SUDUT PANDANG KENAPA WANITA BISA LEBIH GALAK KE PASANGAN DIBANDINGKAN KE ORANG LAIN
Ada beberapa ayat Alkitab yang berisi sebuah filosofi hubungan suami istri, yang terkait dengan pertanyaan mengapa beberapa wanita bisa lebih galak ke suaminya daripada ke orang lain: Efesus 5:33: "Bagaimanapun, hendaklah kamu masing-masing mengasihi isterinya seperti dirinya sendiri, dan isteri menghormati suaminya."
Ayat ini menekankan pentingnya hubungan yang harmonis antara suami dan istri. Namun, terkadang wanita bisa merasa lebih nyaman untuk menunjukkan emosi negatif kepada suami karena merasa aman dan percaya dalam hubungan tersebut. Amsal 14:1: "Perempuan yang bijak membangun rumahnya, tetapi perempuan yang bodoh merobohkannya dengan tangannya sendiri." Ayat ini menekankan pentingnya peran wanita dalam membangun dan memelihara rumah tangga. Namun, ketika wanita merasa tidak dihargai atau tidak dipahami, mereka bisa menjadi lebih galak kepada suami, dibanding ke orang lain karena punya pengharapan tinggi ke suaminya. Kolose 3:18-19 : "Hai isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadapnya." Ayat ini menekankan pentingnya hubungan yang saling menghormati dan mengasihi antara suami dan istri. Kalau melihat konteks penulisan ini terkait budaya patriarki, tetapi bila kita melihat dari tujuan penulisan ini juga bisa dihubungkan dengan hubungan Allah dan umat pilihanNya, ketundukan umat pada Allah. Namun dalam kenyataan ilmu pasutri, ketika suami tidak menunjukkan kasih dan perhatian yang cukup, istri bisa merasa frustrasi dan menjadi lebih galak daripada ke orang lain, shg ini tidak relevan bila dilihat dg kacamata hubungan Allah dan umatnya, harus melihat dengan argumentasi kacamata yang lain, yaitu filsafat.
Dalam konteks ini, beberapa alasan mengapa wanita bisa lebih galak ke suaminya daripada ke orang lain adalah:
- Perasaan aman dan percaya dalam hubungan yang membuatnya merasa lebih nyaman untuk menunjukkan emosi negatif.
- Kurangnya komunikasi dan pengertian antara suami dan istri.
- Perasaan tidak dihargai atau tidak dipahami oleh suami.
- Stres dan tekanan hidup yang tidak terkait dengan hubungan suami-istri.
Untuk mengatasi hal ini, penting untuk:
- Meningkatkan komunikasi dan pengertian antara suami dan istri.
- Menunjukkan kasih dan perhatian yang cukup antara pasangan.
- Mengelola stres dan tekanan hidup dengan baik.
- Membangun hubungan yang saling menghormati dan mengasihi.
PEMAHAMAN
Kalau dipikir-pikir, aneh memang. Seorang istri bisa begitu lembut, sopan, bahkan sabar menghadapi orang luar, tapi begitu di rumah bersama suaminya, nada suara jadi lebih tinggi, komentar lebih tajam, dan ekspresi lebih jujur. Kontroversinya, fenomena ini bukan sekadar soal sikap kasar, melainkan cerminan dinamika psikologis yang dalam. Fakta menariknya, penelitian dalam psikologi keluarga menunjukkan bahwa orang cenderung melampiaskan emosi pada orang terdekat karena merasa aman, bukan karena tidak sayang. Artinya, suami sering menjadi “tempat pembuangan sampah emosional” tanpa disadari.
Kita bisa melihat contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Seorang istri bisa menahan kesal ketika rekan kerjanya membuat kesalahan, tapi ketika suaminya lupa menaruh gelas di tempatnya, ledakan kecil pun terjadi. Fenomena ini sering membuat banyak suami merasa tidak dihargai. Padahal, kalau ditelaah lebih dalam, ada faktor psikologis, sosial, hingga budaya yang membuat hal ini terasa begitu umum. Mari kita bedah satu per satu agar lebih jernih.
1. Kedekatan Menciptakan Rasa Aman
Hubungan pernikahan berbeda dengan interaksi sosial biasa. Dalam hubungan intim, rasa aman membuat seseorang lebih berani mengekspresikan sisi asli dirinya, termasuk sisi emosional yang tidak keluar di depan orang lain.
Seorang istri mungkin menahan diri untuk tidak marah di kantor karena takut dinilai tidak profesional. Tetapi di rumah, bersama suami, ada perasaan bebas untuk menunjukkan kejengkelan tanpa takut kehilangan cinta. Justru karena ada rasa aman itulah ekspresi emosional jadi lebih lepas.
Kondisi ini sering disalahpahami sebagai kurangnya rasa hormat, padahal sebenarnya tanda adanya kepercayaan. Namun, jika tidak diatur dengan komunikasi yang sehat, rasa aman bisa berubah menjadi kebiasaan buruk yang menggerus keharmonisan.
2. Tekanan Sosial dan Peran Gender
Dalam banyak budaya, perempuan diharapkan tampil manis dan sabar di ruang publik. Tekanan sosial ini membuat banyak istri menekan emosinya di luar rumah, sehingga rumah menjadi satu-satunya ruang katarsis.
Contoh nyata, seorang istri yang bekerja di kantor dengan segudang tekanan bisa tetap tersenyum menghadapi bos dan klien. Tetapi begitu sampai di rumah, energi yang terkuras membuatnya lebih mudah tersulut pada hal-hal kecil. Suami pun jadi sasaran paling realistis karena ada di dekatnya.
Fenomena ini memperlihatkan betapa peran gender dan ekspektasi sosial membentuk pola komunikasi di rumah tangga. Dan di sinilah pentingnya membicarakan pembagian peran secara adil agar tidak ada pihak yang merasa terbebani.
3. Ekspektasi Lebih Tinggi pada Pasangan
Manusia sering kali paling keras pada orang yang paling ia harapkan. Dalam pernikahan, ekspektasi istri terhadap suami biasanya jauh lebih besar dibanding kepada orang lain. Ketika ekspektasi tidak terpenuhi, kekecewaan pun keluar dalam bentuk sikap galak.
Contoh sederhana, seorang istri mungkin tidak masalah jika orang asing lupa menutup pintu, tetapi akan marah jika suami melakukannya. Alasannya, dari pasanganlah ia berharap lebih karena peran dan tanggung jawab yang dimiliki.
Ekspektasi tinggi ini adalah pisau bermata dua. Di satu sisi bisa memotivasi suami untuk lebih peka, tetapi di sisi lain bisa membuat hubungan penuh tekanan jika tidak diimbangi dengan komunikasi yang saling memahami.
4. Kurangnya Ruang Komunikasi yang Sehat
Sering kali, suami dan istri terjebak dalam rutinitas sehingga tidak menyediakan ruang khusus untuk komunikasi emosional. Akibatnya, hal-hal kecil menumpuk dan akhirnya keluar dalam bentuk emosi yang meledak-ledak.
Misalnya, seorang istri merasa lelah dengan pekerjaan rumah tangga, tapi tidak terbiasa mengatakannya secara langsung. Lalu, ketika suami melakukan hal kecil yang mengganggu, emosi yang tertahan pun dilampiaskan seolah-olah masalahnya besar.
Situasi seperti ini seharusnya menjadi pengingat bahwa komunikasi bukan sekadar soal menyampaikan informasi, tapi juga membangun ruang aman untuk curhat, berbagi lelah, dan saling mendengarkan.
5. Efek Pantulan Emosi Negatif
Dalam psikologi, ada konsep yang disebut emotional contagion, di mana emosi satu orang bisa menular ke orang terdekat. Jika seorang istri mengalami stres di luar rumah, emosi itu bisa terbawa hingga ke rumah dan tercermin dalam interaksinya dengan suami.
Misalnya, ia dimarahi atasan di kantor. Ia tidak bisa membalas, sehingga energi negatif itu tetap tertahan. Ketika suami melakukan hal sederhana seperti bertanya “kok kamu diam saja?”, justru pertanyaan itu dianggap pemicu dan ledakan pun keluar.
Fenomena ini bukan soal siapa salah, melainkan soal bagaimana emosi negatif bisa berpindah tanpa disadari. Di sinilah pentingnya kemampuan mengelola stres sebelum masuk ke rumah agar pasangan tidak menjadi korban pantulan emosi.
6. Faktor Kebiasaan dan Pola Lama
Banyak pasangan tidak menyadari bahwa cara mereka berbicara di rumah adalah hasil kebiasaan yang terbentuk bertahun-tahun. Jika sejak awal komunikasi diwarnai dengan nada keras, maka gaya itulah yang akan terus dipakai tanpa disadari.
Contoh, istri yang sejak remaja terbiasa berdebat keras dengan keluarganya mungkin membawa pola itu ke pernikahan. Suami menjadi “penerus” lawan bicara di rumah, sehingga nada galak dianggap biasa dan bukan masalah.
Namun, kebiasaan lama ini bisa diperbaiki. Dengan kesadaran dan latihan, nada galak bisa diubah menjadi komunikasi yang lebih lembut tanpa mengurangi ketegasan. Semua kembali pada kesediaan untuk merefleksikan diri.
7. Rasa Nyaman Justru Membuka Sisi Gelap
Ironisnya, semakin nyaman seseorang dengan pasangannya, semakin besar kemungkinan sisi gelapnya muncul. Dalam hubungan pernikahan, kenyamanan ini bisa membuat seorang istri tidak merasa perlu menyaring kata-kata atau ekspresi.
Misalnya, ia bisa memarahi suami dengan nada tinggi tanpa rasa bersalah, sesuatu yang tidak mungkin ia lakukan kepada orang lain. Rasa nyaman membuat batasan sopan santun sosial berkurang.
Kenyamanan semacam ini sebenarnya adalah tanda kedekatan. Namun, jika tidak dibarengi dengan kesadaran, ia bisa berubah menjadi pola komunikasi yang kasar. Di sinilah pentingnya mengingat bahwa cinta tidak cukup ditunjukkan dengan perasaan, tapi juga dengan cara kita berkata dan bersikap.
Fenomena istri yang lebih galak kepada suami daripada orang lain bukanlah misteri, melainkan kombinasi psikologis, sosial, dan kebiasaan yang bertemu di satu ruang paling intim: rumah tangga. Pertanyaannya, apakah kamu pernah merasakan hal ini dalam hubunganmu? Tulis di kolom komentar dan bagikan tulisan ini agar lebih banyak pasangan bisa belajar memahami akar persoalan di balik sikap galak yang sering disalahpahami.
(28102025)(TUS)