Sekarang sedang berlangsung sidang Judicial Review UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh warga Papua, Ramos Petege. Dalam persidangan itu, pemerintah menegaskan menolak melegalkan pernikahan beda agama. Menurut laporan Detiknews, Sikap pemerintah ini diwakili oleh Menkumham dan Menag. Sikap pemerintah ini sangat disayangkan. Sikap ini tidak realistis di tengah bangsa yang multi kultural.
UU yang Multi Tafsir
Pasal 1 UU Perkawinan No 1/1974 menyatakan secara tegas bahwa: " Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Artinya, perkawinan itu antara seorang pria dan seorang wanita. Oleh karena itu, perkawinan antara pria dan wanita adalah dasar membentuk keluarga. Selama yang kawin itu pria dan wanita maka perkawinan itu tidak melanggar hukum apa pun dan tidak bertentangan dengan moralitas mana pun.
Meski demikian, Pasal 2 UU Perkawinan No 1/1974 itu menjadi multi tafsir. Isinya adalah ini: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu." Mereka yang mendukung kawin beda agama melihat pasal ini hanya berbicara tentang prosedur perkawinan agar sah secara agama. Tidak ada penolakan terhadap perkawinan beda agama. Sebaliknya, kaum yang tafsirannya menolak kawin beda agama menggunakan pasal dua ini untuk menggunakan tangan pemerintah, melalui Dukcapil, untuk menolak kawin beda agama
Penolakan terhadap perkawinan beda agama oleh pemerintah sangat disayangkan. Jelas, pemerintah tidak realistris karena mengabaikan kenyataan keanekaragaman masyarakat Indonesia. Penolakan paling keras datang dari pimpinan agama. Penolakan itu berdasarkan pada argumen teologis agama. Penolakan itu wajar dan sah saja. Demokratis kok!
Hanya harus dicatat. Kadang moralitas agama dan moralitas universal saling mendukung. Tetapi kadang moralitas yang didasarkan argumen teologis agama tertentu berbeda dengan moralitas universal dan berbeda juga dengan prinsip demokrasi yang menjunjung hak asasi manusia. Oleh karena itu, penolakan kawin beda agama berdasarkan tafsiran keagamaan tertentu seharusnya ada dalam ranah pastoral. Umat dibina secara persuasif untuk tidak kawin beda agama. Penolakan dari salah satu komunitas agama tidak boleh dijadikan ketetapan hukum dalam masyarakat demokratis yang beragam ini.
Alasan Teologis Penolakan
Pertanyaannya mengapa agama menolak perkawinan beda agama? Untuk ini, saya akan menelisik tradisi Israel. Sebenarnya dalam tradisi Israel sendiri ada pro-kontra terhadap kawin beda agama. Saya akan mulai dari alasan penolakan kawin beda agama.
Bila menelisik sejarah Israel kuno, penolakan terhadap perkawinan beda agama didasarkan atas dua alasan. Alasan pertama adalah adanya ketakutan perkawinan itu akan membuat umat Israel berpaling dari imannya kepada Tuhan. Ada kekhawatiran umat Israel yang menikah beda agama akan terpengaruh iman pasangannya, lalu menyembah ilah-ilah lain. Saat Israel kuno penolakan kawin beda agama tidak berurusan dengan ketakutan soal kuantitas yaitu turunnya jumlah penganut.
Alasan kedua, adalah kepongahan rohani dan sikap triumphalistik. Umat Israel merasa diri sebagai umat pilihan Allah yang harus dijaga kemurniannya. Umat lain dituding sebagai umat setan. Umat pilihan Allah adalah kaum beriman. Sebaliknya, umat lain kafir dan sesat. Umat Allah yang 'kasta'nya lebih tinggi haram menikah dengan umat lain yang kastanya lebih rendah. Alasan kedua ini menciptakan sikap dan mentalitas polaristik dan segregasi berdasarkan agama. Mentalitas polaristik yang eksklusif dan yang merupakan warisan kuno seperti ini sangat tidak kompatibel dengan masyarakat yang beranekaragam agama dan etnik.
Kawin Beda Agama di Alkitab
Di dalam Kitab Suci Kristen dan Yahudi hampir tidak ada ayat suci yang menyatakan secara tegas dukungan terhadap kawin beda agama. Meski demikian, kawin beda agama dilakukan oleh tokoh-tokoh utama Alkitab. Abraham, misalnya. Setelah kematian Sarah, menikah dengan Keturah. Dalam tafsiran, Keturah adalah Hagar orang Mesir yang tentu saja beda iman. Musa menikah dengan Ziporah, orang Midian. Boas menikah dengan Ruth orang Moab. Daud menikah dengan Betsheba, orang Het. Semua tokoh penting di atas, menurut genealogi yang disusun Matius, adalah nenek moyang Yesus. Jadi, nenek moyang Yesus adalah pelaku kawin beda agama dan beda etnik. Yesus manusia universal!
Jalan Pintas
Dalam masyarakat yang multi kultural, perkawinan beda agama itu tidak mungkin dielakkan. Orang akan melakukan cara apa saja termasuk mengambil jalan pintas agar bisa menikah dengan pasangannya yang beda agama. Mereka yang menikah adalah manusia dewasa yang mampu menentukan jalan hidupnya sendiri selama tidak bertentangan dengan moralitas dan tidak merugikan siapa pun. Mereka yang secara ekonomi kuat alias orang kaya bisa kawin di luar negeri. Misalnya di Singapore, Thailand, Australia atau Amerika Serikat.
Pasangan beda agama yang secara ekonomi pas-pasan akan menghadapi kendala yang sangat besar. Banyak yang nekad mau kawin beda agama tetapi mendapatkan hambatan lalu terjerumus melakukan 'kumpul kebo,' hidup bersama layaknya suami istri. Ada juga yang demi kawin dengan pasangannya terpaksa pindah agama. Mereka ini akan menjadi kaum munafik karena dipaksa memeluk agama yang tidak diyakininya. Ada yang pindah agama 'sementara'. Setelah kawin balik lagi ke agamanya. Agama pun jadi barang mainan. Siapa yang mesti disalahkan untuk praktek-praktek semacam ini? Yang pasti yang salah bukan pasangan yang beda agama itu karena mereka terpaksa melakukannya.
Penutup
Dari berbagai kasus di atas, nyatalah bahwa penolakan terhadap perkawinan beda agama sangatlah tidak realistis. Efeknya, penolakan terhadap kawin beda agama itu justru lebih banyak menghasilkan persoalan ketimbang memecahkan masalah. Dan, masalah yang paling utama adalah masih dipertahankannya mentalitas polaristik masa lalu yang tidak cocok lagi dengan kondisi bangsa kita yang sangat beragam.
5 Juli 2022 (T)
https://titusroidanto.blogspot.com/2022/07/produk-bernuansa-politis-undang-undang.html