Beberapa waktu lalu, sudah agak lama, awal-awal Rocky Gerung tenar, Rocky Gerung menyampaikan pernyataan kontroversial, apakah kitab suci fakta atau fiksi? Pernyataan tsb false dilemma atau false dichotomy, dua pilihan sulit atau terlalu menyederhanakan masalah.
RG sengaja menawarkan pilihan terbatas seakan-akan memaksa lawan bicaranya untuk memilih dua opsi yang sama-sama tidak diinginkan, atau seolah-olah tidak ada alternatif lain yang lebih baik.
Jika ungkapan tersebut disampaikan di kampus, hal tersebut bukan issue besar. Karena di kelas filsafat terbuka ruang diskusi dan dialog untuk menjernihkan suatu pokok pemikiran bahkan Ungkapan yang provokatif sering dipakai untuk menantang mahasiswa berpikir guna menemukan gagasan-gagasan yang selama ini tidak terpikirkan. Sayangnya sinyalemen tersebut muncul di media massa, pada situasi yang ditangkap dan ditelan secara instan.
Dalam konteks kitab suci, perbedaan fiksi dan fakta sering menjadi perdebatan kompleks karena melibatkan aspek kepercayaan, teologi, dan interpretasi teks.
1. Fakta: Dalam konteks kitab suci, fakta merujuk pada peristiwa, tokoh, atau ajaran yang dianggap benar dan terjadi secara historis atau nyata menurut tradisi keagamaan. Misalnya, dalam agama tertentu, kisah-kisah yang diceritakan dalam kitab suci dianggap sebagai catatan sejarah atau realitas yang benar-benar terjadi.
2. Fiksi: Di sisi lain, fiksi dalam konteks Kitab Suci bukan berarti kebohongan atau sesuatu yang sepenuhnya tidak benar, melainkan merujuk pada alegori, metafora, simbolisme, atau cerita yang disampaikan untuk menyampaikan pesan lain, pelajaran moral, spiritual, atau kebenaran ajaran agama. Kisah-kisah fiktif dalam kitab suci mungkin tidak dimaksudkan untuk diinterpretasikan secara harfiah, melainkan sebagai sarana untuk mengajarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip tertentu. Yang harus dipahami Alkitab adalah kisah teologis.
Sewaktu mengajar pernah melatih mahasiswa “membuat film”, yaitu menceritakan kembali suatu peristiwa dengan tambahan sejumlah unsur dramatik untuk menekankan jalannya peristiwa atau kejadian yang tidak tercatat atau tertulis dalam teks suci. Sebagai unsur tambahan, kejadian tersebut mungkin terjadi mungkin tidak, hal tersebut bukan soal. Karena masuknya unsur dramatis memang sebagai tambahan guna menegaskan suatu kesan.
Pernah seorang GSM menggunakan seruan yang sama sekali tidak kami duga saat menceritakan keterkejutan bangsa Israel pertama kali melihat Manna itu
“ Uiddaannn……. Ada apa ini? Ada tepung bertebaran di depan tenda, banyak sekali?“
Manna adalah makanan yang turun bersamaan embun pagi. berwarna putih seperti ketumbar dan rasanya seperti rasa kue madu
Pilihan ungkapan yang mengejutkan tersebut hemat saya sangat jitu, namun oleh dosen pembimbing mereka Bu Sutomo Sulardjo sepuh, pilihan kata tersebut dipandang tidak tepat mengingat audience atau pendengar adalah anak-anak
“ Kita boleh menggunakan ungkapan tanda keterkejutan tetapi tidak boleh menggunakan kata-kata yang bisa ditiru anak-anak sebagai hal yang negatif”
Itulah fiksi. Ada banyak hal sejenis yang bisa dikupas di kelas persiapan.
Penting untuk dicatat, dalam tradisi keagamaan, batas antara fakta dan fiksi sering kali tidak jelas, dan interpretasi bisa sangat bervariasi di antara para penganut agama. Apa yang dianggap sebagai fakta oleh satu kelompok mungkin dianggap sebagai alegori atau simbolisme oleh kelompok lain. Interpretasi kitab suci sering kali dipengaruhi oleh konteks budaya, sejarah, dan teologis masing-masing agama.
Jadi, dalam konteks kitab suci, fiksi dan fakta tidak selalu merupakan dua hal yang sepenuhnya terpisah, tetapi bisa saling berkaitan dan berfungsi untuk menyampaikan pesan-pesan spiritual yang lebih dalam.
Menurut Prof Anil Seth, ahli neuroscience kognitif yang dikenal dengan karyanya bidang kesadaran dan persepsi di bukunya “Being You: A New Science of Consciousness” apa yang kita sebut sebagai "fakta" atau "realitas" sebenarnya hasil dari proses konstruktif di otak. Menurut Seth, otak manusia secara aktif membuat model dari dunia tidak hanya berdasarkan input sensorik yang terbatas melainkan juga interpretasi yang dipengaruhi oleh pengalaman, harapan, dan keyakinan. Dengan kata lain, realitas yang seseorang alami tidaklah murni obyektif, melainkan "prediksi terbaik" otak tentang apa yang terjadi di dunia luar.
Perspektif Anil Seth tentang Fakta dan Realitas:
1. Controlled Hallucination: Seth menggambarkan persepsi sebagai "controlled hallucination." Menurutnya, pengalaman kita tentang dunia adalah hasil dari model prediktif yang terus diperbarui oleh otak. Otak kita membuat tebakan (prediksi) tentang apa yang ada di luar sana dan kemudian menyesuaikannya berdasarkan masukan sensorik. Jadi, apa yang kita lihat sebagai fakta sebenarnya adalah hasil dari proses ini, bukan representasi langsung dari realitas obyektif.
2. Predictive Processing: Seth menggunakan konsep predictive processing, di mana otak kita selalu mencoba memprediksi informasi sensorik yang akan datang dan membandingkannya dengan data yang masuk. Ketika prediksi otak sesuai dengan input sensorik, kita merasakan bahwa apa yang kita lihat atau alami adalah fakta. Namun, ketika ada ketidaksesuaian, otak akan mencoba memperbarui modelnya atau, dalam beberapa kasus, menghasilkan persepsi yang salah atau ilusi.
3. Kesadaran sebagai Proses Aktif: Dalam pandangan Seth, kesadaran bukanlah cermin pasif dari dunia luar, tetapi sebuah proses aktif di mana otak menciptakan interpretasi dari data yang terbatas. Oleh karena itu, fakta-fakta yang kita anggap sebagai bagian dari realitas bisa saja berbeda dengan kenyataan objektif, karena mereka adalah konstruksi otak yang bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal.
4. Fakta sebagai Konsensus: Seth juga mengakui bahwa dalam konteks sosial, fakta sering kali dipahami sebagai sesuatu yang diperoleh melalui konsensus atau kesepakatan bersama. Dalam hal ini, fakta adalah apa yang banyak orang setujui sebagai benar berdasarkan bukti dan pengamatan yang sama. Namun, dia menekankan bahwa ini tidak berarti bahwa persepsi individu selalu sesuai dengan fakta obyektif, karena setiap orang memproses informasi melalui model mental yang berbeda.
Pandangan Anil Seth tentang Realitas sejalan pandangan filsuf abad -19 Arthur Schopenhauer, ia mengembangkan pandangan bahwa dunia yang kita alami adalah "representasi" atau "presentasi" (Vorstellung) di dalam pikiran kita. Salah satu konsep penting filsafat Schopenhauer terkait pandangan metafisiknya tentang dunia sebagai kehendak dan representasi.
Dalam bukunya yang paling terkenal, "Die Welt als Wille und Vorstellung" (Dunia sebagai Kehendak dan Representasi), Schopenhauer mengembangkan pandangan dunia yang kita alami adalah "representasi" atau "presentasi" (Vorstellung) di dalam pikiran kita. Teori presentasi Schopenhauer memiliki beberapa aspek utama:
1. Dunia sebagai Representasi (Vorstellung):
Menurut Schopenhauer, semua yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari adalah representasi, yaitu penampakan di dalam pikiran kita. Ini berarti bahwa dunia seperti yang kita pahami adalah konstruksi mental yang dibentuk oleh persepsi kita. Realitas yang kita alami bukanlah dunia dalam dirinya sendiri (Ding an sich), melainkan hanya representasi dari dunia tersebut.
Schopenhauer dipengaruhi oleh pandangan Immanuel Kant, yang membedakan antara dunia fenomenal (dunia yang kita alami) dan dunia noumenal (realitas di luar pengalaman kita). Schopenhauer setuju dengan Kant bahwa kita tidak pernah bisa mengetahui dunia noumenal secara langsung. Namun, Schopenhauer melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa dunia fenomenal hanyalah representasi di dalam pikiran kita.
2. Subjek dan Objek:
Schopenhauer menekankan bahwa representasi selalu melibatkan subjek (yang mempersepsi) dan objek (yang diperpsi). Tidak ada objek tanpa subjek, dan tidak ada subjek tanpa objek. Dengan kata lain, keberadaan dunia bergantung pada adanya seorang pengamat. Dunia yang kita lihat adalah hasil dari hubungan antara subjek dan objek ini.
3. Kehendak sebagai Realitas Dasar:
Di balik semua representasi, Schopenhauer berargumen satu realitas dasar yang tidak terpengaruh oleh persepsi kita: kehendak (der Wille). Kehendak ini adalah kekuatan buta dan irasional yang mendasari semua fenomena. Menurut Schopenhauer, kehendak adalah inti dari segala sesuatu, termasuk diri kita sendiri. Kelak Nietzsche mengembangkan kehendak berkuasa sebagai sifat dasar manusia. The will to power.
Manusia tidak hanya mengalami dunia sebagai representasi, tetapi juga merasakan kehendak dalam diri mereka sendiri, terutama dalam dorongan, hasrat, dan kebutuhan mereka. Kehendak ini tidak tunduk pada hukum-hukum rasionalitas atau moralitas, dan sering kali menjadi sumber penderitaan bagi individu.
4. Ilusi dan Maya:
Schopenhauer sering menyamakan konsep representasi dengan gagasan "Maya" dalam filsafat Hindu, yaitu ilusi yang menutupi realitas sejati. Dunia yang kita lihat hanyalah penampakan yang menipu kita dari realitas yang sebenarnya, yaitu kehendak yang mendasari segala sesuatu.
Apakah kitab suci fakta atau fiksi bukanlah hal yang mudah dijawab secara sederhana. Saya tidak mau terjebak mengambil salah satu dari pilihan yang tidak menarik, karena batas antara fiksi di dalam pikiran manusia sendiri bukanlah sesuatu yang jelas. Seringkali manusia mencampur adukkan apa yang dia lihat sebagai pengalaman indrawi (fenomena) dengan apa yang diharapkan atau kehendak yang tanpa sadar mendominasi gagasan. Kant sebelumnya sudah membedakan antara Fenomena dan Noumena. Saran saya pada diri sendiri, jangan mau terprovokasi oleh omongan dosen filsafat tanpa berusaha mencerna (TUS)(01.09.2024)