Selasa, 02 Maret 2021

Kerudung Kepala Wanita dari berbagai agama

*1. Kerudung Wanita Yahudi (Jewish)*
Seorang pemuka agama Yahudi, Rabbi Dr. Menachem M. Brayer, Professor Literatur Injil pada Universitas Yeshiva dalam bukunya, The Jewish woman in Rabbinic Literature, menulis bahwa baju bagi wanita Yahudi saat bepergian keluar rumah adalah mengenakan penutup kepala yang terkadang bahkan harus menutup hampir seluruh muka dan hanya meninggalkan sebelah mata saja. Dalam bukunya tersebut ia mengutip pernyataan beberapa Rabbi (pendeta Yahudi) kuno yang terkenal: “Bukanlah layaknya anak-anak perempuan Israel yang berjalan keluar tanpa penutup kepala” dan “Terkutuklah laki-laki yang membiarkan rambut istrinya terlihat,” dan “Wanita yang membiarkan rambutnya terbuka untuk berdandan membawa kemelaratan.” [Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen, Sherif Abdel Azeem,  (Yogyakarta: Gama Media,  2001), cet. Ke-2, h.74], dapat dilihat para perempuan dari kalangan Yahudi Ultra Orthodoks sekte Haredi Burqa yang kerap disebut Ibu para Taliban, demikian dikutip dari laman Bersama Islam.com. Kerudung juga menyimbolkan kondisi yang membedakan status dan kemewahan yang dimiliki wanita yang mengenakannya. Kerudung kepala menandakan martabat dan keagungan seorang wanita bangsawan Yahudi. Oleh sebab itu di masyarakat Yahudi kuno, pelacur-pelacur tidak diperbolehkan menutup kepalanya. Tetapi pelacur-pelacur sering memakai penutup kepala agar mereka lebih dihormati (S.W.Schneider, 1984, hal 237). Wanita-wanita Yahudi di Eropa menggunakan kerudung sampai abad ke 19 hingga mereka bercampur baur dengan budaya sekuler. Dewasa ini, wanita-wanita Yahudi yang shalih tidak pernah memakai penutup kepala kecuali bila mereka mengunjungi sinagog (gereja Yahudi). [S.W.Schneider, 1984, hal. 238-239]. Dalam Hukum Rabi Yahudi, wanita Yahudi yang sudah bersuami dan tidak berjilbab dipandang  sebagai wanita yang tidak terhormat. Hukum Rabi Yahudi juga melarang pembacaan dan doa di depan wanita yang sudah menikah tanpa menutup kepala dengan kerudung karena wanita yang membuka rambutnya itu dianggap sebagai wanita telanjang. Wanita ini bahkan dianggap sebagai wanita yang merusak kerendahan hatinya dan didenda dengan empat ratus zuzim karena pelanggarannya.[ibid, h. 74-75]. *2. Kerudung Wanita Kristen*, perempuan dari jemaah Kristen Orthodoks Old Believers dalam pakaian tradisional lengkap dengan kerudung dan sudah dibiasakan sejak masih kanak-kanak.
“…Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. “Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki. “Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat. Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah. “Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung? Bukankah alam sendiri menyatakan kepadamu, bahwa adalah kehinaan bagi laki-laki, jika ia berambut panjang, tetapi bahwa adalah kehormatan bagi perempuan, jika ia berambut panjang? Sebab rambut diberikan kepada perempuan untuk menjadi penudung…” [Dalam Korintus 11: 5-15]. Menurut Rasul Paulus, menutup kepala bagi wanita itu sebagai simbol otoritas laki-laki yang  merupakan bayangan dan keagungan Tuhan, karena wanita diciptakan dari laki-laki dan untuk  kepentingan laki-laki pula. [Kitab I Korintus, 11: 7-9]. Dalam kaitan ini, Abu Ameenah Bilal Philips menegaskan bahwa dalam kanon Gereja  katolik  terdapat artikel hukum yang mewajibkan wanita untuk menutup kepala mereka saat berada di  Gereja. Bahkan sekte-sekte Kristen, seperti kaum Amish dan Mennonite memelihara kerudung bagi kaum wanitanya hingga saat ini.[“Agama Yesus Yang Sebenarnya”, Abu Ameenah Bilal  Philips,(Jakarta: Pustaka Dai, 2004), h. 179].  *3. Kerudung Wanita Hindu*, Hal yang sama juga dilakukan dalam tradisi orang-orang India yang sebagian besar penganut ajaran Hindu. Pakaian yang panjang sampai menyentuh mata kaki dengan kerudung menutupi kepala menjadi pakaian khas yang dipakai sehari-hari.
*4. Kerudung Wanita Sikh*, Demikian juga dalam agama Sikh yang terdapat di India dan kerap disebut merupakan gabungan dari agama Islam dan Hindu. Melansir Kompasiana.com, saat ini umat Sikh digolongkan ke dalam agama Hindu untuk urusan administrasi kependudukan dan bimbingan masyarakat, walaupun kedua agama ini berbeda. Agama ini berkembang terutamanya pada abad ke-16 dan 17 di India. Kata Sikhisme berasal dari kata Sikh, yang berarti “murid” atau “pelajar”. Kepercayaan-keperayaan utama dalam Sikhisme adalah: Percaya dalam satu Tuhan yang pantheistik. Kalimat pembuka dalam naskah-naskah Sikh hanya sepanjang dua kata, dan mencerminkan kepercayaan dasar seluruh umat yang taat pada ajaran-ajaran dalam Sikhisme: Ek Onkar (Satu Tuhan).
Ajaran Sepuluh Guru Sikh (serta para cendekiawan Muslim dan Hindu yang diterima) dapat ditemukan dalam Guru Granth Sahib.
Melansir Wikipedia.org, Sikh merupakan agama monoteistik yang diasaskan mengikut ajaran Guru Nanak dan sembilan orang guru lain di Punjab, India pada abad ke-15. Agama Sikhisme adalah agama kelima terbesar di dunia, dengan lebih daripada 23 juta penganut. Sikhisme berasal daripada perkataan Sikh, yang datang daripada kata dasar śiṣya dalam bahasa Sanskrit, yang bermakna “murid” atau “pelajar”, atau śikṣa yang bermaksud “arahan”. Di Indonesia sendiri, Sikh masuk sekitar abad 19 melalui Kota Medan, Sumatera Utara yang bertetangga dengan Malaysia dan Singapura. Karena dulu India merupakan jajahan Inggris dan bertepatan dengan Malaysia dan Singapura yang juga dijajah Inggris, saat itulah orang Sikh masuk ke Indonesia. Ini dikarenakan saat itu para penganut Sikh kebanyakan berprofesi sebagai tentara, polisi dan pengamanan. dikatakan juga bahwa dalam Perang Dunia I maupun II, itu Sikh Regiment saat itu paling banyak mendukung tentara Inggris. Demikian dilansir dari Kumparan.com. *5. Kerudung Wanita Islam*,  Dikatakan oleh Dedy Mulyana dalam Islam: Antara Simbol dan Identitas, pemakaian jilbab yang dilandasi pengalaman keagamaan, tidak lain merupakan cermin dari inner states yang tulus. Jilbab di sini bukan instrumen untuk menyenangkan orang lain atau sekadar untuk memenuhi persyaratan masuk ke dalam sebuah institusi. Tetapi, perwujudan rasa nyaman yang subjektif, seperti dikutip dari Republika.co.id. Muhammad Sa’id Al-Asymawi, seorang tokoh liberal Mesir, yang memberikan pernyataan kontroversial bahwa jilbab adalah produk budaya Arab. Pemikirannya tersebut dapat dilihat dalam buku Kritik Atas Jilbab yang diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation. Meski demikian, sebagian besar ulama Islam mengatakan bahwa jilbab adalah kewajiban bagi wanita islam. Wanita Islam wajib menjaga auratnya, yang diperbolehkan untuk diperlihatkan hanya wajah serta telapak tangan. Semoga menjadi berkat bermanfaat 🙏🏻🙏🏻🙏🏻Tuhan memberkati 🙌🏻🙌🙌🏻STT baptis injili, CEPOGO, BOYOLALI, JATENG, 2019, TITUS ROIDANTO 

YHWH bukan bahasa yang turun dari surga. bagian 4 Dari 4 bagian tulisan (tamat)

Bagian 4
Untuk mendukung pandangannya bahwa Asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani, kaum Yahweisme mengutip Matius 27:7-9, bahwa teks tersebut dalam bahasa Yunani mengandung kesalahan, sedangkan teks dalam bahasa Ibrani (Brit Khadasa) itu benar. Berikut ini tanggapan atas tuduhan tersebut: Pertama, memang harus diakui bahwa Matius 27:7-9 ini merupakan satu dari beberapa bagian yang sukar dalam Perjanjian Baru. Tetapi yang perlu diingat, sukar bukan berarti salah! Kelihatannya, kaum Yahweisme telah memanfaatkan teks yang sukar ini dan menggiring orang-orang untuk meragukan bahwa Naskah asli Perjanjian Baru berbahasa Yunani. Ironinya, Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang dipakai menjadi acuan kaum Yahweisme untuk membandingkan teks tersebut adalah Brit Khadasha, yaitu kitab Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang diterjemahkan dari Perjanjian Baru bahasa Yunani oleh United Bible Society pada tahun 1970 Untuk kepentingan orang-orang Kristen Yahudi modern saat ini. Tentu saja Perjanjian Baru versi ini telah mengalami banyak perbaikan untuk memudahkan pembacanya dan menghindari kesukaran-kesukaran dalam teks tertentu. Jadi Perjanjian Baru berbahasa Ibrani Ha B’rit ha-Hadasah inilah yang dijadikan acuan dan diperlakukan oleh kaum Yahweisme seakan-akan itu merupakan teks bahasa alinya. Ini tidak hanya ironis tetapi juga merupakan suatu hal yang konyol! Kedua, pertanyaannya adalah seberapa jauh Naskah berbahasa Yunani dapat dipercaya sebagai bahasa asli Perjanjian Baru? Apa yang dianggap kesalahan karena mengandung kontradiksi dalam naskah Perjanjian Baru Yunani seperti pendapat Kaum Yahweisme tersebut sebenarnya adalah paradoksi. Paradoksi bukanlah kontradiksi! Kontradiksi tidak dapat dijelaskan, sedangkan paradoksi dapat dijelaskan. Paradoksi sepertinya bertentangan tetapi bila dicermati maka akan ditemukan penjelasannya. Karena itu Augustinus memberikan pernyataan yang tegas mengenai situasi ini, “Jika kita bingung karena adanya hal-hal yang kelihatannya bertolak belakang di dalam Alkitab, kita tidak boleh berkata, pengarang kitab ini salah, tetapi bisa jadi (1) manuskrip atau salinan naskah kunonya yang cacat, atau (2) penerjemahannya keliru, atau (3) kita memang belum mengerti”. Sebagai contoh Matius 27:5 yang dianggap sebagai kontradiksi Alkitab Perjanjian Baru, padahal sebenarnya adalah paradoksi, yaitu peristiwa kematian Yudas (bagian yang masih berhubungan dengan Matius 27:9 yang dipermasalah oleh kaum Yahweisme. Injil Matius 27:5 menyebutkan bahwa kematian Yudas itu disebabkan karena ia gantung diri. Sedangkan Lukas dalam Kisah Para Rasul 1:18 menulis bahwa kematian Yudas disebabkan karena ia jatuh tertelungkup, perutnya terbelah dan semua isi perutnya tertumpah keluar. Para kritikus menuduh mana yang benar, dan menyatakan bahwa ini kontradiksi. Kekristenan menjawab bahwa ini adalah paradoksi yang bisa dijelaskan karena kedua laporan penulis Kitab itu benar adanya. Yudas memang gantung diri, kemudian oleh sesuatu hal talinya putus, ia jatuh tertelungkup, perutnya terbelah dan isi perutnya semuanya keluar. Kedua kisah kematian Yudas ini saling melengkapi satu sama lain. Kisah ini akan semakin dipahami apabila kita mempelajari lokasi Hakal Dama di lembah Hinnom. Yudas “menggantungkan dirinya (matius 27:5). Tepatnya ditepi tebing Lembah Ben Hinnom, “… lalu ia jatuh tertelungkup, dan perutnya terbelah sehingga semua isi perutnya tertumpah keluar” (kisah Para Rasul 1:18). Jadi kedua kisah tersebut tidak bertentangan Karena Matius menjelaskan “cara matinya” sedangkan Lukas menjelaskan “keadaan ketika Yudas mati”. Tetapi masalah dalam kisah kematian Yudas ini belum selesai, sebab dalam Matius 27:6-7 disebutkan bahwa para imam yang membeli tanah hakal dama itu; sedangkan menurut Kisah Para Rasul 1:18 menyebutkan bahwa Yudaslah yang membeli tanah tersebut. Dari kedua laporan tersebut, mana yang benar ? sekali lagi Alkitab oleh para kritikus dituduh kontradiksi. Sebenarnya tidak kontradiksi tetapi hanya paradoksi, dan ini bisa dijelaskan. Jadi kedua laporan itu benar adanya, yaitu bahwa para imam membeli tanah tersebut atas nama Yudas (sertifikat hak milik Yudas). Hal ini masuk akal, karena kata yang diterjemahkan dengan “membeli” dalam kedua ayat tersebut merupakan kata yang berbeda. Matius 27:7 menggunakan kata “egorazon” yang berarti “membeli secara transaksional, sedang Lukas dalam Kisah Para Rasul 1:18 menggunakan kata “ektesato” lebih bermakna kata sindiran yang bukan transaksional. Kata sindiran dalam Kisah Para Rasul 1:18 ini sesuai apabila dihubungkan dengan ungkapan “upah pengkhianatanya yang jahat”. Karena itu lebih tepat kata “ektesato” tersebut diterjemahkan dengan “mendapatkan”. Ketiga, berdasarkan penjelasan di atas, bagaimana kita menjelaskan kesulitan dalam teks berikutnya, yaitu dalam Matius 27:7-9 tersebut? Kesukaran dalam bagian ini adalah dikarenakan Matius mengatakan “nubuat nabi Yeremia” (ayat 9) sedangkan ayat rujukan yang paling cocok dengan peris­tiwa ini kelihatannya adalah Zakharia 11:12-13. Mungkin karena inilah maka terjemahan Brit Khadasa yang dipakai oleh kaum Yahweisme menghilangkan kata “Yeremia” untuk menghindari kesulitan ini. Jawaban untuk kesulitan ini ada Matius ketika menyatakan bahwa peristiwa pembelian Tanah Tukang Periuk itu merupakan penggenapan dari nubuatan Nabi Yeremia maka ia sedang memadukan unsur-unsur simbolisme nubuat nabi Yeremia (Yeremia 32:6-9) dan nabi Zakharia (Zakharia 11:12-13). Ketika memadukan kedua nubuatan ini, seperti kebiasaan yang sering dipakai saat itu dalam mengutip ayat-ayat dari kitab para nabi, maka nama nabi yang tua dan terkenalah yang disebutkan, yaitu Yeremia. Penafsiran saya tersebut di atas didukung oleh pendapat Pakar Bahasa Ibrani Perjanjian Lama Profesor Gleason L. Archer yang menjelaskan demikian, “Matius sedang menggabungkan dan merangkum unsur-unsur simbolisme yang ada dalam Kitab-nabi-nabi baik Zakharia maupun Yeremia. Namun, karena Yeremia adalah yang lebih menonjol di antara dua nabi tersebut maka dia memprioritaskan nama Yeremia daripada nama nabi kecil itu. Cara yang sama diikuti oleh Markus 1:2-3 yang hanya menyebutkan Yesaya sebagai sumber dari kutipan gabungan dari Maleakhi 3:1 dan Yesaya 40:3. Dalan kasus itu juga, yang disebut namanya ialah yang lebih terkenal di antara dua nabi tersebut. Oleh karena hal semacam itu merupakan praktik yang lazim dalam kesusastraan abad pertama Masehi, yaitu ketika Kitab-kitab Injil di tulis, maka pra penulisnya tidak mungkin dapat dipersalahkan karena tidak mengikuti kebiasaan zaman modern untuk memberikan identifikasi serta pencantuman catatan kaki secara persis (yang tidak mungkin bisa dilakukan dengan mudah sebelum dibuat penyalinan dari gulungan kitab menjadi kodeks dan setelah ditemukannya percetakan)”. Jadi kesimpulannya, apa yang dianggap (dtuduh) sebagai kesalahan oleh kaum Yahweisme sebenarnya hanyalah kesulitan. Dan konyolnya, bukannya mencari jawaban yang benar atas kesulitan itu kaum Yahweisme malah menggunakan kesulitan itu untuk membangun opini bahwa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani. Perlu diketahui, ada banyak kesulitan-kesulitan di dalam Alkitab seperti contoh tersebut diatas. Ahli filsafat dan pakar teologi Norman Geisler mendaftarkan sejumlah 800 hal yang dianggap kontradiksi Alkitab oleh para kritikus dalam bukunya yang berjudul The Big Book of Bible Difficulties: Clear and Concise Answer From Genesis to Revelation, dan ia meunjukkan bahwa tidak satupun diantaranyanya terbukti benar. Ada suatu tulisan menarik, yang tentu saja harus dibuktikan kebenarannya. Tulisan ini menyatakan bahwa tahun 1567 seseorang bernama Genebrardus menemukan bahwa nama "dugaan" tadi adalah IAHVE, JAHVE (Chronographia, Paris, 1567). Bagaimana kisahnya? Ternyata Genebrardus meminjam istilah Klemen dari Aleksandria dari kalangan Platois Gnostik, ejaan Yunani dari nama dewa Zeus yaitu IAOVE, yang juga dikenal sebagai JOVE, dewa Yupiter Romawi. Ejaan IAOVE ini diubah menjadi YAOVE kemudian menambah huruf H dan membuang huruf O sehingga menjadi YAHVE. Agar penemuannya ini ada dukungannya, ia mengutip pula Alkitab Samaria yaitu kata IABE. Diubahnya menjadi YABE, dan terakhir mengubah B menjadi V sehingga menjadi YAVE, tinggal disesuaikan dengan empat huruf sakral YHVH yakni menambah dua huruf H di tengah dan di akhir kata, jadilah YAHVEH. Jika ingin baca selengkapnya, Ucapan YEHOVÂH berasal dari kata YHVH dibubuhi vokal 'ADONÂY oleh para ahli Masora yang juga tidak mengetahui bagaimana pengucapan yang benar. Banyak yang hanya menebak atau menduga bahwa empat huruf ini dibunyikan YAHAVAH, YEHUWA, YAHEVEH, YAHUWEH, YAHAVEH, dan seterusnya, jadi semuanya hanya menduga sehingga akhirnya baik YEHOVÂH maupun YAHWEH hanyalah merupakan nama "dugaan".  Menurut Linwood Urban, “Hingga sekitar 200 SM sudah menjadi kebiasaan agar tidak pernah mengucapkan nama yang sebenarnya dari Allah dalam Kitab Suci, Yahweh, dan sebagai gantinya selalu menyebut Adonai atau Tuhan (Lord). Kebiasaan yang bersifat tetapt ini, pada tahun 200 SM diperlihatkan oleh Septuaginta, terjemahan kitab Suci Ibrani dalam bahasa Yunani yang tidak mentransliterasi kata Yahweh, tetapi menggantinya dengan kata Yunani Kurios untuk Tuhan”. (Urban, Linwood.,2006. Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. Terjemahan, Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 10). Jadi di dalam Perjanjian Lama (Tanakh) kita menjumpai variasi nama-nama ilahi seperti EL/ELOAH/ELOHIM yang umumnya dikenal sebagai common noun  (kata generik), serta YHWH angg umumnya dikenal sebagai proper noun (nama diri).  Jika mencermati penggunaannya dalamm Perjanjian Lama (Tanakh) kata EL/ELOAH/ELOHIM dalam teks tertentu dapat juga dipahami sebagai nama diri sesuai konteks yang ada (Misalnya Kej 33:30). Demikian pula nama diri YHWH digunakan nama pengganti seperti Adonai atau pun Ha Shem. Perlu diketahui bahwa dalam Perjanjian Lama, nama bukanlah semata-mata untuk mebedakan seseorang dari orang lain, tetapi berkaitan erat dengan keberadaan orang itu. Nama seseorang mewakili sifat maupun kepribadiannya. Mengetahui nama seseorang berarti memiliki suatu hubungan yang dalam sekali dengan dia (LaSor, W.S, D.a Hubard, D.W. Bush., 2014. Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat dan Sejarah. Terjemahan, Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 192-193). Ungkapan dalam bahasa Ibrani “ehyeh asyer ehyeh” dalam Keluaran 3:14  yang diterjemahkan “Aku adalah Aku” yang secara harafiah berarti “Aku (akan) ada yang Aku (akan) ada”. Para ahli sepakat bahwa kata kerja “ada” merupakan bentuk kekinian atau keakanan dalam arti “ada”, merupakan lawan dari “tidak ada”. Kata kerja “ada” ini juga berarti “ hadir sebgai Dia yang menyertai, mengadakan, dan bertindak”. Ungkapan “Aku adalah Aku” ini merupakan contoh cara bicara yang menerangkan sesuatu dengan menunjukkan kembali kepada hal itu sendiri. Cara itu dipakai bila pembicara tidak ingin atau tidak mampu membuat hal itu lebih jelas. Karena itu, cara tersebut dapat menyatakan sesuatu yang belum tentu, tetapi juga menyatakan keseluruhan atau ketegasan. Ungkapan “Aku akan memberi kasih karunia kepada siapa yang Kuberi kasih karunia dan mengasihi siapa yang Kukasih (Keluaran 33:19) berarti “Sesungguhnya Aku adalah Dia yang penuh kasih karunia dan belas kasihan”. Sejalan dengan itu, maka ungkapan “Aku adalah Aku” berarti “Sesungguhnya Aku adalah Dia yang ada”. Keberadaan ini bukanlah keberadaan metafisik, sebagaimana dalam pernyataan filosofis, tetapi keberadaan yang akstif “Akulah Dia yang ada disini (demi kamu), benar-benar hadir, siap untuk menolong dan bertindak”. Dengan mengungkapkan namaNya YHWH, Allah hendak menyatakan bahwa Ia telah membuka hakikat keberadaanNya kepada manusia, Ia membiarkan orang untuk menghampiriNya dalam persekutuan dengan Dia dan menyatakan diriNya sebagai penyelamat. Bentun nama YHWH itu sendiri dalam keluran 3:15 dan hubungannya dengan keterangan “Aku adalah Aku” dalam ayat 14. Dalam ayat 14 nama itu mempunyai bentuk orang ketiga tunggal, berasal dari kata kerja “haya “ada” yaitu “dia ada”. Tetapi ketika berbicara tentang diri Allah, Allah tidak mengatakan “Dia ada” melainkan “Aku ada”. Orang-orang lain bila berbicara tentang Allah harus berkata “Dia ada”. (lihat: Barth, Christoph., 2008. Teologi Perjanjian Lama 1 & 2. Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 156; LaSor, W.S, D.a Hubard, D.W. Bush., 2014. Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat dan Sejarah. Terjemahan, Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 196-197; Wolf, Herbert., 2004. Pengenalan Pentateukh. Terjemahan, penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 29-31). Lembaga Alkitab Indonesia tidak hanya menerjemahkan kata YHWH menjadi TUHAN. Tetapi juga menerjemahkan kata Elohim menjadi Allah, Adonai menjadi Tuhan. Pemakaian kata TUHAN paling sering dipakai untuk menerjemahkan YHWH, sedangkan kata ALLAH hanya muncul pada saat ada kata Adonai YHWH. Karena itu di dalam Perjanjian Lama kita seringkali menjumpai kata : TUHAN, Tuhan, ALLAH, Allah. Keempat kata ini merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani ke bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Lembaga Alkitab Indonesia. Namun kelompok Yahweisme menyalahkan penerjemahan kata YHWH, Elohim dan Adonai ini. Misalnya sebagai contoh perhatikan ayat-ayat berikut ini. “Pada mulanyaAllah (Elohim) menciptakan langit dan bumi” (Kejadian 1:1). “Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan. Ketika TUHAN (YHWH) Allah (Elohim) menjadikan bumi dan langit” (Kejadian 2:4). “Abram menjawab: ‘Ya Tuhan (Adonai) ALLAH (YHWH), apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu” (Kejadian 15:2). Selamat mengerti YHWH, STT BAPTIS INJILI, CEPOGO, BOYOLALI, JAWA TENGAH, 2014, Titus Roidanto (tamat) 

YHWH bukan bahasa yang turun dari surga. bagian 3 dari 4 bagian tulisan

Bagian 3
 Ketika amsal 18:10 menuliskan “Nama TUHAN adalah menara yang kuat, kesanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat”. Apakah yang dimaksud bahwa namaNya yang menjadi menara yang kuat ataukah Pribadi YHWH sendiri adalah menara yang kuat? Tentu yang dimaksud bukan nama pribadi tetapi Pribadi Allah sendiri yang menjadi menara yang kuat. Karena itu yang dipentingkan bukan penyebutan nama Ilahi YHWH dalam bahasa Ibrani, melainkan lebih menunjuk kepada Pribadi Allah itu sendiri sebagai Allah yang Mahakekal, Mahahidup, dan menyatakan diri kepada manusia. Hal yang lebih penting adalah makna teologis, bukan sebutan hurufiahnya. Lagi pula nama YHWH bukanlah nama yang diurunkan dari surga! Nama itu sudah diketetahui sebelum Musa, tetapi Tuhan menyatakannya secara langsung kepada Musa, sebagaimana dijelaskan oleh Christoph Barth demikian, “Darimanakah datangnya nama itu? Orang cenderung berpikir bahwa nama Allah seharusnya datang dari surga. Namun, dapat dipastikan bahwa nama itu berakar di dalam bahasa Ibrani. Nama Allah tidak ‘diturunkan dari surga’, Dia sendirilah yang dikatakan ‘turun’ (keluaran 3:8). Ia berkenan menyatakan diri kepada umat Israel. Itu berarti bahwa Ia berkenan menyatakan diri di dalam bahasa yang cocok dengan telinga, hati, dan mulut orang Israel. NamaNya sendiripun ‘berasal’ dari bahasa mereka, ‘terambil’ dari nama-nama yang pernah menjadi biasa dalam pergaulan mereka, di daerah-daerah pengembaraan atau penumpangan mereka. Kita mempunyai alasan kuat (Kejadian 4:26) untuk menduga, bahwa nama YHWH memang ‘berasal’ dari daerah tertentu dan bahwa nama itu telah diikenal – sebagai nama Ilahi! – oleh bangsa-bangsa tertentu di daerah tersebut sebelum orang-orang Israel mulai membiasakannya. Beberapa nas yang tertua di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama mengetahui bahwa Allah dengan namaNya YHWH telah ‘berdiam’ di daerah padang gurun antara Mesir dan Kanaan; Padang Gurun Zin, Padang Gurun Paran dan Padang Gurun Sinai, semuanya merupakan daerah pengembaran suku-suku Arab sepertri Ismail, Amalek, Midian, dan Keni, berikut Pegunungan Seir, daerah orang Edom (Esau, Kejdian 33); terutama beberapa gunung keramat di wilayah yang luas itu – ‘gunung Allah’ (keluaran 3:1; 18:50, Gunung Sinai, Gunung Hoteb dan Gunung Paran, beberapa di antaranya mungkin bertepatan tempatnya – diperkenalkan kepada kita sebagai tempat kediaman YHWH”  (Lihat: Ulangan 32:2; Hakim-hakim 5:4-5; Habakuk 3:3,7). Selanjutnya Chistoph Barth menjelaskan bahwa melalui mertuanya Yitrolah Musa belajar mengenal Allah yang bernama YHWH itu, demikian, “Berbicara tentang orang-orang Midian, teringatlah kita kepada tokoh mertua Musa (yang bernama Reguel, Keluaran 2:18; Hobab, Hakim-hakim 1:11 dan 4:11; Hobab bin Reguel, Bilangan 10:29; Yitro, Keluaran 3:1 dan 18:1-12; Yeter, Keluaran 4:18), yang dikatakan berpangkat ‘imam di Midian’ atau ‘imam orang Midian’ (keluaran 2:16; 18:1). Sedang menurut nas-nas lain, ia mengepalai suku keni (Hakim-hakim 1:16; 4:11). Terkadang ia dikatakan orang Midian, terkadang orang Keni, terkadang malahan orang Kusy (Bilangan 12:1). Segala hal yang berbeda-beda ini melihat melihat mertua Musa itu sebagai seorang imam di ‘gunung Allah’ yang keramat, namun yang pasti adalah bahwa melalui Reguel (Yitro) itulah Musa belajar mengenal Allah yang bernama Yahweh. Allah menyatakan diri secara ‘langsung’ kepada Musa (Keluaran 3), tetapi kenyataannya tidak dapat disangkal bahwa nama YHWH telah dikenal lebih dulu oleh suku-suku itu - terutama suku Keni/Midian (Bandingkan Keluaran 18) – barulah orang-orang Israel berhubungan dengan Dia yang kemudian berkenan menjadi ‘Allah orang Israel”. Bukti sejarah menuliskan pada masa Tuhan Yesus, bahasa Yunani dijadikan bahasa komunikasi antar ras krn penjajahan Roma, seperti bahasa nasional, selain itu ada bahasa latin (Yoh 19:20), sehingga dimungkinkan sekali Tuhan Yesus dalam kesehariannya menggunakan bahasa ibrani/aram dan juga bahasa Yunani, artinya kemungkinan pula penulisan kata-kata Tuhan Yesus dalam bahasa Yunani adalah juga ucapan sebenarnya dari Tuhan Yesus dalam/menggunakan bahasa Yunani, shg perkiraan/prapaham ini menegaskan sebab Tuhan Yesus dan Penulis Perjanjian Baru tidak mempertahankan pemakaian kata YHWH. Bahkan Tuhan Yesus dan para rasul serta penulis Perjanjian Baru bukan hanya menerjemahkan nama YHWH melainkan juga mengganti nama YHWH itu dalam Perjanjian Baru. Misalnya dalam Yesaya 61:1-2 dituliskan : ”Roh Tuhan ALLAH (YHWH) ada padaku, oleh karena TUHAN (YHWH) telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN (YHWH) dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung”. Pada waktu Penulis Perjanjian baru mengutip kembali Yesaya 61:1-2 ini, Lukas memberikan perubahan nama YHWW menjadi Kurios (Lukas 4:18-19) bahkan kata YHWH diganti menjadi Ia (Lukas 4:18). Lukas 4:18-19, “Roh Tuhan (Kurios) ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan (kurios) telah datang.” Contoh lain adalah dimana ketika Tuhan Yesus mengutip Ulangan 8:3 “Jadi Ia merendahkan hatimu, membiarkan engkau lapar dan memberi engkau makan manna, yang tidak kaukenal dan yang juga tidak dikenal oleh nenek moyangmu, untuk membuat engkau mengerti, bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan TUHAN”. Pada waktu Tuhan Yesus dicobai, Tuhan Yesus mengutip kembali Ulangan 8:3 . Perhatikan perubahannya dalam Injil Matius dan Lukas. Matius 4:4, “Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah (Theou)." Lukas 4:4, “Jawab Yesus kepadanya: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja." Jadi Matius menceritakan bahwa Yesus mengubah kata YHWH menjadi Theou sedangkan Lukas menghilangkan kata YHWH itu. Masih banyak lagi contoh-contoh seperti itu (Ulangan 6:13 bandingkan Matius 4:10/Lukas 4:8; Mazmur 110:1 bandingkan Matius 22:44/Markus 12:36/Lukas 20:42-43/Kisah Para Rasul 2:34-35; Ulangan 6:5 bandingkan Matius 22:37/Markus 12:30/Lukas 10:27). Kelompok Yahweisme ini memaksakan untuk mengembalikan kata YAHWEH (sekali lagi, Yahweh adalah pelafalan dugaan dari YHWH) dalam Perjanjian Baru, padahal teks asli dari Perjanjian Baru sendiri tidak mempertahankan kata asli YHWH ini. Apakah Yahweisme dengan mekamaksakan pelafalan Yahweh bagi nama YHWH merasa lebih berotoritas daripada Yesus, rasul rasul dan penulis Perjanjian Baru yang tidak lagi memakai kata YHWH dalam tulisan-tulisan mereka? Karena itu ketika Yahweisme menyalahkan Lembaga Alkitab Indonesia dan gereja-gereja yang memakai kata Tuhan untuk YHWH, maka itu artinya mereka juga menyalahkan Para Rabi Yahudi (yang menerjemahkan Septeguinta), Tuhan Yesus dan para rasul yang telah mengganti kata YHWH menjadi Kurios. Ini juga berarti Yahweisme mengabaikan Septaguinta dan Perjanjian Baru. Atau dengan kata lain, Yahweisme ini tidak mengakui otoritas Perjanjian Baru yang di inspirasikan oleh Roh Kudus. Jika mereka memahami ini, namun dengan sengaja mengabaikan apa yang dinyatakan Perjanjian Baru, maka mereka bukan hanya telah melakukan kesalahan melainkan sudah mengarah kepada kesesatan karena melawan otoritas Perjanjian Baru sebagai dasar pengajaran bagi Kekristenan. Perlu diketahui, tidak seorang pun yang tahu mengucapkan kata YHWH dengan tepat. Herbert Woft menjelaskan, “Cara mengucapkan yang tepat untuk nama ini tidak jelas; Hanya empat konsonan YHWH, diberikan dalam Alkitab bahasa Ibrani”. Sejak Tetagramaton tidak diucapkan, melainkan dibaca dengan kata “Adonay (Tuhan) atau Ha Syem (Sang Nama), pembacaan sebenarnya dari YHWH itu tidak diketahui lagi, sampai abad ke 16 M para ahli mulai mengemukakan berbagai teori. Tetagramaton untuk pertama kalinya tercantum dalam Alkitab bahasa Inggris karya William Tyndale (1525 M). Tyndale membaca “IeHoVaH” dimana konsonan YHWH dibaca dengan vokal atau huruf hidup “AdOnAy”. Pola ini diikuti kemudian oleh Miles Coverdale’s (1560 M), The Bishop’s Bible (1568 M) dan The Authorized Version (1611 M), meskipun secara umum memakai terjemahan The Lord, tetapi mencantumkan “IeHoVaH” dibeberapa tempat. Akhirnya pengucapan “Jehovah” baru muncul dalam King James Version tahun 1762-1769 M. Karena itu, kita juga tidak harus menggunakan kata YHWH (apalagi melafalnya dengan Yahweh) karena sebenarnya kata Yahweh itu hanyalah dugaan dari pelafalan tetagramaton YHWH yang belum tentu tepat pengucapannya menurut aslinya ketika diperkenalkan kepada Musa dan bangsa Israel pada saat itu. Bahasa Ibrani tidak mempunyai huruf hidup dan dalam penulisannya semuanya memakai huruf mati. Musa sendiri tentu saja bisa membaca kalimat YHWH itu. Mengapa? Karena ia sendiri mendengar langsung dari Tuhan bagaimana ucapan YHWH (Keluaran 3:14-15). Musa tentu mengajarkan pengucapan ini kepada bangsa Israel pada saat itu. Bangsa Israel saat itu juga pasti mengajarkannya kepada anak cucu mereka. Namun pada tahun 6 SM bangsa Israel sangat takut mengucapkan nama itu. Mereka menafsirkan secara berlebihan larangan untuk menyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Karena itu mereka mengganti nama YHWH dengan Adonay. Setiap kali mereka menemukan kata YHWH dalam Alkitab mereka menyebutnya Adonay. akhirnya mereka sendiri tidak lagi tahu bagaimana mengucapkan dengan tepat kata YHWH ini. Kalau huruf mati yang lain dalam bahasa Ibrani tetap bisa dibaca dan diucapkan oleh orang Ibarni, itu karena mereka memakainya sehari hari. Namun YHWH ini sudah ratusan tahun tidak dipakai, sehingga tidak ada lagi yang tahu bagaimana mengucapkannya dengan tepat. Pengucapan orisinilnya sudah hilang dan dilupakan. Lalu mengapa muncul ucapan YAHWEH? Ucapan YAHWEH ini hanya bisa diduga-duga dan ahli-ahli Ibrani mengusulkan kemungkinan-kemungkinan yang berbeda-beda. Pada umumnya YHWH sekarang diucapkan YAHWEH berdasarkan teks-teks Yunani dan Amorit kuno yang punya rumusan nama itu yang mirip YAHWEH. Empat kombinasi konsonan YHVH itu jika dibubuhi vokal akan menjadi aneka ragam kombinasi, antara lain: YAHAVAH, YAHAVEH, YAHAVIH, YAHAVOH, YAHAVUH, YAHEVAH, YAHEVEH, YAHEVIH, YAHEVOH, YAHEVUH, YAHIVAH, YAHIVEH, YAHIVIH, YAHIVIH, YAHIVUH, YAHOVAH, YAHOVEH, YAHOVIH, YAHOVOH, YAHOVUH, YAHUVAH, YAHUVEH, YAHUVIH, YAHUVOH, YAHUVUH. Jadi kata YAHWEH sebagai pengucapan dari aksara Ibrani יהוה itu, sekali lagi, sebenanya hanya dugaan. Huruf vokal apakah yang ada di antara empat konsonan (huruf mati) kata sakral YHVH sehingga harus dibaca YAHWEH?Ironisnya, para penganut Yahweisme dalam prakteknya, mengucapkan YHWH secara berbeda-beda, yaitu : YahVeh, Yahh, Yahweh, Iahueh, Yahwah, Yaohu, Yahuwah, Yahuah, masih banyak lagi. Kalau ucapan YHWH saja diucapkan secara tidak seragam, tidak tepat, dan berbeda satu sama lainnya, lalu bagaimana mungkin masih tetap memaksa dan mewajibkan mengucapkan kata itu? Salah satu cara yang ditempuh oleh kelompok Yahweisme untuk mendukung ajaran dan praktek mereka mewajibkan penggunaan nama YAHWEH adalah dengan membangun sebuah opini dikalangan Kristen bahwa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani. Pendapat bahwa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani ini mungkin merupakan satu-satunya sanjata yang paling ampuh bagi mereka untuk mendukung pandangan mewajibkan penggunaan nama YAHWEH tersebut. Hal ini terus menerus mereka tekankan dalam setiap kesempatan sebab memang Perjanjian Baru bahasa Yunani tidak menggunakan nama YAHWEH tetapi menggantinya dengan Kurios. Secara logis, apabila Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani dan tidak mempertahankan pemakaian nama YAHWEH maka mewajibkan pemakaian kata tersebut adalah suatu kekeliruan. Konsekukuensi logis ini tentu saja sangat dipahami oleh para penganut Yahweisme. Karena itu membangun opini bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani merupakan satu-satunya harapan mereka untuk dapat mewajibkan penggunaan nama YAHWEH karena dalam Perjanjian Baru bahasa Ibrani tersebut ada tertulis nama YAHWEH. Ironisnya, Perjanjian Baru yang menjadi acuan mereka adalah Ha B’rit ha-Hadasah atau Brit Khadasha ! Perjanjian Baru berbahasa Ibrani Ha B’rit ha-Hadasahini diperlakukan mereka seakan-akan itu merupakan teks bahasa alinya. Ini tidak hanya ironis tetapi juga merupakan suatu hal yang konyol! Mengapa? Karena faktanya, Brit Khadasha merupakan kitab Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang diterjemahkan dari Perjanjian Baru bahasa Yunani oleh United Bible Society pada tahun 1970. Lebih jauh lagi harus diperhatikan, bahwa penerjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Ibrani yang paling awal dilakukan pada tahun 1385 Masehi. Perjanjian Baru bahasa Ibrani baru dibuat baru abad 14 M oleh Shem Tov, seorang Rabbi Yahudi yang ingin menyerang ajaran Kristen (itupun hanya Injil Matius). Karena terjemahan Shem Tovterlalu banyak memasukkan tafsir dan bukan murni terjemahan ke dalam bahasa Ibrani, 200 tahun kemudian Du Tilletmerevisi terjemahan Shem Tov di tahun 1555, dan hasil revisi inilah yang dikenal dengan injil Matius Du Tillet. Perjanjian Baru yang diterjemahkan dalam bahasa Ibrani yang lengkap baru dikerjakan pada abad 19 M. Upaya untuk membuktikan bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani seperti yang dilakukan oleh Yahweisme, merupakan usaha yang sia-sia. Karena memang memang Perjanjian Baru di tulis dalam bahasa Yunani, tepatnya Yunani Koine. Para pakar teologi dan ahli Alkitab telah memberikan bukti-bukti akademis, ilmiah dan historis bahwa Perjanjian Baru memang ditulis dalam bahasa Yunani. Untuk Perjanjian Baru bahasa Yunani ini buktinya sangat melimpah. Ada 5366 naskah untuk (manuskrip) yang beberapa diantaranya berasal dari abad ke 2 dan ke 3. Berikut ini beberapa kutipan yang menunjukkan bahwa Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani : J.I. Packer, Merril C. Tenney, William White Jr menjelaskan demikian, “Orang Yahudi memakai bahasa Aram dalam rumah mereka, bahasa Yunani di pasar, dan bahasa Latin dalam urusan mereka dengan orang Romawi. Orang Romawi memakai bahasa Latin dan Yunani, tetapi tidak memakai bahasa Ibrani dan Aram. .. Bahasa Yunani diketahui di seluruh daerah Laut Tengah. Di banyak tempat, Bahasa Yunani lebih umum daripada bahasa Latin, bahkan disebuh provinsi seperti Mesir. Ada banyak orang Yahudi yang tinggal di daerah Yerusalem, yang tidak tahu bahasa Ibrani atau tidak dapat membacanya, jadi bagi mereka diterjemahkan Alkitab Ibrani ke dalam bahasa Yunani (disebut Septuaginta) adalah Kitab Suci. Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani dan para penulisnya sering mengutip Septuaginta dengan cermat, bahkan ketika susunan kata dalam Septuaginta tidak cocok dengan teks bahasa Ibrani”. Jerry MacGregor dan Marie Prys menyatakan, “Sebagian besar Kitab Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani, tetapi sebagian kitab Daniel ditulis dalam bahasa Aram. Kitab-kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani Koine, meskipun kitab-kitab itu memuat frase-frase dalam bahasa Latin, Aram, dan Ibrani”. Merril C. Tenney dalam bukunya New Testament Survey yang direvisi oleh Walter M. Dunnat menyatakan, “Bahasa Aram dan Yunani lebih banyak berperan di dalam sejarah gereja pada abad yang pertama daripada bahasa Latin dan Ibrani. Konon beberapa catatan yang paling dulu dibuat mengenai ajaran Kristus ditulis dalam bahasa Aram, dan kenyataannya bahwa Perjanjian Baru secara utuh disebarluaskan hampir sejak awal dalam bahasa Yunani terlalu sulit untuk dibantah. Semua surat kepada jemaat dalam bahasa Yunani, dan kitab-kitab Injil serta Kisah Para Rasul hanya diketemukan dalam bahasa Yunani; meskipun terdapat catatan mengenai ajaran Kristus dalam bahasa Aram pada pertengahan abad yang pertama”. Alasan Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani adalah karena pengaruh helenisasi pada masa itu. Helenisasi adalah istilah teknis untuk menggambarkan proses perubahan kultural yang terjadi sekitar abad ke-2 SM hingga pertengahan abad ke 1M, dimana pengaruh kebudayaan Yunani (termasuk dalam hal cara hidup) sangat dominan. Dominasi kebudayaan Yunani ini tidak dapat dilepaskan dari perluasan kekuasaan Yunani di bawah pimpinan Aleksander Agung pada Abad ke 3 SM. kita sudah mengetahui bahwa sejak abad ke 5 SM (zaman Ezra, Nehemia 8:9), bahasa Ibrani yang terdiri hanya huruf-huruf konsonan sudah tidak dimengerti oleh umumnya orang Yahudi, dan sebagai bahasa percakapan kemudian digantikan oleh bahasa Aram. Alexander raja Yunani yang menguasai kawasan dari Yunani, Asyur, Media, Babilonia, sampai Mesir, menyebabkan pengaruh helenisasi menguasai Palestina, lebih-lebih dibawah wangsa Ptolomeus dan Seleucus helenisasi khususnya bahasa Yunani makin tertanam di Palestina sehingga kitab Tanakh Ibrani pun harus diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani menjadi Septuaginta di Aleksandria (abad ke 2 - 3 SM).[14] Kita bisa membayangkan, setelah sekian lama orang Yahudi itu bergaul erat dengan kebudayaan dan cara hidup Yunani mengakibatkan mereka tidak lagi memahami bahasa Ibrani. Sehingga Kitab Suci bahasa Ibrani (Tanakh, Perjanjian Lama) perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Jadi, pada masa itu sebagian umat Yahudi sudah tidak lagi bisa berbicara bahasa Ibrani kecuali mereka yang menjadi ahli kitab yang bertugas di Bait Allah dalam salin-menyalin Kitab Suci. Walau dapat dipastikan bahwa Yesus dan murid-muridNya yang tinggal di daerah Yudea-Samaria (daerah Palestina) berbahasa Aram (bukan bahasa Ibrani) sebagai bahasa ibu, namun tak bisa dipungkiri bahwa Yesus hidup pada zaman dan masyarakat yang sudah terpengaruh bahasa dan budaya Yunani, yang disebut masyarakat helenistik. Masyarakat helenistik terbentuk ketika Aleksander Agung menaklukkan Yunani dan sebagian besar wilayah mulai dari Mesir sampai ke India, dimana kemudian bangsa Yunani membawa keluar budaya serta bahasanya yang disebut helenisasi. Merril C. Tenney mengatakan, “Bahasa Yunani menjadi bahasa resmi di pengadilan dan bahasa pergaulan sehari-hari, seperti yang terlihat dalam tulisan-tulisan di atas papirus, surat-surat cinta, tagihan, resep, mantera, esai, puisi, biografi, dan surat-surat dagang, semuanya tertulis dalam bahasa Yunani, bahkan tetap demikian hingga masa pendudukan Romawi. ... bahasa Aram menggantikan bahasa Ibrani sebagai bahasa pergaulan di Palestina, dan Helenisme mendesak Yudaisme. “ Jadi bahasa Aram sebagai bahasa ibu diiringi bahasa Yunani Koine digunakan oleh Yesus Kristus dan para Rasul dalam pemberitaan Injilnya, dan bukan Tenakh Ibrani melainkan Septuaginta Yunanilah yang digunakan oleh umat pada saat awal kekristenan. Sebagian besar kutipan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru dikutip dari Septuaginta, sisanya dari berbagai naskah Ibrani. Merril C. Tenney menuliskan, “Septuaginta ... Pada masa Kristus, kitab tersebut telah tersebar luas di antara para Perserakan di wilayah Timur Tengah dan menjadi Kitab Suci Jemaat Kristen yang mula-mula”.  Sebagai tambahan, Grant R. Osbone menyatakan, “Berkenaan dengan Perjanjian Baru, sumber aslinya telah hilang, dan harus dibangun kembali melalui kritik teks. Namun septuaguinta tetap menjadi Alkitab utama di abad pertama, yang diterima bahkan di Palestina, dan banyak sekali kutipan Perjanjian Baru berasal dari Septaguinta. Misalnya dari delapan puluh kutipan dalam Matius, tiga puluh berasal dari Septuaginta. Namun semuanya dalam ucapan langsung Yesus dan Yohanes Pembaptis, meninggalkan kesan bahwa Yesus menggunakan Septuaginta. Hal yang serupa juga terlihat dari ucapan-ucapan dalam kisah Para Rasul. Bahkan surat rasuli yang paling bersifat Yahudi (Ibrani dan Yakobus) menggunakan septuaginta secara menyeluruh” lebih lanjut Grant R. Osbone menyatakan, “Sebagai kesimpulan, gereja mula-mula menggunakan Septuaginta secara luas sebagai sumber kutipan, namun kanon mereka secara umum adalah dua puluh empat (=tiga puluh sembilan) Kitab Perjanjian Lama yang diterima”. Perlu diketahui bahwa bahasa Yunani memiliki sejarah yang kaya dan panjang, mulai dari abad ke 13 SM sampai sekarang. Bentuk paling awal bahasa ini disebut Linear B (abad ke 13 SM). Bentuk bahasa Yunani yang digunakan para penulis, mulai dari Homer (abad ke 8 SM) hingga Plato (abad ke 4 SM) disebut bahasa Yunani Klasik. Bentuknya indah dan mampu menyampaikan ekspresi secara tepat dengan nuansa yang baik. Alfabetnya, sebagaimana halnya bahasa Ibrani berakar dari bahasa Fenisia. Dalam Bahasa Yunani Klasik terdapat banyak dialek, terutama tiga dialek: Dorik, Aeolik, dan Ionik (dimana Attik adalah cabangnya). Kota Athena ditaklukan raja Filipus dari Makedonia pada abad ke 4 SM. Putra Filipus Aleksnder Agung, murid filsuf Yunani Aristoteles, menaklukan dunia dan menyebarkan kebudayaan Yunani beserta bahasanya. Karena Aleksander berbicara bahasa Yunani Attik, maka dialek inilah yang tersebar. Dialek ini juga dipakai para penulis Athena yang terkenal. Waktu itulah zaman Helenis dimulai. Ketika bahasa Yunani menyebar keseluruh dunia dan bertemu bahasa-bahasa lain, bahasa Yunani mengalami perubahan (seperti pada bahasa manapun). Antara sesama dialek pun saling beriteraksi. Penyesuaian ini yang akhirnya menghasilkan apa yang sekarang disebut Yunani Koine artinya “umum” dan menggambarkan bentuk bahasa sastra halus, karena pada faktanya beberapa penulis pada zaman ini dengan sengaja meniru gaya bahasa Yunani yang lebih tua. Yunani koine adalah bentuk sederhana dari Yunani klasik, akibatnya banyak detail Yunani klasik menjadi hilang. Misalnya, dalam Yunani klasik “allos” berarti “lain”, bentuk lainnya adalah “eteros” yang juga berarti “lain”, namun memiliki perbedaan dengan yang pertama. Jika anda mempunyai sebuah apel dan meminta “allos”, maka anda akan menerima apel lainnya. Namun jika anda meminta “eteros”, anda akan meneriam sebuah jeruk. Bahasa Yunani koine yang seperti inilah yang biasanya terdapat dalam Septuaginta, Perjanjian Baru, dan tulisan-tulisan bapa-bapa Gereja. Studi terhadap Papirus Yunani yang ditemukan di Mesir lebih dari seratus tahun lalu, menunjukkan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang digunakan sehari-hari untuk surat wasiat, surat pribadi, resep-resep, daftar belanja, dan lain-lain. Berikut ini kronologi naskah-naskah penting Perjanjian Baru yang ditulis dalam bahasa Yunani : (1) Manuskrip John Ryland (130 M) terdapat diperpustakaan John Ryland di Manchester, Inggris. Ini adalah fragmen Perjanjian Baru (Penggalan Injil Yohanes) berbahasa Yunani tertua yang di tulis di Mesir. (2) Manuskrip Papyrus: (a) Bodmen Papyrus II (150-200 M) terdapat di Perpustakaan Kesusasteran Dunia Bodmer, berisi sebagian besar Injil Yohanes; (b) Payrus Chester Beatty (200 M) terdapat di Musium Chester Beatty di Dublin dan sebagian dimiliki oleh Universitas Michigan. Koleksi ini terdiri dari kodeks-kodeks papyrus, tiga diantaranya memuat bagian terbesar dari Perjanjian Baru. (3) Manuskrip Unicial: (a) Kodeks Vaticanus (325-350 M) terdapat di Museum Vatikan berisi hampir semua kitab Perjanjian Baru; (b) Kodeks Sinaiticus berisi semua Perjanjian Baru dan tertanggal 331 M; (c) Kodeks Alexandrinus (400 M) terdapat di Museum British, ditulis dalam bahasa Yunani di Mesir dan memuat hampir seluruh Alkitab. (d) Kodeks Ephra-emi (400 an M) terdapat di Bibliotheque Nationale, Paris; (e) Kodeks Bezae (450 M) terdapat di perpustakaan Cambridge dan berisi Injil-Injil serta Kisah Para Rasul dalam Bahasa Yunani dan dalam bahasa Latin; (f) Kodeks Washingtonensis (450 M) besisri keempat kitab Injil; (g) Kodeks Claromontanus (500 M) berisi surat-surat Paulus yang merupakan naskah dwi bahasa). Sedangkan Perjanjian Baru versi lainnya dalam bahasa Siria, Latin, dan Koptik sebagai berikut : (1) Versi Siria: Siria kuno (400 M, Peshitta Siria (150-250 M), Siria Palestina (400-450 M), Philoxenia (508 M), Siria Harkleim (616); (2) Versi Latin : (a) Latin Kuno (350-400 M), (b) Latin Kuno Afrika (400 M), Kodeks Corbiensis (400-500 M), Kodeks Vercellensis (300 M), Kodeks Palatinus (500 M), Latin Vulgatta (366-384 M); (3) Versi Koptik (Mesir): (a) Sahidic (300 M), (b) Bohairic ((400 M), (3) Mesir Pertengahan (400-500 M); (4) Versi lainnya: Armenia (sekitar 400 M) terjemahan dari Alkitab Yunani, Gothic (sekitar 400 M), Gergorian (sekitar 500 M), Ethiopia (sekitar 600 M) dan Nubian (sekitar 600 M). Fakta historisnya, semua naskah (manuskrip) Perjanjian Baru yang lebih awal ini tidak satupun ditulis dalam bahasa Ibrani!. Bahkan Perjanjian Baru bahasa Ibrani yang dijadikan acuan oleh Yahweisme ternyata tidak pernah ada dalam sejarah. Sejak abad pertama hingga abad ke 14 M tidak ditemukan walau hanya sebuah manuskrip saja. Fakta ini sebaliknya mendukung bahwa Perjanjian Baru aslinya ditulis dalam bahasa Yunani Koine. Berlanjut ke bagian 4

YHWH bukan bahasa yang turun dari surga. bagian 2 dari 4 bagian tulisan

bagian 2
Menurut sahabat pengagum YHWH atau Yahweisme, nama YHWH adalah nama diri (personal name), sehingga tidak boleh diterjemahkan. Mereka mengatakan, bahwa nama diri tidak boleh diterjemahkan karena YHWH itu nama diri dan bukan bahasa. Berikut kutipan pernyataan Yakub Sulistyo seorang teolog gerakan Yahweisme atau sahabat penyuka YAHWEH yang mengatakan, “Yahweh itu nama diri bukan bahasa, jadi kita bisa dalam bahasa apa saja tetapi nama diri tidak diterjemahkan.. Perjanjian Baru pun mau pakai bahasa apa saja tidak masalah, asal nama Yahweh jangan diubah”. Jadi menurut mereka, Alkitab boleh memakai bahasa apa saja asalkan nama diri YHWH tidak diterjemahkan. Bahkan menerjemahkan nama YHWH ke dalam bahasa lain dianggap menghujat Allah. Karena itu orang Kristen harus menyebut TUHAN dengan namaNya, yaitu YAHWEH (Pelafalan dugaan dari (YHWH). Peshitta (bahasa Suryani klasik:  pšîṭtâ untuk "sederhana, umum, lugas, kasaran"; bahasa Latin: vulgata; kadang disebut Syriac Vulgate; diberi kode syrp) adalah versi standar Alkitab dalam bahasa dan abjad Suryani, yang dipakai oleh gereja-gereja dalam Kekristenan Siria  dan kaum HAMASHIAH YHWH sejak mula berdirinya pada abad-abad awal Masehi. Bagian Perjanjian Lama Peshitta diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani dari bahasa Ibrani, diperkirakan sebelum abad ke-2 - 4 M. Bagian Perjanjian Baru  Peshitta  diterjemahkan dari bahasa Yunani. Bagian Perjanjian Baru, aslinya tanpa memuat sejumlah kitab yang saat itu masih diperdebatkan keasliannya (dikenal dengan sebutan "Antilegomena"), yaitu Surat 2 Petrus, Surat 2 Yohanes, Surat 3 Yohanes, Surat Yudas, dan Wahyu kepada Yohanes, telah menjadi standar pada permulaan abad ke-5 M. Kelima kitab itu ditambahkan dalam Versi Harklean (tahun 616 M) milik Thomas dari Harqel. Namun "United Bible Society Peshitta 1905" menggunakan edisi-edisi baru yang dipersiapkan oleh Irish Syriacist John Gwynn untuk kitab-kitab yang hilang. Perjanjian Lama versi Peshitta merupakan terjemahan independen yang kebanyakan berdasarkan suatu teks Ibrani yang mirip dengan Teks Proto-Masoretik. Menunjukkan sejumlah kemiripan linguistik dan eksegetik dengan Targum Aramaik, tetapi bukan diturunkan dari naskah itu. Dalam beberapa bagian, para penerjemah jelas menggunakan versi bahasa Yunani Septuaginta (abad ke-3 SM). Pengaruh Septuaginta sangat kuat khususnya pada Kitab Yesaya dan Kitab Mazmur, kemungkinan karena penggunaan dalam liturgi. Kebanyakan kitab-kitab Deuterokanonika diterjemahkan dari Septuaginta, dan terjemahan Kitab Yesus bin Sirakh didasarkan pada teks Ibrani. Menurut Alkitab, nama YHWH bukanlah satu-satunya nama diri. Louis Berkhof menjelaskan bahwa Allah mempunyai banyak nama, tidak hanya satu nama, “Nama-nama Allah membawa kesulitan-kesulitan bagi pemikiran manusia. Allah adalah Ia yang tak dapat sepenuhnya dipahami, yang ditinggikan secara tidak terbatas di atas segala sesuatu yang terbatas; akan tetapi di dalam nama-namaNya Ia turun kepada semua yang terbatas, dan menjadi seolah-olah setara dengan manusia. Disatu pihak kita tidak dapat menamai Dia, dan di lain pihak Ia mempunyai banyak nama”. Sebenarnya Allah tidak terbatas oleh apapun apalagi oleh sebuah nama, oleh huruf-huruf atau kata-kata ucapan manusia. Ketika Musa bertanya soal namaNya, Ia menjawab “Ehyeh esyer Ehyeh” atau “Aku adalah Aku” (Keluaran 3:13-14). Sungguh suatu keagungan dan kesempurnaan Allah yang tidak terbatas oleh apapun di dunia ini. Namun, agar manusia bisa mengenalNya dengan lebih konkret dan spesifik, Allah rela memperkenalkan diriNya dengan berbagai nama. Itupun, nama-nama yang dikaitkan dengan natur dan sifat-sifatNya dalam keterbatasan bahasa manusia. Menurut Charles C. Ryrie, “Nama utama yang kedua bagi Allah adalah nama Pribadi, YHVW, Tuhan atau Yahweh. Ini adalah nama yang paling sering dipakai, tercatat kira-kira 5.321 kali dalam Perjanjian Lama”. Selain itu, nama utama yang pertama untuk Allah disebutkan oleh Ryrie adalah “Elohim”. Menurut Ryrie, istilah “Elohim” dalam pengertian umum Keallahan terdapat sekitar 2.570 kali dalam Perjanjian Lama. Kira-kira 2310 istilah ini digunakan bagi Allah yang benar. Pertama kali disebutkan dalam ayat pertama Alkitab (Kejadian 1:1). Namun kata ini juga dipakai untuk menunjuk kepada keallahan palsu dalam Kejadian 35:2,4; Keluaran 12:12; 18:11; 23:24. Elohim adalah sebuah bentuk jamak, adalah khas Perjanjian Lama dan tidak muncul dalam bahasa Semitik yang lain”. Menurut Hebert Wolf, “Kata Elohim ini sepadan dengan kata bahasa Ugarit “El” atau kata bahasa Akadia “Ilu”. Kata Elohim ialah kata yang dipergunakan diseluruh Kejadian pasal 1 yang menekankan karya Allah sebagai Pencipta. Kata Elohim ni sebenarnya berbertuk jamak, tetapi secara terus menerus dipakai bersama-sama dengan sebuah kata kerja tunggal. Para sarjana sudah menjelaskan bahwa ini adalah bentuk jamak yang menunjukkan keagungan atau rasa hormat”.  Paul Enns mengatakan bahwa nama Elohim berasal dari nama singkatan “El” yang kemungkinan besar memiliki akar kata yang berarti “menjadi kuat” (Kejadian 17:1; 28:3; 35:11 Yosua 3:10) atau “menjadi yang utama”. Telah disebutkan di atas bahwa nama pertama utama untuk Allah di dalam bahasa Ibrani adalah Elohim, merupakan variasi bentuk jamak dari kata EL dimana nama EL merupakan bentuk yang paling sederhana yang dengannya Allah disebut dalam Perjanjian Lama. EL ini dipakai sebagai nama generik dan nama diri. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “Allah” atau “Allah Yang Mahatinggi”, misalnya “Akulah Allah (El) yang dibetel itu (Kejadian 31:13), atau “Allah (Elohim) Israel ialah Allah (El)” (Kejadian 33:20). Kata El ini digunakan sebagai nama diri yang spesifik ketika digabungkan dengan istilah lain misalnya: El Shaddai (Allah Yang Mahakuasa - Kejadian 17:1); El Kana (Allah Yang Cemburu - Keluaran 20:5); El Elyon (Allah Yang Mahatinggi - Kejadian 14:18,22); El Olam (Allah Yang Kekal, Yang Misterius, Yang Menyatakan DiriNya – Kejadian 21:33); El Roi (Allah Yang Mahamemelihara - Kejadian 16:13; Mazmur 23:1); dan El De’ot ( Allah yang Mahatahu - 1 Samuel 2:3). Selain Elohim, nama Eloah juga merupakan variasi dari kata El. Panggilan ini diterjemahkan juga dengan Allah, dipakai untuk menunjuk kepada Allah yang berbentuk tunggal (Misalnya, Ulangan 32:15; Mazmur 18:32. Dalam Septaguinta para sarjana Yahudi telah mengubah nama YHWH dan menggantinya dengan Kurios. Septaguinta adalah Perjanjian Lama berbahasa Yunani merupakan terjemahan dari Tanakh Ibrani (naskah Perjanjian Lama berbahasa Ibrani; Tanakh merupakan singkatan dari Torah, Nevi'im dan Ketuvim) ditulis di Alexandria, Mesir antara tahun 250 – 150 SM, Di revisi tiga orang Yahudi (Akwila, Symmachus, Theodotiaon) dan tiga orang Kristen (Hesychian, Hexaplaric, Lucianic). Pada saat itu Raja Ptolomeus II memerintahkan agar kitab Suci Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani untuk kepentingan orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani di Aleksandria. Septuaginta atau dikenal dengan istilah LXX (angka Romawi tujuh puluh) karena diterjemahkan oleh sekitar 70 orang Yahudi berbahasa Yunani. Septuaginta adalah terjemahan tertua dan terpenting dari Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani. Nama Septuaginta berasal dari legenda yang diwariskan dalam surat Aristeas. Di dalam legenda itu disebutkan bahwa 72 orang Yahudi menyelesaikan terjemahannya selama 72 hari. Septuaginta dibuat di Aleksandria untuk memenuhi kebutuhan orang Yahudi diaspora, yang berbicara bahasa Yunani. Semula diterjemahkanlah Pentateukh (pertengahan abad 3 sebelum Masehi), kemudian secara lambat laun diterjemahkan pula kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya (sampai menjelang tahun 100 sebelum Masehi). Terjemahan Septuaginta segera digunakan menjadi Alkitab resmi dalam Yudaisme helenis di dalam sinagoge-sinagoge. Grant R. Osbone menyatakan, “Berkenaan dengan Perjanjian Baru, sumber aslinya telah hilang, dan harus dibangun kembali melalui kritik teks. Namun septaguinta tetap menjadi Alkitab utama di abad pertama, yang diterima bahkan di Palestina, dan banyak sekali kutipan Perjanjian Baru berasal dari Septuaginta. Misalnya dari delapan puluh kutipan dalam Matius, tiga puluh berasal dari Septuaginta. Namun semuanya dalam ucapan langsung Yesus dan Yohanes Pembaptis, meninggalkan kesan bahwa Yesus menggunakan Septaguinta. Hal yang serupa juga terlihat dari ucapan-ucapan dalam kisah Para Rasul. Bahkan surat rasuli yang paling bersifat Yahudi (Ibrani dan Yakobus) menggunakan septuaginta secara menyeluruh”  lebih lanjut Grant R. Osbone menyatakan, “Sebagai kesimpulan, gereja mula-mula menggunakan Septuaginta secara luas sebagai sumber kutipan, namun kanon mereka secara umum adalah dua puluh empat (=tiga puluh sembilan) Kitab Perjanjian Lama yang diterima”. Yesus, para rasul, dan para penulis Perjanjian Baru lebih suka mengutip Perjanjian Lama dari Naskah Septaguinta ini. Gleason L. Archer menjelaskan, “Alasan untuk menggunakan Septaguinta berasal dari jangkauan pengabaran Injil oleh para utusan Injil dan para rasul pada zaman gereja mula-mula. Septaguinta telah menemukan jalan masuk ke setipa kota di lingkup kekaisaran Romawi ke mana bangsa-bangsa Yahudi terserak. Sebenarnya ini merupakan bentuk satu-satunya dari Perjanjian Lama yang dimiliki orang-orang percaya Yahudi yang tinggal di di luar daerah Palestina, dan pasti juga merupakan satu-satunya bentuk yang tersedia bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi yang beralih kepada kepercayaan Yahudatau kepada agama Kristen... Para rasul dan rekan kerja Yahudi mereka dari Palestina mungkin sudah cukup terdidik untuk membuat terjemahan asli mereka sendiri dari teks asli berbahasa Ibrani. Namun, tentu keliru kalau menggantikan bentuk Perjanjian Lama, yang telah berada di tangan para umat mereka dengan salinan mereka sendiri yang lebih bersifat harafia. Mereka benar-benar hampir-hampir tidak punya pilihan selain sebagian besar mengikuti Septaguinta dalam semua kutipan mereka tentang Perjanjian Lama.  Karena itu, sangat penting untuk diketahui bahwa Yesus tidak pernah sama sekali memprotes penggantian nama YHWH menjadi Kurios yang dilakukan oleh para sarjana Yahudi dalam naskah Septaguita yang dipakai secara luas pada saat itu. Septaguinta inilah yang dipakai oleh Yesus dan Para Rasul, serta penulis Perjanjian Baru sebagai acuan ketika mengutip Perjanjian Lama dalam tulisan-tulisan mereka. Perlu diketahui bahwa nama berkaitan erat dengan pribadi dan bukan hanya kepada nama diri. Dalam kebudayaan orang Yahudi, nama selalu berkaitan erat dengan pribadi. Nama bukan menunjuk kepada nama diri, melainkan berkaitan erat dengan pribadi yang empunya nama itu. Dalam Alkitab nama dapat dirumuskan dalam 3 makna, yaitu: (1) Nama adalah pribadi itu sendiri (Mazmur 20:1); (2) Nama adalah pribadi yang diungkapkan (Amsal 18:10); (3) Nama adalah pribadi yang hadir secara aktif (Mazmur 76:1). Nama YHWH bukan hanya menunjuk kepada nama diri, tetapi menunjuk kepada pribadi yang dinamakan. Dalam Mazmur 20:1 dituliskan seperti ini, “Kiranya TUHAN menjawab engkau pada waktu kesesakan! Kiranya nama Allah Yakub membentengi engkau!” Apakah nama bisa membentengi? Tidak mungkin! Yang membentengi adalah Pribadi yang memiliki nama itu, yaitu Allah sendiri. Berkabut ke bagian 3

YHWH BUKAN BAHASA YANG TURUN DARI SURGA Bagian 1 dari 4 Bagian Tulisan

YHWH BUKAN BAHASA YANG TURUN DARI SURGA
Bagian 1 dari 4 Bagian Tulisan
Pengantar
Pertama-tama yang harus ditekankan, bahwa tidak ada nama ilahi yang turun dari surge. Karena itu baik itu nama YAHWEH dalam Bahasa ibrani yang dipakai kaum Yahudi, maupun nama ALLAH yang dipakai oleh sahabat islam dan gereja-gereja Kristen timur tengah juga tidak dipandang sebagai BAHASA DARI SURGA. Dr.Ch. Barth dengan sangat tepat menulis tentang nama ilah itu (maksudnya YAHWEH) : “……. TIDAKLAH “DITURUNKAN DARI SORGA” . DIA SENDIRILAH YANG DIKATAKAN “TURUN” (Kel 3:8). IA BERKENAN MENYATAKAN DIRINYA KEPADA UMAT ISRAEL, ITU BEARTI IA BERKENAN MENYATAKAN DENGAN BAHASA YANG COCOK DENGAN TELINGA DAN HATI SERTA MULUT ORANG ISRAEL, NAMANYA SENDIRI “BERASAL” DARI MEREKA TERAMBIL DARI NAMA-NAMA YANG PERNAH MENJADI BIASA DI DALAM PERGAULAN MEREKA, DI DALAM DI DALAM DAERAH PENGEMBARAAN DAN PENUMPANGAN MEREKA” (Dr. Ch. Barth, TEOLOGI PERJANJIAN LAMA, Jilid 1, BPK Gunung Mulia, 1982, hal 157). Jangan dilupakan ada kemungkinan nama YAHWE mula-mula digunakan oleh suku Arab di semenanjung Sinai, yang kemudian kemudian dipakai oleh nabi Musa berkat perkenalannya dengan Syeikh Arab bernama Yethro yang pada akhirnya menjadi mertuanya (Bambang Noorsena, THE HISTORY OF ALLAH, penerbit ANDI,2005, hal 4). Jika pertanyaannya “bolehkah menggunakan nama YHWH?” maka jawabannya “ya”. Alasannya karena nama YHWH (TUHAN) adalah salah satu (hanya salah satu) nama Allah dalam bahasa Ibrani yang disebutkan di dalam Alkitab. Sebutan lainnya adalah Elohim (Allah). Dalam Perjanjian Baru (bahasa Yunani) nama YHWH disebut dengan Kurios dan Elohim dengan  Theos. Carles C. Ryrie menjelaskan, “Banyak nama Allah di dalam Alkitab memberikan pernyataan tambahan tentang sifatNya. Ini bukan sekedar nama yang diberikan oleh orang, tetapi pada kebanyakan kasus di Alkitab, merupakan penggambaran Allah tentang diriNya sendiri. Nama-nama itu menyatakan aspek-aspek sifatNya.”  Karena itu disini  menegaskan bahwa tidak anti nama YHWH dan  juga tidak melarang orang-orang menggunakan nama YHWH karena nama YHWH itu memang ada di dalam Alkitab yang diperkenalkan kepada Musa dan orang Israel pada saat itu. Tetapi jika pertanyaannya  “haruskah menggunakan nama YAHWEH (Pelafalan dugaan dari YHWH) ?” maka jawabannya “tidak diharuskan”.  Alasanya mengapa kita tidak diwajibkan memakai nama YAHWEH adalah : (1) YAHWEH adalah transliterasi (pelafalan) yang masih merupakan dugaan dari Tetagramaton YHWH. Jadi memaksa untuk menyebut YHWH dengan YAHWEH adalah sebuah kesalahan yang serius; (2) Orang Yahudi tidak menyebut nama YHWH tetapi menggantinya dengan Adonay; (3) Di dalam Septaguinta (Perjanjian Lama berbahasa Yunani) yang diterjemahkan dari Tanakh (Perjanjian Lama berbahasa Ibrani) oleh 70 Sarjana Yahudi atas perintah Imam Besar Eliaser, sama sekali tidak menggunakan kata YHWH, tetapi menerjemahkannya dengan Kurios. Septaguinta ini diterjemahkan sekitar 50 - 200 tahun sebelum Kristus; (4) Yesus dan para rasul dalam Perjanjian Baru tidak menggunakan nama YHWH tetapi menggunakan kata Kurios untuk YHWH. Alasannya karena pada saat itu mereka membaca dan memakai campuran bahasa aram sbg lingua francaka/bahasa ibu dan bahasa Yunani sebagai bahasa nasional / bahasa yg digunakan antar ras (akibat penjajahan Roma). Lagi pula bahasa Yunani Koine merupakan bahasa umum yang diwajibkan untuk digunakan pada masa itu. (5) Semua manuskrip Perjanjian Baru (sebanyak lebih dari 5000 manuskrip) dari abad I - V membuktikan bahwa Perjanjian Baru ditulis memakai bahasa Yunani koine dan tidak satupun memakai kata YHWH tetapi menggantinya dengan Kurios. Jadi pada dasarnya  sepakat dengan kelompok Yahweisme bahwa orang Kristen boleh memakai nama YHWH, tetapi tidak sepakat bila penggunaan itu diwajibkan bagi umat Kristen masa kini karena memang Perjanjian Baru tidak memerintahkan, mewajibkan, ataupun mengindikasikan keharusan tersebut._ Justru jika ingin konsisten dengan Perjanjian Baru baru maka nama yang digunakan adalah Kurios yang menunjuk pada YHWH. tapi Yahwe tetap bukan personal name atau nama diri Allah karena nama Allah itu buanyaak, tak terbatas. Kalo orang Yahudi saja yg merupakan saudara tua dan ahlinya perihal perjanjian lama (perjanjian lama disebut juga kitab atau Tanakh ibrani, bukan surat pada orang ibrani) saja tidak menganggap YHWH sebagai nama diri Allah. Fakta tak terbantahkan lagi di persidangan pada beberapa negara , saksi ahli yg dipakai pada persidangan di beberapa negara, adalah imam dan ahli kitab ternama dari Yahudi, ahlinya perjanjian lama, yg mengatakan bahwa bagi bangsa Yahudi dari dulu sampai sekarang YHWH tidak dianggap sebagai nama diri Allah, karena orang yahudi memahami bahwa nama Allah itu buanyak karena bukti bahwa Allah tak bisa dibatasi dan tak bisa digambarkan, pemahaman itulah kemudian yg diikuti oleh sahabat islam dg konsep ASMAUL HUSNA (nama Allah buanyak tanda Allah tak bisa dibatasi). Menurut ahli agama Yahudi, nama YHWH itu serapan dari bahasa suku Midian, dimana itu adalah nama Dewa suku midian yg tidak bisa digambarkan, Nah....pdhl mertuanya Musa di Yitro adalah imam suku Midian, shg wajar bila Musa mengadopsi YHWH untuk menjelaskan tentang Allah, shg itu artinya YHWH bukan nama ALLAh. Menerjemahkan atau mengganti nama YHWH menjadi Kurios (Yunani), Lord (Inggris) dan TUHAN (Indonesia) seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Namun para penganut Yahweisme bersikeras bahwa mengubah nama Tuhan berarti sama dengan menyebut namanya dengan sembarangan. Biasanya mereka menggunakan Ulangan 20:7 sebagai larangan mengganti nama YHWH tersebut dan berargumen bahwa menyebut nama Tuhan saja tidak boleh dengan sembarangan apalagi menggantinya dengan sembarangan. Namun yang perlu diperhatikan di dalam ayat tersebut ialah larangan menyebut atau mengucapkan nama Tuhan dengan sembarangan, bukan larangan mengubahnya dengan sebutan lain. Ketika Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) mengubah nama YHWH menjadi TUHAN itu tidaklah sama dengan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan tetapi LAI telah mengubahnya dengan seksama dan penuh pertimbangan yang dibenarkan secara teologis, karena perubahan tersebut didukung oleh para Rabi Yahudi yang menulis Septaguinta dan para penulis Perjanjian Baru yang mengubah YHWH menjadi Kurios. Yesus maupun rasul-rasul tidak pernah dibagian manapun melarang perubahan tersebut. Bukankan dalam Alkitab ada nama-nama yang diterjemahkan dan diganti ke dalam bahasa lain, misalnya: Nama Ibrani Tabita dalam bahasa Yunani adalah Dorkas (Kisah Para Rasul 9:36a), nama Yunani Petrus dalam bahasa Aram adalah Kefas (Yohanes 1:42; 19:17), nama Yunani Matius dalam bahasa Ibraninya adalah Lewi (Matius 9:9; Markus 2:14; Lukas 5:27); nama Ibrani Baryesus dalam bahasa Yunani Elimas (Kisah Para Rasul 13:6-8): Nama Ibrani Paulus adalah Saulus dalam bahasa Yunani (Kisah Para Rasul 13:9). Misalkan saja ada kenalan dengan seorang Indo-China dengan nama Lee (China) dan Rudi nama Indonesianya. Nama-nama tersebut walaupun diterjemahkan atau diganti tetapi menunjuk pada satu pribadi saja. Jadi jika Allah menyingkapkan YHWH sebagai namaNya maksudnya, sebagaimana dijelaskan oleh Yakub. B. Susabda adalah “Dia ingin dikenali umatNya sebagai Allah (Elohim) dari Abraham, Ishak, Yakub yang adalah YHWH (tetagramaton atau empat huruf konsonan yaiti Yod, He, Waw, dab He). YHWH tersebut sebenarnya bukan nama, karena pada saat mula pertama disingkapkan kepada Musa, Yang dikatakan Allah adalan Ehyeh Asher Ehyeh (I am that I am/Aku adalah Aku) itulah namaKu. Jadi, YHWH adalah identitas pribadi Allah yang begitu independen tak terpahami dan tidak terbandingkan sehingga YHWH bukan nama. Umat Israel tidak pernah berani menyebut nama YHWH secara verbal... Dalam Perjanjian Lama, sebutan YHWH sering kali diganti dengan Adonai”. Selanjutnya Yakub B. Susabda menambahkan, “Setelah Tuhan Yesus Kristus menyelesaikan secara sempurna karya penebusanNya, Dia dikaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama dan semua lidah akan mengaku bahwa Yesus adalah TUHAN (YHWH) yang adalah cahaya kemuliaan Allah, kemuliaan Bapa (Filipi 2:9-8). Diluar Kristus Yesus yang adalah YHWH, Allah Bapa tidak pernah dapat dikenali dan dipermuliakan oleh manusia. Kristus Yesus sendiri tidak pernah memanggil Allah dengan sebutan YHWH. Dalam doaNya, Dia memanggil Allah dengan sebutan ELOI atau AllahKu (Matius 27:46)”. Kalau Tuhan memang mengharuskan kita memakai dan memanggil namaNya dengan YHWH , lalu mengapa Dia tidak menjaga agar sebutan terhadap namaNya itu tidak hilang dan hanya menjadi dugaan saja saat ini? Kita perlu mengingat bahwa ketika Tuhan Yesus mengajarkan doa Bapa kami kepada murid muridNya, Dia tidak mengajarkan seperti ini, “YHWH kami yang ada di sorga” Dia mengajarkan seperti ini, “Bapa Kami yang di sorga”. Tuhan Yesus saja tidak mengharuskan kita berkomunikasi dengan Allah dengan memakai kata YHWH. Lalu mengapa Yahweisme begitu giat mengharuskannya? Ada apa gerangan dibalik pemkasaan ini? Adakah agenda lain yang dirancang dibalik skenario mewajibkan penggunaan nama Yahweh ini? Mungkinkah ini merupakan langkah mundur dalam Kekristenan untuk menggiringnya ke legalisme tradisi Yahudi ataupun tradisi rabinik Yudaisme? Ringkasnya, keharusan mengembalikan dan mewajibkan pemakaian kata TUHAN menjadi YAHWEH, sangatlah tidak tepat dan tidak Alkitabiah. Pertama-tama, kita perlu mengetahui latar belakang penolakan terhadap kata “ALLAH”, menurut salah satu selebaran yang dikeluarkan BET YESUA HAMASIAH (“Siapakah yang bernama Allah itu” P.O.BOX 6189 JKPMT 10310 Jakarta), ”ALLAH adalah nama berhala” sehingga “tidak boleh ada pada kita di hadapan YAHWE” dan “tidak boleh dipanggil dan tidak boleh kedengaran dari mulut kita” lebih parah lagi, kata “ALLAH” dikaitkan langsung dengan berbagai tindak kekerasan terhadap umat kristiani. Kelompok BET YESUA HAMASIAH tidak sendirian, ada kelompok-kelompok  lainnya yang memiliki pandangan yang serupa, bahkan di antara kelompok-kelompok yang “anti ALLAH” ini, ada yang berpendapat, roh yang berada di balik kata “ALLAH” tidak lain daripada roh iblis. Itulah sebabnya mereka mendesak LAI, Lembaga penerjemah alkitab di negara-negara lain untuk menghapus kata “ALLAH”, “GOD”, dll seluruhnya dari alkitab yang beredar luas dan menuntut lewat pengadilan agar nama sacral  YHWH digunakan lagi dalam alkitab di seluruh dunia, termasuk LAI. Meskipun Lembaga alkitab di beberapa negara termasuk LAI mengalami tuntutan dari kelompok BET YESUA HAMASIAH, perkara pemakaian nama sacral YHWH di alkitab, tapi hasilnya nihil. Yang disayangkan di Indonesia, kelompok ini nekad membajak teks alkitab terjemahan baru terbitan LAI 1974 dengan mengganti kata ALLAH dan TUHAN seperti dalam, KITAB SUCI 2000 yang dikeluarkan BES YESHUA HAMASIAH, P.O. Box 6189 JKPMT 10310 (KS2000), KITAB SUCI UMAT PERJANJIAN TUHAN yang dikeluarkan oleh jaringan gereja-gereja pengagum nama YAHWEH, Jakart, 2002 (KSUPT). Sulit dibayangkan, bagaimana tindakan yang tidak suci ini dapat dihalalkan untuk mengagungkan sebuah nama suci. Selain kedua jiplakan itu, baru-baru ini beredar lagi sebuah kitab suci atau alkitab berjudul KITAB SUCI PERJANJIAN LAMA DAN PERJANJIAN BARU VERSI ILT (Indonesia Literal Translation, KSILT) terbitan Yayasan Lentera Bangsa (2007). Menurut pengakuan penerbit, KSILT merupakan terjemahan dari THE INTERLINEAR BIBLE karya Jay P Green Sr. Sama seperti KS2000, KSUPT, KSILT memakai nama YAHWEH dan tidak menggunakan kata ALLAH sama sekali. Sayangnya, terjemahan KSILT pun tidak seorisinil yang diklaim, karena jejak-jejak Alkitab Terjemahan Baru LAI terdeteksi di dalamnya. Ditilik dari segi waktu, proses penerjemahan KSILT tergolong “Fantastis” hanya memelukan waktu sekitar dua tahun, mulai dari pemerolehan izin pada September 2005 sampai dengan penerbitan pada Oktober 2007. Ini tentunya luar biasa singkat bila dibandingkan dengan proses penerjemahan Alkitab TB LAI. Tim penerjemah Alkitab TB LAI yang terdiri dari pakar Indonesia, Belanda, dan Jerman bekerja sama berdasarkan teks Ibrani, Aram, dan Yunani sejak tahun 1952. Hasil terjemahan tim yang telah melalui proses uji coba baru dapat terbit seluruhnya pada tahun 1974 (Seminar LAI, Pdt Anwar Tjen, PhD, 2015). 

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...