Trauma memiliki beragam definisi. Umumnya trauma dilekatkan pada kondisi psikologis seseorang pasca peristiwa besar, yang tidak dapat dikelola olehnya. Trauma tidak hanya terjadi pada seseorang atau individu, namun secara kolektif dapat terjadi pada sebuah komunitas (kasus Sodom dan Gomora). Trauma merampas kemampuan seseorang atau komunitas untuk merespons hal yang biasanya dapat direspons dengan baik. Oleh karena itu, untuk tidak terjebak pada luasnya definisi trauma, saya memilih beberapa definisi yang umumnya digunakan dalam studi trauma. Beberapa ahli mendefinisikan trauma. Sigmund Freud mengartikan trauma sebagai luka yang diderakan pada pikiran atau ingatan. Cathy Caruth mendefinisikan trauma sebagai
suara luka. Menurut Judith Herman trauma sebagai sebuah peristiwa yang mengancam hidup, “life-threatening event”. Sementara itu, Shelly Rambo, seorang teolog, memberi definisi trauma sebagai penderitaan yang tersisa, yang tidak kunjung pergi. Dari pengertian-pengertian tersebut diperlihatkan bahwa peristiwa traumatis dapat terjadi baik secara individual maupun komunal.
Trauma dan Pemulihan
Trauma disebabkan oleh beragam hal dan peristiwa termasuk kekerasan dan stigma.
Peristiwa trauma tersebut meninggalkan efek negatif pada tubuh, spiritual, psikologis dan
kehidupan sosial seseorang. Oleh karena itu, diperlukan respons yang tepat untuk menolong mereka yang mengalami trauma untuk pulih dari kondisi tersebut. Judith Herman dalam bukunya yang berjudul Trauma and Recovery menjelaskan tiga langkah pemulihan trauma.
Pertama, rasa aman dan keamanan. Kedua hal ini mesti diciptakan oleh orang yang mengalami trauma akibat kekerasan.
Kedua, mengingat dan meratap. Orang yang mengalami trauma biasanya tidak langsung bisa menceritakan pengalaman yang ia alami. Namun, jika rasa aman sudah tersedia, kemungkinan penyintas dapat ditolong dan didampingi untuk
menceritakan apa yang terjadi. Proses penceritaan tersebut dapat dilakukan dalam berbagai
bentuk. Pada tahap ini yang terpenting adalah cara orang mengingat diwadahi secara baik,
sehingga ketika mengingat peristiwa, penyintas dapat meratap tanpa harus putus harapan.
Ketiga, terhubung dan terintegrasi kembali dengan orang lain. Trauma menyebabkan seseorang mengalami putusnya hubungan dalam ruang-ruang sosial, termasuk orang terdekat. Pada fase ketiga, seseorang dihubungkan kembali dengan apa yang sudah terputus
akibat peristiwa trauma.
Trauma Ruptures Theology
Cathy Caruth mengatakan:
Trauma seems to be much more than a pathology, or the simple illness of a wounded psyche: it is
always the story of a wound that cries out, that addresses us in the attempt to tell us of a reality or
truth that is not otherwise available. This truth, in its delayed appearance and its belated address,
cannot be linked only to what is known, but also to what remains unknown in our very actions and
our language (Cathy Caruth 1996, 4).
Dari pemaparan Caruth, kita dapat melihat bahwa trauma bukan sesuatu yang sederhana,
namun hal tersebut nyata terjadi di dalam kehidupan baik seseorang maupun komunitas
termasuk gereja. Dalam konteks teologi, trauma dengan segala kompleksitasnya sebenarnya
mengganggu teologi. Trauma mengganggu teologi yang umumnya dilihat sebagai jawaban
dan kepastian atas semua persoalan. Misalnya, dalam pengajaran gereja-gereja ada
pemahaman bahwa pada akhirnya persoalan termasuk luka akan pulih atau sembuh. Namun
studi trauma memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang tertinggal pada ingatan seseorang akibat peristiwa terjadi yang memberikan beragam macam efek pada mental dan tubuh
seseorang. Menurut teologi Protestan yang cenderung menghapus luka (erasing
wounds) harus diganggu dan digugat demi menghasilkan respons teologis yang relevan bagi pengalaman dan fenomena trauma. Salah satu cara untuk mengganggu dan menggugat teologi yang mengabaikan
pengalaman trauma adalah dengan pembacaan teks-teks Alkitab dengan menggunakan perspektif trauma. Dalam membaca teks Alkitab kita perlu melakukan interpretasi kembali agar kita dapat terlibat memberi kontribusi terhadap upaya pemulihan trauma. Menurut Caruth diperlukan sebuah cara baca yang mempertimbangkan apa yang terjadi
pada mereka yang mengalami trauma. Secara teologis, dengan menggunakan lensa baru, apa
yang dapat kita temukan, termasuk kehendak Allah ketika kita membaca teks Alkitab? Membaca Alkitab dengan perspektif trauma menolong kita untuk melihat sejauh mana
tanggung jawab kita sebagai gereja sekaligus masyarakat untuk terlibat dalam pemulihan yang holistik.
Tafsir Trauma atau teologi Trauma: Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
Christopher Frechette dan Elizabeth Boase dalam buku Bible Through the Lens of Trauma
mengatakan bahwa “trauma hermeneutics is used to interpret texts in their historical contexts
and as a means of exploring the appropriation of texts, in contexts both past and present”
(Frechette and Boase 2016, 2).
Tafsir trauma bersifat mulitidimensi dan multi arah. Artinya, ia tidak dapat menjadi sebuah dispilin atau fokus riset tunggal tanpa memanfaatkan
sumber-sumber lain. Tafsir trauma menjadikan trauma sebagai lensa dalam tafsir Alkitab. Lensa ini bersifat multidimensi dan multiarah karena ia digunakan dalam dialog
dengan kerangka teoritis dan disiplin keilmuan yang beragam. Teologi trauma bersifat
interdisipliner: psikologis, sosiologis, teologis, sastra, kultural, estetika/seni.Tafsir adalah proses pemaknaan. Pemaknaan tersebut kemudian mewujud menjadi sebuah tawaran pemikiran yaitu konstruksi teologis trauma. Tafsir trauma dan juga pendekatan konstruksi trauma pada akhirnya menghasilkan narasi trauma.
Judith Butler mengatakan the loss of meaning, yaitu hilangnya makna pada sebuah peristiwa. Hal ini terjadi pada trauma, di mana memori seseorang terganggu dan ia tidak
mampu menyusun kembali ingatan yang terjadi pada dirinya. Pada umumnya orang yang mengalami trauma tidak mampu memberi makna pada peristiwa yang ia alami. Di sini, fungsi teologi pada konteks trauma adalah memberi kerangka teologis yaitu bagaimana
makna itu dapat muncul atas peristiwa traumatis seperti kekerasan yang terjadi pada
seseorang. Dari sini proses pemulihan juga terjadi. Tafsir trauma sekaligus adalah Tafsir pemulihan. Ia memberi kerangka
teologis yang baru kepada seseorang atau komunitas yang mengalami trauma, sehingga
trauma tidak menghilangkan makna, melainkan dengan perspektif yang baru, menghasilkan
makna yang baru. Dengan demikian teologi yang saya kembangkan merujuk pada Shelly
Rambo, bukan semata-mata sistematika dari berbagai macam pemikiran, tetapi teologi sebagai
sebuah diskursus pemulihan, yang tidak mengasingkan pengalaman ragawi. Di sini saya juga
hendak menekankan bahwa tubuh sebagai bagian penting dalam proses pemulihan.
Model Tafsir Trauma, Saya membaca kurang lebih ada empat model Tafsir trauma antara lain :
Hermeneutics of Rupture
(Tafsir Retak), Hermeneutics of the Unsayable (Tafsir Tak tertutur),
Hermeneutics of Resilience (Tafsir Daya lenting) dan Hermeneutics of Remaining
(Tafsir Tertinggal/Tersisa). Namun, saya akan berfokus pada model Tafsir retak dalam kaitannya dengan menafsir atau membaca kembali kisah dalam Markus 5:25-34.
Hermeneutics of Rupture (Tafsir Retak)
Rupture diartikan sebagai pecah atau retak. Rupture adalah sebuah kondisi ketika pengalaman tertentu tidak lagi sama dengan yang sebelumnya. Rupture atau retak digunakan
sebagai sebuah analogi untuk membahasakan pendekatan Tafsir yang digunakan
untuk membahas teks Markus tersebut. Saat ini saya lebih memilih menggunakan kata retak
sebagai analogi untuk memperlihatkan bahwa di tengah retak tersebut ada cahaya. Analogi
ini akan menolong kita membandingkan satu kondisi dengan kondisi lainnya.
Tafsir retak mengganggu, menyelidiki, dan mengacaukan klaim-klain iman dan
narasi-narasi yang mengabaikan luka [trauma]. Tafsir ini mengimajinasikan ulang, mengonfigurasi teks-teks, simbol, dan narasi suci dari kompleksitas kelindan-senyap antara luka [trauma] dan pemulihan dan merekonstruksi sebuah teologi dan praksis hidup yang bertahan dan sebuah cinta yang menetap di kedalaman jurang luka [trauma].
Destigmatisasi Identitas dan tubuh Perempuan. Tafsir trauma hendak membaca kembali Alkitab dari sudut pandang trauma, demi meluruhkan stigma religius terhadap tubuh perempuan yang sebenarnya telah
menyebabkan trauma bagi perempuan. Stigma, pelekatan pada identitas seseorang yang
dianggap normal dan akhirnya menjadi sebuah kebenaran sangat sulit untuk didekonstruksi
atau di destigmatisasi. Namun, upaya membaca ulang Alkitab dari lensa trauma memberi perspektif pembebasan yang berdampak bagi mereka yang mengalami trauma. Membaca Alkitab dari sudut pandang trauma adalah bagian dari proses pemulihan trauma yang
holistik.
Namanya Beenike dalam tradisi gerejawi atau dalam tradisi latin Veronika Bukan “Perempuan yang Sakit Pendarahan” (Markus 5:25-34) Kisah dalam Markus 5:25-34 menceritakan pengalaman sakit pendarahan seorang perempuan, yang pada akhirnya pengalaman tersebut menjadi label baginya. Ia yang mestinya memiliki nama, disebut atau dilekatkan dengan kondisinya sehingga pembaca
mengenalnya sebagai perempuan yang sakit pendarahan. Di sini, tafsir trauma hendak melakukan dekonstruksi, destigmatisasi, dan melekatkan kembali perempuan
tersebut pada namanya, yaitu Berenike atau Veronika. Dengan Tafsir trauma kita melihat kisah
Berenike atau Veronika dari kacamata yang berbeda dan menemukan pemaknaan baru dari kisahnya. Saat ini kita membaca kisah Berenike atau Veronika sebagai narasi retak (a narrative of rupture). Markus 5 sebagai lanskap retak (a landscape of rupture) yang terdiri dari dua hal yaitu The Postures of
Rupture (Postur Retak) dan The Plot of Rupture (Plot Retak).
Pertama, the posture of rupture. Pada Markus 5: 1-20, teks ini menceritakan apa yang
terjadi pada orang Gerasa, dan pada ayat 21-24 tentang Yairus. Sementara pada ayat 25-34,
kisah Berenike atau Veronika menjadi semacam sisipan yang dianggap tidak penting. Pada ayat 35-43 diceritakan tentang Yairus dan anaknya. Jika kita melihat, kisah Berenike atau Veronika yang diceritakan di tengah kisah orang Gerasa dan Yairus serta anaknya tersebut telah mengganggu alur dan
penokohan dalam cerita Markus 5 ini. Sebuah retakan terjadi dalam narasi tersebut. Dari retakan inilah, tafsiran atau pembacaan atas kisah Markus 5 ini dilakukan.
“Siang malam ia berkeliaran di pekuburan dan di bukit-bukit sambil berteriak-teriak dan memukuli dirinya dengan batu. Ketika ia melihat Yesus dari jauh, berlarilah ia mendapatkan-
Nya lalu menyembah-Nya dan dengan keras ia berteriak . . .” (5:5-7a).
Pada ayat 1-20 tentang orang Gerasa berdiri di hadapan Yesus, bersuara nyaring, berteriak-teriak. Yesus berdiri di depan orang Gerasa, mendengar teriakannya, dan
melihatnya.Pada bagian ini kita menyadari bahwa ada suara-suara yang keluar dan didengar
oleh Yesus, sementara pada bagian Berenike atau Veronika, suaranya tidak terdengar atau senyap dan
hilang.
”dia sudah mendengar berita-berita tentang Yesus, maka di tengah-tengah orang banyak
itu ia mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jubah-Nya.” (5:27).
Berenike atau Veronika membungkuk di belakang Yesus, tak bersuara, menyentuh jubah Yesus. Ini adalah
postur pertama yang diperlihatkan oleh Berenike atau Veronika. Sementara itu, Yesus berdiri membelakangi Veronika, tak mendengar suaranya, dan tak melihatnya. Ini merupakan postur kedua yang diperlihatkan dalam kisah Veronika. Di sini rupture terwujud dalam dua postur retak yang paradoks, yaitu postur berdiri versus membungkuk, tak terdengar versus terdengar, menghadap versus membelakangi. Kedua postur retak ini terhubung secara paradoksal dan
mengganggu fokus pembaca yang diarahkan hanya pada salah satu dari bagian narasi ini. Jika kita melihat keseluruhan kisah ini dalam Markus 5 dan secara spesifik melihatnya dari sudut pandang Berenike atau Veronika, maka kita akan melihat adanya retakan-retakan di dalamnya yang perlu didalami.
Kedua, the plot of rupture. Plot retak berarti adanya narasi yang retak. Kelindan antara postur retak dan plot retak membentuk narasi retak. Di dalam Markus 5, Berenike atau Veronika mengatakan:
“Sebab katanya: ‘Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh.”
Seketika itu juga (immediately, at once) berhentilah pendarahannya dan ia merasa, bahwa badannya sudah sembuh dari penyakitnya.” Pada ketika itu juga (εὐθὺς, immediately, at once), Yesus
mengetahui, bahwa ada tenaga yang keluar dari diri-Nya, lalu Ia berpaling di tengah orang banyak dan bertanya: ‘Siapa yang menjamah jubah-Ku?” (5:29-30).
Ada dua kata yang sama dalam bahasa Yunani εὐθὺς yang diterjemahkan sebagai seketika itu juga dan pada itu juga. Ini berarti, sesuatu terjadi secara berkelindan. Di saat yang sama, ada peristiwa menyentuh terjadi sekaligus peristiwa di mana Yesus menyadari ada sesuatu yang keluar dari diri-Nya, sehingga membuat-Nya bertanya siapa yang menjamah jubah-Nya. Peristiwa ini merupakan keretakan yang menjadi daya dan kekuatan di dalam pembacaan ulang atas teks ini. Peristiwa ini berbeda dengan kisah Yesus dan orang Gerasa, di
mana pertanyaan Yesus kepada orang Gerasa bersifat langsung dan memperlihatkan bahwa
Yesus melihat orang itu
—”siapa namamu?” (5:9).
Sementara itu, jika kita bandingkan dengan peristiwa Berenike atau Veronika, pertanyaan Yesus kepada Veronika bersifat tidak langsung dan
mengindikasikan bahwa Yesus tidak mengetahui orang yang menyentuh jubah-Nya—
”siapa yang menjamah jubah-Ku? (5:30).
Di sini sebuah image yang berbeda tentang Yesus muncul. Yesus tidak diperlihatkan sebagai maha yang mengetahui. Dari kisahBerenike atau Veronika, kita melihat bahwa yang sakit yang datang menyentuh Tuhan (yang sakit, yang rapuh, kini kembali menjadi subjek).Berenike atau Veronika kini menjadi simbol dari
subjektivitas, pengakuan, dan penerimaan terhadap mereka yang dipinggirkan dan didiskriminasi karena penyakit mereka atau situasi dan kondisi mereka yang membuat
menjadi objek dari stigma.
Tenaga Tuhan keluar dari tubuh-Nya tanpa terkontrol. Gerakan pemulihan ini berbeda dari banyak klaim orang beragama yang menjadikan penyakit sebagai stigma religius (dosa)
dan stigma sosial (terpinggir/terdiskriminasi); yang sakit menjadi objek dan tak punya suara untuk membuat keputusan. Sang Penyembuh menjadi rapuh (vulnerable healer) ketika tenaga/kuasa pemulihan-Nya keluar dari diri-Nya atas ratapan senyap tubuh sang sakit. Kuasa/tenaga/energi itu keluar tanpa memilah, tanpa memilih. Ia keluar dari tubuh Tuhan
dan meresapi tubuh Berenike atau Veronika, tanpa saksi dan tanpa pengamatan dari publik. Di ruang
publik itu, sebuah momentum pemulihan terjadi tanpa suara, senyap, tetapi meretakkan
stigma, prasangka sosial dan religius tentang tubuh perempuan dan penyakit. Di ruang publik itu, sebuah laku pemulihan terjadi, tetapi tanpa saksi. Di sini, murid-murid Yesus dan
orang banyak gagal menjadi saksi. Pemulihan membutuhkan saksi. Kesaksian atau penyaksian kristiani adalah bagian dari proses pemulihan yang utuh. Narasi retak menjadikan Berenike atau Veronika sebagai tokoh utama. Pengalaman perempuan yang distigma akibat tubuh sakitnya digunakan sebagai perspektif/lensa/sudut pandang utama dalam membaca kembali narasi dalam Markus 5.
Refleksi
Dari kisah Berenike atau Veronika dan pemulihan yang dilakukan Tuhan kepadanya, saya berefleksi
bahwa Tuhan sebagai Pemulih menjadi rapuh. Energi Pemulih keluar dan memperlihatkan bahwa tubuh Pemulih menjadi rapuh untuk merasakan dan mengalami kerapuhan Berenike atau Veronika.
Jika Tuhan tetap pada posisi maha kuasa, maka Ia tidak mengalami apa yang dirasakan oleh Berenike atau Veronika. Di dalam kisah Berenike atau Veronika, kerapuhan Tuhan berjumpa dengan kerapuhannya Berenike atau Veronika. Berenike atau Veronika tidak berani datang ke hadapan Tuhan karena menyadari bahwa stigma sangat melekat kuat
pada dirinya. Namun Berenike atau Veronika menyakini, dengan menyentuh jubah Yesus, maka ia akan sembuh. Ini adalah suara yang dikeluarkan melalui trauma yang dialami Berenike atau Veronika. Hal inilah
yang sebenarnya hendak disampaikan Markus kepada kita yaitu mendengar suara trauma.
Kisah Berenike atau Veronika ini juga hendak mengatakan kepada kita bahwa bukan Penyembuh yang
menyentuh siapa yang sakit, sebaliknya Berenike atau Veronika yang menyentuh jubah Pemulihnya. Hal ini menyimbolkan dua hal paradoks yaitu jarak antara Sang Penyembuh, namun pada saat yang
sama ada kondisi yang sangat intim terbangun. Berenike atau Veronika percaya pada Tuhan, sehingga
energi Tuhan masuk ke dalam tubuhnya. Di sini, yang intim yang berjarak, yang privat dan
yang publik terjadi secara bersamaan tanpa kekerasan. Hal ini sebenarnya menjadi bagian dari orientasi pemulihan yaitu seseorang pulih tanpa menjadi bagian dari kekerasan. Refleksi ini mengingatkan kita bahwa Berenike atau Veronika melalui pemulihan yang ia alami
dibebaskan dari stigmatisasi. Jadi, pemulihan itu sendiri adalah pembebasan. Berenike atau Veronika bebas dari sistem yang tidak adil yang mewujud dalam stigma yang diberikan padanya. Ia juga
bebas untuk menciptakan dunia baru bagi dirinya sendiri, baik secara sosial, psikologis, medis, dsb. Berenike atau Veronika adalah saksi bahwa pemulihan itu penting dan ia menjadi saksi
pemulihan Tuhan.
(30.06.2021)(T)
PUSTAKA
1. Boase, Elizabeth and Christopher G. Frechette. 2016. Bible through the lens of trauma. Atlanta, GA: SBL Press.
2. Caruth, Cathy. 1996. Unclaimed experience: Trauma, narrative, history. Maryland: The
Johns Hopkins University Press.
3. Herman, Judith L. 1997. Trauma and recovery: The aftermath of violence-from domestic
abuse to political teror. New York: Basic Books.