Minggu, 28 Agustus 2022

PERKARA MENYEMBUHKAN ORANG KERASUKAN DI GERASA, SERIAL SUDUT PANDANG

PERKARA MENYEMBUHKAN ORANG KERASUKAN DI GERASA, SERIAL SUDUT PANDANG

Kaum Kristen fundamentalis menganut ideologi ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ค๐˜บ ๐˜ฐ๐˜ง ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ฆ ๐˜ฃ๐˜ช๐˜ฃ๐˜ญ๐˜ฆ atau ketiadasalahan Alkitab. Saya ambil contoh pengakuan iman dari satu gereja fundamentalis di Indonesia yang mendaku paling reformed dan paling injili: “… Kami percaya bahwa Alkitab tidak bersalah dalam segala hal yang diajarkannya termasuk hal-hal yang menyangkut sejarah dan ilmu.”
Alkitab tidaklah ditulis seperti yang mereka imani. Saya ambil contoh kitab Injil sinoptis: Matius, Markus, dan Lukas. Disebut sinoptis karena mirip. Injil Markus adalah Injil tertua dan terpendek yang terdiri atas 16 pasal. Bandingkan dengan Injil Matius (28 pasal) dan Injil Lukas (24 pasal). Injil Markus dijadikan sumber penulisan Injil Matius dan Lukas. Pengarang Injil Matius dan Lukas memodifikasi cerita Injil Markus dengan penambahan bahan dari sumber lain dan rekaan mereka sendiri. Mereka menyampaikan teologi mereka masing-masing.
Itu sebabnya pengkhotbah sering berbicara: “Marilah kita membaca Injil Yesus Kristus menurut Lukas …” atau “… Injil Yesus Kristus menurut Markus …”. Sayangnya (atau sialnya?) banyak pengkhotbah yang tidak setia pada ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ด๐˜ค๐˜ญ๐˜ข๐˜ช๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ mereka sendiri. Meskipun mereka membuat ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ด๐˜ค๐˜ญ๐˜ข๐˜ช๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ “… Injil Yesus Kristus menurut Lukas …” tetap saja mereka mencampuradukkan Injil-Injil lain ke dalam khotbah mereka seolah-olah kisah Injil adalah catatan sejarah. Misal, dalam berkhotbah pengkhotbah mengurutkan kisah kelahiran Yesus di palungan (Injil Lukas) yang disambung dengan kedatangan orang Majus (Injil Matius).
Contoh Injil Markus dijadikan sumber penulisan Injil Matius dan Lukas adalah kisah Yesus menyembuhkan orang kerasukan roh jahat di Gerasa (Mrk. 5:1-20, Luk. 8:26-39, dan Mat. 8:28-34). Injil Markus dan Lukas menyebut dua orang, sedang Injil Matius hanya satu orang. Mana yang benar? ๐˜“๐˜ฉ๐˜ข ๐˜ธ๐˜ฐ๐˜ฏ๐˜จ kitab Injil itu kisah teologis, bukan kisah sejarah, ya sesukanya pengarang Injil. Oleh karena itu tetaplah setia pada ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ด๐˜ค๐˜ญ๐˜ข๐˜ช๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ “… Injil Yesus Kristus menurut Lukas …”, bukan menurut Injil kelima karangan pengkhotbah sendiri hasil harmonisasi Injil sinoptis.
Dalam narasi bacaan Injil Lukas Yesus dari Galilea menyeberang ke tanah orang Gerasa. Setiba di sana Ia didatangi oleh orang yang dirasuki setan-setan (bentuk jamak). Ketika ia melihat Yesus, ia berteriak dan tersungkur dihadapan-Nya. Katanya, “Apa urusan-Mu dengan aku, hai Yesus Anak Allah Yang Mahatinggi? Aku memohon kepada-Mu, supaya Engkau jangan menyiksa aku." 
“Siapa namamu?” tanya Yesus.
“Namaku Legion.” jawabnya.
Setan-setan itu memohon kepada Yesus supaya Ia jangan memerintah mereka masuk ke dalam jurang maut. Mereka memohon agar pindah ke sejumlah besar babi yang berada di lereng gunung tak jauh dari sana. Yesus mengabulkan mereka dan pindah merasuki babi-babi itu. Kawanan babi itu terjun dari tepi jurang ke dalam danau  lalu mati lemas. 
Seluruh penduduk daerah Gerasa yang diberi tahu tentang kejadian itu meminta kepada Yesus meninggalkan mereka, sebab mereka sangat ketakutan. Yesus kemudian berlayar kembali. Orang yang telah ditinggalkan oleh Legion itu meminta agar diperkenankan menyertai-Nya. Akan tetapi Yesus menyuruh dia pergi, kata-Nya, "Pulanglah dan ceriterakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atasmu." Orang itu pun pergi mengelilingi seluruh kota dan memberitahukan segala apa yang telah diperbuat Yesus atas dirinya.
Seperti penjelasan di atas sumber penulisan Lukas 8:26-39 adalah Markus 5:1-20. Tampaknya tidak banyak yang  dimodifikasi Lukas atas bahannya termasuk “peta” geografis Markus yang ngawur dalam hal menempatkan “Gerasa” di tepi Danau Galilea (bdk. “Gadara” Mat. 8:28).
Konteks bacaan Minggu ini adalah cerita kedua dalam rangkaian empat cerita tentang kuasa Yesus:
• Lukas 8:22-25, kisah kuasa Yesus atas alam.
• Lukas 8:26-39, kisah kuasa Yesus atas setan dan roh jahat.
• Lukas 8:40-48, kisah kuasa Yesus atas penyakit-penyakit.
• Lukas 8:49-56, kisah kuasa Yesus atas kematian.
Secara umum rangkaian empat cerita itu tampaknya penulis Lukas hendak mengungkapkan kuasa Yesus sebagai Anak Allah yang Maha Tinggi (Luk. 8:28). Kuasa Yesus itu tidak terlepas dari misi Kerajaan Allah yang diemban-Nya. Pada gilirannya kuasa itu juga diberikan kepada para murid yang akan diutus-Nya tepat di perikop selanjutnya: Lukas 9:1-6 “Maka Yesus memanggil kedua belas murid-Nya, lalu memberikan tenaga dan kuasa kepada mereka untuk menguasai setan-setan dan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit.”
Lukas memodifikasi bahan dari Injil Markus dengan menambah keterangan tentang orang yang dirasuk setan “sudah lama ia tidak berpakaian dan tidak tinggal dalam rumah” (Luk. 8:27). Berpakaian dan tinggal di dalam rumah adalah cara hidup orang normal. Di sini Lukas ingin mengatakan bahwa orang itu berubah menjadi tidak normal. Ketika ia sudah disembuhkan Yesus, Lukas mengatakan bahwa “ia telah berpakaian dan sudah waras” (Luk. 8:35). Akan tetapi berhubung “telah berpakaian” di Lukas 8:35 berasal dari Markus 5:15, tambahan keterangan “tidak berpakaian” di Lukas 8:27 bisa dinilai sekadar koreksi Lukas atas cerita Markus dan tidak harus diberi pemaknaan teologis. Demikian juga dengan “tidak tinggal dalam rumah” di Lukas 8:27. Keterangan tambahan itu juga bisa dinilai sekadar koreksi Lukas karena “perintah pulang ke rumah” di Lukas 8:39 berasal dari Markus 5:19.
Lukas juga memodifikasi bahan Markus dengan mengatakan bahwa orang yang sudah disembuhkan Yesus itu “duduk di kaki Yesus”. Duduk di kaki Yesus mengungkapkan bahasa tubuh seorang murid yang siap mendengarkan ajaran gurunya. Bandingkan dengan Maria yang kemudian dipuji Yesus ketimbang saudaranya, Marta (Luk. 10:38-42).
Apabila kita membandingkan dengan cerita dalam Injil Markus, ada dua sorotan: orang yang kerasukan dan babi-babi (Mrk. 5:16-17). Terbuka kemungkinan bahwa “alasan” orang mengusir Yesus adalah (kematian) babi-babi itu, apalagi Markus mengeksplisitkan jumlahnya sekitar 2.000 babi. Kesannya orang-orang itu tidak rela, jika demi menyembuhkan satu orang saja “dikorbankan” 2.000 babi.
Penginjil Lukas barangkali menafsir cerita Markus seperti itu dan ia tidak suka sehingga Lukas sengaja menghapus semua penyebutan tentang babi sejak ayat 33 atau sejak babi-babi itu tenggelam. Dengan kata lain dalam cerita versi Lukas pumpunnya tetap satu: orang yang kerasukan setan itu. Lukas tidak ingin perhatian pembacanya beralih ke babi-babi itu.
Seperti saya sampaikan di atas bahwa Lukas 8:26-39 merupakan cerita kedua dalam rangkaian empat cerita tentang kuasa Yesus (Luk. 8:22-25; 8:26-39; 8:40-56). Kuasa Yesus itu adalah kuasa dari Allah. Sehubungan dengan itu kesaksian yang harus diceritakan oleh orang yang sudah disembuhkan itu adalah kesaksian tentang segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atas dirinya (Luk. 8:39).
Di akhir cerita Yesus pulang ke daerah Yahudi (Luk. 8:37). Orang yang sudah disembuhkan Yesus pulang ke rumahnya, rumah orang non-Yahudi, “Pulanglah ke rumahmu dan ceriterakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atasmu.” (liat Yesus tidak memaksa orang itu menjadi pengikutnya, bahkan ada kecenderungan menolak) Orang itu pun pergi mengelilingi seluruh kota dan memberitahukan segala apa yang telah diperbuat Yesus atas dirinya (Luk. 8:39).
“Rumah” di sini dapat juga bermakna kota tempat kita tinggal sebagaimana terungkap dalam frase “mengelilingi seluruh kota”. Pada dasarnya sama: kesaksian atau penginjilan tidak harus jauh-jauh dari tempat tinggal kita atau dari konteks kehidupan kita sehari-hari. Dalam banyak kasus kesaksian justru seharusnya dilakukan dalam konteks kehidupan kita sehari-hari. Bacaan Injil Lukas  ini mengingatkan kita bahwa babi-babi itu hanyalah pemain figuran. Apa yang sudah tenggelam, biarlah tenggelam! Penginjil Lukas mengajak kita berfokus menyembuhkan orang-orang kerasukan agama. (T)

Lapangan Pancasila
12.07.2022

SUDUT PANDANG INJIL, KISAH TEOLOGIS BUKAN KISAH HISTORIS, TAK PERLU DIHARMONISASI

SUDUT PANDANG INJIL, KISAH TEOLOGIS BUKAN KISAH HISTORIS, TAK PERLU DIHARMONISASI

Kaum Kristen fundamentalis menganut ideologi ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ค๐˜บ ๐˜ฐ๐˜ง ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ฆ ๐˜ฃ๐˜ช๐˜ฃ๐˜ญ๐˜ฆ atau ketiadasalahan Alkitab. Saya ambil contoh pengakuan iman dari satu gereja fundamentalis di Indonesia yang mendaku paling reformed dan paling injili: “… Kami percaya bahwa Alkitab tidak bersalah dalam segala hal yang diajarkannya termasuk hal-hal yang menyangkut sejarah dan ilmu.”
Alkitab tidaklah ditulis seperti yang mereka imani. Saya ambil contoh kitab Injil sinoptis: Matius, Markus, dan Lukas. Disebut sinoptis karena mirip. Injil Markus adalah Injil tertua dan terpendek yang terdiri atas 16 pasal. Bandingkan dengan Injil Matius (28 pasal) dan Injil Lukas (24 pasal). Injil Markus dijadikan sumber penulisan Injil Matius dan Lukas. Pengarang Injil Matius dan Lukas memodifikasi cerita Injil Markus dengan penambahan bahan dari sumber lain dan rekaan mereka sendiri. Mereka menyampaikan teologi mereka masing-masing.
Itu sebabnya pengkhotbah sering berbicara: “Marilah kita membaca Injil Yesus Kristus menurut Lukas …” atau “… Injil Yesus Kristus menurut Markus …”. Sayangnya (atau sialnya?) banyak pengkhotbah yang tidak setia pada ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ด๐˜ค๐˜ญ๐˜ข๐˜ช๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ mereka sendiri. Meskipun mereka membuat ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ด๐˜ค๐˜ญ๐˜ข๐˜ช๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ “… Injil Yesus Kristus menurut Lukas …” tetap saja mereka mencampuradukkan Injil-Injil lain ke dalam khotbah mereka seolah-olah kisah Injil adalah catatan sejarah. Misal, dalam berkhotbah pengkhotbah mengurutkan kisah kelahiran Yesus di palungan (Injil Lukas) yang disambung dengan kedatangan orang Majus (Injil Matius).
Contoh Injil Markus dijadikan sumber penulisan Injil Matius dan Lukas adalah kisah Yesus menyembuhkan orang kerasukan roh jahat di Gerasa (Mrk. 5:1-20, Luk. 8:26-39, dan Mat. 8:28-34). Injil Markus dan Lukas menyebut dua orang, sedang Injil Matius hanya satu orang. Mana yang benar? ๐˜“๐˜ฉ๐˜ข ๐˜ธ๐˜ฐ๐˜ฏ๐˜จ kitab Injil itu kisah teologis, bukan kisah sejarah, ya sesukanya pengarang Injil. Oleh karena itu tetaplah setia pada ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ด๐˜ค๐˜ญ๐˜ข๐˜ช๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ “… Injil Yesus Kristus menurut Lukas …”, bukan menurut Injil kelima karangan pengkhotbah sendiri hasil harmonisasi Injil sinoptis. Menggeneralisasi atau menyama ratakan serta membuat harmonisasi kisah-kisah teologis tiap Injil sama saja menghancurkan muatan atau makna kisah teologi tiap Injil. Kalau mau konsekuen membaca kisah teologis sebagai kisah historis, maka Yesus disalib dua kali. Penyaliban pertama sebelum hari Paska versi Injil Yohanes. Yesus bangkit. Yesus kemudian disalib lagi sesudah hari Paska versi Injil sinoptis. Yesus bangkit lagi.
Yohanes: Yesus pergi ke Yerusalem empat kali dan baru disalibkan di kali keempat.
Injil sinoptis: Yesus pergi ke Yerusalem satu kali dan langsung disalibkan.
Yohanes: Yesus memula pelayanan-Nya sebelum Yohanes Pembaptis ditangkap.
Injil sinoptis: Yesus memula pelayanan-Nya sesudah Yohanes Pembaptis ditangkap.

Yohanes: Yesus ditangkap dan dibawa ke Hanas, lalu ke Kayafas, lalu ke Pilatus, lalu disalibkan.
Matius dan Markus: Yesus ditangkap dan dibawa ke Mahkamah Agama, lalu ke Pilatus, lalu disalibkan.
Lukas: Yesus ditangkap dan dibawa ke Mahkamah Agama, lalu ke Pilatus, lalu ke Herodes, lalu balik ke Pilatus, lalu disalibkan.

Yohanes: Yesus disalibkan sebelum hari Paska (Nisan 14).
Injil sinoptis: Yesus disalibkan sesudah perjamuan Paska atau pada hari Paska (Nisan 15).

Markus: Pertemuan terakhir Yesus dengan para murid terjadi di Taman Getsemani pada hari penangkapan-Nya.
Matius: Pertemuan terakhir Yesus dengan para murid terjadi di sebuah bukit di Galilea pada hari Kebangkitan-Nya.
Lukas: Pertemuan terakhir Yesus terjadi di Betania (dekat Yerusalem) pada hari Kebangkitan-Nya.
Yohanes (I): Pertemuan terakhir Yesus terjadi di sebuah rumah seminggu sesudah Kebangkitan-Nya.
Yohanes (II): Pertemuan terakhir Yesus terjadi di tepi Danau Tiberias pada kali ketiga penampakan-Nya.
Kisah Para Rasul: Pertemuan terakhir Yesus terjadi di Bukit Zaitun sesudah 40 hari penampakan-Nya.

Perbedaan kronologi cerita Injil menjadi masalah besar bagi kaum fundamentalis yang ingin membela ajaran ineransi: laporan penulis Injil tidak memiliki kesalahan dalam hal apa pun. Demi membela doktrin itu, tak jarang solusi yang ditawarkan menjadi aneh.

Contoh membuat harmonisasi bacaan Injil yg malah jadi aneh Krn tiap Injil sebenarnya memuat kisah Injil yg berbeda - beda, lihat tulisan kaum fundamentalis berikut ini :

YESUS dan YUNUS
HARI JUMAT, HARI PENYALIBAN
==========================

"Yesus disalibkan pada hari Rabu!",
kata sekelompok Kristen.

"Inilah ketika orang non-Yahudi 
menggunakan perspektif non-Yahudi 
untuk menafsir tradisi Yahudi", jawab seorang rabi Yahudi merespon pernyataan ini.

"yang menyatakan Yesus disalib pada hari Rabu karena jumlah hari harus tiga hari tiga malam adalah statement orang yang sama-sekali tidak mengerti perhitungan hari orang Yahudi", respon tegas seorang rabi Yahudi lainnya.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 

Sayang memang, bagi penerima pre-dalil 'hari Rabu', kombinasi narasi Alkitab dan tradisi Yahudi sama sekali tidak memberikan jawaban yang mendukung pre-dalil ini, malahan, seluruh narasi Alkitab tentang penyaliban dan kebangkitan mendukung penyaliban terjadi pada hari Jumat.

Perhitungan hari orang Yahudi berbeda dengan perhitungan mainstream. Walau terlihat rumit, sebenarnya tidak, semua itu disebabkan karena kita hanya tak terbiasa dengan perhitungan ini. 

Orang Yahudi tidak menghitung hari dari jam 00.00 hingga jam 24.00 jadi jangan gunakan perspektif milenial umum untuk menghitung hari menurut tradisi Yahudi kuno.

Untuk mencari tahu hari apa Yesus disalibkan, cukup memperhatikan keterangan kata "hari persiapan" dalam perikop-perikop kematian-kebangkitan Yesus di kitab-kitab Injil.

Hari Persiapan dalam istilah Yunani, 'paraskeue' yang digunakan oleh penulis Perjanjian Baru mempunyai dua arti. Pertama, hari persiapan yang mendahului hari sabat mingguan. Kedua, hari persiapan sebelum Pesta Paskah tahunan (Josefus, Antique 16.163; lih Matius 27:62; Markus 15:42; Lukas 23:54). Yohanes 19 menyebut dengan mengacu pada kedua arti itu. 

Yohanes 19:14, hari persiapan Paskah, sering digunakan penerima predalil 'hari Rabu' untuk menguatkan predalil ini, dengan dalih "Paskah tidak jatuh pada hari Sabtu". Ini dalih yang lemah. Paskah bisa jatuh pada hari apa saja. Kemudian, ayat yang sama juga digunakan untuk menyebut "Sabat Besar", ini benar ada perayaan Sabat spesial, Paskah, tetapi menjadi tidak tepat jika perayaan ini dijadikan dasar untuk menolak semua narasi yang mengarah pada penyaliban terjadi pada hari Jumat, sebab semua narasi mengarahkan pada hari persiapan, yang berlaku hingga matahari terbenam pada hari Jumat. Seperti yang dijelaskan paragraf sebelumnya, Yohanes 19 menggunakan kata 'paraskeue', hari persiapan, untuk menyebut baik hari persiapan Paskah maupun hari persiapan Sabat. Pada Yohanes 19:14, `erev ha-pesakh ialah hari sebelum Paskah (bnd Pesakhim 10.1 Misynah). Dalam teks Yohanes 19:31,42 nama hari tidak dalam bentuk genitif, jadi di situ arti ungkapan ini ialah 'erev syabbat', hari persiapan sebelum hari sabat mingguan (seperti diterangkan dlm Markus 15:42).

Pada Markus 15:42 cukup jelas mencantumkan istilah-istilah, "hari persiapan", "Hari mulai malam", bahkan diperjelas lagi: "yaitu hari menjelang Sabat". 

Para pendukung "Hari Rabu" biasanya mengambil narasi pendukung bahwa para wanita yang mengikuti Yesus hingga ke kuburan tidak akan memiliki waktu untuk berbelanja persiapan Sabat, dan untuk membeli bahan-bahan yang akan dibawa ke kuburan Yesus sesuai cerita pada hari kebangkitanNya. Pernyataan ini memiliki dua kelemahan. Pertama, tidak semua wanita pergi hingga ke kuburan Yesus, hanya Maria Magdalena dan Maria ibu Yoses yang tiba di kuburan (Markus 15:47) dan hanya mereka berdua yang dimaksudkan dalam narasi Lukas (23:55). Jadi, informasi dimana kubur Yesus berasal dari mereka berdua, sedangkan wanita-wanita lain pulang terlebih dulu, selain untuk beristirahat karena lelah dan syok, juga tentu untuk mempersiapkan hari Sabat. Hal ini diperjelas dalam Lukas 23:56  "Dan setelah pulang, mereka menyediakan rempah-rempah dan minyak mur. Dan pada hari Sabat mereka beristirahat menurut hukum Taurat". Kedua, malam yang dimaksud bukan persis menjelang jam 6 sore, melainkan bagian awal dari malam, antara saat persembahan sore (jam 3 sore) dan matahari terbenam (sekitar jam 6 sore). Persiapan untuk penguburan harus dibuat sebelum permulaan hari Sabat saat matahari terbenam (bdg. Yohanes 19), artinya ada waktu untuk membeli bahan dan barang persiapan Sabat juga untuk persiapan penguburan Yesus. Untuk poin kedua ini harus diingat, tidak semua wanita menyertai hingga ke kubur Yesus. Sebenarnya untuk dalih ini, tidak ada keterangan dalam Alkitab bahwa Maria Magdalena yang berbelanja, melainkan, hanya dituliskan bahwa dialah yang paling pertama datang ke kubur Yesus, lalu disusul wanita-wanita lain sebelum Maria Magdalena berlari memanggil Simon Petrus dan seorang murid lain.

Dalih paling umum dari pendukung pre-dalil 'hari Rabu' adalah kematian Yesus harus mengacu pada lama waktu Yunus di dalam perut ikan besar, yaitu 72 jam. Dalih ini memiliki kelemahan mengacu pada tradisi penulisan waktu Yahudi. Tiga hari tiga malam bukan berarti 3 x 24 jam alias 72 jam, karena bagian dari satu hari atau satu malam bisa dianggap sehari atau semalam penuh menurut perhitungan Perjanjian Lama. Jumlah 49 jam tentu cukup untuk memenuhi penafsiran dari frasa tersebut (tafsiran Wycliff).

Tidak disebutkan bahwa badai yang melanda kapal Yunus terjadi pada malam hari. Jika badai itu terjadi pada siang dan Yunus dilemparkan sore ke laut kemudian dia ditelan ikan besar pada sore hari maka dalam perhitungan Yahudi, terutama jaman Perjanjian Lama, waktu itu terhitung siang yang pertama. Kemudian, matahari terbenam maka ini sudah masuk waktu malam (malam yang pertama); matahari pun terbit maka hari dihitung siang (siang kedua); matahari terbenam lagi (malam kedua); dan terbit lagi (siang ketiga); dan andaikata Yunus dimuntahkan ikan besar itu pada jam 18.10 pun, jika memang matahari telah terbenam, maka waktu itu sudah dihitung malam; sehingga narasi dalam kitab Yunus dituliskan "Yunus tinggal dalam perut ikan itu tiga hari tiga malam lamanya", arti sederhananya, 'tiga kali mengalami siang dan tiga kali mengalami malam'. Perhitungan yang samapun berlaku andaikata Yunus ditelan ikan besar pada malam hari.

Yesus pun demikian, tiga kali mengalami siang (terhitung dari Jumat sore) dan tiga malam (terhitung Sabtu malam-menjelang Minggu sunrise) dalam alam maut. Akan menjadi keliru jika menghitungnya baru dimulai dari saat Yesus dikuburkan, dengan dalih 'dari dalam perut bumi', sebab yang dimaksudkan 'perut bumi' adalah alam maut bukan kuburan fisik.

Simak semua penjelasan para penulis Injil tentang istilah Yahudi, hari persiapan, semua itu diperuntukan bagi para pembaca non-Yahudi agar tahu bahwa hari yang dimaksud adalah hari sebelum Sabat. Bahkan, demi hari Sabat, letak kubur pun diperhitungkan oleh mereka sebab mereka yang harus memelihara Sabat tidak boleh lagi menurunkan mayat siapapun disaat Sabat sehingga Yusuf dari Arimatea berinisiatif memberikan kubur miliknya yang masih baru untuk membaringkan jasad Yesus, bukan hanya karena hormatnya pada Yesus melainkan juga karena dia sadar letak kuburnya sangat dekat dari Golgota sehingga akan sempat membaringkan jasad Yesus disitu sebelum Sabat.

Tidak ada Hari Persiapan Sabat mengacu pada hari Rabu. Saya kutip dari penjelasan pak Jayatirta Irano Colly: "dalam kalender Yunani, kata 'Paraskeue' yang digunakan para penulis Perjanjian Baru untuk kata 'hari persiapan' adalah hari keenam dalam sepekan dan kata 'Sabbatos' adalah hari ketujuh". Artinya, para penulis Injil sadar betul bahwa hari persiapan yang mereka tuliskan adalah hari keenam, hari persis sebelum Sabat, yaitu hari yang berlangsung hingga pada saat matahari terbenam pada hari Jumat.



KELIHATANNYA BENAR, TAPI MERUSAK KISAH TEOLOGIS YANG DIANGKAT TIAP INJIL

Cepogo
Januari 2022 (TUS)

MEMAKNAI BAPTISAN DALAM CARA PANDANG BARU, SERIAL SUDUT PANDANG

MEMAKNAI BAPTISAN DALAM CARA PANDANG BARU, SERIAL SUDUT PANDANG
 
Seharusnya baptisan itu memupuk solidaritas, bukan perpecahan; tapi pada kenyataannya, baptisan justru lebih banyak menimbulkan polemik dan bahkan perpecahan gereja. Gereja pecah gara-gara beda pendapat soal cara atau metode baptisan. Ada yang bilang baptisan harus diselam; orang yang dibaptis harus ditenggelamkan seluruh tubuhnya. Yang tidak setuju, menyatakan hal yang berbeda. Bagi kelompok ini, saat baptisan terjadi yang penting adanya unsur air sebagai simbol pembersihan. Jadi, dipercik pun tidak soal. Metode selam atau percik menjadi polemik. Panas pula! Gereja pun terbelah. Masing-masing pihak mencari ayat suci untuk justifikasi posisinya. Kalau hanya itu sih tidak soal. Yang parah adalah ketika masing-masing kubu mulai menuding kubu lainnya sebagai sesat dan murtad.

Ada juga kasus lain, di mana baptisan justru menjadi sumber pertikaian dan konflik. Kasus baptisan anak, misalnya. Martin Luther pernah menyatakan bahwa anak-anak harus menerima baptisan, sementara kaum Anabaptis tidak setuju. Mereka menolak tegas ajaran Martin Luther. Bagi mereka, anak-anak tidak perlu dibaptis karena baptisan membutuhkan pengakuan percaya dari yang dibaptis. Padahal anak-anak belum bisa mengaku percaya. Jadi, bagi kaum Anabaptis, anak-anak diserahkan saja. Baptisan hanya berlaku bagi orang dewasa karena orang dewasa sudah mampu menyatakan iman dan keyakinannya. Penolakan kaum Anabaptis membangkitkan kemarahan Luther. Anabaptis dianggap sesat. Kemudian, Luther, yang dekat dengan kekuasaan politik, menggunakan ‘pengaruhnya’ untuk memaksa pemerintah mengejar dan mempersekusi kaum Anabaptis.

Baptisan bisa menjadi sumber bencana kemanusiaan bila dipahami secara salah. Misalnya ketika baptisan dianggap sebagai tanda ‘pemisahan’ umat Kristen dari umat non-Kristen. Interpretasi seperti  inilah yang memunculkan teologi yang polaristik dan dualistik. Umat ‘yang sudah dibaptis’ menganggap dirinya sebagai umat Allah; sedangkan umat yang belum dibaptis atau tidak mau dibaptis dituding sebagai pengikut iblis. Yang dibaptis merasa diri anak terang, sementara yang belum atau tidak mau dibaptis dituding sebagai anak setan. Secara personal, baptisan memicu rasa ‘pongah’ spiritual. Dalam Alkitab, kepongahan spiritual muncul dalam diri kaum Farisi. Secara sosial, baptisan menimbulkan konflik dan perpecahan dalam masyarakat.

Menjadi pertanyaan, mengapa ritual keagamaan yang suci seperti baptisan justru menjadi sumber konflik dan perpecahan? Jawabnya adalah; kesalahan bukan terletak pada baptisannya, tetapi pada manusia berdosa yang memperjuangkan egoisme dan kepongahannya. Lalu bagaimana kita memaknai baptisan? Sesungguhnya baptisan itu harus dimaknai sebagai solidaritas Yesus Kristus kepada umat manusia dan dunia. Baptisan pada jaman Yohanes adalah tanda pertobatan. Yesus tidak membutuhkannya. Tetapi, Yesus bersedia dibaptis. Inilah bukti kerendahan hati dan solidaritasNya dengan manusia yang berdosa.

Melalui baptisanNya, Allah dalam Yesus menyatakan ‘YA’ kepada manusia sebelum manusia mengatakan “YA” kepada Allah. Ini adalah anugerah! Dalam anugerah Allah terdapat solidaritasNya; anugerah adalah ketika Allah menerima dan mengasihi semua orang tanpa syarat. Dalam anugerah Allah ini tidak ada ‘double predestination’, keyakinan bahwa ada yang ditentukan untuk diterima dan diselamatkan, dan ada yang ditentukan untuk ditolak. Menyatakan bahwa Allah adalah sumber anugerah berarti percaya bahwa semua orang diterima dan dikasihiNya, semua orang adalah obyek cinta kasih Allah. “Allah tidak membedakan orang,” kata Petrus.

Kalau begitu, orang bertanya, apa makna baptisan yang kita terima? Baptisan yang kita terima jangan pernah dianggap sebagai ‘tiket’ keselamatan. Seolah Allah seperti penjaga bioskop yang memisahkan antara yang punya tiket dengan yang tidak memiliki tiket. Bila baptisan dianggap ‘tiket’, maka ada milyaran orang yang tidak tahu tentang ‘tiket’, akan mati sia-sia. Dan ini berarti Allah tidak adil, Allah tanpa anugerah! Jadi, memandang baptisan seperti ‘tiket’ bertentangan dengan  ajaran tentang anugerah, yaitu bahwa Allah menerima dan mengasihi siapa pun tanpa syarat. Oleh karena itu, baptisan harus dipahami secara berbeda. Orang yang dibaptis adalah orang yang mampu melihat dan memahami bahwa anugerah Allah itu melewati batas-batas ‘imajiner’ apa pun. Orang yang dibaptis adalah mereka yang gembira saat melihat anugerah Allah mengalir bebas ke mana pun dan kepada siapa pun. Orang yang dibaptis tidak akan bersikap seperti si anak sulung yang marah besar serta iri hati ketika Sang Bapa menerima dan mengasihi anak yang tidak pantas untuk dikasihi. Baptisan adalah anugerah bagi kita untuk memahami Allah yang memiliki  kebesaran cinta yang tanpa batas. Bila dipahami seperti ini, baptisan tidak akan lagi menjadi sumber konflik dan perpecahan; sebaliknya, baptisan menjadi inspirasi yang membangun solidaritas cinta kita kepada sesama, apa pun etnik, gereja dan agamanya.

Cepogo
23.07.2022 (T)

SUDUT PANDANG DOA BAPA KAMI DALAM SUDUT PANDANG INJIL BERBEDA

SUDUT PANDANG DOA BAPA KAMI DALAM SUDUT PANDANG BEBERAPA INJIL

Kitab Injil tertua dalam Alkitab yang kita pegang saat ini adalah Injil Markus. Injil Markus kemudian menjadi sumber penulisan Injil Matius dan Lukas. Secara sederhana apabila ada kemiripan dalam ketiga Injil, diduga pengarang Injil Matius dan Lukas merujuk Injil Markus sebagai sumber.

Apabila ada kemiripan teks di Injil Matius dan Lukas, tetapi tidak ada di Injil Markus, kemungkinan penulis Injil Matius dan Lukas mengambil Sumber Q (dari kata bahasa Jerman ๐˜˜๐˜ถ๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ญ๐˜ฆ yang berarti sumber). Sumber Q merupakan ucapan-ucapan lepas Yesus tanpa konteks. Apabila ada teks unik di Injil Matius dan Lukas itu berarti pengarang Injil memiliki sumber sendiri atau hasil kreasi sendiri.

Saya mengakui para pengarang Injil itu hebat. Mereka melakukan sigi besar sebelum menulis Injil. Padahal dua ribu tahun lalu belum ada perpustakaan daring.

Contoh kemiripan teks yang ada di Injil Matius dan Lukas, tetapi tidak ada di Injil Markus, adalah “Doa Bapa Kami”. Dalam Injil Matius “Doa Bapa Kami” diberi konteks rangkaian pengajaran Yesus dalam pasal 5 sampai 7 yang kita kenal dengan “Khotbah di Bukit”. Bagaimana dengan versi Injil Lukas?

Bacaan Injil Lukas 11:1-13 saya kutipkan ayat 1-4 dari Alkitab LAI TB II 1997: Pada suatu kali Yesus sedang berdoa di suatu tempat. Ketika Ia selesai berdoa, berkatalah seorang dari murid-murid-Nya kepada-Nya: ”๐˜›๐˜ถ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฏ, ๐˜ข๐˜ซ๐˜ข๐˜ณ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ช ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฅ๐˜ฐ๐˜ข, ๐˜ด๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ต๐˜ช ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ข๐˜ซ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ ๐˜ฐ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ด ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ณ๐˜ช๐˜ฅ-๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ณ๐˜ช๐˜ฅ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข.” Jawab Yesus kepada mereka: ” ๐˜ˆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฃ๐˜ช๐˜ญ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฅ๐˜ฐ๐˜ข, ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ต๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ: ๐˜‰๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข, ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ด๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข-๐˜”๐˜ถ; ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜’๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ซ๐˜ข๐˜ข๐˜ฏ-๐˜”๐˜ถ. ๐˜‰๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ช ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ต๐˜ช๐˜ข๐˜ฑ ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ณ๐˜ช ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ช ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ค๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ฑ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ช๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ช ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฅ๐˜ฐ๐˜ด๐˜ข-๐˜ฅ๐˜ฐ๐˜ด๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ช, ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ฃ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ช ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ช ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ต๐˜ช๐˜ข๐˜ฑ ๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ด๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ช; ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ช ๐˜ฌ๐˜ฆ ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ฎ ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ค๐˜ฐ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ข๐˜ฏ.” 

• “Doa Bapa Kami” di Injil Lukas lebih ringkas daripada versi Injil Matius (Mat. 6:9-13).
• “Doa Bapa Kami” di Injil Lukas diajarkan sesudah Yesus berkunjung ke rumah Marta dan sesudah Maria “duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya” (Luk. 10:39). 
• “Doa Bapa Kami” di Injil Lukas diajarkan Yesus sesudah Yesus selesai berdoa (Luk. 11:1). 
• “Doa Bapa Kami” di Injil Lukas diajarkan Yesus sesudah para murid meminta diajarkan berdoa (Luk. 11:1).
• “Doa Bapa Kami” yang diajarkan Yesus di Injil Lukas adalah jawaban dari permintaan para murid (Luk. 11:1).

Perbedaan konteks dari “Doa Bapa Kami” versi Matius dan versi Lukas itu membuktikan bahwa pada mulanya “Doa Bapa Kami” merupakan ucapan-ucapan Yesus yang beredar tanpa konteks atau ucapan-ucapan lepas atau Sumber Q. Baru kemudian pada saat Injil ditulis ucapan-ucapan lepas itu diberi konteks oleh pengarang Injil. Konteks itu pada gilirannya memberi makna pada ucapan-ucapan lepas itu.

๐——๐—ฎ๐˜๐—ฎ๐—ป๐—ด๐—น๐—ฎ๐—ต ๐—ž๐—ฒ๐—ฟ๐—ฎ๐—ท๐—ฎ๐—ฎ๐—ป-๐— ๐˜‚. Kerajaan Allah belum datang. Masih perlu didoakan agar datang. Tampaknya Kerajaan Allah yang dimaksud dalam doa itu adalah Kerajaan Allah pada akhir zaman atau Kerajaan Allah “sepenuhnya.”  Dalam iman Kristen Kerajaan Allah sudah, sedang, dan akan datang.

๐— ๐—ฎ๐—ธ๐—ฎ๐—ป๐—ฎ๐—ป ๐˜€๐—ฒ๐˜๐—ถ๐—ฎ๐—ฝ ๐—ต๐—ฎ๐—ฟ๐—ถ. Dalam versi Matius permintaan makanan secukupnya pada hari ini (saja). Menurut Lukas itu tidak cukup. Yang cukup adalah makanan secukupnya setiap hari.

“Doa Bapa Kami” versi Lukas dilanjutkan dengan perumpamaan tentang seorang sahabat yang tidak tahu malu meminta.

Lalu kata-Nya kepada mereka: ”๐˜‘๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฅ๐˜ช ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ณ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข๐˜ช ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ด๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฃ๐˜ข๐˜ต ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ฎ ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜จ๐˜ช ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ต๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข: ๐˜š๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฃ๐˜ข๐˜ต๐˜ฌ๐˜ถ, ๐˜ฑ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ต๐˜ช๐˜จ๐˜ข ๐˜ณ๐˜ฐ๐˜ต๐˜ช, ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ฃ ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ด๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฃ๐˜ข๐˜ต๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ฎ ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ซ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ด๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ๐˜จ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฌ๐˜ฆ ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฉ๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ต๐˜ช๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข๐˜ช ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข-๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฉ๐˜ช๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข; ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ด๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ช๐˜ข ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฅ๐˜ช ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ฎ ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ช๐˜ต๐˜ถ ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ซ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ฃ: ๐˜‘๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜จ๐˜ถ ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ถ, ๐˜ฑ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ ๐˜ด๐˜ถ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ต๐˜ถ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฑ ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ต๐˜ข ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฌ-๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ด๐˜ถ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ต๐˜ช๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ณ; ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ต๐˜ช๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข๐˜ต ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ถ๐˜ฏ ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ. ๐˜ˆ๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ต๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ: ๐˜š๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ญ๐˜ช๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ ๐˜ช๐˜ข ๐˜ต๐˜ช๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ถ ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ถ๐˜ฏ ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ช๐˜ต๐˜ถ ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ด๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฃ๐˜ข๐˜ต๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข, ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ฏ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ด๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ต๐˜ช๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ญ๐˜ถ ๐˜ช๐˜ต๐˜ถ, ๐˜ช๐˜ข ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ถ๐˜ฏ ๐˜ซ๐˜ถ๐˜จ๐˜ข ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข. ๐˜’๐˜ข๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ช๐˜ต๐˜ถ ๐˜ˆ๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ต๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ: ๐˜”๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ, ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ; ๐˜ค๐˜ข๐˜ณ๐˜ช๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ, ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข๐˜ต; ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ, ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข ๐˜ฑ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฃ๐˜ข๐˜จ๐˜ช๐˜ฎ๐˜ถ. ๐˜’๐˜ข๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ต๐˜ช๐˜ข๐˜ฑ ๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข, ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ฎ๐˜ข ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ต๐˜ช๐˜ข๐˜ฑ ๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ค๐˜ข๐˜ณ๐˜ช, ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข๐˜ต ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ต๐˜ช๐˜ข๐˜ฑ ๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ฆ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฌ, ๐˜ฃ๐˜ข๐˜จ๐˜ช๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ฑ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ. (Luk. 11:5-10; TB II 1997)

Tidak tahu malu di sini bukan berarti memalukan. Orang itu tidak malu mengakui kekurangannya, tidak malu mengakui tidak punya apa-apa.

Rangkaian ajaran tentang berdoa ini ditutup dengan penegasan bahwa Allah pasti akan menjawab doa permintaan umat-Nya karena Allah adalah Bapa yang baik. “๐˜‰๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฅ๐˜ช ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ณ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ, ๐˜ซ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ, ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ณ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ช๐˜ต๐˜ถ ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฃ๐˜ข๐˜จ๐˜ข๐˜ช ๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ต๐˜ช ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ? ๐˜ˆ๐˜ต๐˜ข๐˜ถ, ๐˜ซ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข ๐˜ช๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ณ, ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ซ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ฌ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ? ๐˜‘๐˜ข๐˜ฅ๐˜ช, ๐˜ซ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜ต ๐˜ต๐˜ข๐˜ฉ๐˜ถ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ข๐˜ฏ ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ช๐˜ฌ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฌ-๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฎ๐˜ถ, ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜จ๐˜ช ๐˜‰๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฅ๐˜ช ๐˜ด๐˜ถ๐˜ณ๐˜จ๐˜ข! ๐˜๐˜ข ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜™๐˜ฐ๐˜ฉ ๐˜’๐˜ถ๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ด ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข-๐˜•๐˜บ๐˜ข.” (Luk. 11:11-13; TB II 1997)

Lukas 11:13 terasa rada aneh. Pada ayat 11 dan 12 hal yang dibicarakan adalah makanan: ikan dan telur.
๐˜’๐˜ฐ๐˜ฌ tiba-tiba ada Roh Kudus? Tidak mudah untuk dijawab.

Seperti saya jelaskan di atas bahwa Lukas diduga menggunakan Sumber Q. Matius juga menggunakan Sumber Q.

Versi Matius: “๐˜‘๐˜ข๐˜ฅ๐˜ช, ๐˜ซ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜ต ๐˜ต๐˜ข๐˜ฉ๐˜ถ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ข๐˜ฏ ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ช๐˜ฌ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฌ-๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฎ๐˜ถ, ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜จ๐˜ช ๐˜‰๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฅ๐˜ช ๐˜ด๐˜ถ๐˜ณ๐˜จ๐˜ข! ๐˜๐˜ข ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ช๐˜ฌ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข-๐˜•๐˜บ๐˜ข" (Mat. 7:11; TB II 1997). Tidak ada yang aneh di versi Matius. Matius tampaknya sekadar mengikuti “kesimpulan logis” yang diberikan Sumber Q bahwa Allah akan memberikan “yang baik.”

Pengarang Injil Lukas tampaknya “merenungkan” lebih lanjut kesimpulan itu: apa ya kira-kira “yang baik” itu? Nah, menurut Lukas, "yang baik" itu adalah Roh Kudus. Allah akan memberikan yang baik, yaitu Roh Kudus.

Dari sini semoga kita makin memahami bahwa Kitab Injil (dan kitab-kitab lainya di dalam Alkitab) tidak jatuh utuh dari langit. Setiap pengarang memiliki narasi masing-masing dalam menyampaikan teologi mereka yang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan narasi tidak perlu membuat kita berpusing kepala mendamaikan atau mengharmoniskan. Keberanekaan itu justru membawa maslahat bagi kita bahwa kesaksian tentang Yesus tidaklah tunggal. Orang Kristen tidak boleh mengurung Yesus dalam ajaran tunggal dan mendaku penafsiran mereka yang benar. Penafsiran itu bukan soal benar atau salah, melainkan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.


Jakarta
24.07.2023 (TUS)

AKUNTABILITAS: Anugerah Memberi, Anugerah Mengelola! , SERIAL SUDUT PANDANG

AKUNTABILITAS: Anugerah Memberi, Anugerah Mengelola! , SERIAL SUDUT PANDANG
  
Kasus yayasan ACT (Aksi Cepat Tilep๐Ÿคญ๐Ÿ˜๐Ÿ˜„) yang diangkat majalah Tempo telah menjadi trending topik. Banyak orang heboh karena gaji para petinggi ACT sangat besar, nyaris setara dengan gaji CEO di berbagai perusahaan besar milik BUMN. Belum lagi fasilitas mewah yang dinikmati para petingginya. Sungguh ironis, dana sumbangan masyarakat untuk menolong kaum miskin dan yang terkena musibah, justru disalahgunakan untuk memperkaya para petinggi ACT. Padahal Yayasan ini cukup mendapatkan kepercayaan masyarakat karena kepiawaiannya dalam penggunaan bahasa agama demi untuk menarik dana. Hal yang menggembirakan dari kasus ACT ini adalah; kemungkinan masyarakat akan menuntut keterbukaan dan akuntabilitas keuangan yayasan atau institusi agama apa pun. Masyarakat pasti semakin tahu bahwa institusi agama pun berpotensi menyalah-gunakan dana.

Belum lama ini lembaga survei Gallup dari Amerika Serikat mengeluarkan temuan yang cukup memprihatinkan. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat pada gereja dan lembaga keagamaan hanya berkisar sekitar 36%; ini berarti tingkat kepercayaan yang sangat rendah. Lembaga yang paling dipercaya justru militer dan perusahaan-perusahaan berukuran kecil. Profesi yang paling dipercaya pun bukan Pendeta atau profesi keagamaan, tetapi perawat. 89% masyarakat Amerika Serikat menaruh kepercayaan mereka kepada para perawat karena kejujuran, profesionalitas dan moralitas mereka dalam melayani pasien. Tingginya tingkat kepercayaan pada lembaga militer dan pada profesi perawat menunjukkan tingginya level akuntabilitas yang dimiliki. Sebaliknya, rendahnya tingkat kepercayaan pada institusi gereja dan pada lembaga keagamaan menunjukkan betapa rendahnya penilaian masyarakat terhadap akuntabilitas lembaga agama. Ini adalah temuan yang memprihatinkan, sekaligus pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan.


Kerja dan Kinerja

Akuntabilitas tidak secara langsung berhubungan dengan kerja. Akuntabilitas erat kaitannya dengan kinerja seseorang atau suatu lembaga. Kerja tanpa kinerja adalah aktifitas tanpa prestasi. Kerja tanpa kinerja adalah kesibukan tanpa arah dan tanpa tanggungjawab.  Kinerja artinya bekerja dengan penuh komitmen, integritas, cinta dan tanggungjawab, demi kebaikan yang dilayani. Saat seorang ibu memberi makan anak-anaknya, dia tidak melakukan aktifitas pelayanannya itu asal-asalan; yang penting pada makan. Sebaliknya, sang ibu pasti akan memberikan pelayanan yang terbaik, pelayanan yang sepenuh hati dan penuh tanggungjawab. Pelayanan itu didasari oleh cinta yang kuat kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, pelayanannya bukan ditujukan demi keuntungan diri pribadi; bukan juga demi kepuasan dirinya; sama sekali tidak. Pelayanannya itu dilakukan demi kebahagiaan anak-anaknya. Kepuasan dan kebahagiaan anak-anaknya adalah ukuran keberhasilan pelayanannya. Jadi, bukan sekedar kerja, asal sibuk tak ada ‘juntrungan.’ Ini adalah kinerja!; kerja berprestasi. Nah, seorang yang hatinya diliputi kasih Tuhan tidak akan bekerja asal-asalan, tidak juga melayani demi kepentingan dirinya. Sebaliknya, dia akan bekerja dengan serius, dengan segenap hati, dengan penuh komitmen dan tanggungjawab demi cintanya kepada Tuhan.


Tantangan Masa Kini

Tantangan bagi gereja dan lembaga keagamaan pada masa kini adalah merebut kembali kepercayaan umat dan masyarakat. Caranya? Meningkatkan akuntabilitas moral yang sangat tinggi. Akuntabilitas ini ditunjukkan dengan mendorong para pelayan gereja dan lembaga keagamaan menunjukkan kinerja yang semakin baik yang dirasakan umat dan masyarakat. Kinerja yang baik berarti bekerja dengan giat, penuh komitmen, kejujuran, dan penuh tanggungjawab demi kebaikan dirinya, kebaikan institusi keagamaan yang dilayaninya dan demi kebaikan umat dan masyarakat yang dilayaninya. Kinerja yang baik bukan dicapai dengan sekedar meningkatkan kompetensi para pelayan. Kompetensi tanpa moralitas yang kuat, tidak berguna apa pun. Kinerja yang baik adalah gabungan dari peningkatan kompetensi dan perbaikan kualitas moral dan etik dalam pelayanan.

Antropologi Kristen menyatakan bahwa manusia itu bersifat ambigu. Pada satu sisi, manusia itu the image of God yang memiliki kapasitas melakukan kebaikan. Pada sisi lain, manusia adalah juga human sin, manusia berdosa yang dalam kerapuhan moralnya memiliki potensi menyeleweng. Nah, gambaran yang realistis terhadap manusia ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas moral dan etik para pelayan tidak cukup disandarkan pada kesadaran pelayannya yang memang rapuh. Kualitas moral dan etik seseorang hanya bisa terwujud bila diciptakan sistem yang transparan dan akuntabel. Ada tuntunan, tetapi sekaligus ada juga pengawasan pada tindakan, pada berbagai kebijakan dan keputusan internal dan eksternal, dan terutama pada penggunaan keuangan gereja dan lembaga keagamaan. Berdasarkan antropologi Kristen di atas, kita diingatkan bahwa manusia yang baik akan menjadi rusak dalam sistem yang buruk. Sebaliknya, manusia yang jahat ‘dipaksa’ menjadi lebih baik dan lebih jujur dalam sistem yang baik, yang transparan dan akuntabel.


Anugerah Memberi

Sering institusi agama, termasuk gereja, mengingatkan umat untuk mampu memberi dan menjadi berkat bagi siapa pun. Memberi adalah anugerah terbesar yang dimiliki oleh mereka yang ‘kaya’ hatinya. Mereka dipenuhi ucapan syukur karena merasakan kelimpahan di tengah situasi apa pun. Sebaliknya, ada yang kaya harta tetapi miskin hati. Mereka ini penuh dengan keluhan dan jeritan, karena selalu merasakan kekurangan. Sesungguhnya mereka miskin, karena itu tidak mampu memberi apa pun. Tentu saja yang ideal adalah kaya hati sekaligus kaya harta. Mereka akan menjadi filantropis sejati. Bagi mereka, kekayaan itu adalah titipan Tuhan bagi yang membutuhkan.

Kasus ACT mengingatkan kita bahwa yang terpenting bukan saja mendorong orang untuk memberi. Ada aspek lain yang sama pentingnya, yaitu pengelolaan dan penyaluran dana pemberian itu secara transparan dan akuntabel. Memang, yang Tuhan berikan bukan saja anugerah memberi, tetapi juga anugerah mengelola. Keduanya sama pentingnya. Komitmen, kesetiaan, dan cinta kita kepada Tuhan, serta pertimbangan moral-etis dan kemanusiaan harus dimiliki dalam pengelolaan dana umat. Gereja dan lembaga keagamaan yang dikelola tanpa menjalankan prinsip moral-etis adalah perampok berjubah rohaniawan. Mereka adalah drakula penghisap darah umat dan masyarakat. Gereja dan lembaga yang akuntabel memandang pemberian umat sebagai titipan Tuhan yang ditujukan untuk menjadi berkat bagi sesama, terutama bagi mereka yang sangat membutuhkan. Melihat hasil penelitian Gallup di atas, rasanya sudah saatnya kita mencari pelayan yang melayani dalam cinta, komitmen serta tanggungjawab bagi sesama dan bagi kemuliaan Tuhan

24.05.2022 (T)

Sabtu, 27 Agustus 2022

Apakah Kebenaran Itu? Melirik kasus Brigadir J, Serial Sudut Pandang

Apakah Kebenaran Itu? Melirik kasus Brigadir J, Serial Sudut Pandang
 
Motif terbunuhnya Brigadir Joshua masih kabur. Kebenaran belum terungkap. Maklum ada berbagai upaya mencegah terungkapnya kebenaran. Pengakuan Irjen. Ferdy Sambo pun termasuk di situ. Ferdy Sambo berupaya mengaburkan kebenaran. Dia berbohong! Berbagai cerita liar pun makin berseliweran di media sosial. Muncul berbagai versi cerita, baik dari institusi kepolisian, Komnas HAM, LPSK, Komnas Perempuan, wartawan, dan sebagainya. Kadang ada potongan-potongan cerita yang hampir sama, tetapi banyak yang saling bertentangan. 

Percayalah, masyarakat menyoroti peristiwa ini dengan sangat kritis. Mengapa? Karena ini bukan soal kemanusiaan, tetapi juga karena peristiwa ini pun menyangkut keamanan masyarakat. Peristiwa tragis ini melibatkan banyak oknum kepolisian. Dan kita tahu bahwa tugas kepolisian adalah menjaga dan menjamin hak, kenyamanan dan keamanan seluruh masyarakat. Bila secara moral oknum polisinya bermasalah, ujungnya masyarakat juga akan menjadi korbannya. Jadi, tidak heran bila masyarakat mempertanyakan mengapa hasil otopsi yang pertama berbeda dari yang kedua. Versi mana yang paling mendekati kebenaran? Kini, integritas institusi kepolisian yang hampir runtuh dipertaruhkan. Masyarakat mengharapkan kasus ini ditelanjangi dan kebenaran terungkap. Jadi, sejak awal yang dipertaruhkan dalam kasus ini adalah kebenaran. Tetapi, apakah kebenaran itu?
 
Apakah Kebenaran Itu?

Sidney Hook, filsuf aliran pragmatisme dari Amerika Serikat, menceritakan sebuah joke yang diambilnya dari Newsweek. Cerita itu begini: ketika Gagarin, astronot Uni Soviet, kembali ke bumi sesudah penerbangannya ke luar ruang angkasa, Kruschev bertanya kepadanya secara diam-diam: ” Adakah anda di angkasa luar melihatNya. Boleh anda menceritakannya kepada saya. Saya tidak akan meneruskannya.” “Ya saya telah melihatNya,” jawab Gagarin. Kata Kruschev pula, “Pikir saya memang begitu, tetapi janganlah menceritakan kepada siapa pun juga. Kalau diceritakan, seluruh gerakan komunis akan runtuh.” Kemudian ketika Gagarin mengelilingi dunia, di Roma secara diam-diam Paus menanyakan hal yang sama, dan kata Gagarin, “Saya tidak melihatNya.” Lalu kata Paus: “ Sangka saya memang begitu, tetapi jangan anda menceritakan kepada orang lain. Kalau diceritakan kaum Katolik akan kecewa.” Sekali lagi cerita di atas ini hanya joke, tetapi makna di balik joke ini sangat penting. Maknanya adalah adanya kesangsian pada apa yang didaku sebagai kebenaran.

 Kita hidup dalam jaman dimana setiap klaim terhadap kebenaran, termasuk kebenaran agama, terbuka untuk selalu dipertanyakan. Jangan salah! Orang tidak bertanya karena meragukan adanya kebenaran. Orang bertanya karena tidak ingin terjebak pada berbagai trik, kebohongan dan tipuan. Maklum orang bisa menggunakan apa pun, termasuk agama, untuk kepentingannya sendiri. Kembali pada soal kebenaran! Kita tahu bahwa suatu klaim kebenaran bisa saja tidak sesuai dengan data dan fakta yang ada. Sebaliknya, bisa juga data dan fakta disesuaikan dengan konstruksi kebenaran yang dilesakkan di tengah masyarakat. Masyarakat merasa khawatir kedua pola itu digunakan dalam kasus Brigadir Joshua. 

Oleh karena itu, pencarian kebenaran menjadi pergumulan serius. Dan itu sudah sejak dahulu kala. Pantas saja Pilatus bertanya: “Apakah kebenaran itu?” (Yohanes 18:38). Apakah kebenaran itu suatu kenyataan Ilahi yang harus dia percayai karena hadir tepat di hadapannya atau apakah kebenaran itu suatu konstruksi sosial yang menyihir masyarakat Yahudi agar percaya bahwa Yesus (kata lain dari: Joshua) memang bersalah. Pilatus di persimpangan!  

Kebenaran yang Menyembuhkan
        
 Masyarakat Indonesia pasti berharap agar ujung dari kasus Brigadir Joshua ini adalah kemampuan dan keberanian institusi kepolisian mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan secara lugas dan tuntas. Penanganan terhadap insiden yang dialami Brigadir Joshua adalah batu ujian yang sangat serius bagi institusi kepolisian. 

Muncul pertanyaan masyarakat: Mengingat banyaknya oknum kepolisian yang terlibat, apakah institusi kepolisian memiliki cukup integritas untuk menangani secara tegas dan obyektif kasus kriminalitas ini? Apakah aparat kepolisian mampu mengatasi solidaritas perkawanan demi tegaknya norma dan nilai kebenaran dan keadilan? Tentu saja kita berharap aparat kepolisian bisa membuktikan bahwa siapa pun pelaku kriminalitas akan ditindak tegas dan akan diajukan ke pengadilan. Masyarakat berharap sangat pada integritas dan kejujuran aparat kepolisian. Masyarakat harapkan kasus ini bisa ditangan secara transparan dan akuntabilitas. Tidak ada apa pun yang perlu ditutup-tutupi lagi. 

Tugas terbesar institusi kepolisian adalah memulihkan kembali kepercayaan masyarakat yang sempat hilang akibat adanya insiden ini.  Aparat kepolisian harus bekerja sangat keras dan serius untuk mengungkapkan kebenaran dan terutama menegakkan keadilan. Tegaknya kebenaran dan keadilan adalah faktor yang sangat penting dalam proses penyembuhan dan pemulihan bagi semua: bagi keluarga besar Brigadir Joshua, bagi integritas dan moralitas institusi kepolisian, bagi pemerintahan Jokowi, serta bagi kenyamanan dan keamanan seluruh masyarakat dan bangsa. Moga diujung penyelidikan insiden ini, masyarakat kita tidak akan seperti Pilatus yang dalam kebingungan bertanya: apakah kebenaran itu? (T)

Cepogo
24 Agustus 2022

Fenomena Pesulap Merah, Serial Sudut Pandang

Fenomena Pesulap Merah, Serial Sudut Pandang

 Dunia perdukunan di Indonesia sedang gerah karena kebohongannya dibongkar habis. Pembongkarnya adalah Marcel Radhival. Marcel lebih dikenal sebagai Pesulap Merah. Perlu dijelaskan bahwa sebenarnya Pesulap Merah menghormati para dukun tulen yang suka menolong orang lain tanpa harapkan imbalan. Misalnya dukun beranak. Tetapi, ada juga praktek perdukunan yang dilakukan para dukun palsu. Mereka kerjanya menipu orang lain demi keuntungan materi. Nah, Pesulap Merah membongkar praktek perdukunan yang tidak bertanggungjawab itu. 

Wikipedia menjelaskan bahwa perdukunan adalah praktek non medis yang digunakan orang yang tidak bertanggungjawab dengan motif penipuan. Perdukunan adalah praktek tipu muslihat. Penuh kepura-puraan. Seseorang yang tidak memiliki keterampilan  medis bertindak seperti dukun professional dengan kemampuan supranatural. Mereka inilah yang melakukan praktek perdukunan mengelabui korbannya untuk mendapatkan keuntungan.

 Di hadapan calon korbannya, para dukun palsu itu melakukan aktifitas ritual untuk menunjukkan kapasitas dan kekuatan ‘supra natural’ mereka. Para dukun itu mampu mengusir setan, menyembuhkan orang sakit, memberi kekayaan, menaikkan pangkat, memberi kekebalan, dan sebagainya. Untuk meyakinkan korbannya, para dukun palsu melakukan trik-trik tipuan, plus membumbuinya dengan doa dan pembacaan ayat-ayat kitab suci. Artinya, para penipu itu tidak sungkan memanipulasi agama dan ayat suci demi keuntungan materi. Terbongkarnya kepalsuan para ‘dukun palsu’ membuat mereka kehilangan banyak pelanggan setia. 

Sesungguhnya ada aspek lain yang lebih penting. Apa? Pesulap Merah telah membuka mata banyak orang agar mereka semakin rasional dan tercerahkan. Diharapkan masyarakat semakin kritis. Kini siapa pun yang mengklaim memiliki kemampuan supra natural untuk melakukan mujizat akan berhadapan dengan masyarakat yang semakin kritis dan cerdas. Ini menggembirakan.  
   
 Saya sendiri berharap daya kritis dan kecerdasan masyarakat ini bukan saja terarah pada dukun palsu, tetapi juga terarah pada rohaniawan yang sering melakukan praktek supra natural dengan modus yang hampir sama dengan dukun palsu. Para rohaniawan tertentu sering memamerkan bahwa mereka memiliki kekuatan supra natural. Mereka mengklaim mampu melakukan mujizat apa pun termasuk menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, melipatgandakan kekayaan, dan sebagainya. Untuk meyakinkan umat, mereka merceritakan pengalaman-pengalaman spiritual perjumpaan dan ngobrol langsung dengan Tuhan. Tentu saja pengalaman spiritual ‘unik’ yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Umat harus percaya! 

Sama seperti dukun palsu, mereka pun sering menawarkan benda-benda suci yang bisa melindungi dan menyelamatkan umat. Untuk lebih meyakinkan umat, para rohaniawan tertentu sering menyebut-nyebut nama Allah dan juga mengutip ayat-ayat kitab suci. Rasionalitas umat pun lumpuh! Umat ‘terhipnotis.’ Mereka menjadi sangat percaya. Hasilnya ketaatan total umat, dan tentu saja ujungnya para rohaniawan ini akan menikmati keuntungan materi berlimpah.    

 Praktek supra natural para rohaniawan demi memperoleh kuntungan materi ini banyak dilakukan di Afrika dan di negara-negara dunia ketiga. Biasanya para rohaniawan dari luar negeri seperti dari Inggris dan Amerika Serikat datang ke negara-negara dunia ketiga yang masyarakatnya sangat percaya pada kekuatan ‘supra natural.’ Kini, para rohaniawan lokal pun sudah melakukan praktek yang sama. Mereka pun menikmati keuntungan materi berlimpah. 

Meski percaya bahwa mujizat Tuhan seperti penyembuhan ilahi atau pengusiran setan masih ada, para reformator seperti Luther dan Calvin sangat kritis terhadap klaim-klaim super natural dari siapa pun. Luther tidak percaya pada penyembuhan ilahi yang dilakukan Mary Baker Eddy, pendiri Christian Science. Di Alkitab, Paulus pun mengajak umat untuk bersikap kritis terhadap orang yang memiliki karunia-karunia apa pun. Sering hasilnya malah perpecahan, bukan pembangunan umat. Dari itu, “ujilah roh,” kata Paulus. 

Meski percaya pada mujizat ilahi, gereja-gereja Reformasi tidak akan mengijinkan ibadah penyembuhan ilahi atau pengusiran setan dalam ibadah-ibadahnya. Mengapa? Jawabnya, karena praktek semacam itu mudah dimanipulasi. Umat akan sulit memahami mana yang benar, mana sesat. Mereka yang pandai melakukan tipu muslihat sering memperdaya umat sehingga umat sulit membedakan antara yang menggunakan Roh Kudus dan yang menggunakan roh kudis. 

Tradisi Calvin dan Luther menegaskan bahwa orang harus memiliki iman yang kuat, tetapi saat yang sama orang harus gunakan akal sehatnya. Iman tanpa akal akan menciptakan kedunguan sehingga umat sangat mudah diperdayakan. Sebaliknya, akal tanpa iman menciptakan kepongahan dan ketersesatan. Kita butuh keduanya sekaligus: iman yang kokoh dan akal yang cerdas! (TUS)

Cepogo
17 Agustus 2022

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...