Minggu, 10 November 2024

SUDUT PANDANG MARKUS 12 :38-44, 𝗝𝘂𝗯𝗮𝗵 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗲𝘁𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗸𝗼𝗹𝗲𝗸𝘁𝗲


SUDUT PANDANG MARKUS 12 :38-44, 𝗝𝘂𝗯𝗮𝗵 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗲𝘁𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗸𝗼𝗹𝗲𝗸𝘁𝗲

Pdt. Brotosemedi Wirjotenojo 𝘢.𝘬.𝘢. Mbah Broto adalah pendeta legendaris yang pernah dimiliki oleh Gereja di Indonesia. Sejak hari penahbisannya sampai emeritus ia menolak mengenakan toga atau jubah pendeta. Alasannya, ia melihat sendiri ada seniornya yang tak bermoral masih saja naik ke mimbar berjubah pendeta berkhotbah soal moral. 

Hari ini adalah Minggu kedua puluh lima setelah Pentakosta. Bacaan ekumenis diambil dari Injil Markus 12:38-44 yang didahului dengan 1Raja-raja 17:8-16, Mazmur 146, dan Ibrani 9:24-28.

Bacaan Minggu ini masih berlatar tempat di Yerusalem, tepatnya di Bait Allah, sesudah Yesus melakukan perjalanan panjang dari Galilea. Bacaan mencakup dua perikop yang diberi judul oleh LAI 𝘏𝘢𝘵𝘪-𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱 𝘢𝘩𝘭𝘪-𝘢𝘩𝘭𝘪 𝘛𝘢𝘶𝘳𝘢𝘵 (ay. 38-40) dan 𝘗𝘦𝘳𝘴𝘦𝘮𝘣𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘮𝘪𝘴𝘬𝘪𝘯 (ay. 41-44).

Pengulasan bacaan dibagi ke dalam dua bagian:
🛑 Perilaku ahli-ahli Taurat (ay. 38-40)
🛑 Tentang kolekte (ay. 41-44)

𝗣𝗲𝗿𝗶𝗹𝗮𝗸𝘂 𝗮𝗵𝗹𝗶-𝗮𝗵𝗹𝗶 𝗧𝗮𝘂𝗿𝗮𝘁 (ay. 38-40)

Dalam bacaan Minggu lalu Yesus memuji seorang ahli Taurat saat bersoal-jawab mengenai hukum terutama. Kata Yesus kepadanya, “𝘌𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘒𝘦𝘳𝘢𝘫𝘢𝘢𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩.” (lih. Mrk. 12:28-34). Pada kesempatan lain Yesus memberi peringatan keras kepada para pendengar-Nya terhadap perilaku ahli-ahli Taurat.

Dalam pengajaran-Nya Yesus berkata, “𝘏𝘢𝘵𝘪-𝘩𝘢𝘵𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱 𝘢𝘩𝘭𝘪-𝘢𝘩𝘭𝘪 𝘛𝘢𝘶𝘳𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯-𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘬𝘢𝘪 𝘫𝘶𝘣𝘢𝘩 𝘱𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘥𝘪𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘩𝘰𝘳𝘮𝘢𝘵 𝘥𝘪 𝘱𝘢𝘴𝘢𝘳, (ay. 38) 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘥𝘶𝘥𝘶𝘬 𝘥𝘪 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘵𝘦𝘳𝘥𝘦𝘱𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘪𝘣𝘢𝘥𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘰𝘳𝘮𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮𝘶𝘢𝘯, (ay. 39) 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘭𝘢𝘯 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢-𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘭𝘢𝘣𝘶𝘪 𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘥𝘰𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨-𝘱𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨. 𝘔𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘵. (ay. 40)”

Ahli-ahli Taurat adalah para pengajar di Israel. Mereka orang-orang terpelajar dan mencurahkan hidup untuk mengaji Taurat dan mengajarkannya kepada bangsa Israel. Mereka tidak dibayar dari mengajar, melainkan dari sumbangan dan kedermawanan warga masyarakat. Keterpelajaran para ahli Taurat ini juga membawa sebagian dari mereka bekerja pada orang-orang kaya untuk mengelola aset. Oleh karena itu mereka sangat dihormati di Israel dan disapa dengan 𝘙𝘢𝘣𝘪, 𝘉𝘢𝘱𝘢, atau 𝘛𝘶𝘢𝘯. Penghormatan terhadap mereka lambat laun membuat mereka sengaja menampilkan diri dalam derajat tinggi dan mulia. Mereka bukan lagi dihormati karena keterpelajaran mereka, melainkan mereka sendiri yang mendudukkan status mereka di tempat tinggi dan mulia.

Suasana pergeseran status ahli-ahli Taurat itu mirip dengan jabatan pendeta. Pada mulanya pada masa reformasi pendeta dan warga jemaat adalah mitra sejajar. Sejalan dengan waktu warga jemaat dibuat mencerap pendeta adalah berstatus tinggi dan mulia. Itu sebabnya tidak sedikit orang menjadi pendeta bertujuan untuk mendapat status sosial priyayi. Dari bukan siapa-siapa menjadi orang gila hormat.

Inilah yang menjadi pangkal tolak peringatan keras Yesus kepada para pendengar-Nya. Kinerja para ahli Taurat ini bertolakbelakang dengan pengajaran Yesus jika mau menjadi yang terbesar hendaklah menjadi pelayan bagi sesama. Keempat kitab Injil menampilkan suasana yang sama sehingga ciri-ciri atau penampilan para ahli Taurat yang disampaikan oleh Markus kuat diduga mencerminkan keadaan yang sebenarnya pada masa Yesus.

• 𝘚𝘶𝘬𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯-𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘬𝘢𝘪 𝘫𝘶𝘣𝘢𝘩 𝘱𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨 (𝘴𝘵𝘰𝘭𝘦̀). Jubah panjang terbuat dari kain lenan putih. Pakaian ini merupakan busana yang biasa digunakan oleh orang-orang kaya dan terkemuka pada acara resmi. Jubah panjang digunakan oleh ahli-ahli Taurat untuk membedakan mereka dari masyarakat umum dan dilengkapi dengan jumbai. Jumbai diwajibkan dipasang pada busana laki-laki Yahudi untuk mengingatkan mereka kepada perintah-perintah Allah (Bil. 15:37 dan Ul. 22:12). Ahli-ahli Taurat memanjangkan jumbai-jumbai itu untuk menunjukkan bahwa mereka lebih setia ketimbang masyarakat umum. Jubah panjang yang sebelumnya adalah busana kelas atas berubah menjadi pertunjukan kemuliaan bagi ahli-ahli Taurat. Persis pendeta-pendeta Gereja modern. Toga pendeta yang pada mulanya sebagai simbol pengajar (𝘮𝘢𝘨𝘪𝘴𝘵𝘦𝘳𝘪𝘶𝘮) digeser dan diubah menjadi simbol kemuliaan diri sendiri. Toga pengajar berubah menjadi busana raja-raja.

• 𝘚𝘶𝘬𝘢 𝘥𝘪𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘩𝘰𝘳𝘮𝘢𝘵 𝘥𝘪 𝘱𝘢𝘴𝘢𝘳. Oleh karena status mulia dan tinggi ahli-ahli Taurat sudah “dikondisikan” dan merasuki cerapan masyarakat, maka khalayak selalu memberi penghormatan kepada ahli-ahli Taurat. Para ahli Taurat yang gila hormat menggunakan suasana ini dengan sering mengunjungi tempat-tempat ramai seperti pasar agar mereka mendapat penghormatan. Tentu dengan busana agung mereka agar dikenal oleh masyarakat. Dalam Gereja modern hal yang sama terjadi. Dengan jubah seperti raja-raja para pendeta berpose untuk konten media sosial. Untuk apa? Untuk apa lagi selain agar penonton memujinya sebagai penguasa Gereja. Mereka sebenarnya menghina umat yang sudah berdarah-darah menghidupi para pejabat gerejawi.

• 𝘚𝘶𝘬𝘢 𝘥𝘶𝘥𝘶𝘬 𝘥𝘪 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘥𝘪 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘪𝘣𝘢𝘥𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘰𝘳𝘮𝘢𝘵 𝘥𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮𝘶𝘢𝘯. Para ahli Taurat mendudukkan sendiri status tinggi dan mulia mereka. Tuntutan meminta kursi terbaik (atau kursi pertama) dan terhormat di rumah ibadat dan di acara-acara perjamuan sungguh bertolakbelakang dengan pengajaran Yesus untuk memilih tempat terakhir sebagai pelayan.

• 𝘔𝘦𝘯𝘦𝘭𝘢𝘯 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢-𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢. Ungkapan ini sejajar dengan ungkapan bahasa Indonesia 𝘗𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘯𝘢𝘮𝘢𝘯. Janda-janda disebut khusus karena mereka orang-orang miskin. Menurut kitab Bilangan 27:9-11 para janda tidak berhak menerima warisan suami mereka yang meninggal. Keadaan miskin ini membuat Hukum Musa mewajibkan ahli-ahli Taurat memberikan bantuan hukum. Dalam praktik banyak ahli Taurat justru merebut harta milik para janda. Dalam Gereja modern sudah banyak terjadi praktik “pemerasan” oleh pendeta terhadap warga jemaatnya. Warga jemaat tetap dipelihara bodoh agar mudah dikendalikan dan dicuciotak serta pengancaman masuk neraka bagi orang yang pelit kepada Gereja yang dikuasai oleh para pajabat gerejawi. Pendeta hidup berkelimpahan, sedang warga jemaat berdarah-darah mencari nafkah.

• 𝘔𝘦𝘯𝘨𝘦𝘭𝘢𝘣𝘶𝘪 𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘤𝘢𝘱𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘰𝘢 𝘱𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨-𝘱𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨. Di sini yang dikecam Yesus bukanlah hal berdoa, juga bukan soal berdoa di tempat umum, melainkan doa yang panjang-panjang untuk mengundang makin banyak orang untuk melihat mereka berdoa agar makin banyak mendapat pujian. Mereka hanya bersandiwara.

Dalam menutup peringatan itu Yesus menyatakan bahwa ahli-ahli Taurat yang seperti pemerian di atas pasti akan menerima hukuman yang  lebih berat. Peringatan ini memang merujuk penghakiman terakhir, tetapi frase 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘵 menunjukkan perbuatan ahli-ahli Taurat itu merupakan 𝗸𝗲𝗷𝗮𝗵𝗮𝘁𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗿𝗶𝘂𝘀.

Dalam menunjukkan ketidakberterimaannya terhadap pendeta tak bermoral yang tetap mengenakan toga pendeta, Mbah Broto secara tegas tidak mau mengenakan toga sepanjang karirnya. Yesus lebih radikal lagi. Jangankan perbuatan tak bermoral, pendeta yang mengenakan jubah atau toga hanya untuk pamer kuasa dan status sosial adalah kejahatan serius. Apalagi mereka digaji atau dihidupi dari uang jemaat. Kalau mereka tidak mencerdaskan umat, maka sama saja para pendeta ini 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘭𝘢𝘯 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢-𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢. Sungguh tak tahu diri!

𝗧𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗼𝗹𝗲𝗸𝘁𝗲 (ay. 41-44)

Adegan berganti. Pada suatu kali Yesus duduk menghadap peti persembahan dan memerhatikan orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar (ay. 41). Lalu datanglah seorang janda miskin dan ia memasukkan dua uang tembaga, yaitu uang receh terkecil. (ay. 42) Yesus memanggil murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka, “𝘚𝘦𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶: 𝘑𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘮𝘪𝘴𝘬𝘪𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘵𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘮𝘣𝘢𝘩𝘢𝘯 (ay. 43), 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘦𝘭𝘪𝘮𝘱𝘢𝘩𝘢𝘯, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘦𝘬𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬𝘪𝘯𝘺𝘢, 𝘺𝘢𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘦𝘭𝘶𝘳𝘶𝘩 𝘯𝘢𝘧𝘬𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢.” (ay. 44)

Terlebih dahulu saya hendak menjernihkan istilah 𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘮𝘣𝘢𝘩𝘢𝘯 yang digunakan oleh LAI pada teks di atas. Dalam liturgi Yahudi yang disebut dengan persembahan merujuk kurban persembahan: kurban bakaran (Im. 1), kurban sajian (Im. 2), kurban keselamatan (Im.  3), kurban penghapus dosa (Im. 4 - 5:13), dan kurban penebus salah (Im. 5:14 - 6:7). Dalam pada itu persembahan dalam liturgi Kristen ialah persiapan perayaan ekaristi atau perjamuan kudus. Dalam persiapan itu ada arak-arakan untuk menyerahkan persembahan dengan urutan pertama dan utama adalah roti dan anggur, kemudian bahan-bahan lain seperti minyak dan lilin, serta baru kemudian kolekte. Jadi, 𝗽𝗲𝗿𝘀𝗲𝗺𝗯𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗿𝘂𝗷𝘂𝗸 𝗲𝗸𝗮𝗿𝗶𝘀𝘁𝗶 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗽𝗲𝗿𝗷𝗮𝗺𝘂𝗮𝗻 𝗸𝘂𝗱𝘂𝘀. Kalau ibadah tidak ada ekaristi atau perjamuan kudus, seperti ibadah sabda, maka tidak ada persembahan, tetapi kolekte tetap ada dan dijalankan pada ritus penutupan ibadah sebelum pengutusan dan berkat. (Lih. 𝘒𝘰𝘭𝘦𝘬𝘵𝘦 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘮𝘣𝘢𝘩𝘢𝘯? di https://www.facebook.com/share/p/18hHfJkozV/ )

Istilah 𝘱𝘦𝘵𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘮𝘣𝘢𝘩𝘢𝘯 (ay. 41) diterjemahkan dari 𝘨𝘢𝘻𝘰𝘱𝘩𝘺𝘭𝘢𝘬𝘪𝘰𝘶 yang berarti literal 𝘱𝘦𝘵𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘦𝘯𝘥𝘢𝘩𝘢𝘳𝘢𝘢𝘯 atau 𝘬𝘰𝘵𝘢𝘬 𝘶𝘢𝘯𝘨. NRSV menerjemahkan 𝘨𝘢𝘻𝘰𝘱𝘩𝘺𝘭𝘢𝘬𝘪𝘰𝘶 menjadi 𝘵𝘳𝘦𝘢𝘴𝘶𝘳𝘺, bukan 𝘴𝘢𝘤𝘳𝘪𝘧𝘪𝘤𝘦𝘴. Merujuk arti literal dan liturgi, maka terjemahan yang tepat adalah 𝗸𝗼𝘁𝗮𝗸 𝗸𝗼𝗹𝗲𝗸𝘁𝗲. Orang memasukkan uang kolekte, bukan persembahan. Pada 1970-an masih ada Gereja di Indonesia yang tidak mengedarkan kantong-kantong kolekte, melainkan meletakkan peti atau kotak kolekte di dekat pintu keluar. Umat memasukkan uang kolekte sebelum atau sesudah kebaktian.

Dalam adegan di bagian bacaan ini si janda miskin memasukkan dua uang tembaga ke dalam kotak kolekte. Istilah dua uang tembaga diterjemahkan dari 𝘭𝘦𝘱𝘵𝘢 𝘥𝘺𝘰 (dua keping), kemudian dijelaskan sebagai uang receh terkecil yang diterjemahkan dari 𝘬𝘰𝘥𝘳𝘢𝘯𝘵𝘦̄𝘴 atau 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘢𝘴. Orang Yahudi hanya boleh memberi kolekte dalam bentuk uang Yahudi sehingga pengarang Injil Markus perlu menjelaskan kepada pembaca kitab Injilnya dari kalangan bukan-Yahudi. Seperempat 𝘢𝘴 adalah uang receh terkecil Romawi.

Pemberian kolekte janda miskin ini dikontraskan dengan pemberian kolekte orang-orang kaya sekaligus perbuatan jahat ahli-ahli Taurat 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘭𝘢𝘯 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢-𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢. Sangat bolehjadi kolekte orang-orang kaya itu hasil dari kejahatan seperti 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘭𝘢𝘯 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢-𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢. Yesus menjelaskan kepada murid-murid-Nya bahwa secara proporsional kolekte janda miskin ini lebih besar daripada kolekte orang-orang kaya. Dapat diduga dua uang tembaga itu adalah upah sehari janda miskin itu, yang seharusnya untuk kebutuhan makannya. Si janda miskin memberi seluruh hidupnya.

Di Gereja modern kita dapat melihat orang-orang kaya yang memberi banyak uang kolekte dipuja-puji oleh para pejabat gerejawi dan diberi status terhormat sebagai “putera Gereja”. Pendeta tidak peduli uang kolekte mereka dari hasil kejahatan. Pendeta juga tidak pernah peduli uang kolekte banyak berasal dari warga miskin dan mereka yang tidak memiliki pekerjaan permanen. Padahal mereka memberi hasil keringat mereka, memberi apa yang mereka miliki, demi menghidupi Gereja.

(10112024)(TUS)

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...