Kamis, 23 Desember 2021

PALUNGAN, ALLAH YANG MERAPUH, SERIAL SUDUT PANDANG

PALUNGAN, ALLAH YANG MERAPUH, SERIAL SUDUT PANDANG
PENGANTAR
Kiranya Roh Natal mengisi hati anda bukan hanya pada hari-hari ini saja, melainkan sepanjang tahun, sebab ketika kidung malaikat habis bergema, ketika para gembala sudah kembali ke padang efrata, ketika orang Majus sudah pulang ke negeri mereka, ketika bintang Betlehem sudah sirna, saat itulah amanat Natal justru berawal, yaitu amanat untuk membawa damai sejahtera, menyembuhkan luka, memberi kelepasan dahaga, menyalakan cahaya, membagi senyum bahagia, meneduhkan jiwa dan melagukan Gita pujian sorga. Masa Advent pun sebetulnya tak pernah usai, karena sepanjang hidup kita adalah masa Advent, karena sepanjang hidup kita, kita menanti Tuhan kembali, sepanjang hidup kita, kita hidup dengan harapan Tuhan kembali, dan kita mengisi hidup kita dengan karya sekehendak seteladan Kristus dalam harap dan damba Kristus kembali. Merayakan Natal banyak bahaya dan risikonya, tapi bukan berarti kita harus membuang perayaan Natal, ada bahaya dan risikonya menjadikan kita berhati-hati, itulah yg mau kita pelajari, merayakan Natal dengan hati-hati. Karena kita bisa jatuh dalam kemunafikan Natal, ke eksklusif Natal, kepuasan rohani yg palsu dalam Natal, dan juga kita bisa jatuh pada suasana gemerlapan serta kemewahan Natal, nyanyinya MALAM KUDUS,VSUNYI SENYAP, tapi hati kita hiruk pikuk, hingar bingar. Dalam Berita Natal, Tercatat di Alkitab secara jelas bahkan gamblang. Tanda yang diberikan para malaikat untuk menemukan Yesus adalah ".......terbaring di palungan" (Lukas 2 : 7, 12), Tanda ketersisihan  itu isyarat solidaritas Yesus dengan mereka yang terpaksa lahir atau bertempat tinggal di tempat-tempat yang tidak wajar, di gubug-gubug, perkampungan kota yang miskin atau di pondok-pondok reyot di desa. Palungan sebagai tanda ketersisihan itu menunjukan solidaritas Yesus dg mereka yang tidak mendapatkan tempat di masyarakat. Sepanjang hidup Yesus  menunjukan hal itu. Yesus solider dengan orang-orang yang tidak mendapat tempat dalam masyarakat saat itu seperti pemungut cukai, pelacur, nelayan, orang lumpuh, orang buta, orang kusta, orang samaria, dll. Allah sebetulnya tidak hanya solider, simpati, atau toleran tetapi  berempati pada manusia dengan merapuhkan diriNya, menjadi bayi manusia yg lemah, ada di PALUNGAN, simbolnya adalah palungan. Allah, Sang Maha, yang sangat Maha, rela melawat manusia dalam kerapuhan untuk sesuatu yang bajik, yaitu keselamatan manusia. Dengan filosofi ataubteologi palungan yang seperti itu maka lebih baik merayakan natal dalam ibadah raya di gereja dan aksi solidaritas pada sesama. Mengingat situasi kondisi saat ini, PANDEMI BELUM USAI, walaupun sudah ke arah yang lebih baik, adalah baik kita bersolidaritas dengan pemerintah yang sedang berupaya mencegah BOOM 3 PANDEMI tidak terjadi di negeri ini, kita bersabarlah sedikit, mengadakan perayaan natal diluar ibadah raya di gereja menunjukan kita tidak memiliki solidaritas bahkan tidak memiliki empati pada pemerintah yang sudah jungkir balik mengatasi pandemi ini. Tindakan Covidiot yang menyebabkan penyebaran masif covid oleh karena perayaan atau pesta natal di luar ibadah raya di gereja, sungguh tindakan yg bertolak belakang dengan teologi atau filosofi palungan. Apa itu mengikut Yesus? Apa itu menjadi murid-Nya? Apa itu menjadi saksi-Nya? Apakah sekadar dibaptis lalu berstatus agama Kristen, itu berarti sudah mengikut Yesus, menjadi murid dan saksi-Nya? Setahu saya, ketika Yesus mengatakan, "Ikutlah Aku!" itu bukanlah soal agama. Ketika Dia menyebut keduabelas anak muda kawan-Nya sebagai murid, itu juga bukan soal agama. Begitu juga ketika Yesus mengutus para murid-Nya itu, mereka nggak diutus untuk menyebarkan agama. Check your Holy Bible if you don't believe me. Sepemahaman saya, mengikut Yesus berarti mencontoh cara pandang, perspektif, sikap, dan perbuatan-Nya. Menjadi murid Yesus berarti belajar memahami lalu menduplikasi teladan-Nya. Dan jadi saksi atau utusan Yesus berarti menyebarkan nilai-nilai yang Dia ajarkan: kasih, perdamaian, kepedulian, toleransi, dan hospitalitas. Dan itu nggak ada hubungannya sama agama.Kata Gus Aan Anshori, sudah nggak relevan lagi mengabarkan Injil untuk menjadikan orang lain menganut agama Kristen. Kabarkanlah nilai-nilai kekristenan kepada orang-orang Islam supaya mereka menjadi muslim yang damai, toleran, dan progresif, dan mau bersahabat dengan yang berbeda.

MASA ADVENT DAN NATAL
Untuk memahami teologi palungan maupun teologi kerapuhan, kita perlu mengerti betul makna ritual masa Advent dan natal. Kenapa kita perlu menghormati minggu² Adven? Apakah ini sok-sokan "tiru-tiru Katolik"? Atau kepatuhan normatif gereja pada kalender liturgi? Oh, bukan! Sama sekali bukan, Ferguso! Penghormatan pada minggu² Adven adalah karena ADA NARASI-NARASI di dalamnya yang perlu dihayati dan dimaknai dengan baik. Narasi-narasi tentang sosok-sosok lemah dan rapuh yang toh dipakai Tuhan untuk menghadirkan Yesus ke dunia. Yusuf yang penuh cinta, tapi juga rasa takut. Maria yang lemah namun akhirnya pasrah. Zakaria yang saleh namun juga skeptis. Elisabet yang bersembunyi namun dijumpai Maria. Orang-orang ini bukan tokoh-tokoh pinggiran. Mereka justru persis berada di bawah spotlight masa Adven. Kalau kita memadamkan sorotan itu lalu buru-buru menyanyikan "Malam Kudus" atau "Hai Mari Berhimpun", betapa miskin dan ruginya perjalanan iman kita. Seolah kita mau langsung menonton pertempuran pamungkas di "Avengers: Endgame", tapi tak mau menonton "Avengers: Infinity War". Kalau Paskah punya narasi-narasi Prapaskah yang dimulai dari pencobaan di pasang gurun hingga perjamuan terakhir, pembasuhan kaki, dan penyaliban, rasanya fair kalau kita pun menghormati narasi-narasi Pranatal alias Adven yang maknanya pun tak kalah mengagumkan dibandingkan kisah kelahiran bayi Yesus yang, katanya, dilahirkan di kandang hewan (padahal sih di dalam rumah). Bahkan dalam ritual Kristiani kuno, kalo prapaskah, dihidupi dengan 40 hari puasa, demikian hal nya Natal, dihidupi dengan 40 hari puasa pada masa Advent. Musim Adven, Adven itu musim dalam kalender liturgi gerejawi. Hanya ada satu atau sekali musim Adven dalam setahun kalender liturgi. Berapa panjang musim Adven? Sebelum menjawab panjang musim Adven, perlu dicatat bahwa Minggu adalah hari pertama, hari yang diyakini sebagai hari kebangkitan Kristus oleh umat Kristen. Minggu menjadi hari ibadah perayaan (selebrasi). Titik berangkat adalah Minggu. Gereja (Barat) menetapkan ada empat (hari) Minggu dalam musim Adven sebelum Natal. Apabila Natal jatuh pada Minggu, maka Minggu itu tidak dihitung sebagai Minggu Adven. Hari pertama musim Adven dimula dari Minggu pertama (yang berjumlah empat Minggu itu). Empat Minggu di sini bukan empat pekan yang berjumlah 28 hari. Musim Adven tahun ini sepanjang 27 hari yang dimula 28 November 2021 sampai 24 Desember sebelum Maghrib. Jika Natal jatuh pada Senin, maka panjang musim Adven hanya 22 hari, karena musim Adven dimula 3 Desember. Jika ada Minggu Adven, apakah ada Senin Adven, Selasa Adven, dst.? Ada! Mengapa Senin Adven tidak pernah disebut? Tentu saja akan disebut secara khusus apabila Kristus sejak semula bangkit pada Senin. Mengapa menyebut Minggu Adven I, Minggu Adven II, dst. itu keliru? Seperti yang saya sampaikan di atas bahwa Adven itu musim dan hanya sekali dalam setahun kalender liturgi. Yang berjumlah empat adalah (hari) Minggu, bukan musim Advennya. Masih belum paham? Begini, apakah benar mengatakan Senin Januari I, Selasa Januari I, Jumat Januari IV? Titik Pandang [Minggu III Adven, Tahun C]. Pada mulanya tidak ada susunan sistematis dan terencana untuk merayakan peristiwa-peristiwa Kristus. Secara evolusi gereja memberikan tanggapan atas peristiwa-peristiwa tersebut satu per satu yang dimula dari misteri Paska. Para tokoh gereja sejak abad II merapikan, membentuk, menyusun, dan merekayasa (to engineer) kisah teologinya sehingga menjadi bermakna, bertema, dan bercerita saling berurutan satu dengan lainnya. Hari raya liturgi merupakan drama sarat makna; suatu rekayasa gereja untuk memastori dan membina umat agar dapat lebih menghayati kisah Kristus menurut kesaksian Alkitab dalam bentuk perayaan. Masa Adven dibuat untuk memersiapkan umat meningkatkan spiritualitas guna menyambut puncak perayaan Natal dan diakhiri dengan Epifania. Advent creates people, new people, kata Dietrich Bonhoeffer. Adven bukan untuk mencetak orang Kristen soda gembira, yang berpesta dan bersemangat seperti buih yang keluar dari kaleng/botol minuman bersoda, namun tak seberapa lama ia kempis tak berdaya. Adven bukan soal penantian, melainkan apa yang kita kerjakan dalam masa penantian. Yohanes mengisi penantiannya dengan bekerja menyiapkan “infrastruktur” bagi Kristus. Namun bekerja tanpa standard operating procedure atau SOP dapat keliru. Adven berarti memberi pertolongan nyata kepada mereka yang membutuhkan pertolongan, bukan memberi nasihat. Adven berarti bekerja sesuai dengan kapabilitas, sesuai dengan wewenang, sesuai dengan SOP untuk menyiapkan masa depan yang lebih baik. Natal bisa dirayakan kapan saja, kata banyak orang. Pendapat itu omong kosong. Saya belum pernah melihat yang berpendapat seperti itu merayakan Natal pada Mei, Juni, Juli, Jupri. Seluruh hari raya tahunan umat Kristen bermula dari dan berpusat pada misteri Paska, kebangkitan Kristus. Perayaan Paska tahunan berangkat dari perayaan Paska pekanan. Umat Kristen perdana pada hari pertama (bahasa Indonesia menyebut Minggu) dalam pekan memiliki kebiasaan berkumpul, memecah roti, serta makan dan minum bersama (simposium). Perlu kita catat pada zaman doeloe hari baru dimula tepat sesudah matahari terbenam atau selepas Maghrib, bukan tengah malam. Umat Kristen perdana pada waktu itu tetap tidak meninggalkan kebiasaan ibadah pada Sabat (atau Sabtu), hari ketujuh dalam pekan. Sesudah mereka beribadah dilanjutkan dengan simposium pada Sabtu malam, yang sudah merupakan hari baru, hari pertama (atau Minggu) dalam pekan, hari kebangkitan Kristus. Dalam simposium ini mereka saling berbagi cerita atau ngobrol sampai larut malam bahkan pagi. Tema utama yang dibicarakan adalah kebangkitan Kristus dan karya-karya-Nya. Orang yang memiliki banyak pengetahuan mengajar. Kadang membosankan sehingga membuat pendengar mengantuk dan terjatuh (lih. Euthikus dalam Kis. 20:7-12). Para pendeta yang tidak lihai berkhotbah tidak perlu berkecil hati, karena Rasul Paulus pun membuat orang mengantuk dan terjatuh, bahkan mati. Ibadah Kristen tidak berangkat dari kekosongan atau kesengajaan rencana, melainkan dengan guliran dan kumparan narasi dan budaya untuk membangun makna. Kebiasaan bersimposium ini kemudian dijadikan ritual ibadah Minggu. Jadi, pada dasarnya ibadah Minggu adalah perayaan Paska, kebangkitan Kristus. Dari ibadah Minggu ini kemudian ditetapkan perayaan Paska tahunan. Tanggal Paska tahunan ditetapkan pada Minggu pertama sesudah Paska Yahudi (14 Nisan) atau Minggu pertama sesudah bulan purnama yang jatuh pada atau sesudah 21 Maret (equinox). Singkat cerita dari Paska tahunan itu ditetapkan masa Pra-Paska dan hari raya tahunan lainnya. Natal adalah hari raya tahunan “paling muda”. Seperti halnya Paska yang diawali dengan masa raya persiapan yang disebut Pra-Paska, Natal pun dibuat masa raya persiapan yang disebut Adven. Pada awalnya masa Adven dimula 40 hari sebelum Epifania, 6 Januari. Terjadi masalah karena permulaan masa Adven bukan berangkat dari hari pertama (Minggu). Akan tetapi Gereja Barat mengakhiri masa Adven sebelum 25 Desember, karena tanggal itu sudah ditetapkan sebagai kelahiran Yesus. Pada abad ke-6  Paus Gregorius Agung menetapkan masa adven dimula hari pertama (Minggu) dan ada empat Minggu sebelum Natal. Apabila Natal jatuh pada Minggu, maka Minggu itu tidak ikut dihitung. Masa Adven berakhir pada 24 Desember sebelum matahari terbenam. LDalam perayaan liturgi Adven Gereja menghidupkan lagi penantian akan Mesias. Dengan demikian umat beriman mengambil bagian dalam persiapan tercukupkan menjelang Sang Firman nuzul menjadi Manusia dan sekaligus membaharui di dalamnya kerinduan akan kedatangan-Nya kembali. Pada sisi satu umat beriman merefleksikan ulang dan didorong untuk merayakan kedatangan Kristus sekitar dua ribu tahun (lebih sedikit) lalu. Umat beriman merenungkan ulang misteri Sang Firman Nuzul menjadi Manusia. Pada sisi lain umat beriman mengingat dalam Syahadat bahwa Kristus akan datang kembali untuk mengadili orang yang hidup dan mati. Gereja membuat dua pembabakan leksionari untuk memudahkan umat menghayati makna Adven. Babak pertama, Minggu I dan II Adven pembacaan memerikan gatra eskatologis. Apa itu eskatologis? Secara sederhana eskatologis ialah penantian kedatangan kembali Kristus. Babak kedua, Minggu III dan IV Adven pembacaan memerikan gatra pengenangan (anamnesis) kelahiran Kristus. Pada 24 Desember sesudah matahari terbenam menurut tradisi adalah hari baru. Untuk itulah 24 Desember selepas Maghrib disebut Malam Natal, malam kelahiran. Frase Malam Natal tidak sama dengan Malam Minggu yang belum Minggu. Malam Natal adalah malam kelahiran, sudah Natal. Natal dimula 24 Desember selepas Maghrib. “Apa referensi kamu bilang Malam Natal sudah Natal?” “Lihat saja bacaan Alkitab sedunia pada Malam Natal dari Injil Lukas 2:1-14.” Pada mulanya tidak ada susunan sistematis dan terencana untuk merayakan peristiwa-peristiwa Kristus. Secara evolusi gereja memberikan tanggapan atas peristiwa-peristiwa tersebut satu per satu. Para tokoh gereja sejak abad II merapikan, membentuk, menyusun, dan merekayasa (to engineer) kisah teologinya sehingga menjadi bermakna, bertema, dan bercerita saling berurutan satu dengan lainnya. Hari raya liturgi merupakan drama sarat makna; suatu rekayasa gereja untuk memastori dan membina umat agar dapat lebih menghayati kisah Kristus menurut kesaksian Alkitab dalam bentuk perayaan. Dari pemaknaan perayaan liturgi di atas adalah sungguh tidak tepat merayakan Natal pada masa Adven. Merayakan Natal pada masa Adven tidak ubahnya seperti mengadakan halalbihalal di bulan Ramadan. Sama halnya merayakan idul Fitri di bulan puasa. Awal minggu adven ada teman merayakan natal. sepulangnya dia ngucapkan selamat natal kepada orang2 yg ditemuinya dg ucapan selamat natal. Semua pada bengong.

ALLAH YANG MERAPUH
Dalam kerapuhan insani, kita dipanggil untuk merayakan hidup dengan kebajikan. Kebajikan tumbuh karena dengan sengaja disemai, ditumbuh-kembangkan, dan dilatih melalui kebiasaan (habit) dan praktik-praktik sosial (social practices) hingga pada akhirnya menjadi kebajikan (Paulus Sugeng Widjaja, 2020, hal. 143). Ketika kita merayakan kerapuhan dengan kebajikan, kita menghayati bahwa setiap tindakan bajik kita bukanlah karena kita kuat, mampu melakukan tindakan baik, berhikmat, apalagi melakukan kebajikan demi mendapat nama baik dan imbalan. Tindakan bajik dilakukan karena kita terus menjai manusia bajik di tengah kerapuhan insani. Kesadaran sebagai pribadi yang rapuh menumbuhkan semangat untuk saling berbagi kehidupan, melangkah bersama dengan saling menularkan cinta, pengharapan, dan iman. Dengan tindakan-tindakan kebajikan itulah kita merayakan kerapuhan sebagaimana yang telah diteladankan Tuhan Yesus melalui kedatangan-Nya di dunia. Bagi sebagian kalangan, Natal kerap dianggap sebagai puncak perayaan keagamaan orang Kristen. Pengalaman membuktikan, tidak hanya gereja tapi setiap keluarga menyiapkan budget lebih untuk merayakannya. Dari berbagai pengalaman pula, dijumpai gereja-gereja secara tidak langsung berlomba-lomba untuk membuat pohon natal ter-unik, ter-besar, dan ter-ter yang lain. Karena itu, tidak jarang, membuat pohon natal termasuk hal yang paling dipusingkan oleh panitia natal. Mall-mall juga ikut ambil bagian dalam euforia Natal. Namum di sana, palungan dan bayi Yesus tidak jarang digantikan oleh tokohtokoh superhero dan animasi yang populer di kalangan anakanak. Mungkin Malam Natal di tengah pandemi saat ini menyadarkan kita akan betapa rapuhnya kita sebagai manusia. Sekaligus kita disadarkan bahwa kelahiran Yesus ditengah dunia ini penuh dengan unsur kerapuhan. Arti “Raja yang Merapuh” di sini bukan berarti Yesus menjadi tua dan renta, tidak berdaya. Namun Yesus memilih untuk jadi “rapuh”. Menjadi manusia dan terlibat dengan dunia yang penuh kerapuhan.Sang Raja yang Merapuh adalah Yesus Kristus yang lahir ditengah segala kerapuhan dunia ini. Merapuhnya Allah menjadi manusia adalah wujud cinta dan bela rasa yang sejati untuk memulihkan dunia ini dari kuasa jahat yang menguasai. Kelahiran Yesus menyadarkan kita akan Allah yang merapuh di tengah kerapuhan manusia. Kesedianya merapuh adalah wujud belarasa Allah pada dunia. Di sinilah kita diingatkan untuk menjauhkan diri dari sikap jumawa karena alasan apapun. Setelah kita menyadari bagaimana Sang Raja itu merapuh dan lahir di tengah dunia ini. Maka seharusnya fokus utama kita bukan lagi pada pernak pernik Natal dan dekorasinya. Namun pada Yesus yang lahir. Yesus yang mewujudkan cinta damai di dunia ini. Maka daripada menghabiskan waktu dan tenaga untuk membuat pohon natal, lebih baik mewujudkan cinta dan damai di tengah keluarga. Mungkin setahun berlalu banyak luka dan keretakan dalam keluarga. Selesaikanlah itu. Berkumpulah bersama keluarga, makan bersama, dan bukalah hati bagi anggota keluarga kita. Akuilah kesalahan kita, bertobat, dan mualilah lembaran yang baru.Surat Paulus kepada Titus mengajarkan bahwa perayaan yang benar seharusnya diwujudkan dalam bentuk sikap dan perbuatan yang benar juga. Manusia memang rapuh namun kasih karunia Allah yang menyelamatkan mendidik kita untuk meninggalkan kejahatan. Malam Natal ini mengajak kita lebih jujur terhadap diri kita sendiri juga terhadap apa yang menjadi fokus utama dalam perayaan Natal? Apakah ibadah yang megah? Dekorasi yang cocok buat selfie? atau Yesus Kristus yang lahir di palungan? Natal merupakan perayaan syukur yang melahirkan kebaikan bagi seluruh ciptaan. Bukan hanya meneruskan tradisi tetapi menciptakan kebaikan dalam situasi aktual saat ini. Pandemi Covid-19 merupakan situasi aktual yang membuat kita meratapi kehidupan. Realita hidup ini juga semakin menyadarkan akan kemelekatan kerapuhan kita sebagai ciptaan. Sehingga membutuhkan harapan dari Sang Pencipta. Berharap ada benih-benih yang tumbuh di tengah kemurungan yang harus kita jaga dan rawat. Berharap melalui tubuh-tubuh yang mati dapat memberikan dan menjadi pupuk bagi kehidupankehidupan baru. Harapan inilah yang disebut natalitas dalam kerapuhan. Natalitas merupakan keterlahiran setiap saat ke dalam kebaruan kekal. Hanna Arendt mengatakan prinsip dari natalitas ialah setiap manusia pada dasarnya memiliki kemampuan kreatif untuk melahirkan sesuatu yang baik bagi lingkungan masyarakat. Kemampuan kreatif ini merupakan cerminan dari Allah yang selalu melakukan tindakan-tindakan kreatif dalam mengupayakan keselamatan ciptaan. Melalui natalitas inilah akan membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi kehidupan yang senantiasa memperbarui dunia.Natal merupakan bentuk natalitas Allah yang kongkret. Allah yang tak terbatas dan terjangkau oleh ciptaan itu menjadikan dirinya terbatas untuk menjangkau dan merengkuh seluruh ciptaan dalam persekutuan cinta kasih-Nya yang kekal. Allah yang kekal masuk dalam kefanaan untuk merengkuh kerapuhan ciptaan-Nya. Dalam kerapuhan insani, kita dipanggil untuk merayakan hidup dengan kebajikan. Kebajikan tumbuh karena dengan sengaja disemai, ditumbuh-kembangkan, dan dilatih melalui kebiasaan (habit) dan praktik-praktik sosial (social practices) hingga pada akhirnya menjadi kebajikan (Paulus Sugeng Widjaja, 2020, hal. 143). Ketika kita merayakan kerapuhan dengan kebajikan, kita menghayati bahwa setiap tindakan bajik kita bukanlah karena kita kuat, mampu melakukan tindakan baik, berhikmat, apalagi melakukan kebajikan demi mendapat nama baik dan imbalan. Tindakan bajik dilakukan karena kita terus menjai manusia bajik di tengah kerapuhan insani. Kesadaran sebagai pribadi yang rapuh menumbuhkan semangat untuk saling berbagi kehidupan, melangkah bersama dengan saling menularkan cinta, pengharapan, dan iman. Dengan tindakan-tindakan kebajikan itulah kita merayakan kerapuhan sebagaimana yang telah diteladankan Tuhan Yesus melalui kedatangan-Nya di dunia. Natalitas dalam diri manusia dapat terjadi karena kemurahan dan kasih Allah. Bukan karena usaha kita, tetapi karena rahmat-Nya di dalam Sang Anak melalui Roh Kudus yang memberikan manusia kelahiran baru dan hidup baru. Sehingga bangsa Israel lama (dalam pembuangan) dapat menjadi Israel Baru yang Kudus, sebagai “orang-orang tebusan TUHAN” karena TUHAN tidak berdiam diri untuk mencari dan meninggalkan.Inkarnasi Allah dalam Yesus Kristus juga merupakan bentuk Natalitas Yesus dari Allah sehingga membuka harapanharapan baru bagi kehidupan. Oleh karena ketika Sang Firman itu berbicara tentang kasih. Ini bukan teori, tetapi seluruh hidupNya memperagakan itu. Ketika Ia berbicara tentang pengampunan, itu pun bukan sebuah dogma tetapi apa yang dipentaskan melalui kehidupan-Nya sehingga orang segera mengerti apa itu pengampunan. Ia tidak mengumbar kuasa dan mujizat-Nya untuk kepentingan diri sendiri. Ia melakukannya demi merengkuh kerapuhan ciptaan. Bagi orang percaya yang telah menerima natalitas tentu saja cintanya tidak lagi menjadi cinta yang ekslusif melainkan cinta kepada dunia (amor mundi) sebagaimana Allah mencintai dunia. Orang percaya dipanggil untuk menerjunkan diri ke dalam dunia dan membuahkan lagi natalitas-natalitas bagi sesama dan seluruh ciptaan. STT BAPTIS INJILI, CEPOGO, BOYOLALI, 2021, TITUS ROIDANTO

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...