Minggu, 30 Juni 2024

Sudut Pandang Membaca Ulang Markus 5:25-34 sebagai Tafsir atau Narasi Trauma dan Pemulihan

Sudut Pandang Membaca Ulang Markus 5:25-34 sebagai Tafsir atau Narasi Trauma dan Pemulihan

Trauma memiliki beragam definisi. Umumnya trauma dilekatkan pada kondisi psikologis seseorang pasca peristiwa besar, yang tidak dapat dikelola olehnya. Trauma tidak hanya terjadi pada seseorang atau individu, namun secara kolektif dapat terjadi pada sebuah komunitas (kasus Sodom dan Gomora). Trauma merampas kemampuan seseorang atau komunitas untuk merespons hal yang biasanya dapat direspons dengan baik. Oleh karena itu, untuk tidak terjebak pada luasnya definisi trauma, saya memilih beberapa definisi yang umumnya digunakan dalam studi trauma. Beberapa ahli mendefinisikan trauma. Sigmund Freud mengartikan trauma sebagai luka yang diderakan pada pikiran atau ingatan. Cathy Caruth mendefinisikan trauma sebagai 
suara luka. Menurut Judith Herman trauma sebagai sebuah peristiwa yang mengancam hidup, “life-threatening event”. Sementara itu, Shelly Rambo, seorang teolog, memberi definisi trauma sebagai penderitaan yang tersisa, yang tidak kunjung pergi. Dari pengertian-pengertian tersebut diperlihatkan bahwa peristiwa traumatis dapat terjadi baik secara individual maupun komunal. 

Trauma dan Pemulihan
Trauma disebabkan oleh beragam hal dan peristiwa termasuk kekerasan dan stigma. 
Peristiwa trauma tersebut meninggalkan efek negatif pada tubuh, spiritual, psikologis dan 
kehidupan sosial seseorang. Oleh karena itu, diperlukan respons yang tepat untuk menolong mereka yang mengalami trauma untuk pulih dari kondisi tersebut. Judith Herman dalam bukunya yang berjudul Trauma and Recovery menjelaskan tiga langkah pemulihan trauma. 

Pertama, rasa aman dan keamanan. Kedua hal ini mesti diciptakan oleh orang yang mengalami trauma akibat kekerasan. 

Kedua, mengingat dan meratap. Orang yang mengalami trauma biasanya tidak langsung bisa menceritakan pengalaman yang ia alami. Namun, jika rasa aman sudah tersedia, kemungkinan penyintas dapat ditolong dan didampingi untuk
menceritakan apa yang terjadi. Proses penceritaan tersebut dapat dilakukan dalam berbagai 
bentuk. Pada tahap ini yang terpenting adalah cara orang mengingat diwadahi secara baik, 
sehingga ketika mengingat peristiwa, penyintas dapat meratap tanpa harus putus harapan.

Ketiga, terhubung dan terintegrasi kembali dengan orang lain. Trauma menyebabkan seseorang mengalami putusnya hubungan dalam ruang-ruang sosial, termasuk orang terdekat. Pada fase ketiga, seseorang dihubungkan kembali dengan apa yang sudah terputus 
akibat peristiwa trauma. 
Trauma Ruptures Theology

Cathy Caruth mengatakan: 
Trauma seems to be much more than a pathology, or the simple illness of a wounded psyche: it is 
always the story of a wound that cries out, that addresses us in the attempt to tell us of a reality or 
truth that is not otherwise available. This truth, in its delayed appearance and its belated address, 
cannot be linked only to what is known, but also to what remains unknown in our very actions and 
our language (Cathy Caruth 1996, 4).

Dari pemaparan Caruth, kita dapat melihat bahwa trauma bukan sesuatu yang sederhana, 
namun hal tersebut nyata terjadi di dalam kehidupan baik seseorang maupun komunitas 
termasuk gereja. Dalam konteks teologi, trauma dengan segala kompleksitasnya sebenarnya 
mengganggu teologi. Trauma mengganggu teologi yang umumnya dilihat sebagai jawaban 
dan kepastian atas semua persoalan. Misalnya, dalam pengajaran gereja-gereja ada 
pemahaman bahwa pada akhirnya persoalan termasuk luka akan pulih atau sembuh. Namun 
studi trauma memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang tertinggal pada ingatan seseorang akibat peristiwa terjadi yang memberikan beragam macam efek pada mental dan tubuh 
seseorang. Menurut teologi Protestan yang cenderung menghapus luka (erasing 
wounds) harus diganggu dan digugat demi menghasilkan respons teologis yang relevan bagi pengalaman dan fenomena trauma. Salah satu cara untuk mengganggu dan menggugat teologi yang mengabaikan 
pengalaman trauma adalah dengan pembacaan teks-teks Alkitab dengan menggunakan perspektif trauma. Dalam membaca teks Alkitab kita perlu melakukan interpretasi kembali agar kita dapat terlibat memberi kontribusi terhadap upaya pemulihan trauma. Menurut Caruth diperlukan sebuah cara baca yang mempertimbangkan apa yang terjadi 
pada mereka yang mengalami trauma. Secara teologis, dengan menggunakan lensa baru, apa 
yang dapat kita temukan, termasuk kehendak Allah ketika kita membaca teks Alkitab?  Membaca Alkitab dengan perspektif trauma menolong kita untuk melihat sejauh mana 
tanggung jawab kita sebagai gereja sekaligus masyarakat untuk terlibat dalam pemulihan yang holistik. 

Tafsir Trauma atau teologi Trauma: Apa, Mengapa, dan Bagaimana?

Christopher Frechette dan Elizabeth Boase dalam buku Bible Through the Lens of Trauma
mengatakan bahwa “trauma hermeneutics is used to interpret texts in their historical contexts 
and as a means of exploring the appropriation of texts, in contexts both past and present” 
(Frechette and Boase 2016, 2).

Tafsir trauma bersifat mulitidimensi dan multi arah. Artinya, ia tidak dapat menjadi sebuah dispilin atau fokus riset tunggal tanpa memanfaatkan 
sumber-sumber lain. Tafsir trauma menjadikan trauma sebagai lensa dalam tafsir Alkitab. Lensa ini bersifat multidimensi dan multiarah karena ia digunakan dalam dialog 
dengan kerangka teoritis dan disiplin keilmuan yang beragam. Teologi trauma bersifat 
interdisipliner: psikologis, sosiologis, teologis, sastra, kultural, estetika/seni.Tafsir adalah proses pemaknaan. Pemaknaan tersebut kemudian mewujud menjadi sebuah tawaran pemikiran yaitu konstruksi teologis trauma. Tafsir trauma dan juga pendekatan konstruksi trauma pada akhirnya menghasilkan narasi trauma. 
Judith Butler mengatakan the loss of meaning, yaitu hilangnya makna pada sebuah peristiwa. Hal ini terjadi pada trauma, di mana memori seseorang terganggu dan ia tidak 
mampu menyusun kembali ingatan yang terjadi pada dirinya. Pada umumnya orang yang mengalami trauma tidak mampu memberi makna pada peristiwa yang ia alami. Di sini, fungsi teologi pada konteks trauma adalah memberi kerangka teologis yaitu bagaimana 
makna itu dapat muncul atas peristiwa traumatis seperti kekerasan yang terjadi pada 
seseorang. Dari sini proses pemulihan juga terjadi. Tafsir trauma sekaligus adalah Tafsir pemulihan. Ia memberi kerangka 
teologis yang baru kepada seseorang atau komunitas yang mengalami trauma, sehingga 
trauma tidak menghilangkan makna, melainkan dengan perspektif yang baru, menghasilkan 
makna yang baru. Dengan demikian teologi yang saya kembangkan merujuk pada Shelly 
Rambo, bukan semata-mata sistematika dari berbagai macam pemikiran, tetapi teologi sebagai 
sebuah diskursus pemulihan, yang tidak mengasingkan pengalaman ragawi. Di sini saya juga 
hendak menekankan bahwa tubuh sebagai bagian penting dalam proses pemulihan. 

Model Tafsir Trauma, Saya membaca kurang lebih ada empat model Tafsir trauma antara lain : 
Hermeneutics of Rupture
(Tafsir Retak), Hermeneutics of the Unsayable (Tafsir Tak tertutur), 
Hermeneutics of Resilience (Tafsir Daya lenting) dan Hermeneutics of Remaining
(Tafsir Tertinggal/Tersisa). Namun, saya akan berfokus pada model Tafsir retak dalam kaitannya dengan menafsir atau membaca kembali kisah dalam Markus 5:25-34. 

Hermeneutics of Rupture (Tafsir Retak) 
Rupture diartikan sebagai pecah atau retak. Rupture adalah sebuah kondisi ketika pengalaman tertentu tidak lagi sama dengan yang sebelumnya. Rupture atau retak digunakan 
sebagai sebuah analogi untuk membahasakan pendekatan Tafsir yang digunakan 
untuk membahas teks Markus tersebut. Saat ini saya lebih memilih menggunakan kata retak 
sebagai analogi untuk memperlihatkan bahwa di tengah retak tersebut ada cahaya. Analogi 
ini akan menolong kita membandingkan satu kondisi dengan kondisi lainnya.
Tafsir  retak mengganggu, menyelidiki, dan mengacaukan klaim-klain iman dan 
narasi-narasi yang mengabaikan luka [trauma]. Tafsir ini mengimajinasikan ulang, mengonfigurasi teks-teks, simbol, dan narasi suci dari kompleksitas kelindan-senyap antara luka [trauma] dan pemulihan dan merekonstruksi sebuah teologi dan praksis hidup yang bertahan dan sebuah cinta yang menetap di kedalaman jurang luka [trauma].
Destigmatisasi Identitas dan tubuh Perempuan. Tafsir trauma hendak membaca kembali Alkitab dari sudut pandang trauma, demi meluruhkan stigma religius terhadap tubuh perempuan yang sebenarnya telah 
menyebabkan trauma bagi perempuan. Stigma, pelekatan pada identitas seseorang yang 
dianggap normal dan akhirnya menjadi sebuah kebenaran sangat sulit untuk didekonstruksi 
atau di destigmatisasi. Namun, upaya membaca ulang Alkitab dari lensa trauma memberi perspektif pembebasan yang berdampak bagi mereka yang mengalami trauma. Membaca Alkitab dari sudut pandang trauma adalah bagian dari proses pemulihan trauma yang 
holistik. 
Namanya Beenike dalam tradisi gerejawi atau dalam tradisi latin  Veronika Bukan “Perempuan yang Sakit Pendarahan” (Markus 5:25-34) Kisah dalam Markus 5:25-34 menceritakan pengalaman sakit pendarahan seorang perempuan, yang pada akhirnya pengalaman tersebut menjadi label baginya. Ia yang mestinya memiliki nama, disebut atau dilekatkan dengan kondisinya sehingga pembaca 
mengenalnya sebagai perempuan yang sakit pendarahan. Di sini, tafsir trauma hendak melakukan dekonstruksi, destigmatisasi, dan melekatkan kembali perempuan 
tersebut pada namanya, yaitu Berenike atau Veronika. Dengan Tafsir trauma kita melihat kisah 
Berenike atau Veronika dari kacamata yang berbeda dan menemukan pemaknaan baru dari kisahnya. Saat ini kita membaca kisah Berenike atau Veronika sebagai narasi retak (a narrative of rupture). Markus 5 sebagai lanskap retak (a landscape of rupture) yang terdiri dari dua hal yaitu The Postures of 
Rupture (Postur Retak) dan The Plot of Rupture (Plot Retak). 

Pertama, the posture of rupture. Pada Markus 5: 1-20, teks ini menceritakan apa yang 
terjadi pada orang Gerasa, dan pada ayat 21-24 tentang Yairus. Sementara pada ayat 25-34, 
kisah Berenike atau Veronika menjadi semacam sisipan yang dianggap tidak penting. Pada ayat 35-43 diceritakan tentang Yairus dan anaknya. Jika kita melihat, kisah Berenike atau  Veronika yang diceritakan di tengah kisah orang Gerasa dan Yairus serta anaknya tersebut telah mengganggu alur dan 
penokohan dalam cerita Markus 5 ini. Sebuah retakan terjadi dalam narasi tersebut. Dari retakan inilah, tafsiran atau pembacaan atas kisah Markus 5 ini dilakukan.

“Siang malam ia berkeliaran di pekuburan dan di bukit-bukit sambil berteriak-teriak dan memukuli dirinya dengan batu. Ketika ia melihat Yesus dari jauh, berlarilah ia mendapatkan-
Nya lalu menyembah-Nya dan dengan keras ia berteriak . . .” (5:5-7a). 

Pada ayat 1-20 tentang orang Gerasa berdiri di hadapan Yesus, bersuara nyaring, berteriak-teriak. Yesus berdiri di depan orang Gerasa, mendengar teriakannya, dan 
melihatnya.Pada bagian ini kita menyadari bahwa ada suara-suara yang keluar dan didengar 
oleh Yesus, sementara pada bagian Berenike atau Veronika, suaranya tidak terdengar atau senyap dan 
hilang. 

”dia sudah mendengar berita-berita tentang Yesus, maka di tengah-tengah orang banyak 
itu ia mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jubah-Nya.” (5:27).

Berenike atau Veronika membungkuk di belakang Yesus, tak bersuara, menyentuh jubah Yesus. Ini adalah 
postur pertama yang diperlihatkan oleh Berenike atau Veronika. Sementara itu, Yesus berdiri membelakangi Veronika, tak mendengar suaranya, dan tak melihatnya. Ini merupakan postur kedua yang diperlihatkan dalam kisah Veronika. Di sini rupture terwujud dalam dua postur retak yang paradoks, yaitu postur berdiri versus membungkuk, tak terdengar versus terdengar, menghadap versus membelakangi. Kedua postur retak ini terhubung secara paradoksal dan 
mengganggu fokus pembaca yang diarahkan hanya pada salah satu dari bagian narasi ini. Jika kita melihat keseluruhan kisah ini dalam Markus 5 dan secara spesifik melihatnya dari sudut pandang Berenike atau Veronika, maka kita akan melihat adanya retakan-retakan di dalamnya yang perlu didalami. 

Kedua, the plot of rupture. Plot retak berarti adanya narasi yang retak. Kelindan antara postur retak dan plot retak membentuk narasi retak. Di dalam Markus 5, Berenike atau Veronika mengatakan:

 “Sebab katanya: ‘Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh.”

Seketika itu juga (immediately, at once) berhentilah pendarahannya dan ia merasa, bahwa badannya sudah sembuh dari penyakitnya.” Pada ketika itu juga (εὐθὺς, immediately, at once), Yesus 
mengetahui, bahwa ada tenaga yang keluar dari diri-Nya, lalu Ia berpaling di tengah orang banyak dan bertanya: ‘Siapa yang menjamah jubah-Ku?” (5:29-30).
Ada dua kata yang sama dalam bahasa Yunani εὐθὺς yang diterjemahkan sebagai seketika itu juga dan pada itu juga. Ini berarti, sesuatu terjadi secara berkelindan. Di saat yang sama, ada peristiwa menyentuh terjadi sekaligus peristiwa di mana Yesus menyadari ada sesuatu yang keluar dari diri-Nya, sehingga membuat-Nya bertanya siapa yang menjamah jubah-Nya. Peristiwa ini merupakan keretakan yang menjadi daya dan kekuatan di dalam pembacaan ulang atas teks ini. Peristiwa ini berbeda dengan kisah Yesus dan orang Gerasa, di 
mana pertanyaan Yesus kepada orang Gerasa bersifat langsung dan memperlihatkan bahwa 
Yesus melihat orang itu

—”siapa namamu?” (5:9). 

Sementara itu, jika kita bandingkan dengan peristiwa Berenike atau Veronika, pertanyaan Yesus kepada Veronika bersifat tidak langsung dan 
mengindikasikan bahwa Yesus tidak mengetahui orang yang menyentuh jubah-Nya—

”siapa yang menjamah jubah-Ku? (5:30). 

Di sini sebuah image yang berbeda tentang Yesus muncul. Yesus tidak diperlihatkan sebagai maha yang mengetahui. Dari kisahBerenike atau  Veronika, kita melihat bahwa yang sakit yang datang menyentuh Tuhan (yang sakit, yang rapuh, kini kembali menjadi subjek).Berenike atau  Veronika kini menjadi simbol dari
subjektivitas, pengakuan, dan penerimaan terhadap mereka yang dipinggirkan dan didiskriminasi karena penyakit mereka atau situasi dan kondisi mereka yang membuat 
menjadi objek dari stigma.
Tenaga Tuhan keluar dari tubuh-Nya tanpa terkontrol. Gerakan pemulihan ini berbeda dari banyak klaim orang beragama yang menjadikan penyakit sebagai stigma religius (dosa) 
dan stigma sosial (terpinggir/terdiskriminasi); yang sakit menjadi objek dan tak punya suara untuk membuat keputusan. Sang Penyembuh menjadi rapuh (vulnerable healer) ketika tenaga/kuasa pemulihan-Nya keluar dari diri-Nya atas ratapan senyap tubuh sang sakit. Kuasa/tenaga/energi itu keluar tanpa memilah, tanpa memilih. Ia keluar dari tubuh Tuhan 
dan meresapi tubuh Berenike atau Veronika, tanpa saksi dan tanpa pengamatan dari publik. Di ruang 
publik itu, sebuah momentum pemulihan terjadi tanpa suara, senyap, tetapi meretakkan 
stigma, prasangka sosial dan religius tentang tubuh perempuan dan penyakit. Di ruang publik itu, sebuah laku pemulihan terjadi, tetapi tanpa saksi. Di sini, murid-murid Yesus dan 
orang banyak gagal menjadi saksi. Pemulihan membutuhkan saksi. Kesaksian atau penyaksian kristiani adalah bagian dari proses pemulihan yang utuh. Narasi retak menjadikan Berenike atau Veronika sebagai tokoh utama. Pengalaman perempuan yang distigma akibat tubuh sakitnya digunakan sebagai perspektif/lensa/sudut pandang utama dalam membaca kembali narasi dalam Markus 5.

Refleksi
Dari kisah Berenike atau Veronika dan pemulihan yang dilakukan Tuhan kepadanya, saya berefleksi 
bahwa Tuhan sebagai Pemulih menjadi rapuh. Energi Pemulih keluar dan memperlihatkan bahwa tubuh Pemulih menjadi rapuh untuk merasakan dan mengalami kerapuhan Berenike atau Veronika. 
Jika Tuhan tetap pada posisi maha kuasa, maka Ia tidak mengalami apa yang dirasakan oleh Berenike atau Veronika. Di dalam kisah Berenike atau Veronika, kerapuhan Tuhan berjumpa dengan kerapuhannya Berenike atau  Veronika. Berenike atau Veronika tidak berani datang ke hadapan Tuhan karena menyadari bahwa stigma sangat melekat kuat 
pada dirinya. Namun Berenike atau Veronika menyakini, dengan menyentuh jubah Yesus, maka ia akan sembuh. Ini adalah suara yang dikeluarkan melalui trauma yang dialami Berenike atau Veronika. Hal inilah 
yang sebenarnya hendak disampaikan Markus kepada kita yaitu mendengar suara trauma. 
Kisah Berenike atau Veronika ini juga hendak mengatakan kepada kita bahwa bukan Penyembuh yang 
menyentuh siapa yang sakit, sebaliknya Berenike atau  Veronika yang menyentuh jubah Pemulihnya. Hal ini menyimbolkan dua hal paradoks yaitu jarak antara Sang Penyembuh, namun pada saat yang 
sama ada kondisi yang sangat intim terbangun. Berenike atau Veronika percaya pada Tuhan, sehingga 
energi Tuhan masuk ke dalam tubuhnya. Di sini, yang intim yang berjarak, yang privat dan 
yang publik terjadi secara bersamaan tanpa kekerasan. Hal ini sebenarnya menjadi bagian dari orientasi pemulihan yaitu seseorang pulih tanpa menjadi bagian dari kekerasan. Refleksi ini mengingatkan kita bahwa Berenike atau  Veronika melalui pemulihan yang ia alami 
dibebaskan dari stigmatisasi. Jadi, pemulihan itu sendiri adalah pembebasan. Berenike atau Veronika bebas dari sistem yang tidak adil yang mewujud dalam stigma yang diberikan padanya. Ia juga 
bebas untuk menciptakan dunia baru bagi dirinya sendiri, baik secara sosial, psikologis, medis, dsb. Berenike atau Veronika adalah saksi bahwa pemulihan itu penting dan ia menjadi saksi 
pemulihan Tuhan.

(30.06.2021)(T)

PUSTAKA
1. Boase, Elizabeth and Christopher G. Frechette. 2016. Bible through the lens of trauma. Atlanta, GA: SBL Press. 
2. Caruth, Cathy. 1996. Unclaimed experience: Trauma, narrative, history. Maryland: The 
Johns Hopkins University Press. 
3. Herman, Judith L. 1997. Trauma and recovery: The aftermath of violence-from domestic 
abuse to political teror. New York: Basic Books.

Sabtu, 29 Juni 2024

SUDUT PANDANG MARKUS 5:21-43, 𝗩𝗲𝗿𝗼𝗻𝗶𝗸𝗮


SUDUT PANDANG MARKUS 5:21-43, 𝗩𝗲𝗿𝗼𝗻𝗶𝗸𝗮

Kitab-kitab Injil hendaklah tidak dibaca sebagai laporan jurnalistik historis. Kitab Injil dikarang dengan genre sastra yang kerap ada bagian terlihat sulit dan tidak jelas. Kitab Injil juga tidak boleh dihampiri dengan cara psikologis agar dirasakan mudah dicerna. Kita perlu  melihat teks secara saksama dengan menimbang konteksnya, kemudian bertanya-tanya untuk apa cerita ini dikarang dan peranannya bagi jemaat Kristen perdana. Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu memang sukar, tetapi perlu ada upaya.

Hari ini adalah Minggu keenam setelah Pentakosta. Bacaan dari Injil Markus 5:21-43 

Bacaan Injil Minggu ini perikopnya diberi judul oleh LAI 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘬𝘪𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘠𝘢𝘪𝘳𝘶𝘴 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘮𝘣𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘦𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘢𝘳𝘢𝘩𝘢𝘯. Konteks bacaan adalah Markus 4-5. Pasal 4 merupakan kumpulan perumpamaan, pasal 5 kumpulan cerita mukjizat. Kedua pasal tersebut dirangkai oleh Markus seolah-olah sehari. Bacaan Minggu ini merupakan cerita mukjizat ketiga dan keempat.

Dalam Sudut 𝘗𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨 Minggu lalu dikisahkan Yesus pergi ke seberang sesudah mengajar orang banyak lewat perumpamaan-perumpamaan. Dari Galilea ke wilayah Dekapolis yang dihuni oleh bangsa bukan-Yahudi. Di sana Yesus mengusir roh-roh jahat yang merasuki orang Gerasa. Yesus dan para murid kemudian menyeberang kembali ke Galilea. 

Bacaan Minggu ini merupakan dua cerita yang berbeda disatukan oleh Markus. Cara merangkainya juga kreatif. Yairus, kepala sinagoge (rumah ibadat Yahudi), memohon Yesus datang ke rumahnya untuk menyembuhkan anak perempuannya yang sekarat. Dalam perjalanan ke rumahnya Yesus menyembuhkan seorang perempuan yang menderita sakit pendarahan menahun. Adegan selanjutnya Yesus di rumah Yairus.

Pengulasan bacaan diurai ke dalam tiga bagian:
🛑 Yesus dan Yairus (ay. 21-24)
🛑 Yesus dan perempuan sakit pendarahan (ay. 25-34)
🛑 Yesus dan anak perempuan Yairus (ay. 35-43)

𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 𝗱𝗮𝗻 𝗬𝗮𝗶𝗿𝘂𝘀 (ay. 21-24)

𝘚𝘦𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘩𝘶 … (ay. 21) menunjukkan perpindahan lokasi adegan, dari Dekapolis kembali ke Galilea. Orang banyak berbondong-bondong datang lalu mengerumuni Dia. Sementara Ia berada di tepi danau, datanglah seorang kepala sinagoge yang bernama Yairus (ay. 22). 

Dalam Gereja modern kepala sinagoge sejajar dengan koster. Dalam 𝘊𝘢𝘵𝘩𝘰𝘭𝘪𝘤 𝘌𝘯𝘤𝘺𝘤𝘭𝘰𝘱𝘦𝘥𝘪𝘢 (Vol. 13) Paus Gregorius IX mengatakan bahwa koster adalah jabatan terhormat. Dalam buku 𝘊æ𝘳𝘦𝘮𝘰𝘯𝘪𝘢𝘭𝘦 𝘦𝘱𝘪𝘴𝘤𝘰𝘱𝘳𝘶𝘮 terdapat aturan bahwa koster dalam gereja-gereja katedral dan perguruan tinggi adalah seorang imam. Tugas-tugasnya berpautan dengan sakristi, hosti kudus, bejana baptis, minyak suci, relikui suci, dekorasi gereja untuk setiap perayaan dan masa yang berbeda, persiapan kebutuhan beragam upacara, membunyikan lonceng gereja, memelihara keteraturan dalam gereja, dan mengatur jadwal ibadah, serta menentukan pembaca kitab suci dan pengajar/pengkhotbah. Di Gereja-Gereja Protestan di Indonesia koster turun dahsyat menjadi pesuruh atau 𝘰𝘧𝘧𝘪𝘤𝘦 𝘣𝘰𝘺 Gereja. Mengenaskan!

Nama Yairus (Ibr. 𝘺𝘢 ‘𝘪𝘳, berarti 𝘋𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯𝘬𝘢𝘯) laksana hendak mengantisipasi akhir cerita. Ia sujud di depan kaki Yesus dan memohon dengan sangat agar Yesus mau meletakkan tangan-Nya atas anak perempuannya yang sedang sekarat di rumahnya (ay. 22-23). Tidak ada jawaban eksplisit Yesus, kecuali Ia langsung bergerak berangkat ke rumah Yairus. Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan berdesak-desakkan di dekat-Nya (ay. 24). Kali ini 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 bukan sekadar pelengkap cerita, tetapi menjadi bagian sangat penting. Penekanan pada 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 membuat cerita selanjutnya lebih tegang dan dramatis.

𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 𝗱𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗿𝗲𝗺𝗽𝘂𝗮𝗻 𝘀𝗮𝗸𝗶𝘁 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗮𝗿𝗮𝗵𝗮𝗻 (ay. 25-34)

Dalam perjalanan Yesus menuju rumah Yairus di situ ada perempuan yang sudah 12 tahun menderita pendarahan. Ia sudah menghabiskan semua harta bendanya untuk berobat kepada berbagai tabib, tetapi tidak juga sembuh, malah memburuk (ay. 25-26). Markus memandang penting mengangkat kisah ini bukan lantaran penyakit perempuan itu dari sisi medis, melainkan melampaui itu. Pendarahan (haid) dipandang najis oleh hukum Yahudi (lih. Im. 15:25). Ia tersingkirkan secara sosial dan agama. Dalam kisah ini kita akan melihat iman perempuan ini yang dikontraskan dengan iman para murid dalam episode 𝘈𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘳𝘪𝘣𝘶𝘵 𝘥𝘪𝘳𝘦𝘥𝘢𝘬𝘢𝘯 (lih. Mrk. 4:35-41).

Perempuan itu sudah mendengar berita tentang Yesus, maka di tengah-tengah orang banyak itu ia mendekati Yesus dari belakang dan menyentuh jubah-Nya. Ia percaya dengan menyentuh jubah-Nya saja, ia akan sembuh. Seketika itu juga berhentilah pendarahannya dan ia merasa badannya sudah sembuh dari penyakit (ay. 27-29). Bandingkan dengan iman para murid Yesus. Yesus menegur mereka, "𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘢𝘬𝘶𝘵? 𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢?" (Mrk. 4:40). Mengikut Yesus membutuhkan iman yang aktif. Kalau percaya, tidak perlu takut. Hal itu tak dilakukan oleh para murid. Perempuan itu percaya dan tidak takut bergerak aktif menyentuh jubah Yesus.

Dalam kerumunan orang banyak Yesus mengetahui ada tenaga yang keluar dari-Nya. Murid-murid Yesus tak mengetahuinya. Yesus memandang sekeliling-Nya untuk melihat siapa yang melakukan hal itu (ay. 30-32). Perempuan itu takjub sekaligus gentar ketika mengetahui yang telah terjadi pada dirinya. Ia pun sujud di depan Yesus dan menyampaikan semua yang sudah terjadi (ay. 33).

Jawaban Yesus mencengangkan, “𝘏𝘢𝘪, 𝘢𝘯𝘢𝘬-𝘒𝘶, 𝘪𝘮𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯𝘮𝘶. 𝘗𝘦𝘳𝘨𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘮𝘢𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘮𝘣𝘶𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘬𝘪𝘵𝘮𝘶!” (ay. 34) Perempuan itu bukan saja sembuh, tetapi juga pergi dengan sembuh dan selamat, dengan 𝘴𝘺𝘢𝘭𝘰𝘮. Yesus memulihkan harga diri perempuan itu, mengembalikan kemanusiaannya secara utuh. Ia sekarang boleh kembali di tengah umat. Dalam tradisi gerejawi perempuan itu diberi nama 𝘉𝘦𝘳𝘦𝘯𝘪𝘬𝘦, yang dalam tradisi Latin menjadi 𝘝𝘦𝘳𝘰𝘯𝘪𝘬𝘢.

𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 𝗱𝗮𝗻 𝗮𝗻𝗮𝗸 𝗽𝗲𝗿𝗲𝗺𝗽𝘂𝗮𝗻 𝗬𝗮𝗶𝗿𝘂𝘀 (ay. 35-43)

Ketika Yesus masih berbicara (dengan perempuan itu) datanglah orang dari keluarga kepala sinagoge itu dan berkata kepadanya, “𝘈𝘯𝘢𝘬𝘮𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭, 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘢𝘱𝘢 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘶𝘴𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘎𝘶𝘳𝘶?” (ay. 35) Di sini Markus panggah menyebut jabatan Yairus untuk menekankan bahwa jabatan kepala sinagoge itu terhormat. Pada sisi lain orang itu percaya pada kuasa Yesus, tetapi kuasa-Nya terbatas. Sudah terlambat. Tidak dapat disembuhkan lagi karena anak itu sudah meninggal. 

Yesus tidak menghiraukan informasi itu dan tanggapan Yesus jauh berbeda ketika Ia menegur para murid dalam episode sebelumnya, "𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘢𝘬𝘶𝘵? 𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢?" (Mrk. 4:40). Dalam episode sekarang Yesus berkata kepada kepala sinagoge, “𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘬𝘶𝘵, 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢!” (ay. 36). Di sini Yesus secara eksplisit mementingkan iman secara radikal. Iman yang aktif. Orang-orang terkagum-kagum pada mukjizat yang dibuat Yesus, tetapi tidak mengantarkan mereka untuk beriman. Hal ini ditunjukkan lewat adegan selanjutnya. Yesus membatasi orang-orang yang ikut serta dengan-Nya, yakni Petrus, Yakobus, dan Yohanes (saudara Yakobus) (ay. 37). Yesus tak membutuhkan orang banyak bersorak-sorai atas mukjizat yang dibuat-Nya.

Tindakan Yesus membatasi orang terbukti saat Ia tiba di rumah kepala sinagoge itu. Orang-orang menertawai Yesus ketika Ia mengatakan bahwa anak perempuan Yairus itu tidur, tidak mati. Yesus menyuruh mereka keluar. Yesus hanya mengajak Petrus, Yakobus, dan Yohanes, serta Yairus dan istrinya ke kamar anak itu (ay. 38-40).

Di kamar Yesus memegang tangan anak itu dan berkata, “𝘛𝘢𝘭𝘪𝘵𝘢 𝘬𝘶𝘮,” yang berarti, “𝘏𝘢𝘪, 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘦𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯, 𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶, 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯𝘭𝘢𝘩!” Seketika itu juga anak itu bangun dan berjalan, karena usianya sudah 12 tahun. Mereka semua sangat takjub. (ay. 41-42)

𝘛𝘢𝘭𝘪𝘵𝘢 𝘬𝘶𝘮 (atau 𝘵𝘢𝘭𝘪𝘵𝘢 𝘲𝘶𝘮) adalah bahasa Aram yang dipercaya digunakan oleh Yesus-historis sebagai bahasa pengantar. Bukan hanya kata atau frase itu yang ditulis oleh Markus. Kita dapat menemukan kata atau frase yang lain di Injil Markus seperti 𝘉𝘰𝘢𝘯𝘦𝘳𝘨𝘦𝘴 (3:17), 𝘲𝘰𝘳𝘣𝘢𝘯 (7:11), 𝘌𝘧𝘧𝘢𝘵𝘢 (7:34), 𝘏𝘰𝘴𝘢𝘯𝘢 (11:9), 𝘎𝘰𝘭𝘨𝘰𝘵𝘢 (15:22), dan 𝘌𝘭𝘰𝘪, 𝘌𝘭𝘰𝘪, 𝘭𝘦𝘮𝘢 𝘴𝘢𝘣𝘢𝘬𝘩𝘵𝘢𝘯𝘪 (15:34). Hanya 𝘩𝘰𝘴𝘢𝘯𝘢 yang tidak diterjemahkan oleh Markus. Di sini Markus hendak menunjukkan tradisi gerejawi memelihara sejumlah ucapan asli Yesus-historis, bukan memandang 𝘵𝘢𝘭𝘪𝘵𝘢 𝘲𝘶𝘮 sebagai mantra.

Pesan teologis lain dari ayat di atas adalah kebangkitan orang mati menjadi satu dari sejumlah harapan mesianik. Meskipun kebangkitan itu belum diyakini oleh seluruh bangsa Yahudi, tetapi Yesus menjadikannya unsur sentral dalam pewartaan-Nya. Pembangkitan anak Yairus merupakan pratanda kebangkitan Yesus yang adalah kemenangan atas kematian.

Kisah pembangkitan anak perempuan Yairus ditutup dengan pesan Yesus dengan sangat agar jangan seorang pun mengetahui hal itu. Ia pun menyuruh mereka memberi makan anak itu. (ay. 43) Kuasa Yesus atas kematian itu sebagai kuasa Mesias belum boleh diberitakan. Mengapa? Alasannya dapat kita jumpai dalam episode-episode selanjutnya, yaitu Yesus belum bangkit dari antara orang mati (lih. Mrk. 8:31; 9:9).

Di atas kita sudah melihat pengarang Injil Markus bercerita mengenai mukjizat terjadi bukan agar orang percaya kepada Yesus. Justru sebaliknya Markus menunjukkan bahwa orang-orang meragukan Yesus membuat mukjizat begitu melihat anak Yairus meninggal. Sudah terlambat untuk membuat mukjizat penyembuhan. Lewat cerita mukjizat ini Markus hendak menggembala jemaat atau pembaca kitab Injilnya bagaimana beriman dengan benar, beriman secara aktif. Beriman bukan karena mukjizat. Dalam Markus 6 secara eksplisit mukjizat tidak terjadi bukan karena Yesus tidak berkuasa, melainkan penduduk Nazaret menolak untuk beriman kepada Yesus. Apabila kita bandingkan dengan Injil Yohanes, percaya kepada Yesus lantaran mukjizat adalah iman yang tak autentik (mis. Yoh. 4:41-42).
 (30062024)(T)

Kamis, 27 Juni 2024

PERGESERAN PEMAHAMAN TAFSIR TENTANG PERISTIWA YAIRUS DAN WANITA YANG MENGALAMI PENDARAHAN, SERIAL SUDUT PANDANG

PERGESERAN PEMAHAMAN TAFSIR TENTANG PERISTIWA YAIRUS DAN WANITA YANG MENGALAMI PENDARAHAN, SERIAL SUDUT PANDANG

 PENGANTAR
Dengan munculnya pencarian modern akan Yesus historis, para teolog mulai mempertanyakan pandangan tradisional tentang Yesus sebagai penyembuh tubuh manusia. Meskipun kecurigaan yangsemakin besar terhadap peran Yesus sebagai penyembuh tubuh secara harafiah umumnya ditelusuri berasal dari pengaruh zaman Pencerahan, dalam esai ini, saya ingin menyatakan bahwa akar marginalisasi teologis ini berakar lebih dalam, yaitu pada Reformasi Protestan abad ke-16, ketika supernatural belum sama dengan takhayul. Esai ini akan membahas dua eksegese yang mewakili penyembuhan wanita yang menderita pendarahan dalam Markus 5:25–34, yang ditawarkan oleh Martin Luther dan John Calvin. Analisis saya akan mengungkap pergeseran penekanan hermeneutis dari pemulihan perempuan yang mengalami pendarahan ke dinamika imannya, dan akibatnya, sebuah visi Protestan baru tentang peran Yesus dalam cerita tersebut, yang menurut saya terjadi karena pentingnya iman secara teologis. reformis Protestan.

ISI
1. Perkenalan
Dengan munculnya pencarian modern akan Yesus yang historis, para teolog mulai semakin mempertanyakan pandangan tradisional tentang Yesus sebagai penyembuh tubuh manusia. Misalnya, interpretasi yang berpengaruh pada abad kesembilan belas dan kedua puluh tentang mukjizat penyembuhan Yesus mencakup manifestasi kehendak moralnya (Schweitzer), ekspresi eksistensial dan simbolis tentang hubungan dengan Yang Mutlak (Bultmann), tindakan sihir (Smith), dan contoh penyembuhan yang diinformasikan oleh penderitaan penyembuh itu sendiri (Remus). 1 Sementara kecurigaan yang berkembang tentang peran Yesus sebagai penyembuh tubuh secara harfiah umumnya ditelusuri ke pengaruh Pencerahan, dalam esai ini, saya akan menyatakan bahwa akar dari marginalisasi teologis ini berjalan lebih dalam, dalam Reformasi Protestan abad keenam belas, ketika yang supernatural belum menyamai yang takhayul. Esai ini akan mengkaji dua penafsiran representatif tentang penyembuhan perempuan yang mengalami pendarahan dalam Markus 5:25–34, yang disampaikan oleh penggagas utama Reformasi Protestan, Martin Luther, dan pemikir sistematis terkemuka Protestanisme awal, John Calvin. Analisis saya akan mengungkap pergeseran penekanan hermeneutika dari pemulihan perempuan yang mengalami pendarahan ke dinamika imannya, dan akibatnya, visi Protestan baru tentang peran Yesus dalam kisah tersebut, yang menurut saya terjadi karena pentingnya teologis baru yang diberikan pada iman oleh para reformator Protestan.

2. Yesus sebagai Penyembuh Jiwa dan Tubuh dalam Pemikiran Kristen Pramodern
Tradisi menafsirkan Yesus sebagai dokter ilahi sudah ada sejak akhir abad pertama. Para penulis patristik memandang Yesus sebagai penyembuh dosa dan kejahatan dalam jiwa manusia dan pemulih keabadian manusia melalui pengobatan rohani berupa perjamuan Tuhan, baptisan, pertobatan, dan bahkan kemartiran.  “Surat kepada Jemaat di Efesus” yang ditulis oleh Uskup Ignatius dari Antiokhia yang mati syahid  memuat karakterisasi pertama yang diketahui tentang Kristus sebagai tabib dan Perjamuan Tuhan sebagai obat penawar kematian. Pada paruh kedua abad kedua, Theophilus dari Antiokhia  berbicara tentang Kristus sebagai penyembuhan kebutaan jiwa manusia dan kekerasan hati, dan, dalam risalahnya Against Heresies , Irenaeus dari Lyon menggambarkannya sebagai tabib yang mempersembahkan roti ekaristi keabadian. Origenes juga menggambarkan Kristus sebagai Sabda ilahi, yang mampu menyembuhkan segala kejahatan dalam jiwa manusia. Pada saat yang sama, meskipun para penulis Kristen mula-mula memandang pentingnya pelayanan Yesus sebagai penyembuh tubuh sebagai hal sekunder dibandingkan apa yang mereka anggap sebagai penyembuhan rohani atas dosa, para pemikir ini tetap menegaskan pentingnya pelayanan Yesus. Klemens dari Aleksandria  berbicara tentang Yesus sebagai satu-satunya dokter yang menyediakan penyembuhan yang memadai baik bagi jiwa maupun tubuh. Di Barat, Tertullian menggambarkan kesehatan sejati yang dipulihkan oleh Yesus dalam kaitannya dengan pemulihan pengetahuan tentang Tuhan. Namun, pada saat yang sama, ia juga menekankan pentingnya penyembuhan fisik yang dilakukan Yesus sebagai penggenapan nubuatan dalam Yesaya 53:4 (“Sesungguhnya Dialah yang menanggung kelemahan kita dan menanggung penyakit kita”).  Seringkali, para penulis Kristen mula-mula mengangkat kesembuhan tubuh Yesus dalam perselisihan mereka melawan penyembahan Asclepius, dewa pengobatan Yunani. Misalnya, pada abad keempat, dalam risalahnya Tentang Inkarnasi , Athanasius menggunakan cakupan penyembuhan Yesus untuk menegaskan keunggulannya atas Asclepius. Menurut Athanasius, Asclepius secara keliru dianggap sebagai dewa karena terampil menyembuhkan tubuh manusia dengan tumbuhan yang sudah ada di alam. Sebaliknya, Kristus menyembuhkan dengan memulihkan apa yang semula tidak dimiliki alam (misalnya, memberikan penglihatan kepada orang buta).  Cyril dari Yerusalem berbicara tentang Yesus sebagai pelayan jiwa dan tubuh, dan menasihati para penderita dosa dan penyakit tubuh untuk meminta bantuannya. Di Barat, tradisi memandang Yesus sebagai tabib ilahi pada akhirnya diperkuat dalam tulisan Agustinus dari Hippo . Agustinus selanjutnya mengembangkan dan mempopulerkan gambaran Christus medicus yang kemudian menjadi tertanam kuat dalam pemikiran Kristen Barat.  Bagi Agustinus, umat manusia dijangkiti oleh tumor kesombongan, yang disembuhkan Kristus dengan menggunakan obat kerendahan hati. Lebih jauh lagi, dalam risalahnya On Christian Doctrine , Agustinus memperkenalkan kiasan Kristus yang berpengaruh sekaligus sebagai dokter ( medicus ) dan obat terapan ( medicamentum ) bagi jiwa manusia. Terakhir, Agustinus menekankan bahwa, sebagai pencipta ilahi tubuh dan jiwa, Yesus juga merupakan penyembuh tubuh yang sempurna, yang tidak akan pernah salah dalam perawatannya, dan dia sendiri tidak akan tertular penyakit.

3. Wanita Pendarahan dalam Injil Sinoptik
Kisah penyembuhan wanita yang mengalami pendarahan (atau Haimorrhoousa), dari bahasa Yunani αἱμοῤῥοοῦσα, “wanita yang mengalami pendarahan” dalam Markus 5:25–34 memiliki sejarah panjang dalam menangkap imajinasi teologis Kristen.  Narasi Haimorrhoousa diselingi dengan narasi lain tentang kebangkitan Yesus atas putri seorang pemimpin sinagoga, yang diidentifikasi oleh Markus dan Lukas sebagai Yairus. Seorang perempuan yang menderita pendarahan selama dua belas tahun datang di belakang Yesus dalam perjalanan menuju rumah Yairus. Wanita yang mengalami pendarahan itu menyentuh jubahnya (atau pinggirannya, dalam Matius dan Lukas). Catatan Markan dan Lukan lebih lanjut mencatat bahwa, setelah mendekati Yesus di tengah kerumunan, Haimorrhoousa menyentuh pakaian Yesus tanpa sepengetahuannya. Selain itu, Mark menunjukkan bahwa wanita tersebut sebelumnya telah menghabiskan seluruh uangnya untuk berbagai perawatan menyakitkan dari dokter, namun kondisinya malah semakin memburuk. Dalam cerita versi Markus dan Lukas, Yesus merasakan pelepasan kuasa-Nya dan bertanya kepada orang banyak siapa yang telah menyentuh-Nya, setelah itu wanita yang gemetar itu dengan ketakutan mengakui kesembuhan yang telah terjadi. Dalam versi cerita Matthews yang lebih ringkas, Haimorrhouusa mengalami penyembuhan, mengikuti jaminan Yesus. Ketiga kisah tersebut memiliki akhir yang sama: Yesus berkata kepada perempuan itu, “Imanmu telah membuatmu sembuh”, sebelum mengusirnya. Para penafsir cerita pramodern dan modern awal yang dibahas lebih lanjut dalam esai ini menganggap kisah-kisah ini sebagai satu narasi terpadu yang berpusat pada proklamasi Yesus kepada Haimorrhoousa: “Imanmu telah membuatmu sembuh.” Pada saat yang sama, mereka memahami dengan cara yang berbeda-beda arti dari kesehatan yang baru diperoleh wanita tersebut serta peran dari hak pilihan dan keyakinannya.

4. Penyembuhan Haimorrhousa dalam Kekristenan Awal
Kisah Haimorrhoousa memainkan peran penting dalam pengabdian Kristen awal, sebagaimana dibuktikan oleh tradisi apokrif yang kaya yang didirikan pada abad keempat, serta produksi material dan artistik. Dinding katakombe Marcellinus dan Peter di Roma memiliki mural awal abad ketiga dari tempat penyembuhan Haimorrhoousa. Dalam History of the Church abad keempat , Eusebius menggambarkan patung Yesus yang menyembuhkan wanita yang mengalami pendarahan yang didirikan di kota Caesarea Filipi, yang diduga oleh (mantan) Haimorrhoousa sendiri sebagai rasa terima kasih atas kesembuhannya. Eusebius mencatat bahwa tanaman yang tumbuh di sekitar patung itu dikenal karena kekuatannya untuk menyembuhkan setiap jenis penyakit. Penggambaran penyembuhan Haimorrhoousa juga ditemukan pada amulet Bizantium awal, yang dihipotesiskan telah digunakan untuk tujuan penyembuhan dan, khususnya, untuk menangkal histeria. Singkatnya, bukti material menunjukkan bahwa, dalam agama Kristen awal, kisah Haimorrhouusa dipandang terutama sebagai kisah pemulihan fisik yang ajaib dan digunakan dalam praktik penyembuhan keagamaan yang populer.Di akhir zaman kuno, penafsiran Haimorrhouusa mulai bergeser. Narasi tersebut semakin dijelaskan terutama sebagai kiasan tentang penyucian dosa manusia oleh Kristus. Penafsiran seperti ini dipertahankan oleh Gregorius dari Nazianzus, dan kemudian di Barat, oleh Agustinus.  Hal ini sesuai dengan upaya Agustinus yang menyusun kembali kiasan teologis Christus medicus terutama dalam istilah spiritual. Pembacaan Agustinus yang terutama bersifat alegoris atas narasi Haimorrhoousa sebagai kisah pembersihan dosa dan nasihat untuk pemulihan moral menjadi cara utama penafsirannya yang berlanjut hingga Abad Pertengahan. Namun, baru pada abad ke-16 Reformasi Protestan, kisah Haimorrhoousa memperoleh makna spiritual yang ditata ulang secara signifikan berdasarkan keprihatinan soteriologis Protestan yang baru mengenai pembenaran oleh iman, yang menjadikan umat Kristen berdosa sekaligus dibenarkan.

5. Reformasi Keselamatan di Modernitas Awal
Masuknya agama Kristen ke era modern awal ditandai dengan perpecahan gereja Katolik abad pertengahan pada abad keenam belas dan munculnya gerakan Protestan sebagai tradisi Kristen global ketiga yang memperdebatkan doktrin pembenaran (atau keselamatan). Mungkin terdengar luar biasa bagi pembaca masa kini bahwa sebuah peristiwa bersejarah besar yang menandai berakhirnya Susunan Kristen pada abad pertengahan, mendefinisikan ulang peta Eropa, dan pada akhirnya mengarah pada pembentukan negara-negara Eropa modern, serta berbagai perubahan sosial, ekonomi, dan budaya lainnya. , dipicu oleh kontroversi dogma agama. Namun, meskipun sejumlah faktor politik, sosial, dan gerejawi tentu saja berkontribusi terhadap kebangkitan reformasi Protestan, ada kebutuhan untuk menyelaraskan ajaran gereja tentang pembenaran dengan apa yang dilihat oleh para reformis awal dalam Kitab Suci yang memicu Reformasi Protestan. Meskipun gereja Katolik abad pertengahan tidak memiliki doktrin resmi tentang bagaimana orang Kristen dibenarkan secara rohani, konsensus umum menyatakan bahwa iman dan perbuatan baik diperlukan untuk mendapatkan keselamatan. Dalam tradisi Katolik abad pertengahan, keselamatan adalah proses seumur hidup, yang membutuhkan iman yang dibentuk oleh cinta, melalui pertumbuhan kekudusan secara harafiah dengan berpartisipasi dalam sistem sakramental gereja dan melakukan perbuatan baik. Hanya pada Hari Penghakiman, orang berdosa pada akhirnya akan diadili oleh Kristus sebagai orang yang layak menerima keselamatan atau hukuman kekal. Pada awal abad keenam belas, seorang biarawan Augustinian yang taat dan profesor Alkitab di Universitas Wittenberg, Martin Luther (1483–1546), bergumul dengan kesadaran yang luar biasa akan dosanya dan ketidakpastian tentang keselamatannya. Antara tahun 1514 dan 1518, melalui serangkaian wawasan penafsiran, yang utamanya adalah pemahaman barunya tentang kebenaran Allah dalam Roma 1:17, Luther sampai pada suatu teologi yang berpusat pada keselamatan yang diperoleh melalui kasih karunia melalui iman saja. Akibatnya, Luther menjadi yakin bahwa ajaran Gereja Katolik kontemporernya tentang keselamatan, yang mengharuskan perbuatan baik selain iman, adalah keliru dan harus direformasi. Luther akhirnya dikucilkan pada tahun 1521, setelah itu gerakan Protestan berkembang pesat. Agama Katolik Abad Pertengahan mengembangkan tipologi yang rumit tentang berbagai jenis iman. Sebaliknya, Luther mengajarkan bahwa iman Kristen adalah kepercayaan pada janji-janji Allah sebagaimana dicatat dalam Kitab Suci, yang utamanya adalah janji Allah untuk membenarkan orang-orang Kristen karena iman mereka saja, tanpa mengharapkan imbalan atau kontribusi manusia apa pun. Teologi Luther tentang pembenaran oleh iman meruntuhkan keselamatan dari sebuah proses menuju momen yang membawa orang-orang berdosa yang putus asa akan dosa-dosa mereka dari kemandirian menjadi iman pada janji-janji Allah untuk mengampuni dan menyelamatkan mereka. Iman keselamatan yang autentik seperti ini tidak lagi memandang Kristus sebagai hakim, melainkan sebagai penyelamat yang penuh belas kasihan.  Keselamatan hanyalah membuat orang-orang berdosa menjadi benar di hadapan Allah karena iman mereka kepada Kristus, bukan karena kebenaran mereka yang sebenarnya. Karena alasan ini, Luther menggambarkan orang-orang Kristen sebagai orang berdosa sekaligus orang benar ( simul iustus et peccator ): orang berdosa karena dosa mereka sendiri dan orang benar karena kebenaran Kristus yang diperhitungkan (atau diperhitungkan) kepada mereka. Hal ini tidak berarti bahwa Luther menyangkal perlunya transformasi moral bagi umat Kristiani. Sebaliknya, baginya, transformasi moral akan terjadi pasca-pembenaran, yang akan memungkinkan seorang Kristen untuk melayani Tuhan dan sesamanya dengan rasa syukur dan kasih seperti Kristus, bebas dari kepentingan pribadi untuk melakukan perbuatan baik yang cukup untuk mendapatkan keselamatan. Luther mengagumi dan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Agustinus (yang diyakininya sependapat dengannya dalam hal pembenaran), termasuk teologi Christus medicus karya Agustinus . Tulisan-tulisan Luther sering memuat referensi tentang Kristus yang menggunakan gambaran medis. Luther mempertahankan representasi ganda Agustinus yang asli tentang Kristus sebagai dokter dan obat, meskipun berdasarkan simul antropologi teologisnya, ia menggambarkan orang-orang Kristen masih sakit dan juga sudah sembuh total. Hal ini menyebabkan turunnya signifikansi soteriologis dari kiasan tradisional Yesus sebagai tabib dosa, karena kekudusan literal tidak lagi diperlukan untuk keselamatan. Bagi Luther, ajaran tentang pembenaran karena iman menjadi kunci hermeneutis seluruh Alkitab. Luther sangat ingin menunjukkan bahwa keyakinan akan pembenaran iman memang didukung oleh Alkitab, dan juga menjelaskan apa saja yang diperlukan oleh iman yang mujarab secara soteriologis. Komitmen hermeneutis ini memengaruhi pembacaan Luther dan, selanjutnya, Calvin, mengenai narasi penyembuhan Injil, seperti yang diilustrasikan oleh penafsiran mereka tentang kisah kesembuhan ajaib seorang wanita yang mengalami pendarahan.

6. Penyembuhan Haimorrhouusa dalam Reformasi Protestan
Luther, Calvin, dan para reformis Protestan awal lainnya menunjukkan tingkat kecurigaan yang tinggi mengenai klaim penyembuhan ajaib yang konon terus terjadi di zaman mereka. 19 Seperti yang ditunjukkan oleh Philip Soergel, ada beberapa alasan mengapa Luther bersikap hati-hati dan kritis terhadap masalah ini.  Pertama, dalam konteks akhir abad pertengahan Luther, mukjizat penyembuhan sangat terkait dengan pengabdian kepada orang-orang kudus, yang kemudian dilihat Luther sebagai mediator keagamaan yang tidak beralasan untuk memberikan akses langsung dan tanpa hambatan kepada Kristus melalui iman. Luther mengkritik praktik penghormatan orang suci pada masa kini, termasuk ziarah dan pemberian nazar, karena dianggap digunakan untuk keuntungan ekonomi oleh gereja abad pertengahan, yang diduga kadang-kadang tidak segan-segan melakukan mukjizat semacam itu demi keuntungan finansial. Kedua, meskipun Luther tidak menolak semua mukjizat penyembuhan sebagai penipuan, ia percaya bahwa setidaknya beberapa mukjizat penyembuhan yang tampaknya asli dilakukan secara setan untuk menipu orang dan menjauhkan mereka dari iman yang sejati. Luther ditantang oleh klaim Katolik bahwa, selama berabad-abad, gereja telah mewujudkan mukjizat, sedangkan Protestan tidak mampu menghasilkan mukjizat mereka sendiri untuk membuktikan keabsahan ajaran agama mereka. Menanggapi tuduhan ini, Luther menekankan peran mukjizat yang sekunder dan lebih lemah dalam meneguhkan kebenaran agama seseorang. Bagi Luther, iman Kristen yang otentik harus bertumpu pada Firman Tuhan dan tidak memerlukan konfirmasi melalui tanda-tanda eksternal, seperti mukjizat penyembuhan. Begitu peran tanda-tanda eksternal meningkat, peran Firman Tuhan pun berkurang, sehingga merusak keutamaan iman, yang menurut Luther, terjadi pada agama Katolik abad pertengahan. Mirip dengan Luther, Calvin juga mengkritik keinginan akan mukjizat yang kasat mata untuk meneguhkan iman seseorang, alih-alih mempercayai Firman Tuhan yang "telanjang". Sementara penekanan para reformator pada iman di atas mukjizat terutama muncul dari keprihatinan mereka saat ini, penekanan ini juga memengaruhi penafsiran mereka terhadap narasi Injil tentang penyembuhan ajaib. Dengan latar belakang ini, Luther membaca kisah Haimorrhoousa secara pedagogis, sebagai sebuah instruksi kepada pembaca awal dan pembaca kontemporernya mengenai pengalaman, manifestasi, dan kekuatan iman yang mujarab secara soteriologis, seperti yang ditunjukkan oleh wanita yang mengalami pendarahan tersebut.  Secara khusus, menurut Luther, kekuatan iman perempuan yang patut dipuji mempunyai dua dimensi yang berbeda. Pertama, Luther menekankan bahwa perempuan itu mendekati Yesus dengan keyakinan yang tinggi akan kuasa-Nya yang luar biasa. Dia merasa tidak perlu menatap mata Yesus, meyakinkan Dia dengan banyak kata untuk membantunya, atau meminta orang lain untuk mendukung kondisinya. Sebaliknya, dia yakin akan kemampuan Yesus untuk menyelamatkannya, seandainya dia bisa menghubungi Yesus. Kedua, Luther menekankan bahwa iman perempuan berhasil mengatasi pergumulan dan ketakutannya mengenai kebaikan dan kebaikan Yesus khususnya terhadap dirinya. Wanita yang mengeluarkan darah dianggap najis dan dilarang bergaul dengan orang lain. Dengan imajinasinya yang hidup dan khas yang diterapkan pada eksposisi kitab suci, Luther secara dramatis menguraikan internalisasi perempuan mengenai statusnya yang dianggap rendah. 22 Wanita Luther yang mengalami pendarahan benar-benar merasa tercemar, berhak dikucilkan dari komunitasnya, dan bahkan dihukum oleh Tuhan dengan cara yang khusus. Dia pasti takut akan kekurangajaran keinginannya untuk menjamah Yesus. Meskipun demikian, iman wanita tersebut yang luar biasa kuat mendorongnya langsung kepada Kristus, meskipun ia merasa cemas dan takut. Luther menolak pembacaan bahwa, ketika merasakan pelepasan kuasanya dan bertanya kepada orang banyak yang telah menyentuhnya, Yesus sebenarnya bersungguh-sungguh dengan apa yang dimintanya. Niat Yesus dalam ajaran Luther adalah, melalui kesaksian wanita tersebut, untuk menyatakan kekuatan dan pahala imannya kepada orang banyak di sekitarnya. Dalam khotbah Luther tentang kesembuhan wanita yang mengalami pendarahan, ia menggambarkan kekuatan iman wanita tersebut sebagai berikut:

"Lihatlah, itu adalah iman yang luar biasa! Ia menyadari ketidaklayakannya, namun tidak membiarkan hal ini menghalanginya untuk percaya kepada Kristus. Imannya tidak meragukan kasih karunia dan pertolongan-Nya, tetapi melanggar Hukum dan segala sesuatu yang membuatnya takut dari-Nya. Sekalipun seluruh dunia mengekang dan merintanginya, [iman] tetap tidak berpikir untuk meninggalkan orang ini sampai ia telah menguasai Dia. Oleh karena itu, [iman] memaksa masuk dan mendapatkan apa yang dicarinya dari Kristus dan segera mengalami kekuatan dan pekerjaan, bahkan sebelum Kristus mulai berbicara dengannya. Iman ini tidak boleh meleset dari diri orang ini, bahkan Kristus sendiri pun harus bersaksi tentang hal ini, dengan berkata, “Imanmu telah menolong kamu”
[Mat. 9:22].

Patut dicatat bahwa, dalam bagian ini, hak pilihan Haimorrhoousa secara hermeneutis dimasukkan ke dalam hak pilihan imannya. Bagi Luther, kata-kata penutup Yesus, “imanmu telah menolongmu (atau membuatmu sembuh)”, adalah kunci narasinya. Penting bagi penafsiran sang reformis terhadap kisah ini bahwa perempuan tersebut tidak memperoleh kesembuhan atau menawarkan apa pun kepada Kristus sebagai imbalan atas kesembuhan tersebut. Hal ini merupakan persamaan yang jelas dengan penekanan Luther pada pembenaran hanya melalui iman, tanpa kontribusi apa pun dari karya manusia. Perlu dicatat bahwa titik puncak pedagogis dari eksegesis Luther ini tidak pernah menguraikan atau bahkan secara langsung menyebutkan penyembuhan tubuh perempuan sebagai konsekuensi dari imannya. Haimorrhoousa menunjukkan teladan iman pada kuasa dan kebajikan Kristus, manfaat utamanya adalah keselamatan rohaninya. Seperti Luther, John Calvin (1509–1564), seorang intelektual pendiri tradisi Reformed dan pemikir sistematis terkemuka Protestantisme awal, mempunyai pengaruh besar pada perkembangan pemikiran Protestan selanjutnya. Meskipun penafsiran Calvin terhadap narasi Haimorrhoousa lebih ringkas dibandingkan penafsiran Luther, penekanan hermeneutisnya sangat mirip. Calvin juga membaca cerita ini sebagai eksposisi pedagogis tentang iman wanita yang mengalami pendarahan. Namun, berbeda dengan Luther yang sangat memuji hal tersebut, Calvin memandang pengalaman dan perwujudan iman perempuan tersebut memberikan contoh positif dan negatif. Meskipun peran Haimorrhoousa dalam mencapai keselamatannya pada akhirnya dimasukkan ke dalam peran imannya, Calvin membesar-besarkan kepasifan dan penerimaan Haimorrhoousa secara ekstrim. Calvin bersikukuh bahwa bahkan iman wanita yang mengalami pendarahan untuk disembuhkan hanya dengan sentuhan jubah Yesus bukanlah berasal dari dirinya sendiri tetapi secara diam-diam telah diberikan kepadanya oleh Roh Kudus. Oleh karena itu, Haimorrhouusa mendekati Kristus dengan dibimbing oleh iman yang diberikan secara eksternal. Ketaatan ini menjadikan perilakunya terpuji dan bertakwa. Namun, ketika wanita tersebut mulai takut dan gemetar setelah dipanggil oleh Kristus, bagi Calvin, imannya mulai menunjukkan “campuran dosa dan kesalahan.”  Episode ini mengungkapkan bahwa keyakinan Haimorrhouusa yang dipasok dari luar masih diganggu oleh ketidakpastiannya sendiri. Selain itu, Calvin curiga bahwa, daripada berhenti di pakaian Kristus dan kemudian menyelinap kembali, Haimorrhoousa mungkin seharusnya secara terbuka langsung menemui Yesus. Menurut Calvin, nasihat Yesus kepada wanita tersebut untuk berani adalah koreksinya atas keraguan wanita tersebut yang tidak pantas dan merugikan iman yang sejati. Pada saat yang sama, Calvin mengakui bahwa perwujudan iman Haimorrhoousa pada akhirnya dipuji oleh Yesus, yang mengampuni kekurangannya sekaligus memperkuatnya. Bagi Calvin, hal ini menunjukkan cara umum penerimaan ilahi atas iman manusia. Seperti Luther, Calvin menekankan bahwa, berlawanan dengan apa yang digambarkan dalam cerita tersebut, Yesus menyembuhkan wanita tersebut dengan penuh pengetahuan dan kesengajaan. Pertanyaan Yesus dimaksudkan agar kesaksian wanita tersebut mengenai kesembuhannya lebih dapat dipercaya oleh orang banyak di sekitarnya. Bagi Calvin, kisah Haimorrhoousa menggambarkan bahwa sebagaimana kesembuhan wanita tersebut merupakan konsekuensi dari imannya, demikian pula keselamatan diterima semata-mata karena iman seseorang, sebagaimana ditegaskan oleh jaminan terakhir Yesus kepada wanita tersebut. Tujuan dari cerita ini adalah untuk mengajarkan kepada para pendengarnya tentang hakikat dan perwujudan yang tepat dari iman yang mujarab secara soteriologis tersebut.

KESIMPULAN 
Tulisan-tulisan Kristen mula-mula mengungkapkan pentingnya peran Yesus sebagai penyembuh jiwa dan tubuh. Mereka menekankan peran Yesus sebagai penyembuh rohani atas dosa manusia, meskipun mereka juga menganggap peran-Nya (yang lebih kecil) sebagai penyembuh tubuh. Dalam tradisi Kristen Barat, dimulai dengan pengembangan kiasan sebelumnya Christus medicus oleh Agustinus , interpretasi aktivitas medis Yesus terutama bergeser dari penyembuhan penyakit fisik ke penyembuhan penyakit spiritual. Namun, pada awal era modern penafsiran tradisional mengenai penyembuhan Yesus dalam Injil memudar karena adanya kekhawatiran teologis baru dari para reformis Protestan awal, seperti yang dicontohkan oleh penafsiran kisah wanita yang mengalami pendarahan dalam Markus 5:25–34. Khususnya, dalam interpretasi Martin Luther dan John Calvin mengenai narasi ini, penekanan hermeneutis secara radikal bergeser dari pemulihan fisik atau bahkan moral perempuan yang mengalami pendarahan ke dinamika imannya. Luther dan Calvin membaca kisah ini secara pedagogis, dengan mengajarkan pengalaman, manifestasi, dan kekuatan yang tepat dari iman yang mujarab secara soteriologis, yang ditegaskan oleh kata-kata perpisahan Yesus kepada Haimorrhouusa: “imanmu telah membuatmu sembuh.” Peran hermeneutis iman yang baru dan sentral disebabkan oleh kepentingan soteriologisnya yang unik bagi gerakan reformasi Protestan. Selanjutnya, alih-alih menyembuhkan pendarahan wanita yang mengalami pendarahan, atau bahkan dosanya, peran Yesus dalam cerita tersebut menjadi menguatkan, menerima, dan mempublikasikan iman Haimorrhoousa. Meskipun penyimpangan teologis modern dari peran Yesus sebagai penyembuh tubuh secara harafiah terkristalisasi setelah masa Pencerahan, esai ini menunjukkan bahwa akar teologisnya berakar lebih dalam pada polemik baru tentang iman dalam Reformasi Protestan.
Titus Roidanto,Dmin, Cepogo, 2015

Pustaka
1. Lihat ( Schweitzer 2001 ), ( Bultmann 1958 ), ( Smith 1981 ), dan ( Remus 1997 ). Untuk keterlibatan lebih baru, lihat ( Kubiś 2020 ) dan ( Dźwigała 2020 ). Untuk survei mengenai perubahan penafsiran Yesus, lihat ( Porterfield 2005 ), khususnya Bab 1, “Jesus: Exorcist and Healer”.
2. Diskusi berikut dikonsultasikan ( Grundmann 2018 ). Lihat juga ( Schipperges 1965 ) dan ( Fichtner 1982 ).
3. Ignatius, “Surat kepada Jemaat di Efesus ” , dalam ( Ignatius 1946, hal. 63, 68 ).
4. Theophilus, Theophilus hingga Autolycus , dalam ( Theophilus 2004, hal. 91 ). Untuk Irenaeus, lihat Melawan Ajaran Sesat , Buku III, Bab V, dalam ( Irenaeus 2001, hal. 418 ).
5. Origen, Contra Celsum , VIII, 72, dalam ( Origen 1953 ).
6. Terjemahan bahasa Inggris ditemukan di ( Clement of Alexandria 2015, p. 4 ).
7. Untuk referensi mengenai kesehatan, lihat Tertullian, On Modesty , IX.12–13. Untuk penyembuhan tubuh, lihat Melawan Marcion , IV.VIII.4. Semua kutipan tulisan suci berasal dari Versi Standar Revisi Baru.
8. Terjemahan bahasa Inggris ini ditemukan di ( Athanasius 2011, p. 102 ).
9. Cyril, Kuliah X di ( Cyril dari Yerusalem, hal. 355 ).
10. Untuk gambaran umum penggunaan Christus medicus oleh Agustinus , lihat ( Arbesmann 1954 ).
11. Agustinus, De Doctrina Christiana 1.14.13 inci ( Agustinus 1995 ).
12. Transliterasi alternatif adalah haemorrhoissa . Kisah paralel dari narasi ini terdapat dalam Matius 9:20–22 dan Lukas 8:43–48.
13. Diskusi berikut tentang penyembuhan Haimorrhoousa pada masa awal Kekristenan dan zaman kuno akhir bergantung pada ( Baert 2014 ), ( Baert dkk. 2012, hlm. 663–81 ), ( de Wet 2019, hlm. 1–28 ), dan ( Menara 1993, hal.44 ).
14. Eusebius, Sejarah Gereja 7.18.1–4 in ( Eusebius 1989 ).
15. Di Timur, John Chrysostom menawarkan pemahaman yang lebih harafiah tentang penyembuhan Haimorrhoousa, namun tetap menekankan implikasi spiritualnya terhadap pemulihan tubuh yang sebenarnya. Lihat ( de Basah 2019 ).
16. Mengenai perbandingan antara pemahaman iman Katolik abad pertengahan dan pemahaman Luther tentang iman, lihat ( Hamm 2004 ), khususnya Bab 5, “Mengapa “Iman” bagi Luther menjadi Konsep Sentral Kehidupan Kristiani?”. Lihat juga ( Steinmetz 2002 ), Bab 4, “Abraham dan Reformasi”, khususnya. hlm. 33 dan 40–41.
17. Untuk studi klasik, lihat ( Oberman 1966 ). Lihat juga ( McGrath 2001 ).
18. Untuk pembahasan rinci tentang penggunaan kiasan Christus medicus oleh Luther , lihat ( Steiger 2005 ).
19. Mengenai sikap Protestan awal terhadap mukjizat, lihat ( Walker 1988 ), ( Soergel 2012 ), dan ( Soergel 1999 ). Pembahasan berikut bergantung pada ( Porterfield 2005 ) dan ( Soergel 2012 ), 38–46.
20. Mengenai pemujaan terhadap orang suci di abad pertengahan, lihat ( Vauchez 1997 ), khususnya Bab 14, “' Virtus :' The Language of the Body,” hal. 427–43, dan Bab 15, “Struktur dan Perluasan Bidang Keajaiban ,” hal. 444–77, serta ( Klaniczay 2014 ), Bab 13, “Menggunakan Orang Suci: Syafaat, Penyembuhan, Kesucian.”
21. Karya-karya Luther dikutip dari ( Luthers Werke , Luther 1883–2009 ), selanjutnya WA, dan ( Luther's Works , Luther 1955– ) selanjutnya LW. Eksegesis Luther tentang Haimorrhousa terutama didasarkan pada Mat. 9:20–22 dan disertakan dalam khotbahnya tentang Mat. 9:18–26 dalam Postil Musim Panas 1544 karya Caspar Cruciger di WA 22:390–405; Taw 79:309–22. Luther menyampaikan khotbah tersebut antara tahun 1521 dan 1537, namun tahun pastinya masih belum diketahui. Selain itu, pada tahun 1534–1535, Luther menyusun anotasi pada Mat. 9:20–22 untuk membantu khotbah Johann Bugenhagen. Anotasi ini terdapat di WA 10/1.2:428–41; Taw 67:75–78.
22. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai “komposisi fiksi teologis” Luther dalam menafsirkan Alkitab, lihat Bab 9, “Luther dan Kemabukan Nuh”, dalam ( Steinmetz 2002 ), khususnya hal. 110–11.
23. Karya-karya Calvin dikutip dari ( opera Ioannis Calvini , Calvin 1863–1900 ), yang selanjutnya disebut CO. Eksegesis Calvin tentang kisah wanita berdarah terdapat dalam CO 45:254–60. Terjemahan bahasa Inggrisnya terdapat di ( Calvin [1845] 2010, hal. 408–13 ) sebagai bagian dari Commentary on a Harmony of the Evangelists Matthew, Mark, and Luke .
24. vitii et erroris fuerit admixtum , CO 45:256 ( Calvin [1845] 2010, hal. 411 ).
25. Mengenai pentingnya kepastian teologis bagi para Reformator awal, lihat ( Schreiner 2011 ), khususnya Bab 2. Untuk Calvin, lihat (ibid., hal. 66–72).
26. Arbesmann, Rudolph. 1954. Konsep 'Christus Medicus' di St. Agustinus. Tradisi 10: 1–28. [ Google Cendekia ] [ CrossRef ]
27. Athanasius. 2011. Tentang Inkarnasi . Diterjemahkan oleh John Behr. Yonkers: Pers Seminari St Vladimir. [ Beasiswa Google ]
28. Agustinus. 1995. De Doktrina Christiana . Diedit dan Diterjemahkan oleh RPH Green. Teks Kristen Awal Oxford. Oxford: Clarendon Pers. [ Beasiswa Google ]
29. Baert, Barbara, penyunting. 2014. Wanita dengan Aliran Darah (Markus 5:24–34): Ruang Narasi, Ikonik, dan Antropologis . Louvain: Peeter. [ Beasiswa Google ]
30. Baert, Barbara, Liesbet Kusters, dan Emma Sidgwick. 2012. Permasalahan Darah: Penyembuhan Wanita Pendarahan (Markus 5.24B–34; Lukas 8.42B–48; Matius 9.19–22) dalam Budaya Visual Abad Pertengahan Awal. Jurnal Agama dan Kesehatan 51: 663–81. [ Google Cendekia ] [ CrossRef ] [ PubMed ]
31. Bultmann, Rudolf. 1958. Yesus Kristus dan Mitologi . Perpustakaan Penulis. New York: Penulis. [ Beasiswa Google ]
32. Calvin, John. 1863–1900. Ioannis Calvini Opera seperti Supersunt Omnia . Diedit oleh Guilielmus Baum, Eduardus Cunitz dan Eduardus Reuss. 59 jilid. Brunswick: Schwetschke. [ Beasiswa Google ]
33. Calvin, John. 2010. Komentar tentang Harmoni Penginjil Matius, Markus, dan Lukas . Diterjemahkan oleh William Pringle. 3 jilid. Bellingham: Perangkat Lunak Alkitab Logos. Pertama kali diterbitkan tahun 1845. [ Google Cendekia ]
34. Klemens dari Aleksandria. 2015. Instruktur [Paedagogus] . Diedit dan Diterjemahkan oleh Alexander Roberts, Sir James Donaldson, Arthur Cleveland Coxe. Scotts Valley: Platform Penerbitan Independen CreateSpace. [ Beasiswa Google ]
35. Cyril dari Yerusalem. 2014. Kuliah Katekese . Diedit oleh Paul A. Boer. Scotts Valley: Platform Penerbitan Independen CreateSpace. [ Beasiswa Google ]
36. de Basah, Chris. 2019. John Chrysostom tentang Penyembuhan Wanita dengan Aliran Darah: Eksegesis, Tradisi, dan Anti-Yudaisme. Jurnal Sejarah Kristen Awal 9: 1–28. [ Google Cendekia ] [ CrossRef ]
37. Dźwigała, Katarzyna Maria. 2020. Wanita dengan Aliran Darah dalam Homili Pseudo-
38. Krisostomus dan Kontakion Romanos Sang Melodist. Verbum Vitae 38: 633–48. [ Google Cendekia ] [ CrossRef ]
39. Eusebius. 1989. Sejarah Gereja . Diterjemahkan oleh GA Williamson. Diedit oleh Andrew Louth. London: Buku Penguin. [ Beasiswa Google ]
40. Fichtner, Gerhard. 1982. Christus al-Arzt. Motivasi Ursprünge dan Wirkungen eines. Studi Frühmittelalterliche 16: 1–18. [ Google Cendekia ] [ PubMed ]
41. Grundmann, Christoffer H. 2018. Kristus sebagai Dokter. Dalam Jurnal Kristen untuk Kesehatan Global 5: 3–11. [ Google Cendekia ] [ CrossRef ]
42. Ham, Berndt. 2004. Reformasi Iman dalam Konteks Teologi dan Kesalehan Abad Pertengahan Akhir: Esai oleh Berndt Hamm . Diedit oleh Robert James Bast. Studi tentang Sejarah Pemikiran Kristen. Boston: Brill, jilid. 110. [ Google Cendekia ]
43. Ignatius. 1946. Surat-surat St. Klemens dari Roma dan St. Ignatius dari Antiokhia . Diedit dan diterjemahkan oleh James A Kleist. Penulis Kristen Kuno, no. 1. Westminster: Toko Buku Newman. [ Beasiswa Google ]
44. Irenaeus. 2001. Para Bapa Apostolik bersama Justin Martyr dan Irenaeus . Diedit oleh Philip Schaff. Diterjemahkan oleh Pdt. WH Rambaut. Para Ayah Ante-Nicene: Terjemahan Tulisan Para Ayah Hingga 325 M, vol. 1. Edisi Amerika. Grand Rapids: Eerdman. [ Beasiswa Google ]
45. Klaniczay, Gábor. 2014. Menggunakan Orang Suci: Syafaat, Penyembuhan, Kesucian. Dalam Buku Pegangan Oxford tentang Kekristenan Abad Pertengahan . Diedit oleh John Arnold. Buku Pegangan Oxford. Oxford dan New York: Oxford University Press. [ Beasiswa Google ]

Jumat, 21 Juni 2024

SUDUT PANDANG MARKUS 4 : 35 SAMPAI 41, KEAMANAN YANG UTAMA

SUDUT PANDANG MARKUS 4 : 35 SAMPAI 41, KEAMANAN YANG UTAMA

Kitab-kitab Injil ditulis bukanlah sebagai laporan jurnalistik historis. Kitab-kitab itu menyajikan kisah-kisah teologis atau refleksi teologis penulis Injil dalam menanggapi pergulatan jemaat Kristen yang penulisnya merupakan warga di dalamnya. Maksudnya bagaimana?

Sebagai contoh penulis Injil Markus merasakan penderitaan jemaat Kristen yang dianiaya oleh orang-orang Yahudi dan Romawi. Jemaat Kristen dijadikan kambing hitam atas kekacauan (𝘤𝘩𝘢𝘰𝘴) di Yerusalem dan Roma. Perkabaran Injil menjadi terhambat, bahkan terhenti, karena jemaat Kristen ketakutan dan mereka merasa Allah tidak peduli lagi. Untuk menggembala umat yang patah arang itu penulis Injil Markus menegaskan bahwa Allah peduli dengan menyusun kisah teologis Yesus meredakan topan.

Hari ini adalah Minggu kelima sesudah Pentakosta. Bacaan Injil Markus 4:35-41 

Bacaan Injil Minggu ini perikopnya diberi judul oleh LAI 𝘈𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘳𝘪𝘣𝘶𝘵 𝘥𝘪𝘳𝘦𝘥𝘢𝘬𝘢𝘯. Konteks bacaan adalah Markus 4 – 5; dari pengajaran Yesus lewat perumpamaan-perumpamaan tentang Kerajaan Allah sampai kisah-kisah mukjizat yang dilakukan Yesus di seberang. Meskipun ada banyak adegan dan kisah, Markus merangkai narasi dalam sehari. Pengulasan bacaan dapat diurai ke dalam tiga bagian:
🛑 Topan dahsyat mengamuk (ay. 35-37)
🛑 Yesus tidak peduli? (ay. 38-39)
🛑 Mengapa kamu begitu takut? (ay. 40-41)

𝗧𝗼𝗽𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗵𝘀𝘆𝗮𝘁 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗺𝘂𝗸 (ay. 35-37)

Pada hari itu menjelang malam Yesus berkata kepada mereka, “𝘔𝘢𝘳𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘰𝘭𝘢𝘬 𝘬𝘦 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨.” (ay. 35) Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak bersama Yesus yang sudah ada di dalam perahu dan perahu-perahu lain menyertai Dia. (ay. 36) Lalu mengamuklah topan yang dahsyat sekali dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu sehingga perahu mula penuh dengan air. (ay. 37) (TB II 2023)

𝘗𝘢𝘥𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘵𝘶 untuk menunjukkan hubungan langsung kisah ini dengan pengajaran Yesus sebelumnya tentang Kerajaan Allah lewat perumpamaan-perumpamaan (ay. 1-34). 𝘔𝘢𝘳𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘰𝘭𝘢𝘬 𝘬𝘦 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨 mengingatkan kita pada ajakan Yesus dalam Markus 1:38 “𝘔𝘢𝘳𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘬𝘦 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘭𝘢𝘪𝘯 … ”. Dalam kisah itu Yesus mengajak para murid berkeliling ke seluruh Galilea untuk berkarya. Kini Yesus mengajak para murid berkarya ke wilayah Dekapolis yang dihuni oleh bangsa bukan-Yahudi.

Kisah teologis ini merupakan jendela bagi kita untuk melongok ke masa lampau bahwa jemaat Kristen perdana mewartakan Injil tidak saja kepada bangsa Yahudi, tetapi juga kepada bangsa lain. Dalam mewartakan Injil kepada bangsa Yahudi mereka mendapat perlawanan keras dari para pemimpin Yahudi. Kisah ini sudah diulas dalam Mrk. 3:20-35. Sekarang mereka berusaha mewartakan kepada bangsa lain. Apa yang terjadi?

Lalu mengamuklah topan yang dahsyat sekali (ay. 37a). Danau Galilea saking luasnya disebut juga sebagai Laut Tiberias. Ada ahli yang mengatakan bahwa di Laut Tiberias kerap terjadi topan badai karena letak geografisnya. Namun, saya meragukan pengarang Injil Matius menulis kisah ini dengan menimbang informasi tersebut. Ini adalah kisah teologis. Kisah ini sejajar dengan cerita angin ribut yang nyaris menenggelamkan kapal Nabi Yunus (Yun. 1:4; bdk. Mzm. 69:2-3, 14-15; 107:23-32). Adegan-adegan dalam kitab Perjanjian Lama (PL) bermakna simbolik sebagai ancaman dunia ciptaan dan umat Allah dengan menampilkan kekacauan purba (Kej. 1:2) atau air bah (Kej. 6 – 7). 𝘓𝘢𝘶𝘵 𝘥𝘪𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘱𝘦𝘳𝘭𝘪𝘯𝘥𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘶𝘢𝘴𝘢 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵. 

Dalam PL ancaman tersebut terwujud saat pembuangan orang-orang Yehuda ke Babel. Dalam Injil Markus ancaman terhadap jemaat Kristen perdana terwujud bukan saja dianiaya oleh orang-orang Yahudi, tetapi juga oleh orang-orang Romawi. Amukan topan badai yang menghantam perahu yang ditumpangi oleh Yesus dan para murid tampaknya pemerian situasi kedahsyatan serangan dari orang-orang Romawi terhadap jemaat Kristen. Petunjuk ini diperkuat dengan pengakuan orang Gerasa yang dirasuk roh jahat, “𝘕𝘢𝘮𝘢𝘬𝘶 𝘓𝘦𝘨𝘪𝘰𝘯.” Kata Latin 𝘭𝘦𝘨𝘪𝘰𝘯 merujuk satuan prajurit infanteri dan kavaleri berkekuatan 3.000 sampai 6.000 orang. Nama ini mengiaskan penjajahan Roma atas Tanah Israel. Perlawanan terhadap orang-orang Roma yang menduduki tanah mereka diungkap dengan jelas ketika Yesus berseru kepada setan-setan itu, “𝘒𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘯𝘪!” (Mrk. 5:1-20).

𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗽𝗲𝗱𝘂𝗹𝗶? (ay. 38-39)

Yesus sedang tidur di buritan memakai bantal, lalu murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya, “𝘎𝘶𝘳𝘶, 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘥𝘶𝘭𝘪𝘬𝘢𝘩 𝘌𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘪𝘯𝘢𝘴𝘢?” (ay. 38) Ia pun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu, “𝘋𝘪𝘢𝘮! 𝘛𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘭𝘢𝘩!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. (ay. 40) (TB II 2023)

Dalam kisah Yunus nakhoda kapal membangunkan Yunus dari tidur dan minta pertolongan doa agar mereka tidak binasa. Yunus mengakui bahwa topan badai itu dikirim oleh Allah sebagai akibat ia melarikan diri dari panggilan Allah. Ia meminta dicampakkan ke laut agar laut menjadi tenang.

Dalam kisah Injil para murid juga membangunkan Yesus dari tidur. Berbeda dari sikap nakhoda kapal yang ditumpangi Yunus, para murid Yesus terbaca sangat kasar dengan menuduh Yesus tidak peduli. Meskipun mereka kasar, Yesus tidak menegur mereka terlebih dahulu. Yesus mendahulukan keselamatan. KEAMANAN YANG UTAMA. Dalam Markus 1:35-39 kita juga dapat menyaksikan Yesus lebih mementingkan menolong, memulihkan, ketimbang berdoa. 

Berkebalikan dengan Yesus, orang Kristen melihat saudaranya kelaparan, 𝘫𝘰𝘣𝘭𝘦𝘴𝘴, sama sekali tidak memberi pertolongan pertama. Mereka memberi banyak “nasihat”. Dipikir mereka “nasihat” itu dapat membuat orang kenyang dan mendapat pekerjaan. Malahan ada yang senang mengghibah atas penderitaan saudaranya.

Cara Yesus memberi pertolongan pertama mirip dengan Markus 1:25 saat Ia mengusir roh jahat, “𝘋𝘪𝘢𝘮!” Penulis Injil Markus panggah (𝘤𝘰𝘯𝘴𝘪𝘴𝘵𝘦𝘯𝘵) menggunakan kata 𝘵𝘩𝘢𝘭𝘢𝘴𝘴𝘦̄ yang berarti laut. Dalam ranah PL laut memang dipandang sebagai tempat perlindungan roh jahat. Kuasa atas laut dan kuasa untuk meredakan badai merupakan tanda nyata tindakan ilahi, sedang penyelamatan orang-orang yang nyaris tenggelam merupakan bukti pemeliharaan ilahi (bdk. Mzm. 107:23-32).

Pertanyaannya, apakah peristiwa di atas benar-benar terjadi? Tidaklah  penting apakah peristiwa itu terjadi secara historis atau tidak. Seperti yang sudah saya sampaikan dalam pembuka bahwa kitab-kitab Injil ditulis bukanlah sebagai laporan jurnalistik historis. Kitab-kitab itu menyajikan kisah-kisah teologis atau refleksi teologis penulis Injil dalam menanggapi pergulatan jemaat Kristen perdana yang didera bukan saja oleh orang Yahudi, tetapi juga orang Romawi. Badai yang melanda perahu itu dapat saja merupakan gambaran penderaan yang dialami mereka. 

𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗽𝗮 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗯𝗲𝗴𝗶𝘁𝘂 𝘁𝗮𝗸𝘂𝘁? (ay. 40-41)

Lalu Ia berkata kepada mereka, “𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘬𝘦𝘵𝘢𝘬𝘶𝘵𝘢𝘯? 𝘉𝘦𝘭𝘶𝘮𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢?” (ay. 40). Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain, “𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳𝘯𝘺𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘦𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘢𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯𝘢𝘶 𝘱𝘶𝘯 𝘵𝘢𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢-𝘕𝘺𝘢?” (ay. 41) (TB II 2023)

Sesudah situasi terkendalikan, barulah Yesus menegur para murid. Tidak lama sebelum mereka bertolak ke seberang sebenarnya Yesus sudah diberi pengajaran secara eksklusif oleh Yesus mengenai misteri Kerajaan Allah (lih. Mrk. 4:11, 34). Ternyata mereka sama saja dengan orang banyak. Mereka ketakutan, karena mereka belum percaya.

Pertanyaan yang masih menggantung, mengapa Yesus menegur para murid dengan dua pertanyaan itu? (ay. 40) Tampaknya apabila kita tautkan dengan pengajaran Yesus sebelum bertolak ke seberang, sebenarnya para murid mampu mengatasi badai itu tanpa penyertaan Yesus secara fisikal.

Ayat penutup laksana pujian para murid kepada Yesus. Takut (𝘱𝘩𝘰𝘣𝘰𝘯) pada ayat 41 berbeda dari takut (𝘥𝘦𝘪𝘭𝘰𝘪) pada ayat 40. Takut pada ayat 41 lebih bermakna hormat, segan, sungkan. Sayangnya LAI menerjemah 𝘵𝘩𝘢𝘭𝘢𝘴𝘴𝘦̄ sebagai danau, bukan laut (ay. 41) sehingga latar belakang ranah PL mengenai laut menjadi kabur dan pesan teologisnya pun menjadi kurang 𝘯𝘦𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨.

 (23062024)(T)

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...