Setiap orang Kristen pasti mengetahui ajaran utama Yesus adalah Hukum Kasih. Ironisnya ajaran ini justru sering menjadi ajaran yang paling tidak diutamakan oleh para pengikut-Nya.
Hari ini adalah Minggu kedua puluh empat setelah Pentakosta. Bacaan ekumenis diambil dari Injil Markus 12:28-34 yang didahului dengan Ulangan 6:1-9, Mazmur 119:1-8, dan Ibrani 9:11-14.
Bacaan Minggu ini konteksnya Yesus sudah berada di Yerusalem sesudah melakukan perjalanan panjang dari Galilea. Selama berada di Yerusalem Yesus menghadapi banyak pertentangan dari para pemuka agama Yahudi, antara lain Yesus menyucikan Bait Allah yang dijadikan pusat bisnis (Mrk. 11:15-19), soal kuasa Yesus (11:27-33), pembayaran pajak (12:13-17), dan kebangkitan (12:18-27).
Soal kebangkitan terjadi perdebatan seru antara Yesus dan orang-orang Saduki, yang merupakan satu faksi dalam agama Yahudi. Jawaban-jawaban Yesus yang jitu kepada mereka membuat seorang ahli Taurat mendatangi Yesus untuk bersoal-jawab.
Pengulasan bacaan dibagi ke dalam dua bagian:
▶ Perintah terutama (ay. 28-31)
▶ Di ambang pintu dunia baru (ay. 32-34)
𝗣𝗲𝗿𝗶𝗻𝘁𝗮𝗵 𝘁𝗲𝗿𝘂𝘁𝗮𝗺𝗮 (ay. 28-31)
Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal-jawab dan tahu bahwa Yesus memberi jawaban yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya, “𝘗𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘯𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘶𝘵𝘢𝘮𝘢?” (ay. 28)
Cerapan kita terhadap ahli Taurat adalah hendak menjebak Yesus. Ini wajar karena sepanjang kitab Injil dikisahkan ahli-ahli Taurat menyerang Yesus. Sangat bolehjadi kita mencerap ahli Taurat ini hendak berkoalisi dengan orang-orang Saduki untuk menyerang Yesus.
Bagi ahli Taurat tersebut pertanyaan yang diajukannya amatlah penting. Dalam Taurat Musa terhitung 613 perintah dan ini belum termasuk peraturan tambahan yang diturunkan dari 613 perintah itu oleh rabi-rabi Yahudi. Oleh karena jumlahnya begitu banyak orang-orang Yahudi kerap bingung dan sering bertanya kepada guru-guru Yahudi. Rabi Hillel pernah menyimpulkan keseluruhan hukum, “𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘬𝘢𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘢𝘱𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶, 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶.” (𝘛𝘢𝘭𝘮𝘶𝘥 𝘣. 𝘚𝘢𝘣𝘣𝘢𝘵 31𝘢)
Jawab Yesus, “𝘗𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘪𝘢𝘭𝘢𝘩: 𝘋𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘭𝘢𝘩, 𝘩𝘢𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘐𝘴𝘳𝘢𝘦𝘭, 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘪𝘵𝘢, 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘦𝘴𝘢. (ay. 29) 𝘒𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯, 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩𝘮𝘶, 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘮𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘫𝘪𝘸𝘢𝘮𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘢𝘬𝘢𝘭 𝘣𝘶𝘥𝘪𝘮𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘬𝘦𝘬𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯𝘮𝘶. (ay. 30) 𝘗𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘥𝘶𝘢 𝘪𝘢𝘭𝘢𝘩: 𝘒𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪. 𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘶𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘦𝘥𝘶𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘪𝘵𝘶.” (ay. 31)
Jawaban Yesus, yang kemudian dikenal dengan 𝘏𝘶𝘬𝘶𝘮 𝘒𝘢𝘴𝘪𝘩, hanya terdapat di Injil sinoptis. Tidak ada Hukum Kasih di Injil Yohanes. Mengapa? Mungkin, barangkali, diduga Hukum Kasih sudah melebur atau sudah menjadi DNA dalam jemaat Kristen perdana sehingga tidak perlu ditulis di Injil Yohanes yang terbit belakangan. Oleh karena deraan hebat terhadap jemaat Yohanes muncullah apa yang disebut dengan 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘳𝘶 (𝘮𝘢𝘯𝘥𝘢𝘵𝘶𝘮 𝘯𝘰𝘷𝘶𝘮) untuk memerkokoh persekutuan. Kata Yesus, “𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶, 𝘺𝘢𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘶𝘱𝘢𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪; 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘥𝘦𝘮𝘪𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘱𝘶𝘭𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪.” (Yoh. 13:34). Teks ini secara tradisi menjadi bacaan Injil pada hari raya Kamis Putih.
Hanya petulis Injil Markus yang membuat pengantar jawaban Yesus dengan “𝘋𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘭𝘢𝘩 (𝘴𝘺𝘦𝘮𝘢), 𝘩𝘢𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘐𝘴𝘳𝘢𝘦𝘭, 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘪𝘵𝘢 …” merujuk kitab Ulangan 6:4. Sejak abad II SZB umat Yahudi mendaraskan 𝘴𝘺𝘦𝘮𝘢 yang menjadi syahadat mereka pada pagi dan malam hari.
Kata Tuhan di sini merujuk Yahweh yang tidak boleh diucapkan. Sejak kapan? Ketika Kerajaan Yehuda berhasil melepaskan diri dari tekanan bangsa Asyur, Raja Yosia menyingkirkan semua dewa asing. Yosia kembali kepada ibadah sejati, mengakui kembali Yahweh penuh kuasa yang dulu membawa bangsa Israel keluar dari Mesir. Ia membaharui Perjanjian (lih. 2Raj. 23:33). Yahweh kemudian diberi gelar rajawi TUHAN (𝘢𝘥𝘰𝘯𝘢𝘪), dan nama Yahweh tidak boleh diucapkan sembarangan. Perlawanan terhadap dewa-dewa asing berkembang semasa Pembuangan (Yes. 44-46) sehingga tegaklah monoteisme murni, “𝘈𝘬𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘛𝘜𝘏𝘈𝘕 (𝘠𝘢𝘩𝘸𝘦𝘩) 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯” (Yes. 45:5).
Kitab Ulangan adalah satu-satunya kitab Taurat yang paling sering membicarakan mengasihi Allah. Para petulis kitab Ulangan merujuk teolgi para nabi yang memerikan nasabah antara Israel dan Allah dengan suami-isteri, bukan kultus dan yuridis. Kasih kepada Allah bukan takut, menghormati, mengabdi, atau menaati hukum-Nya, melainkan hubungan hangat seperti suami-isteri.
Mengasihi Allah secara penuh, utuh, yang diiramakan dengan 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱. Hati dipandang pusat kepribadian, pusat manusia sebagai pribadi. Jiwa merujuk hidup, pusat kehendak, keinginan, dan perasaan. Mengasihi dengan segenap jiwa berarti mengasihi dengan sepenuh hidup, kehendak, keinginan, dan perasaan. Kekuatan merujuk praksis, perbuatan. Mengasihi Allah dengan segenap kekuatan berarti mau berbuat apa pun untuk menanggapi kasih Allah.
Dalam kitab Ulangan 6:4 anasir yang disebut adalah hati, jiwa, dan kekuatan. Dalam Injil ditambah satu anasir lagi: akal budi. Mencintai Allah dengan segenap akal budi berarti membangun suatu nasabah dialektis terus-menerus antara hidup beriman dan hidup berpikir, antara berperasaan dan bernalar. Kita harus bebas sekaligus bertanggungjawab menggunakan akal budi untuk menghasilkan banyak kebaikan bagi semua makhluk serta mengembangkan iptek tanpa batas sebagai bentuk ibadah mulia. Menafsir kitab suci secara kritis adalah juga bentuk mencintai Allah dengan segenap akal budi.
Dari unsur akal budi ini tampaknya banyak sekali (kalau tak mau disebut mayoritas) orang Kristen tidak mengasihi Alllah dengan segenap akal budi. Mereka beriman secara 𝘤𝘩𝘪𝘭𝘥𝘪𝘴𝘩, kekanak-kanakan. Kondisi ini sepertinya dibiarkan oleh para pemimpin jemaat agar umat mudah dikendalikan, gampang dikelabuhi, dan tentu saja para pemimpin jemaat menikmati disembah oleh umat.
𝘒𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪 sebenarnya bukan ajaran baru, karena sudah ada di kitab Imamat 19:18. Persoalannya dalam Perjanjian Lama yang disebut dengan sesama adalah orang sebangsa dan orang-orang asing yang tinggal di Tanah Israel. Yesus menafsir ulang teks itu dan meluaskan makna sesama manusia, yaitu setiap orang, siapa saja, termasuk musuh yang membenci. Dasarnya adalah kasih yang sudah terlebih dahulu diterima dari Alalh yang esa (ay. 29). Yesus sudah memberi teladan dengan melayani perempuan Siro-Fenisia (Mrk. 7:24-30) dan memberi makan empat ribu orang di wilayah Dekapolis, yang dihuni oleh bangsa kafir (Mrk. 8:1-10).
Mengasihi Allah tidak mungkin terjadi apabila manusia tidak mengasihi sesamanya. Mengasihi sesama tidak mungkin terjadi secara genah apabila manusia tidak mengasihi dirinya sendiri. Meskipun demikian kita tidak dapat menyimpulkan asal saja kita mengasihi sesama, kita mengasihi Allah juga. Untuk itulah Yesus menekankan bahwa kedua perintah itu lebih penting daripada semua perintah lainnya serta gabungan kedua perintah itu tidak dapat dilepaskan.
𝗗𝗶 𝗮𝗺𝗯𝗮𝗻𝗴 𝗽𝗶𝗻𝘁𝘂 𝗱𝘂𝗻𝗶𝗮 𝗯𝗮𝗿𝘂 (ay. 32-34)
Tak dinyana si ahli Taurat bersetuju dengan Yesus. Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus, “𝘛𝘦𝘱𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪, 𝘎𝘶𝘳𝘶, 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘬𝘢𝘵𝘢-𝘔𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘋𝘪𝘢 𝘦𝘴𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘋𝘪𝘢. (ay. 32) 𝘔𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪 𝘋𝘪𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘵𝘪𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘬𝘦𝘬𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘶𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘬𝘶𝘳𝘣𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘶𝘳𝘣𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘪𝘯𝘯𝘺𝘢.” (ay. 33)
Si ahli Taurat melakukan parafrase atas jawaban Yesus yang menggabungkan teks kitab Ulangan 6:4 dan 4:35. Ia bersetuju dengan konsep tauhid yang disampaikan oleh Yesus. Ia pun berparafrase mengenai dua sasaran mengasihi, yaitu Allah dan sesama. Bahkan si ahli Taurat menyebut bahwa mengasihi harkatnya melebihi kurban bakaran dan kurban lainnya.
Dalam liturgi Yahudi ada lima kurban persembahan: kurban bakaran (Im. 1), kurban sajian (Im. 2), kurban keselamatan (Im. 3), kurban penghapus dosa (Im. 4 - 5:13), dan kurban penebus salah (Im. 5:14 - 6:7). Ritual itu wajib dirayakan oleh orang Yahudi. Namun, si ahli Taurat itu berani mengatakan bahwa mengasihi Allah dan sesama jauh lebih penting daripada merayakan liturgi Yahudi itu.
Yesus melihat ahli Taurat itu menjawab dengan bijaksana dan berkata kepadanya, “𝘌𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘒𝘦𝘳𝘢𝘫𝘢𝘢𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩!” Sesudah itu seorang pun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus. (ay. 34)
Nasabah positif antara Yesus dan si ahli Taurat ini sungguh menarik. Dialog ini bukan saja karena berbeda dengan teks paralelnya di Matius 22:35-40 dan Lukas 10:25-29, tetapi terutama karena bertolak-belakang dengan gambaran negatif mengenai ahli-ahli Taurat dalam seluruh Injil Markus. Dua kali si ahli Taurat memuji Yesus (ay. 28 dan 32). Yesus pun memujinya.
Yang menarik lagi adalah ucapan Yesus kepada si ahli Taurat, “𝘌𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘒𝘦𝘳𝘢𝘫𝘢𝘢𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩!”. Ini sangat berbeda dari ucapan Yesus tentang orang kaya dalam episode sebelumnya yang mengumpamakan lebih mudah unta masuk ke lubang jarum daripada orang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah (lih. Mrk. 10:21-27). Di episode ini petulis Injil Markus tampaknya mengajukan bahan refleksi untuk para pembaca kitab Injilnya: 𝘖𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘦𝘵𝘶𝘫𝘶 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘢𝘫𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘢𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘪𝘯𝘵𝘶 𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘩𝘦𝘯𝘥𝘢𝘬 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘢𝘥𝘪. 𝘐𝘢 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘬𝘦 𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘫𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘴𝘦𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢.
Narator menutup perikop ini dengan membulatkan rentengan soal-jawab dan perdebatan antara Yesus dan para pemimpin Yahudi di Yerusalem.
(03112024)