Jumat, 16 Juli 2021

BINA IMAN MASA PANDEMI,SERIAL SUDUT PANDANG

BINA IMAN MASA PANDEMI, SERIAL SUDUT PANDANG
Gereja sebagai tubuh Kristus, sejak awal keberadaannya telah terpanggil dan berkewajiban untuk mengemban bina iman di dunia ini. Secara umum bina iman yang dijadikan dasar tugas dan panggilan gereja tercantum di dalam Matius 28:19-20. Bina iman tersebut kemudian dimanifestasikan oleh gereja dalam berbagai bentuk misi, program kerja, dan pelayanan. bahwa dengan konsisten melakukan bina iman, gereja justru akan menjadi lembaga yang dinamis serta dapat terus bertumbuh dan berkembang. Sejarah sendiri mencatat bahwa sejak berdirinya, gereja telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan dari masa ke masa. Jika dibandingkan dengan perubahan pada masa Reformasi di abad pertengahan, maka gereja kini memasuki fase perubahan yang lebih maju. Perkembangannya kali ini tidak hanya berkaitan dengan adanya perubahan aristektur bangunan, perbaikan kualitas infrastruktur, restrukturisasi organisasi, reformasi doktrin, tetapi juga mencakup upaya gereja memodernisasikan dan atau mengkontekstualisasikan pola pelayanannya di setiap zaman yang berbeda.Gereja seharusnya tidak menutup diri terhadap arus globalisasi dengan menggunakan berbagai macam alasan. bahwa beberapa faktor seperti penekanan berlebih pada tradisi dan tata cara yang berjalan selama ini, pentingnya membudidayakan sistem di dalam gereja, rasa aman dan nyaman pada kondisi yang ada, serta keraguan dan pemikiran sempit dari para pembuat keputusan, mengakibatkan gereja bertabrakan dengan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Konsistensi pelaksanaan misi gereja yang diharapkan berkembang pesat dan secara holistik dirasakan manfaatnya oleh orang percaya sebaliknya akan menjadi stagnan dan mengecewakan. Apa yang dimaksud dengan pelayanan yang holistik? Kata holistik itu sendiri seringkali dikaitkan dengan kata “kesehatan” yang merujuk pada kondisi kesehatan baik secara fisik, spiritual, mental, dan sosial. Karena itu pelayanan yang holistik dapat dipahami sebagai bentuk pelayanan yang menyeluruh dan menjangkau segala dimensi kebutuhan manusia. Dengan kata lain, pelayanan yang holistik tidak semata-mata. berbicara tentang kegiatan-kegiatan peribadahan atau penginjilan yang menyentuh bagian rohani seseorang tetapi juga jasmani.Pandangan lain mengenai jenis pelayanan ini adalah bahwa pelayanan yang gereja lakukan merupakan pelayanan yang bertujuan membentuk iman serta menghasilkan regenerasi pelayan dari lingkup jemaat. Inti dari bina iman sejatinya adalah sebuah kegiatan pemuridan (Yunani: μαθητεύσατε). Pemuridan dapat berimplikasi pada kegiatan penginjilan seperti yang dimengerti secara umum, yakni membuat orang menjadi percaya. Namun pemuridan juga dapat diimplementasikan dalam bentuk pengajaran atau mendorong seseorang untuk melakukan pelayanan, apa pun bentuk dan segmentasinya. Pendapat di atas benar adanya sebab pelayanan-pelayanan gereja yang selama ini berjalan secara virtual di masa physical distancing, tidak mendidik dan mengikutsertakan umat agar semakin mandiri dan terlibat dalam pelayanan. Hal ini sangat disayangkan karena pada satu pihak dengan luasnya lingkup pelayanan gereja baik itu mencakup wilayah maupun populasi jemaat, cara ini sebenarnya akan menolong para pemimpin gereja sehingga konsisten menjangkau kebutuhan semua komponen umat yang berada dalam kondisi dan situasi apapun. Meskipun dengan langkah seperti ini beban pelayanan pun semakin ringan, itu tidak berarti bahwa para rohaniwan melepas tangan dari tugas dan mandate pelayanan yang telah diterima.Dengan demikian, pelayanan yang holistik sangat kontekstual dengan kondisi dan kebijakan-kebijakan yang berlaku di masa pandemi seperti ini. Pembatasan mobilitas warga di luar rumah dan keharusan melakukan banyak hal dari rumah masing-masing, menjadikan keluarga kembali hidup sebab lebih banyak waktu bagi setiap anggota keluarga untuk bersosialisasi satu dengan yang lain. Ini adalah kesempatan yang perlu ditangkap oleh gereja yang ingin melayani dan memberdayakan umat dalam komunitas yang lebih kecil seperti keluarga.Gereja yang mengemban misinya dalam bentuk-bentuk pelayanan kepada umat perlu memperhatikan dengan seksama kebutuhan dari umat tersebut. Pelayanan yang dilakukan bukanlah pemenuhan agenda gereja semata tetapi juga mencakup kerinduan gereja untuk mambangun dan mengembangkan kedewasaan dan kematangan rohani jemaat. Kerinduan ini diterapkan dalam konsep pembinaan warga gereja yang holistik.Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa terbatasnya kesempatan, tenaga, dan waktu para pendeta, penginjil atau rohaniwan dalam penatalayanan tatap muka secara fisik dari rumah ke rumah. Begitu pula dengan pelayanan online seperti ibadah-ibadah umum, seminar, diskusi teologis yang dirasa kurang mengena ke permasalahan dan kebutuhan lapisan sosial dan ekonomi orang percaya. Jika ini dibiarkan, tentu akan menciptakan komunitas umat yang tidak terjangkau oleh pelayanan dan pemberitaan Injil. Target dari implementasi bina iman adalah semua manusia dijangkau oleh pemberitaan Injil Yesus Kritus. Pandemi Covid-19 yang terjadi di era digitalisasi pada satu sisi merupakan bencana kemanusiaan secara global, namun di sisi lain dapat menjadi momen bagi gereja agar misi gereja dapat tersebar lebih luas lagi, menjangkau orang-orang yang belum terjangkau. Orang-orang seperti apa yang dikategorikan belum terjangkau, belum tersentuh, dan belum terlayani oleh gereja di zaman yang semakin maju seperti ini?  dibedakannya menjadi dua jenis, pertama, Generasi Zaman Ekspansi internet dan dimulainya era reformasi industri 4.0, ditambah lagi dengan kemunculan Covid-19 turut mendukung terciptanya generasi baru, yaitu Generasi Z (selanjutnya akan disebut Gen Z). Generasi ini secara umum identik dengan angkatan yang lahir setelah tahun 1994 yang diklaim lebih pragmatis, analitis, melek teknologi.Disebut demikian karena generasi ini lahir dan bertumbuh di masa digitalisasi di mana segala informasi dan kebenarannya dapat diakses secara mandiri. Meskipun istilah ini biasanya ditujukan untuk kelompok usia remaja yang fasih menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, namun menurut penulis dengan munculnya berbagai fenomena belakangan ini seperti salah satunya Covid-19, maka secara fungsionalitas istilah Gen Z bisa juga mencakup usia anak-anak dan dewasa atau orang tua yang dituntut melakukan banyak aktivitas dengan menggunakan gawai dan sosial media.Beberapa faktor menjadikan generasi ini memiliki probabilitas yang cukup tinggi untuk menjadi kelompok masyarakat yang tidak terjangkau misi pelayanan gereja. Alasan pertamanya adalah karena laju perkembangan teknologi berbasis virtual menjadikan komunitas ini terbiasa dengan akses internet secara masif dan bebas. Hal ini ditopang dengan kemudahan masyarakat membeli perangkat teknologi dengan harga yang kompetitif, layanan jaringan internet yang semakin merata, penawaran kuota data yang beragam dan menarik daya pikat dari berbagai perusahaan operator telekomunikasi, munculnya bermacam-macam aplikasi menarik seperti sosial media, komunikasi, fotografi, edukasi, berita, dan gaming, serta bertambah maraknya penyelenggaraan jumlah kegiatan yang bersifat virtual.Letak problematika dari semua keuntungan di atas adalah kemudahan dan kebebasan para Gen Z berselancar di jagat maya dapat disalahgunakan. Pengawasan yang minim dari orang tua atau paling tidak kurangnya sikap mawas atau kesadaran diri sendiri, menjadikan siapa pun dapat “tersesat” di dunia maya. Ketersesatan ini diukur dari sejauh mana tingkat ketertarikan pengguna internet dan sosial media pada acara￾acara virtual kerohanian dibandingkan dengan tayangan-tayangan dan tampilan￾tampilan sekular lainnya pada waktu yang bersamaan. Tendensinya terletak pada minimnya minat para peselancar jagad maya dari kelompok Gen Z yang mengakses ibadah-ibadah atau konten-konten religi sebaliknya mereka lebih teradiksi pada game online atau tayangan lain yang lebih menghibur. Kurangnya minat ini disebabkan adanya asumsi bahwa konten-konten keagamaan tersebut terlalu berat untuk dikonsumsi oleh generasi yang serba praktis dan instan ini. Kedua, Masyarakat yang Gagap Teknologi, Sebagai negara yang masih terus berkembang menuju negara maju, Indonesia sedang berupaya agar kestabilan ekonomi dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik dapat dirasakan secara merata oleh masyarakat di seluruh penjuru nusantara ini. Pemerintah secara konsisten membangun dan menyempurnakan infrastruktur￾infrastruktur yang ada agar maksud dan tujuan tersebut dapat tercapai. Akselerasi pembangunan ini diharapkan mendukung dan menempatkan bangsa Indonesia di jalur menuju kemajuan di era globalisasi yang kian berkembang. Masa dimana teknologi informasi dan komunikasi seperti internet memainkan peranan penting dalam membantu negara dalam persaingan di dunia secara global.Salah satu infrastruktur yang menjadi fokus perbaikan dan pembangunan di Indonesia adalah jaringan telekomunikasi dan internet. Akan tetapi dengan luasnya wilayah, jumlah gugusan pulau yang mencapai ribuan serta masih banyaknya daerah terpencil yang sulit untuk dijangkau berimbas pada belum meratanya pembangunan jaringan internet. Dalam penelitiannya tentang pemerataan penyediaan teknologi informasi dan komunikasi di wilayah-wilayah kepulauan seperti Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, bahwa kesenjangan digital ini lebih banyak dirasakan oleh masyarakat di wilayah-wilayah Indonesia Timur.Hal ini berarti masih banyak wilayah yang memiliki keterbatasan dalam hal aksesibilitas jaringan internet.Konsekuensi sosial yang berpotensi tercipta adalah munculnya kelompok masyarakat yang gagap dengan perubahan dan penggunaan teknologi yang bersifat digital.Berdasarkan kondisi tersebut, maka komunitas warga yang dikategorikan sebagai masyarakat yang merem pada teknologi dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, ditujukan untuk orang-orang yang memiliki keterbatasan ekonomi untuk membeli dan memiliki perangkat canggih seperti ponsel pintar dan laptop yang dapat digunakan mengakses sosial media sebagai penyedia layanan internet. Termasuk masyarakat yang berada di wilayah yang tidak terjangkau layanan telekomunikasi dan internet, misalnya penduduk di wilayah pedesaan, kepulauan, dan daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).Begitu juga dengan mereka yang memiliki penghasilan rendah sehingga tidak dapat mengalokasikan penghasilannya untuk membeli paket data.Sedangkan yang kedua adalah mereka yang belum familier dengan dunia internet. Ketidakakraban pada teknologi digitalisasi yang penulis maksudkan bukan disebabkan oleh kecatatan mental atau penyakit bawaan, tapi lebih kepada kelompok masyarakat dengan usia tertentu, misalnya para lansia yang menemukan kesulitan saat akan menggunakan perangkat-perangkat canggih yang memang “asing” di era mereka. Atau bisa juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan di mana mereka tinggal, seperti yang telah diutarakan pada paragraf di atas. Berkaca dari kendala-kendala di atas, gereja dipastikan mengalami kesulitan ketika melaksanakan pemberitaan Injil secara virtual jika objek sasarannya justru tidak dapat dijangkau secara daring. Dampak yang lebih ekstrem adalah terciptanya spirituality loss baik di kalangan Gen Z maupun gererasi yang gagap dengan teknologi. bahwa spirituality loss ini dapat diartikan sebagai degradasi iman dan minat kerohanian dari sebuah generasi akibat terlalu lama tidak bersekutu dan jarang mendapatkan pelayanan pastoral dari gereja dan para rohaniwan. Generasi yang mengalami kehilangan spiritualitas akan menjadi angkatan yang tidak terjangkau oleh misi gereja meskipun berada di era digitalisasi yang tanpa sekat tempat dan waktu. Dalam mengimplementasi misi pelayanan sesuai bina iman di era revolusi industri 4.0 terlebih lagi di masa pandemi seperti ini, gereja seyogianya berusaha menjawab tantangan dari pesatnya perkembangan teknologi yang serba digital ini. Memanfaatkan internet dan media online untuk menjangkau lebih banyak orang dalam pelayanan misinya. Bahkan pada kesempatan yang sama pula, gereja dapat menolong jemaat untuk tidak mudah terjebak dengan ajaran-ajaran sesat yang juga memanfaatkan sarana-sarana digital untuk menyebarkan dogtrin mereka. Dengan demikian aktualisasi bina iman pada masa digitalisasi seperti ini sangat diperlukan.Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan juga Physical Distancing sejak awal April 2020, telah “memaksa” gereja untuk membuat terobosan￾terobosan di bidang pelayanan misi. Penutupan sementara tempat-tempat ibadah dan pelarangan aktivitas kerohanian yang bersifat fisik secara tidak langsung menciptakan adanya gereja digital. Denominasi-denominasi gereja akhirnya berlomba-lomba melakukan pelayanan secara online. Dalam pantauan, pelayanan-pelayanan tersebut dilakukan lebih instens di sosial media seperti youtube, instagram, dan facebook. Ada juga yang menggunakan aplikasi Zoom untuk berjumpa secara langsung dalam peribadatan atau acara-acara kerohanian yang dilangsungkan oleh gereja. Tidak ketinggalan, Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen pun secara konsisten memberikan informasi dan layanan mimbar Kristen setiap minggu di akun instagram dan saluran youtube-nya. Dengan cara seperti ini, jemaat tetap dan semakin mudah mendapatkan pelayanan rohani dari gereja. Orang Kristen dapat mengakses konten-konten rohani seperti penyelenggaraan ibadah di mana saja dengan menggunakan smartphone atau laptop yang terkoneksi dengan internet. Hal positif lainnya adalah dengan merebaknya gereja digital, kini orang Kristen dengan mudahnya mengikuti peribadahan dari denominasi lain yang berbeda dari gereja tempatnya beribadah selama ini. Meskipun begitu, rupa-rupanya situasi ini justru menjadi bumerang bagi gereja. Pertama, dengan akses yang sebebas-bebasnya kemungkinan jemaat memilih mengikuti siaran ibadah dari gereja lain semakin lebih besar. Ini bisa saja menjadi alasan kekuatiran gereja-gereja yang tidak menghendaki kehilangan jumlah anggota jemaatnya di masa mendatang akibat merasa tidak tersentuh dengan pelayanan gereja yang bersifat online itu. Kedua, demi menjaga keutuhan dan kesetiaan jemaat pada gerejanya, para rohaniwan berlomba-lomba membuat dan menampilkan konten ibadah daring yang semenarik mungkin. Gereja digital menjadi bias karena semakin terfokus pada bagaimana memperoleh jumlah views, like, dan subscribe yang banyak sebagai indikator keberhasilan pelayanan secara daring. Melupakan esensi sebenarnya dari misi pengabaran Injil yang dilakukan yaitu menjangkau dan memenangkan jiwa bagi Kristus. beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa dengan terfokusnya gereja pada pembuatan konten ibadah, beberapa pelayanan lain menjadi terbengkalai seperti pelayanan kepada kelompok usia tertentu, keluarga, konseling, sosial, dan penginjilan. Singkatnya menjangkau yg tak terjangkau, Kegiatan misi dan pelayanan dari gereja yang bersifat virtual kepada umat harus memperhatikan kondisi jemaat. Kondisi ini mencakup apakah lokasi umat dapat dijangkau dengan jaringan internet. Kemudian apakah orang percaya baik secara individu maupun kelompok yang menjadi sasaran pelayanan online tersebut memiliki perangkat untuk menikmatinya. Jika dua kendala ini yang dihadapi, maka gereja tidak boleh berpangku tangan dan menelantarkan anggota jemaat yang seperti ini.Walaupun misi gereja tetap dilaksanakan secara daring baik di era atau pun setelah pandemi berakhir, sebagai tubuh Kristus gereja juga harus melakukan langkah-langkah praktis demi menjangkau mereka yang belum terjangkau oleh kemajuan teknologi digital. Saat penyebaran wabah Covid-19 masih berlangsung, gereja yang virtual itu tetap dapat memberikan pelayanan secara tatap muka bersama anggota jemaat dengan memperhatikan protokol kesehatan secara ketat. Namun perlu ditegaskan di sini bahwa tatap muka dengan umat bukan berarti acara-acara keagamaan dalam skala sedang dan besar termasuk di dalamnya. Cara ini lebih kepada pelaksanaan pelayanan gereja yang bersifat pembinaan dan pemuridan. Strategi dan tujuan dari jenis penatalayanan seperti ini dapat dijelaskan seperti ini.Pertama, pembinaan rohani sedapat mungkin diselenggarakan dalam skala yang lebih kecil, misalkan pembinaan atau pemuridan di dalam keluarga. Pada masa pandemi seperti ini, keluarga menjadi pusat misi gereja digital. Karena itu, gereja perlu menyadari dan mengedepankan pentingnya pelayanan pembinaan iman dan pemuridan yang dimulai dan berbasis dari keluarga. Dalam bentuk ini, keluarga dipandang sebagai pemurid yang utama dan gereja memainkan peran untuk memperlengkapi orang tua membina iman anak-anak. Selain alasan yang disebutkan di atas, pembinaan rohani bagi keluarga juga penting karena di masa ketika semua kegiatan keagamaan yang dilaksanakan dari rumahsemakin intens, ketersediaan tenaga pelayan yang profesional justru tidak bertambahdan terbatas untuk menjangkau semuanya secara fisik. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan program pemuridan umat yang bertujuan menghasilkan orang percaya yang cakap dan siap untuk terlibat dalam pelayanan yang aktual di masing-masing keluarga. Langkah seperti ini dipercaya akan mendewasakan iman jemaat sehingga tujuan dari bina iman dapat tercapai.Keuntungan lain adalah orang-orang yang tidak bisa mengakses ibadah dan kegiatan rohani secara online tetap dapat merasakan pelayanan gereja melalui penatalayan hasil binaan gereja. Namun ini tidak berarti bahwa seluruh pelayanan gereja ditimpakan seluruhnya kepada jemaat hasil binaan. Pelaksanaan sakramen, pemberkatan nikah, dan pelayanan penguburan jenasah tentu masih menjadi tanggung jawab para rohaniwan yang memiliki mandat utama itu.Hal-hal praktis yang dapat dilakukan oleh gereja dalam pemuridan ini adalah dengan memberikan pembinaan dan pelatihan kepada para jemaat dewasa atau orang tua agar mereka memiliki kemampuan, keterampilan, dan keterbebanan untuk terlibat dalam pelayanan di rumah masing-masing. Contohnya, mampu mengajar anak-anak mereka dalam ibadah Sekolah Minggu di rumah, cakap dalam melakukan pelayanan persekutuan rumah tangga, serta secara aktif dan inisiatif mengadakan kegiatan Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) dan atau Pemahaman Alkitab (PA) di lingkup keluarga.Kedua, fokus dari pelayanan pastoral juga diarahkan untuk mengjangkau generasi muda yang semakin memegang peranan penting baik di era selama maupun setelah pandemi Covid-19. Gereja perlu menempatkan dan melibatkan orang-orang muda hingga masuk ke level bagaimana mereka memikirkan dan memutuskan sebuah program penatalayanan dan pengembangan pelayanan gereja yang kontekstual dengan era digitalisasi. Tujuannya adalah adiksi terhadap internet dari para generasi muda ini dapat diarahkan kepada hal-hal yang lebih baik dan bermanfaat, tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi gereja. Dengan begitu, angkatan yang milenial ini dapat menggunakan gadget yang mereka miliki untuk menghasilkan karya-karya yang kreatif dan inovatif di bidang kerohanian. Sebaliknya, ketika gereja tidak mampu dan tidak mau menjangkau mereka, maka generasi muda akan semakin tidak memiliki minat untuk terjun langsung dalam hal-hal yang bersifat religius. Spiritualitas milenial akan semakin menurun dan dikuatirkan menjadi preseden yang buruk bagi kelangsungan gereja dan pelayanannya di masa mendatang. Pelayanan-pelayanan pastoral di atas akan menciptakan pola pelayanan yang intragenerasi dan intergenerasi. Pelayanan intragenerasi berbicara tentang keterlibatan setiap generasi untuk melayani di generasinya masing-masing. Misalnya generasi muda secara aktif membentuk dan menyelenggarakan pelayanan bagi Generasi Z. Sedangkan pelayanan intergenerasi ada pelayanan yang melibatkan lebih dari satu generasi di dalamnya. Dalam hal ini pelayanan gereja melibatkan orang tua dan kawula muda. Zaman pasti akan berubah dan gereja yang ada di pusaran zaman itu juga akan dipengaruhi oleh perubahan itu. Masa pandemi virus corona yang terjadi di era revolusi industri 4.0 turut menuntun gereja memasuki perubahan menuju gereja yang digital.Seluruh bentuk ibadah dan pelayanan yang selama ini bersifat fisik, diganti dengan yang berbentuk virtual. Orang Kristen pun melakukan seluruh kegiatan kerohanian dari rumahnya masing-masing dengan memanfaatkan gawai, internet, dan sosial media. Akan tetapi, kemajuan peradaban ini masih menyisakan persoalan bagi jangkauan pelaksanaan misi gereja. Kendala-kendala seperti munculnya Generasi Z yang berpotensi tidak tertarik dengan acara-acara rohani yang dilakukan dengan monoton serta masih banyak umat yang gagap teknologi menempatkan mereka sebagai komunitas yang tidak terjangkau pelayanan gereja. Oleh sebab itu, gereja wajib mengevaluasi diri dan mengambil langkah-langkah yang strategis seperti mengembangkan pelayanan yang berciri khas pemuridan kepada orang tua maupun 

generasi muda agar dapat bekerja sama dengan gereja dalam menjangkau orang-orang yang belum terjangkau dan terlayani di masa yang semakin maju dan serba digital ini. 🙏🙏🙏Selamat membina iman pada masa pandemi, 🙌🙌🙌Tuhan memberkati STT BAPTIS INJILI, CEPOGO, BOYOLALI, JATENG, 2020, TITUS ROIDANTO

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...