Bagian 3
Ketika amsal 18:10 menuliskan “Nama TUHAN adalah menara yang kuat, kesanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat”. Apakah yang dimaksud bahwa namaNya yang menjadi menara yang kuat ataukah Pribadi YHWH sendiri adalah menara yang kuat? Tentu yang dimaksud bukan nama pribadi tetapi Pribadi Allah sendiri yang menjadi menara yang kuat. Karena itu yang dipentingkan bukan penyebutan nama Ilahi YHWH dalam bahasa Ibrani, melainkan lebih menunjuk kepada Pribadi Allah itu sendiri sebagai Allah yang Mahakekal, Mahahidup, dan menyatakan diri kepada manusia. Hal yang lebih penting adalah makna teologis, bukan sebutan hurufiahnya. Lagi pula nama YHWH bukanlah nama yang diurunkan dari surga! Nama itu sudah diketetahui sebelum Musa, tetapi Tuhan menyatakannya secara langsung kepada Musa, sebagaimana dijelaskan oleh Christoph Barth demikian, “Darimanakah datangnya nama itu? Orang cenderung berpikir bahwa nama Allah seharusnya datang dari surga. Namun, dapat dipastikan bahwa nama itu berakar di dalam bahasa Ibrani. Nama Allah tidak ‘diturunkan dari surga’, Dia sendirilah yang dikatakan ‘turun’ (keluaran 3:8). Ia berkenan menyatakan diri kepada umat Israel. Itu berarti bahwa Ia berkenan menyatakan diri di dalam bahasa yang cocok dengan telinga, hati, dan mulut orang Israel. NamaNya sendiripun ‘berasal’ dari bahasa mereka, ‘terambil’ dari nama-nama yang pernah menjadi biasa dalam pergaulan mereka, di daerah-daerah pengembaraan atau penumpangan mereka. Kita mempunyai alasan kuat (Kejadian 4:26) untuk menduga, bahwa nama YHWH memang ‘berasal’ dari daerah tertentu dan bahwa nama itu telah diikenal – sebagai nama Ilahi! – oleh bangsa-bangsa tertentu di daerah tersebut sebelum orang-orang Israel mulai membiasakannya. Beberapa nas yang tertua di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama mengetahui bahwa Allah dengan namaNya YHWH telah ‘berdiam’ di daerah padang gurun antara Mesir dan Kanaan; Padang Gurun Zin, Padang Gurun Paran dan Padang Gurun Sinai, semuanya merupakan daerah pengembaran suku-suku Arab sepertri Ismail, Amalek, Midian, dan Keni, berikut Pegunungan Seir, daerah orang Edom (Esau, Kejdian 33); terutama beberapa gunung keramat di wilayah yang luas itu – ‘gunung Allah’ (keluaran 3:1; 18:50, Gunung Sinai, Gunung Hoteb dan Gunung Paran, beberapa di antaranya mungkin bertepatan tempatnya – diperkenalkan kepada kita sebagai tempat kediaman YHWH” (Lihat: Ulangan 32:2; Hakim-hakim 5:4-5; Habakuk 3:3,7). Selanjutnya Chistoph Barth menjelaskan bahwa melalui mertuanya Yitrolah Musa belajar mengenal Allah yang bernama YHWH itu, demikian, “Berbicara tentang orang-orang Midian, teringatlah kita kepada tokoh mertua Musa (yang bernama Reguel, Keluaran 2:18; Hobab, Hakim-hakim 1:11 dan 4:11; Hobab bin Reguel, Bilangan 10:29; Yitro, Keluaran 3:1 dan 18:1-12; Yeter, Keluaran 4:18), yang dikatakan berpangkat ‘imam di Midian’ atau ‘imam orang Midian’ (keluaran 2:16; 18:1). Sedang menurut nas-nas lain, ia mengepalai suku keni (Hakim-hakim 1:16; 4:11). Terkadang ia dikatakan orang Midian, terkadang orang Keni, terkadang malahan orang Kusy (Bilangan 12:1). Segala hal yang berbeda-beda ini melihat melihat mertua Musa itu sebagai seorang imam di ‘gunung Allah’ yang keramat, namun yang pasti adalah bahwa melalui Reguel (Yitro) itulah Musa belajar mengenal Allah yang bernama Yahweh. Allah menyatakan diri secara ‘langsung’ kepada Musa (Keluaran 3), tetapi kenyataannya tidak dapat disangkal bahwa nama YHWH telah dikenal lebih dulu oleh suku-suku itu - terutama suku Keni/Midian (Bandingkan Keluaran 18) – barulah orang-orang Israel berhubungan dengan Dia yang kemudian berkenan menjadi ‘Allah orang Israel”. Bukti sejarah menuliskan pada masa Tuhan Yesus, bahasa Yunani dijadikan bahasa komunikasi antar ras krn penjajahan Roma, seperti bahasa nasional, selain itu ada bahasa latin (Yoh 19:20), sehingga dimungkinkan sekali Tuhan Yesus dalam kesehariannya menggunakan bahasa ibrani/aram dan juga bahasa Yunani, artinya kemungkinan pula penulisan kata-kata Tuhan Yesus dalam bahasa Yunani adalah juga ucapan sebenarnya dari Tuhan Yesus dalam/menggunakan bahasa Yunani, shg perkiraan/prapaham ini menegaskan sebab Tuhan Yesus dan Penulis Perjanjian Baru tidak mempertahankan pemakaian kata YHWH. Bahkan Tuhan Yesus dan para rasul serta penulis Perjanjian Baru bukan hanya menerjemahkan nama YHWH melainkan juga mengganti nama YHWH itu dalam Perjanjian Baru. Misalnya dalam Yesaya 61:1-2 dituliskan : ”Roh Tuhan ALLAH (YHWH) ada padaku, oleh karena TUHAN (YHWH) telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN (YHWH) dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung”. Pada waktu Penulis Perjanjian baru mengutip kembali Yesaya 61:1-2 ini, Lukas memberikan perubahan nama YHWW menjadi Kurios (Lukas 4:18-19) bahkan kata YHWH diganti menjadi Ia (Lukas 4:18). Lukas 4:18-19, “Roh Tuhan (Kurios) ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan (kurios) telah datang.” Contoh lain adalah dimana ketika Tuhan Yesus mengutip Ulangan 8:3 “Jadi Ia merendahkan hatimu, membiarkan engkau lapar dan memberi engkau makan manna, yang tidak kaukenal dan yang juga tidak dikenal oleh nenek moyangmu, untuk membuat engkau mengerti, bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan TUHAN”. Pada waktu Tuhan Yesus dicobai, Tuhan Yesus mengutip kembali Ulangan 8:3 . Perhatikan perubahannya dalam Injil Matius dan Lukas. Matius 4:4, “Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah (Theou)." Lukas 4:4, “Jawab Yesus kepadanya: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja." Jadi Matius menceritakan bahwa Yesus mengubah kata YHWH menjadi Theou sedangkan Lukas menghilangkan kata YHWH itu. Masih banyak lagi contoh-contoh seperti itu (Ulangan 6:13 bandingkan Matius 4:10/Lukas 4:8; Mazmur 110:1 bandingkan Matius 22:44/Markus 12:36/Lukas 20:42-43/Kisah Para Rasul 2:34-35; Ulangan 6:5 bandingkan Matius 22:37/Markus 12:30/Lukas 10:27). Kelompok Yahweisme ini memaksakan untuk mengembalikan kata YAHWEH (sekali lagi, Yahweh adalah pelafalan dugaan dari YHWH) dalam Perjanjian Baru, padahal teks asli dari Perjanjian Baru sendiri tidak mempertahankan kata asli YHWH ini. Apakah Yahweisme dengan mekamaksakan pelafalan Yahweh bagi nama YHWH merasa lebih berotoritas daripada Yesus, rasul rasul dan penulis Perjanjian Baru yang tidak lagi memakai kata YHWH dalam tulisan-tulisan mereka? Karena itu ketika Yahweisme menyalahkan Lembaga Alkitab Indonesia dan gereja-gereja yang memakai kata Tuhan untuk YHWH, maka itu artinya mereka juga menyalahkan Para Rabi Yahudi (yang menerjemahkan Septeguinta), Tuhan Yesus dan para rasul yang telah mengganti kata YHWH menjadi Kurios. Ini juga berarti Yahweisme mengabaikan Septaguinta dan Perjanjian Baru. Atau dengan kata lain, Yahweisme ini tidak mengakui otoritas Perjanjian Baru yang di inspirasikan oleh Roh Kudus. Jika mereka memahami ini, namun dengan sengaja mengabaikan apa yang dinyatakan Perjanjian Baru, maka mereka bukan hanya telah melakukan kesalahan melainkan sudah mengarah kepada kesesatan karena melawan otoritas Perjanjian Baru sebagai dasar pengajaran bagi Kekristenan. Perlu diketahui, tidak seorang pun yang tahu mengucapkan kata YHWH dengan tepat. Herbert Woft menjelaskan, “Cara mengucapkan yang tepat untuk nama ini tidak jelas; Hanya empat konsonan YHWH, diberikan dalam Alkitab bahasa Ibrani”. Sejak Tetagramaton tidak diucapkan, melainkan dibaca dengan kata “Adonay (Tuhan) atau Ha Syem (Sang Nama), pembacaan sebenarnya dari YHWH itu tidak diketahui lagi, sampai abad ke 16 M para ahli mulai mengemukakan berbagai teori. Tetagramaton untuk pertama kalinya tercantum dalam Alkitab bahasa Inggris karya William Tyndale (1525 M). Tyndale membaca “IeHoVaH” dimana konsonan YHWH dibaca dengan vokal atau huruf hidup “AdOnAy”. Pola ini diikuti kemudian oleh Miles Coverdale’s (1560 M), The Bishop’s Bible (1568 M) dan The Authorized Version (1611 M), meskipun secara umum memakai terjemahan The Lord, tetapi mencantumkan “IeHoVaH” dibeberapa tempat. Akhirnya pengucapan “Jehovah” baru muncul dalam King James Version tahun 1762-1769 M. Karena itu, kita juga tidak harus menggunakan kata YHWH (apalagi melafalnya dengan Yahweh) karena sebenarnya kata Yahweh itu hanyalah dugaan dari pelafalan tetagramaton YHWH yang belum tentu tepat pengucapannya menurut aslinya ketika diperkenalkan kepada Musa dan bangsa Israel pada saat itu. Bahasa Ibrani tidak mempunyai huruf hidup dan dalam penulisannya semuanya memakai huruf mati. Musa sendiri tentu saja bisa membaca kalimat YHWH itu. Mengapa? Karena ia sendiri mendengar langsung dari Tuhan bagaimana ucapan YHWH (Keluaran 3:14-15). Musa tentu mengajarkan pengucapan ini kepada bangsa Israel pada saat itu. Bangsa Israel saat itu juga pasti mengajarkannya kepada anak cucu mereka. Namun pada tahun 6 SM bangsa Israel sangat takut mengucapkan nama itu. Mereka menafsirkan secara berlebihan larangan untuk menyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Karena itu mereka mengganti nama YHWH dengan Adonay. Setiap kali mereka menemukan kata YHWH dalam Alkitab mereka menyebutnya Adonay. akhirnya mereka sendiri tidak lagi tahu bagaimana mengucapkan dengan tepat kata YHWH ini. Kalau huruf mati yang lain dalam bahasa Ibrani tetap bisa dibaca dan diucapkan oleh orang Ibarni, itu karena mereka memakainya sehari hari. Namun YHWH ini sudah ratusan tahun tidak dipakai, sehingga tidak ada lagi yang tahu bagaimana mengucapkannya dengan tepat. Pengucapan orisinilnya sudah hilang dan dilupakan. Lalu mengapa muncul ucapan YAHWEH? Ucapan YAHWEH ini hanya bisa diduga-duga dan ahli-ahli Ibrani mengusulkan kemungkinan-kemungkinan yang berbeda-beda. Pada umumnya YHWH sekarang diucapkan YAHWEH berdasarkan teks-teks Yunani dan Amorit kuno yang punya rumusan nama itu yang mirip YAHWEH. Empat kombinasi konsonan YHVH itu jika dibubuhi vokal akan menjadi aneka ragam kombinasi, antara lain: YAHAVAH, YAHAVEH, YAHAVIH, YAHAVOH, YAHAVUH, YAHEVAH, YAHEVEH, YAHEVIH, YAHEVOH, YAHEVUH, YAHIVAH, YAHIVEH, YAHIVIH, YAHIVIH, YAHIVUH, YAHOVAH, YAHOVEH, YAHOVIH, YAHOVOH, YAHOVUH, YAHUVAH, YAHUVEH, YAHUVIH, YAHUVOH, YAHUVUH. Jadi kata YAHWEH sebagai pengucapan dari aksara Ibrani יהוה itu, sekali lagi, sebenanya hanya dugaan. Huruf vokal apakah yang ada di antara empat konsonan (huruf mati) kata sakral YHVH sehingga harus dibaca YAHWEH?Ironisnya, para penganut Yahweisme dalam prakteknya, mengucapkan YHWH secara berbeda-beda, yaitu : YahVeh, Yahh, Yahweh, Iahueh, Yahwah, Yaohu, Yahuwah, Yahuah, masih banyak lagi. Kalau ucapan YHWH saja diucapkan secara tidak seragam, tidak tepat, dan berbeda satu sama lainnya, lalu bagaimana mungkin masih tetap memaksa dan mewajibkan mengucapkan kata itu? Salah satu cara yang ditempuh oleh kelompok Yahweisme untuk mendukung ajaran dan praktek mereka mewajibkan penggunaan nama YAHWEH adalah dengan membangun sebuah opini dikalangan Kristen bahwa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani. Pendapat bahwa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani ini mungkin merupakan satu-satunya sanjata yang paling ampuh bagi mereka untuk mendukung pandangan mewajibkan penggunaan nama YAHWEH tersebut. Hal ini terus menerus mereka tekankan dalam setiap kesempatan sebab memang Perjanjian Baru bahasa Yunani tidak menggunakan nama YAHWEH tetapi menggantinya dengan Kurios. Secara logis, apabila Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani dan tidak mempertahankan pemakaian nama YAHWEH maka mewajibkan pemakaian kata tersebut adalah suatu kekeliruan. Konsekukuensi logis ini tentu saja sangat dipahami oleh para penganut Yahweisme. Karena itu membangun opini bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani merupakan satu-satunya harapan mereka untuk dapat mewajibkan penggunaan nama YAHWEH karena dalam Perjanjian Baru bahasa Ibrani tersebut ada tertulis nama YAHWEH. Ironisnya, Perjanjian Baru yang menjadi acuan mereka adalah Ha B’rit ha-Hadasah atau Brit Khadasha ! Perjanjian Baru berbahasa Ibrani Ha B’rit ha-Hadasahini diperlakukan mereka seakan-akan itu merupakan teks bahasa alinya. Ini tidak hanya ironis tetapi juga merupakan suatu hal yang konyol! Mengapa? Karena faktanya, Brit Khadasha merupakan kitab Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang diterjemahkan dari Perjanjian Baru bahasa Yunani oleh United Bible Society pada tahun 1970. Lebih jauh lagi harus diperhatikan, bahwa penerjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Ibrani yang paling awal dilakukan pada tahun 1385 Masehi. Perjanjian Baru bahasa Ibrani baru dibuat baru abad 14 M oleh Shem Tov, seorang Rabbi Yahudi yang ingin menyerang ajaran Kristen (itupun hanya Injil Matius). Karena terjemahan Shem Tovterlalu banyak memasukkan tafsir dan bukan murni terjemahan ke dalam bahasa Ibrani, 200 tahun kemudian Du Tilletmerevisi terjemahan Shem Tov di tahun 1555, dan hasil revisi inilah yang dikenal dengan injil Matius Du Tillet. Perjanjian Baru yang diterjemahkan dalam bahasa Ibrani yang lengkap baru dikerjakan pada abad 19 M. Upaya untuk membuktikan bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani seperti yang dilakukan oleh Yahweisme, merupakan usaha yang sia-sia. Karena memang memang Perjanjian Baru di tulis dalam bahasa Yunani, tepatnya Yunani Koine. Para pakar teologi dan ahli Alkitab telah memberikan bukti-bukti akademis, ilmiah dan historis bahwa Perjanjian Baru memang ditulis dalam bahasa Yunani. Untuk Perjanjian Baru bahasa Yunani ini buktinya sangat melimpah. Ada 5366 naskah untuk (manuskrip) yang beberapa diantaranya berasal dari abad ke 2 dan ke 3. Berikut ini beberapa kutipan yang menunjukkan bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani : J.I. Packer, Merril C. Tenney, William White Jr menjelaskan demikian, “Orang Yahudi memakai bahasa Aram dalam rumah mereka, bahasa Yunani di pasar, dan bahasa Latin dalam urusan mereka dengan orang Romawi. Orang Romawi memakai bahasa Latin dan Yunani, tetapi tidak memakai bahasa Ibrani dan Aram. .. Bahasa Yunani diketahui di seluruh daerah Laut Tengah. Di banyak tempat, Bahasa Yunani lebih umum daripada bahasa Latin, bahkan disebuh provinsi seperti Mesir. Ada banyak orang Yahudi yang tinggal di daerah Yerusalem, yang tidak tahu bahasa Ibrani atau tidak dapat membacanya, jadi bagi mereka diterjemahkan Alkitab Ibrani ke dalam bahasa Yunani (disebut Septuaginta) adalah Kitab Suci. Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani dan para penulisnya sering mengutip Septuaginta dengan cermat, bahkan ketika susunan kata dalam Septuaginta tidak cocok dengan teks bahasa Ibrani”. Jerry MacGregor dan Marie Prys menyatakan, “Sebagian besar Kitab Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani, tetapi sebagian kitab Daniel ditulis dalam bahasa Aram. Kitab-kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani Koine, meskipun kitab-kitab itu memuat frase-frase dalam bahasa Latin, Aram, dan Ibrani”. Merril C. Tenney dalam bukunya New Testament Survey yang direvisi oleh Walter M. Dunnat menyatakan, “Bahasa Aram dan Yunani lebih banyak berperan di dalam sejarah gereja pada abad yang pertama daripada bahasa Latin dan Ibrani. Konon beberapa catatan yang paling dulu dibuat mengenai ajaran Kristus ditulis dalam bahasa Aram, dan kenyataannya bahwa Perjanjian Baru secara utuh disebarluaskan hampir sejak awal dalam bahasa Yunani terlalu sulit untuk dibantah. Semua surat kepada jemaat dalam bahasa Yunani, dan kitab-kitab Injil serta Kisah Para Rasul hanya diketemukan dalam bahasa Yunani; meskipun terdapat catatan mengenai ajaran Kristus dalam bahasa Aram pada pertengahan abad yang pertama”. Alasan Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani adalah karena pengaruh helenisasi pada masa itu. Helenisasi adalah istilah teknis untuk menggambarkan proses perubahan kultural yang terjadi sekitar abad ke-2 SM hingga pertengahan abad ke 1M, dimana pengaruh kebudayaan Yunani (termasuk dalam hal cara hidup) sangat dominan. Dominasi kebudayaan Yunani ini tidak dapat dilepaskan dari perluasan kekuasaan Yunani di bawah pimpinan Aleksander Agung pada Abad ke 3 SM. kita sudah mengetahui bahwa sejak abad ke 5 SM (zaman Ezra, Nehemia 8:9), bahasa Ibrani yang terdiri hanya huruf-huruf konsonan sudah tidak dimengerti oleh umumnya orang Yahudi, dan sebagai bahasa percakapan kemudian digantikan oleh bahasa Aram. Alexander raja Yunani yang menguasai kawasan dari Yunani, Asyur, Media, Babilonia, sampai Mesir, menyebabkan pengaruh helenisasi menguasai Palestina, lebih-lebih dibawah wangsa Ptolomeus dan Seleucus helenisasi khususnya bahasa Yunani makin tertanam di Palestina sehingga kitab Tanakh Ibrani pun harus diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani menjadi Septuaginta di Aleksandria (abad ke 2 - 3 SM).[14] Kita bisa membayangkan, setelah sekian lama orang Yahudi itu bergaul erat dengan kebudayaan dan cara hidup Yunani mengakibatkan mereka tidak lagi memahami bahasa Ibrani. Sehingga Kitab Suci bahasa Ibrani (Tanakh, Perjanjian Lama) perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Jadi, pada masa itu sebagian umat Yahudi sudah tidak lagi bisa berbicara bahasa Ibrani kecuali mereka yang menjadi ahli kitab yang bertugas di Bait Allah dalam salin-menyalin Kitab Suci. Walau dapat dipastikan bahwa Yesus dan murid-muridNya yang tinggal di daerah Yudea-Samaria (daerah Palestina) berbahasa Aram (bukan bahasa Ibrani) sebagai bahasa ibu, namun tak bisa dipungkiri bahwa Yesus hidup pada zaman dan masyarakat yang sudah terpengaruh bahasa dan budaya Yunani, yang disebut masyarakat helenistik. Masyarakat helenistik terbentuk ketika Aleksander Agung menaklukkan Yunani dan sebagian besar wilayah mulai dari Mesir sampai ke India, dimana kemudian bangsa Yunani membawa keluar budaya serta bahasanya yang disebut helenisasi. Merril C. Tenney mengatakan, “Bahasa Yunani menjadi bahasa resmi di pengadilan dan bahasa pergaulan sehari-hari, seperti yang terlihat dalam tulisan-tulisan di atas papirus, surat-surat cinta, tagihan, resep, mantera, esai, puisi, biografi, dan surat-surat dagang, semuanya tertulis dalam bahasa Yunani, bahkan tetap demikian hingga masa pendudukan Romawi. ... bahasa Aram menggantikan bahasa Ibrani sebagai bahasa pergaulan di Palestina, dan Helenisme mendesak Yudaisme. “ Jadi bahasa Aram sebagai bahasa ibu diiringi bahasa Yunani Koine digunakan oleh Yesus Kristus dan para Rasul dalam pemberitaan Injilnya, dan bukan Tenakh Ibrani melainkan Septuaginta Yunanilah yang digunakan oleh umat pada saat awal kekristenan. Sebagian besar kutipan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru dikutip dari Septuaginta, sisanya dari berbagai naskah Ibrani. Merril C. Tenney menuliskan, “Septuaginta ... Pada masa Kristus, kitab tersebut telah tersebar luas di antara para Perserakan di wilayah Timur Tengah dan menjadi Kitab Suci Jemaat Kristen yang mula-mula”. Sebagai tambahan, Grant R. Osbone menyatakan, “Berkenaan dengan Perjanjian Baru, sumber aslinya telah hilang, dan harus dibangun kembali melalui kritik teks. Namun septuaguinta tetap menjadi Alkitab utama di abad pertama, yang diterima bahkan di Palestina, dan banyak sekali kutipan Perjanjian Baru berasal dari Septaguinta. Misalnya dari delapan puluh kutipan dalam Matius, tiga puluh berasal dari Septuaginta. Namun semuanya dalam ucapan langsung Yesus dan Yohanes Pembaptis, meninggalkan kesan bahwa Yesus menggunakan Septuaginta. Hal yang serupa juga terlihat dari ucapan-ucapan dalam kisah Para Rasul. Bahkan surat rasuli yang paling bersifat Yahudi (Ibrani dan Yakobus) menggunakan septuaginta secara menyeluruh” lebih lanjut Grant R. Osbone menyatakan, “Sebagai kesimpulan, gereja mula-mula menggunakan Septuaginta secara luas sebagai sumber kutipan, namun kanon mereka secara umum adalah dua puluh empat (=tiga puluh sembilan) Kitab Perjanjian Lama yang diterima”. Perlu diketahui bahwa bahasa Yunani memiliki sejarah yang kaya dan panjang, mulai dari abad ke 13 SM sampai sekarang. Bentuk paling awal bahasa ini disebut Linear B (abad ke 13 SM). Bentuk bahasa Yunani yang digunakan para penulis, mulai dari Homer (abad ke 8 SM) hingga Plato (abad ke 4 SM) disebut bahasa Yunani Klasik. Bentuknya indah dan mampu menyampaikan ekspresi secara tepat dengan nuansa yang baik. Alfabetnya, sebagaimana halnya bahasa Ibrani berakar dari bahasa Fenisia. Dalam Bahasa Yunani Klasik terdapat banyak dialek, terutama tiga dialek: Dorik, Aeolik, dan Ionik (dimana Attik adalah cabangnya). Kota Athena ditaklukan raja Filipus dari Makedonia pada abad ke 4 SM. Putra Filipus Aleksnder Agung, murid filsuf Yunani Aristoteles, menaklukan dunia dan menyebarkan kebudayaan Yunani beserta bahasanya. Karena Aleksander berbicara bahasa Yunani Attik, maka dialek inilah yang tersebar. Dialek ini juga dipakai para penulis Athena yang terkenal. Waktu itulah zaman Helenis dimulai. Ketika bahasa Yunani menyebar keseluruh dunia dan bertemu bahasa-bahasa lain, bahasa Yunani mengalami perubahan (seperti pada bahasa manapun). Antara sesama dialek pun saling beriteraksi. Penyesuaian ini yang akhirnya menghasilkan apa yang sekarang disebut Yunani Koine artinya “umum” dan menggambarkan bentuk bahasa sastra halus, karena pada faktanya beberapa penulis pada zaman ini dengan sengaja meniru gaya bahasa Yunani yang lebih tua. Yunani koine adalah bentuk sederhana dari Yunani klasik, akibatnya banyak detail Yunani klasik menjadi hilang. Misalnya, dalam Yunani klasik “allos” berarti “lain”, bentuk lainnya adalah “eteros” yang juga berarti “lain”, namun memiliki perbedaan dengan yang pertama. Jika anda mempunyai sebuah apel dan meminta “allos”, maka anda akan menerima apel lainnya. Namun jika anda meminta “eteros”, anda akan meneriam sebuah jeruk. Bahasa Yunani koine yang seperti inilah yang biasanya terdapat dalam Septuaginta, Perjanjian Baru, dan tulisan-tulisan bapa-bapa Gereja. Studi terhadap Papirus Yunani yang ditemukan di Mesir lebih dari seratus tahun lalu, menunjukkan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang digunakan sehari-hari untuk surat wasiat, surat pribadi, resep-resep, daftar belanja, dan lain-lain. Berikut ini kronologi naskah-naskah penting Perjanjian Baru yang ditulis dalam bahasa Yunani : (1) Manuskrip John Ryland (130 M) terdapat diperpustakaan John Ryland di Manchester, Inggris. Ini adalah fragmen Perjanjian Baru (Penggalan Injil Yohanes) berbahasa Yunani tertua yang di tulis di Mesir. (2) Manuskrip Papyrus: (a) Bodmen Papyrus II (150-200 M) terdapat di Perpustakaan Kesusasteran Dunia Bodmer, berisi sebagian besar Injil Yohanes; (b) Payrus Chester Beatty (200 M) terdapat di Musium Chester Beatty di Dublin dan sebagian dimiliki oleh Universitas Michigan. Koleksi ini terdiri dari kodeks-kodeks papyrus, tiga diantaranya memuat bagian terbesar dari Perjanjian Baru. (3) Manuskrip Unicial: (a) Kodeks Vaticanus (325-350 M) terdapat di Museum Vatikan berisi hampir semua kitab Perjanjian Baru; (b) Kodeks Sinaiticus berisi semua Perjanjian Baru dan tertanggal 331 M; (c) Kodeks Alexandrinus (400 M) terdapat di Museum British, ditulis dalam bahasa Yunani di Mesir dan memuat hampir seluruh Alkitab. (d) Kodeks Ephra-emi (400 an M) terdapat di Bibliotheque Nationale, Paris; (e) Kodeks Bezae (450 M) terdapat di perpustakaan Cambridge dan berisi Injil-Injil serta Kisah Para Rasul dalam Bahasa Yunani dan dalam bahasa Latin; (f) Kodeks Washingtonensis (450 M) besisri keempat kitab Injil; (g) Kodeks Claromontanus (500 M) berisi surat-surat Paulus yang merupakan naskah dwi bahasa). Sedangkan Perjanjian Baru versi lainnya dalam bahasa Siria, Latin, dan Koptik sebagai berikut : (1) Versi Siria: Siria kuno (400 M, Peshitta Siria (150-250 M), Siria Palestina (400-450 M), Philoxenia (508 M), Siria Harkleim (616); (2) Versi Latin : (a) Latin Kuno (350-400 M), (b) Latin Kuno Afrika (400 M), Kodeks Corbiensis (400-500 M), Kodeks Vercellensis (300 M), Kodeks Palatinus (500 M), Latin Vulgatta (366-384 M); (3) Versi Koptik (Mesir): (a) Sahidic (300 M), (b) Bohairic ((400 M), (3) Mesir Pertengahan (400-500 M); (4) Versi lainnya: Armenia (sekitar 400 M) terjemahan dari Alkitab Yunani, Gothic (sekitar 400 M), Gergorian (sekitar 500 M), Ethiopia (sekitar 600 M) dan Nubian (sekitar 600 M). Fakta historisnya, semua naskah (manuskrip) Perjanjian Baru yang lebih awal ini tidak satupun ditulis dalam bahasa Ibrani!. Bahkan Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang dijadikan acuan oleh Yahweisme ternyata tidak pernah ada dalam sejarah. Sejak abad pertama hingga abad ke 14 M tidak ditemukan walau hanya sebuah manuskrip saja. Fakta ini sebaliknya mendukung bahwa Perjanjian Baru aslinya ditulis dalam bahasa Yunani Koine. Berlanjut ke bagian 4