Jumat, 28 Oktober 2022

Sudut Pandang LUKAS 18:9-14, 𝗕𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗽𝗿𝗲𝘀𝘁𝗮𝘀𝗶 𝗮𝗴𝗮𝗺𝗮𝘄𝗶, kisah doa Farisi dan Pemungut Cukai

Sudut Pandang LUKAS 18:9-14, 𝗕𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗽𝗿𝗲𝘀𝘁𝗮𝘀𝗶 𝗮𝗴𝗮𝗺𝗮𝘄𝗶, kisah doa Farisi dan Pemungut Cukai

PENGANTAR
Farisi adalah satu faksi di dalam Yudaisme. Farisi merupakan partai politik, sebuah gerakan sosial, dan belakangan aliran pemikiran di antara orang-orang Yahudi yang berkembang pada masa Bait Suci Kedua atau pasca-pembuangan (536 SZB – 70 ZB). Reformasi yang dilakukan Yesus secara radikal menyulut perseteruan antara Yesus dan orang-orang Farisi. Di dalam kitab-kitab Injil disebutkan orang-orang Farisi selalu mencari celah untuk menjatuhkan Yesus. Namun Injil Lukas membedakan orang Farisi dari Injil lain. Diceritakan bahwa orang Farisi adalah lawan sekaligus kawan Yesus. Beberapa kali Yesus diundang makan oleh orang Farisi. Perbedaan paling mencolok dalam Injil Lukas adalah orang Farisi tidak melakukan persekongkolan membunuh Yesus. Bacaan secara diambil dari Injil Lukas 18:9-14. Bacaan Injil Minggu ini perikopnya diberi judul oleh LAI 𝘗𝘦𝘳𝘶𝘮𝘱𝘢𝘮𝘢𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘍𝘢𝘳𝘪𝘴𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘮𝘶𝘯𝘨𝘶𝘵 𝘤𝘶𝘬𝘢𝘪. Kutipan teks saya letakkan di bawah sesudah bagian Lampiran.
Sama seperti banyak perumpamaan Yesus yang beredar lepas tanpa konteks, perumpamaan di atas tampaknya juga seperti itu. Cerita utama perumpamaan itu berada di ayat 10-14a. Pengarang Injil Lukas memberi konteks pembuka di ayat 9 dengan mengarahkan pembacanya pada topik mengenai orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah orang lain. Ia menutup atau menyimpulnya di ayat 14b: “𝘚𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘳𝘪, 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘳𝘦𝘯𝘥𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘯𝘥𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘳𝘪, 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘬𝘢𝘯." Penutup perumpamaan sebenarnya kurang 𝘯𝘺𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨. Perumpamaan itu tidak berbicara mengenai orang yang direndahkan oleh Allah dan orang yang ditinggikan oleh Allah, melainkan tentang orang yang dibenarkan Allah dan orang yang tidak dibenarkan Allah (ay. 14a). Penginjil Lukas pernah menerapkan ucapan lepas Yesus tersebut (Lukas 18:14b) di Lukas 14:11. Ia menggunakannya dua kali, sedang penulis Injil Matius hanya sekali (Mat. 23:12). Ucapan lepas Yesus dari sumber “Q” itu ditempatkan dalam konteks narasi yang berbeda oleh kedua penulis Injil. Kita sudah menerima kitab Injil dalam bentuk akhir yang ada kalimat seperti ayat 14b. Di sini tampaknya Lukas hendak melengkapi bahwa doa orang yang rendah hati dibenarkan dan sekaligus ditinggikan oleh Allah. Dalam hal melakukan kewajiban agamawi tokoh pertama itu (orang Farisi) sebenarnya jauh lebih unggul daripada tokoh kedua (pemungut cukai). Apabila orang Farisi menganggap dirinya “tidak sama seperti semua orang lain”, ia tidak salah karena ia memang berbeda dari semua orang lain. Ia adalah orang benar (sering disebut juga anak Terang). Apa yang dikatakannya itu adalah apa yang dilakukannya. 𝘓𝘩𝘢 kalau ia tidak salah, mengapa tokoh kedua yang dibenarkan oleh Allah?

PEMAHAMAN 
Kalau kita melihat konteks yang dibuat oleh Lukas dalam pembuka perumpamaan ia menulis tentang orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain (Luk. 18:9). Lukas sudah mengarahkan penafsirannya di ayat 9. Dengan begitu pembaca berprapaham bahwa ucapan tokoh cerita di ayat 11-12 adalah cuplikan ucapan orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain. Tampaknya Lukas juga berbicara mengenai orang yang meninggikan diri akan direndahkan Allah dan orang yang merendahkan diri akan ditinggikan Allah (Luk. 18:14b).
Dasar hubungan dengan Allah bukanlah kebenaran yang dibangun oleh manusia, tapi kebenaran versi Allah. Hal itu diperikan melalui hubungan tokoh pertama dan Allah. “Kesalahan” tokoh pertama bukan terletak pada kesalehannya atau pada penilaian bahwa dirinya berbeda dari semua orang lain, melainkan pada cerapannya bahwa kesalehannya itu dapat menjadi dasar hubungannya dengan Allah. “Kesalahan” kedua, tidak ada sikap belas kasih kepada orang berdosa yang dianggap gagal memenuhi tuntutan Allah, tidak ada belas kasih artinya tidak ada keadilan, itu bukan kebenaran versi Allah. Tokoh pertama mengandaikan Allah berada di pihaknya dan Allah pasti menolak “semua orang lain” yang berdosa. 
Kedua “kesalahan” itu dikoreksi dengan komentar narator (Yesus) bahwa bukan tokoh pertama yang dibenarkan Allah, melainkan tokoh kedua (Luk. 18:14a). Tokoh kedua mengakui keberadaannya “𝘛𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘱𝘦𝘮𝘶𝘯𝘨𝘶𝘵 𝘤𝘶𝘬𝘢𝘪 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘫𝘢𝘶𝘩-𝘫𝘢𝘶𝘩, 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘯𝘨𝘢𝘥𝘢𝘩 𝘬𝘦 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵, 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘬𝘶𝘭 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢: 𝘠𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩𝘢𝘯𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘴𝘢 𝘪𝘯𝘪.” (ay. 13). Tampaknya Lukas juga mengusung teologi 𝘴𝘰𝘭𝘢 𝘨𝘳𝘢𝘤𝘪𝘢, keselamatan adalah pemberian atau anugerah Allah, bukan prestasi agamawi. Apalagi untuk sebuah jabatan di pemerintahan, seharusnya bukan dilihat dari prestasi agamanya (mosok bisa masuk perguruan tinggi atau akademi hanya karena telah katam atau selesai bahkan hafal kitab suci .... Wk ..... Wk).  Saudara, mana yang perlu kita pelihara terlebih dahulu? Mendisiplin diri untuk rajin dalam karya bergereja dan menunjukkan tindakan-tindakan iman kita, atau memelihara hati, membereskan batin kita? Dari 
pemungut cukai kita belajar membenahi hati.  Pemazmur mengatakan, “Selidiki aku Tuhan, kenali hati dan batinku.” Tuhan ingin kita bersikap jujur, adakah yang perlu kita bereskan 
dan bersihkan? dalam hati kita, yang repot lebih banyak orang luka batin, blom selesai dengan dirinya, mencari jawab nya dengan karya bergereja, maka kekacauan yang terjadi, memang semua manusia rapuh, tapi terlebih dari manusia rapuh adalah manusia yang tahu diri. untuk hidup beriman dengan setia dan rendah hati, kita diajak untuk tidak meniru orang Farisi. Dalam kisah perumpamaan di kitab Lukas (Luk. 18:9-14), tampak orang Farisi terlihat begitu religius, namun nyatanya tidak memelihara imannya. Dari mana kita tahu bahwa dia tidak memelihara iman? Dari penilaian Yesus terhadap orang Farisi. Seorang 
pemungut cukai yang dicap sebagai orang berdosa, justru dengan rendah hati menyesali kesalahannya di hadapan Tuhan. Dari 
kedua contoh ini, kita belajar bahwa Tuhan melihat hati manusia, sebab dari dalam hati muncullah tindakan, tanpa topeng. 
Penulis Lukas dalam perikop ini mengulas pandangan Yesus tentang siapa orang yang benar di hadapan Allah. Cara yang Yesus lakukan adalah dengan membandingkan antara 
orang Farisi dengan pemungut cukai. Ilustrasi ini sangat cocok buat pembaca Lukas karena di masyarakat mereka saat itu, orang Farisi dianggap sebagai simbol rohani yang baik, sedangkan pemungut cukai dianggap sebagai simbol orang berdosa yang mengkhianati bangsanya, karena dia bekerja pada bangsa penjajah dengan menagih cukai/pajak dari bangsanya. Namun demikian, Yesus justru memberi penilaian terbalik. Buat Yesus, orang Farisi justru menunjukkan iman yang palsu dengan mempertontonkan ritual agamanya di depan banyak orang. Sementara pemungut cukai yang direndahkan dunia, dibenarkan karena merendahkan hatinya di hadapan Allah. Bagaimana cara memelihara iman kita dan keluarga? Kita perlu belajar dari pemungut cukai. Mereka memiliki keterbukaan diri dan kerendahan hati di hadapan Tuhan. 
Mereka merasa sebagai orang yang membutuhkan belas kasihan Tuhan. Sebaliknya, orang Farisi tidak rendah hati, tapi “menganggap diri benar dan memandang rendah orang lain”.Teolog N. T. Wright (1948M-sekarang), melihat bahwa perumpamaan ini mengajarkan kita tentang pentingnya 
senantiasa rendah hati di hadapan Tuhan siapa pun kita dan dalam hal apa pun yang kita lakukan, baik yang benar maupun yang salah. Di hadapan Tuhan, kita tidak perlu memberi opini 
atau menyatakan apa yang kita anggap benar. Tapi tiap-tiap, hari kita mengakui betapa lemah dan rendahnya kita di hadapan Tuhan, serta memohon belas kasihan Tuhan. Film Turning
Red, Film ini menceritakan seorang gadis berusia 13 tahun, Mei namanya yang memiliki 
orangtua atau ibu yang keras. Di akhir film ini Mei protes kepada ibunya tapi dia akhirnya berbaikan dengan ibu dan neneknya. Mei menerima kelemahan ibu dan neneknya sehingga mereka berpulih. Demikianlah cara memelihara iman kita dengan Tuhan. Kita perlu berpulih juga dalam relasi kita dengan 
keluarga dan Tuhan. Tidak berhenti berjuang dan tidak menyerah dalam titik kelelahan atas kerapuhan, kelemahan, dan ketidak sempurnaan keluarga. Ironisnya, banyak keluarga Kristen juga kurang memperhatikan iman anggota keluarganya. Mereka kurang mendukung perkembangan mental, emosi dan rohani di dalam keluarga. Buktinya, survei kesehatan mental di Indonesia menurut Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) di tahun 2022, menunjukkan bahwa di antara 
remaja Indonesia berusia 10 – 17 tahun, satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Lebih jauh dari itu, satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan 
mental dalam 12 bulan terakhir. Angka ini setara dengan 15,5 juta. Kesehatan mental, emosi dan rohani sangatlah penting buat perkembangan iman orang percaya. Peter Scazzero, dalam 
bukunya tentang “Kesehatan Emosi dan Spiritualitas”menegaskan bahwa kita tidak mungkin dewasa secara rohani jika kita tidak dewasa secara emosi. Karena emosi (perasaan), pikiran dan perilaku adalah bagian yang tidak terpisahkan dari mental, maka penting sekali kita memelihara dan mengembangkan kesehatan emosi (mental) kita bersamaan dengan kita memelihara iman kita. Jadi, bagaimana caranya agar kita dapat memelihara iman kita dan keluarga kita? dari bacaan Lukas 18 : 9-14, kita kali ini akan memberikan jawaban dari berbagai sudut pandang yang bisa memelihara iman kita bersama. Keluarga adalah Gereja terkecil dalam komunitas hidup orang percaya. Di dalam keluarga, anggota-anggota keluarga saling 
mendukung dalam kasih dan dalam perbuatan baik (Ibrani 10:24-25). Jika keluarga-keluarga Kristen saling memperhatikan perkembangan iman anggota keluarganya, maka setiap keluarga bisa menjadi kepanjangan tangan Tuhan untuk memancarkan sinar kasih-Nya buat dunia ini. Sebaliknya, jika tidak saling memperhatikan, maka iman kita tidak didukung untuk berkembang dan tidak peka atas kebutuhan orang lain. Contohnya seperti orang-orang Farisi yang berdoa di tengah kota, kita akan menjadi seorang Kristen yang rajin menjalani kebiasaan atau ritual sehingga justru menjadi batu sandungan 
buat sesama kita.


Cepogo, 22.10.2022 (TUS)
Lampiran

Kutipan 𝗟𝘂𝗸𝗮𝘀 𝟭𝟴:𝟵-𝟭𝟰 (TB II, 1997)
𝘗𝘦𝘳𝘶𝘮𝘱𝘢𝘮𝘢𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘍𝘢𝘳𝘪𝘴𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘮𝘶𝘯𝘨𝘶𝘵 𝘤𝘶𝘬𝘢𝘪
𝟭𝟴:𝟵 Kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:
𝟭𝟴:𝟭𝟬 "Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.
𝟭𝟴:𝟭𝟭 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezina, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini;
𝟭𝟴:𝟭𝟮 aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
𝟭𝟴:𝟭𝟯 Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
𝟭𝟴:𝟭𝟰 Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab siapa saja meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...