Pengantar
Tulisan ini wujud ungkap syukur karena pernah merasakan diwulang oleh alm eyang Brotosemedi di teras rumahnya, di tahun 2000, ketika menjadi majelis pertama kali dan termuda di Klasis Salatiga waktu itu. Dimana saya yg bodoh hanya plonga plongo di Wulang Mbah Broto karena gak ngerti apa itu teologi. Yang ada hanyalah manggut-manggut sok paham pdhl tak mengerti sama sekali. Di tambah kurang lebih 8 bulan setiap Sabtu ada di teras rumah Mbah Broto makin pusiang begawannya GKJ Salib Pdt Waluyo Sejati ikut nimbrung, nambah begawan-begawan GKJ SIDOMUKTI pada nimbrung seperti Mbah Soemardi dan Mbah Prabawa, pecah ini kelapa .... Eh ... Kepala. Ibarat kata orang Jawa, seakan Mbah Brotosemedi itu weruh sak durunging winarah, tahu sebelum kejadian, karena pada akhirnya setelah sekian puluh tahun di depannya, saya menekuni teologis
Secuil Sudut Pandang tentang Pdt Brotosemedi
Pada 1980-an Pdt. Brotosemedi Wirjotenojo alias Mbah Broto melayangkan surat kepada Presiden Soeharto mengecam aksi petrus (penembakan misterius) yang kemudian menjadi matius (mati misterius). Mbah Broto juga memberi kuliah tentang HAM kepada Presiden Soeharto. Dalam penutup surat Mbah Broto menulis “𝘑𝘢𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘺𝘢, 𝘉𝘳𝘰𝘵𝘰, 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘬𝘰𝘳𝘣𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳, 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘵𝘰𝘱 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩𝘢𝘯”.
Pada masa kini orang dengan mudah dan enteng mengecam (bahkan menghina) Presiden Jokowi tanpa takut dituntut hukum, apalagi dibunuh. Pada masa Orde Baru siapa yang berani mengecam Presiden Soeharto? Tentu ada dan pada umumnya orang-orang itu lenyap atau paling ringan mereka mati karir. Adakah pendeta yang berani mengecam Presiden Soeharto? Saya tidak tahu ada berapa, tetapi yang saya tahu dan melegenda adalah Mbah Broto. Anda yang hidup di masa Orba sudah pasti bisa membayangkan teror yang melanda Mbah Broto dan keluarganya sesudah menyurati Presiden Soeharto.
Soeharto bukanlah presiden pertama yang disurati oleh Mbah Broto. Hanya beberapa saat ia ditahbiskan menjadi pendeta jemaat miskin GKJ Gombong (1962), Mbah Broto menyurati Presiden Soekarno. Mbah Broto adalah segelintir calon pendeta yang menyandang gelar sarjana penuh. Apalagi ia tamat dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STTJ) dengan predikat 𝘤𝘶𝘮 𝘭𝘢𝘶𝘥𝘦 pada 1961. Ia sebenarnya bisa memilih menjadi pendeta GKJ Kebumen yang lebih besar, tetapi ia memilih jemaat miskin di Gombong. “Belajar melayani harus dimula dari yang kecil,” kata Mbah Broto yang lahir di Purworejo, 30 Oktober 1930.
Bangunan gereja GKJ Gombong terletak di Desa Wero yang sangat sedehana dengan dinding bambu atau 𝘨𝘦𝘥𝘩𝘦̀𝘨. Mbah Broto kemudian mengaji harta benda jemaat. Ia melihat gedung SMP Negeri 2 Gombong berikut rumah tinggal kepala sekolah berada di atas lahan itu adalah milik 𝘡𝘦𝘯𝘥𝘪𝘯𝘨 Sektor Kebumen. Ia menyurati Presiden Soekarno untuk meminta harta gereja yang dikuasai negara dikembalikan ke gereja. Permintaan Mbah Broto diluluskan oleh Presiden Soekarno.
Berpegang erat pada prinsip memang sudah terlihat sebelum Mbah Broto ditahbiskan menjadi pendeta. Ia menolak mengenakan toga pendeta saat penahbisan. Alasannya, toga adalah simbol pengajar, gurubesar. Pengajar hidupnya tidak boleh tercela. Ia melihat ada pendeta yang tak bermoral masih mengenakan toga. Menurut Mbah Broto pendeta itu tak pantas lagi bertoga. Tentu saja alasan ini tidak disampaikannya ke Jemaat Gombong. Di hadapan jemaat yang bersahaja Mbah Broto berseloroh, “Saya ini orangnya pendek, nanti kayak 𝘬𝘦𝘵𝘦̀𝘬 𝘬𝘢𝘥𝘩𝘦𝘮𝘦𝘯.” (𝘬𝘦𝘵𝘦̀𝘬 𝘬𝘢𝘥𝘩𝘦𝘮𝘦𝘯 𝘣𝘢𝘴𝘢 𝘮𝘉𝘢𝘵𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘰𝘥𝘢𝘵 𝘯𝘢𝘯𝘨𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯).
Untuk membangun Jemaat yang tangguh dan saling mengasihi Mbah Broto melawat warga jemaat sampai empat kunjungan per pekan. Selesai perlawatan tak canggung Mbah Broto memeluk simbah-simbah (lansia) sehingga hati mereka terbombong, berbunga-bunga, penuh sukacita karena merasa dimanusiakan.
Menjadi pendeta bukanlah cita-citanya. Mbah Broto adalah anak ke-7 dari 11 bersaudara. Ayahnya adalah Pdt. Samidjo Wirjotenojo alias Kiai Wirjo, pendeta pertama GKJ Kutoarjo. Peraturan ketat di rumah Kiai Wirjo untuk anak-anaknya adalah pada siang hari wajib berbahasa Jawa 𝘬𝘳𝘢𝘮𝘢 𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘭, sedang pada malam hari berbahasa Belanda. Sejak kecil Mbah Broto sudah fasih berbahasa Belanda standar. Buku-buku filsafat berbahasa Belanda milik ayahnya dilalap habis.
Sesudah Indonesia merdeka Mbah Broto menjadi mahasiswa Jurusan Filsafat pada Fakultas Sastra, Pedagogi, dan Filsafat UGM. Di tengah perjalanan menggapai sarjana filsafat ibundanya sakit dan dirawat di RS Bethesda. Pada masa kecil Mbah Broto dikenal sebagai “anak mami”. Kini saatnya ia membalas menyuapi ibundanya di RS. Dalam masa perawatan itu ibundanya 𝘤𝘶𝘳𝘩𝘢𝘵 kepada Broto mosok ada 11 anak satu pun tidak ada yang menjadi pendeta seperti ayahnya. Ibundanya dengan sangat berharap Broto menjadi pendeta.
Tidak seperti mahasiswa teologi atau calon pendeta pada umumnya yang merohani-rohanikan alasan menjadi pendeta dengan “panggilan dari Tuhan” atau “melayani Tuhan”, Mbah Broto mengakui bahwa ia menjadi pendeta karena 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘵 𝘬𝘦𝘳𝘴𝘢𝘯𝘦́ 𝘣𝘪𝘺𝘶𝘯𝘨, menuruti kehendak ibunda. Ia pun meninggalkan bangku kuliah di UGM dan mendaftar ke Akademi Teologi Yogyakarta (ATY, cikal bakal STT DW dan UKDW). Patut dicatat, meski tak tamat dari UGM, menurut AD/ART Kagama Bab 5 pasal 9 ayat 3 Mbah Broto memenuhi syarat anggota Kagama atau alumnus UGM.
ATY kala itu masih menerima ijazah SMP sehingga pengurus ATY memandang Mbah Broto 𝘰𝘷𝘦𝘳-𝘲𝘶𝘢𝘭𝘪𝘧𝘪𝘦𝘥. Oleh pengurus ATY Mbah Broto dikirim ke STTJ pada 1956. Di STTJ Mbah Broto dikenal sebagai perpustakaan berjalan. Setiap ada tugas dosen untuk membaca buku teks berbahasa asing, terutama bahasa Belanda dan Jerman, Mbah Broto yang membaca buku itu kemudian ia menceritakan isi buku itu kepada teman-temannya. Tidaklah mengherankan ia tamat dari STTJ berpredikat dengan pujian atau 𝘤𝘶𝘮 𝘭𝘢𝘶𝘥𝘦 pada 1961.
Kekuatan penggembalaan di Jemaat Gombong terdengar oleh pengurus STT DW Yogyakarta (sekarang UKDW) dan UKSW Salatiga. Menurut mereka potensi besar Mbah Broto tidak boleh berhenti di Gombong, tetapi ia juga harus mencetak banyak pendeta mumpuni. Oleh STT DW Mbah Broto diminta untuk memerkuat jajaran dosen, sedang UKSW memintanya mendirikan fakultas teologi. Pada akhirnya Mbah Broto memilih Salatiga.
Kekuatan Mbah Broto di dogmatika. Sejak 1972 ia hendak mereformasi dogma GKJ warisan kolonial yang tidak lagi kontekstual. Buah pikirannya dituangkan dalam 𝘥𝘳𝘢𝘧𝘵 disertasinya di Vrije Universiteit di bawah bimbingan teolog besar Belanda Prof. Johannes Verkuyl. Dari Indonesia ditunjuk raksasa dogmatikus Indonesia yang juga pendeta GKJ Prof. Soedarmo sebagai pembimbing Mbah Broto. Tentu saja disertasi Mbah Broto ini menantang dogma lama GKJ yang dipegang erat oleh Prof. Soedarmo dan dogmatikus besar GKJ lainnya, Dr. Harun Hadiwijono.
Prof. Soedarmo selalu menolak disertasi Mbah Broto. Beliau menyarankan Mbah Broto untuk mengajukan pergantian pembimbing. Tentu saja mbah Broto tidak mau melukai seniornya dan memilih membatalkan raihan doktornya dari universitas ternama di Belanda itu. Menyusul pembatalan itu Prof. Verkuyl sangat menyayangkan dan menulis surat kepada Fakultas Teologi UKSW mengakui baru pertama kali itu ia memiliki mahasiswa program doktor cerdas sekali dari Asia.
Mbah Broto tidak berhenti menyampaikan buah pikirannya dalam kuliah-kuliah dan seminar-seminar. Hal itu berakibat berembus isu tak sedap bahwa Mbah Broto mewartakan ajaran sesat. Ditambah kasus surat pastoral kepada Presiden Soeharto di atas Mbah Broto tidak lagi dilibatkan dalam jabatan struktural dan kegiatan sinodal GKJ. Dalam pada itu gereja-gereja Belanda dan Australia memuji GKJ yang mengecam pelanggaran HAM oleh Presiden Soeharto yang membunuhi para “gali” atau preman tanpa proses hukum. Padahal saat itu GKJ ketakutan dan menyatakan bahwa itu pendapat pribadi Mbah Broto.
Mbah Broto menyadari bahwa jabatan pendeta membuatnya menjadi sasaran tembak banyak orang. Ia selalu mengingat pesan Kiai Wirjo pada saat penahbisannya (1962): “𝘉𝘳𝘰𝘵𝘰, 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘵𝘢𝘩𝘣𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘦𝘵𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘫𝘢𝘵 𝘱𝘰𝘩𝘰𝘯 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘱𝘢. 𝘛𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪 𝘵𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘤𝘢𝘣𝘢𝘯𝘨. 𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘩𝘢𝘵𝘪-𝘩𝘢𝘵𝘪. 𝘒𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬, 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘣𝘢𝘬𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘱𝘦𝘳𝘰𝘴𝘰𝘵 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘫𝘢𝘵 𝘭𝘢𝘨𝘪. 𝘗𝘦𝘯𝘥𝘦𝘵𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘥𝘶𝘬 𝘥𝘪 𝘬𝘶𝘳𝘴𝘪 𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪. 𝘚𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘵𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘩 𝘭𝘢𝘬𝘶𝘮𝘶. 𝘉𝘦𝘳𝘩𝘢𝘵𝘪-𝘩𝘢𝘵𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘦𝘵𝘢.”
Pada 1985 Pemerintah Orba mengeluarkan UU No. 8 tentang Pancasila sebagai asas tunggal organisasi kemasyarakatan. Gereja pun tak luput masuk ke dalam ormas sehingga wajib juga menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Lagi-lagi Mbah Broto menentangnya. Satu-satunya asas Gereja adalah Yesus Kristus, kata Mbah Broto merujuk 1Korintus 3:11. Mbah Broto mengecam gereja untuk tidak bersilat lidah. Katakan ya jika ya, katakan tidak jika tidak.
Pada 1991 Prof. Soedarmo meninggal dunia menyusul Dr. Harun (1985). GKJ tak memiliki lagi dogmatikus. Kepada siapa lagi GKJ minta tolong merumuskan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPA GKJ)? Siapa lagi kalau bukan kepada Pdt. Brotosemedi. Pada 1993 Mbah Broto mula dilibatkan lagi dalam kegiatan sinodal untuk menyusun PPA GKJ. Meskipun demikian GKJ sangat berhati-hati dalam melibatkannya karena Orde Baru masih berkuasa. Dengan perdebatan mendalam dan memakan waktu panjang pada akhirnya buah pikiran Pdt. Brotosemedi menjadi PPA GKJ secara resmi diterima oleh Sinode GKJ pada 1996 menggusur dogma usang peninggalan kolonial.
Pdt. Brotosemedi tidak pernah mendaku PPA GKJ 1996 sebagai kemenangannya. Namun dalam seminar tentang PPA GKJ (2000) Pdt. P. Pudjaprijatma mengatakan, “Tidak ada yang bisa mengalahkan Mbah Broto!”
Mbah Broto yang memegang teguh prinsip, disiplin, terlihat angker, dan mendapat julukan pendeta 𝘯𝘺𝘦𝘯𝘵𝘳𝘪𝘬, sebenarnya sosok humoris. Dalam satu seminar sesudah keruntuhan Rezim Orba ia mengatakan, “Dulu saya orang PDI, sekarang PDIP.” Para pendengar 𝘤𝘭𝘪𝘯𝘨𝘢𝘬-𝘤𝘭𝘪𝘯𝘨𝘶𝘬 menduga-duga Mbah Broto adalah anggota parpol. Tak lama kemudian, “Dulu saya orang PDI, pengurangan daya ingat,” kata Mbah Broto, “sekarang PDIP, pengurangan daya ingat parah.”
Penutup
Sampai sekarang belum ada pejabat gerejawi yang menyamai keberanian Pdt. Brotosemedi dalam menyuarakan kenabian. Ia satu-satunya pendeta yang menulis surat kepada Presiden Soeharto untuk menghentikan penembakan misterius dan menguliahi Presiden Soeharto soal HAM. Risikonya adalah dikarungi dan beliau sudah siap. Pada penutup surat ia menyatakan siap menjadi korban terakhir pembunuhan misterius.
Pada era reformasi setiap orang bebas mengecam Pemerintah tanpa ancaman pembunuhan. Pejabat gerejawi juga ikut-ikutan ganjen mengecam. Nggak apa-apa sih selama kecaman itu tepat kepada Pemerintah yang zalim seperti era Orde Baru. Yang sering terjadi adalah “kecaman” karena ia berpolitik praktis, berkampanye untuk capres atau parpol tertentu. Pejabat gerejawi yang sudah masuk politik praktis partisan ya sama saja dengan politikus. Ia bisa sama-sama busuk. Nggak usah beralasan ia sudah selesai dengan diri sendiri. Pret banget!
(20032022)(T)