juga yah?” tanggap pendeta itu.
“Iyalah, nyatanya Gereja bisa dan mau melayankan peneguhan pernikahan orang yang sudah bercerai kok!”
Itulah tempo hari yang saya sampaikan bahwa syarat pendeta haruslah sarjana teologi. Kalau pendeta tupoksinya hanya melarang ini-itu dan cumak menegakkan peraturan, tak perlu capek-capek sekolah teologi. Satpol PP dan Petugas Tramtib bisa menjadi pendeta.
Ketaatan mengamankan peraturan, tetapi cinta tahu kapan melanggarnya.
Dan dogma atau pokok ajaran bahkan tafsir yang tidak memanusiakan manusia ıtulah yang dikritisi Tuhan Yesus atas orang Farisi
(09092024)(TUS)
Baca juga :
https://titusroidanto.blogspot.com/2024/09/harus-baptis-selam-atau-tidak-serial.html