ORTHODOXI TANPA ORTHOPRAXI, serial Sudut pandang
*) Makalah untuk Diskusi Masa Adventus yang diselenggarakan oleh GPIB “Ebenhaezer” Surabaya, tanggal 10 Desember 2018.
1. KILAS BALIK
Ketika St. Lucifer dari Cagliari wafat di Thebes, Mesir, sekitar tahun 371 M, St. Hieronimus mungkin dalam perjalanan dari Roma menuju Syria. Konon, di tengah-tengah “melawan arus deras sungai Rhine”, untuk pertama kalinya ia belajar teologi. Dua tahun kemudian, St. Hieronimus tiba di Antiokia dan tinggal di sana. Dalam keadaan sakit, ia menerima visi dari Tuhan, yang akhirnya mengantarnya ke Bethlehem. Setelah tinggal di Bethlehem lebih dari 30 tahun, St. Hieronimus berhasil merampungkan karyanya, yaitu Vulgata, sebuah terjemahan Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dari bahasa Ibrani dan Yunani ke dalam bahasa Latin. Sang pujangga gereja itu wafat di kota kelahiran Kristus, tanggal 30 September 420 M.
Sementara itu, sebelumnya St. Lucifer dari Cagliari telah ditahbiskan oleh Uskup Marcelius. Ia dikenal sebagai pejuang gigih, bahkan “fanatik kaku” dalam melawan ajaran Arius yang menyangkal keilahian Kristus. St. Lucifer dari Cagliari pertama kali muncul di panggung sejarah, ketika ia atas nama Paus Liberius mendesak Konstantius II, Kaisar pendukung Arius, menggelar sinode gerejawi untuk “menyelesaikan” masalah ajaran Arius, yang sebelumnya dikutuk oleh Konsili Nikea tahun 325 M. Pada sinode Milan tahun 355 M, St. Lucifer dengan gigih membela St. Athanasius dari Alexandria dalam menegakkan orthodoksi melawan para penganut Arianisme.
Karena sikapnya yang keras dalam membela ajaran rasuli, St. Lucifer dari Cagliari harus mengalami perlakuan yang kejam dari Kaisar Konstantin II, antara lain mengalami pembuangan ke Germarica dan ke Thebes, Mesir. Selama dalam pengasingan, St. Lucifer justru menulis pamflet yang sangat keras melawan Kaisar karena dukungannya kepada Arianisme, dan siap menjadi martir karena imannya yang tak tergoyahkan akan keilahian Yesus Kristus. Kini keduanya sudah di Yerusalem surgawi, berada bersama-sama “beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah”, termasuk diantara “roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna” (Ibr. 12:22-23). Dari Bukit Sion, Yerusalem surgawi, dialog imaginer ini dimulai.
2. ST. LUCIFER : “KOK NAMAKU DIPATENKAN JADI NAMA SETAN, BRO?”
Suatu hari, seusai Khidmat al-Quddas (Misa Suci), dalam sebuah obrolan santai:
† : “Kok namaku di-‘paten’-kan jadi nama Setan, Bro?”, tanya. St. Lucifer kepada St. Hieronimus.
‡ : “Gara-gara Vulgata, maksudmu, Mas Bro?”, jawab St. Hieronimus seraya menunjukkan Yesaya 14:12 teks Ibrani, awal ayatnya berbunyi: אֵיךְ נָפַלְתָּ מִשָּׁמַיִם הֵילֵל בֶּן-שָׁחַר ‘Eik nafaleta mi syamayīm Heilel ben Syaḥar...’ (Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Heilel ben Syaḥar). “Kata ‘הֵילֵ’ (Heilel) saya terjemahkan ‘Lucifer’, jelas Hieronimus. Arti kata ‘Lucifer’ netral-netral saja, kok. Bintang Timur. Siapa bilang saya menamakan Setan dengan Lucifer, Bro?”, tambahnya.
St. Lucifer agak beranjak dari tempat duduknya, matanya lurus tertuju kepada teks Vulgata: “Quomodo cecidisti de caelo lucifer qui mane oriebaris”.
‡ : “Padahal”, lanjut St. Hieronimus lagi, “selain Yesaya 14:12, saya juga memakai kata ‘Lucifer’ untuk menerjemahkan 3 ayat lain lagi, dalam makna yang beragam tentunya”, katanya.
† : “Di mana saja?”
‡ : “Kata בקר ‘boqer’ (bintang pagi) dalam Ayub 11:17, dan מזרות ‘mazzarot’ (mintakul-buruj, rasi-rasi bintang) dalam Ayub. 38:32. Satunya lagi dalam Perjanjian Baru, 2 Petrus 1:19. Dalam ayat ini kata Yunani φωσφόρος ‘phosporos’ (bintang timur), saya terjemahkan juga ‘Lucifer’ tetapi maknanya merujuk kepada kepada Sang Kristus sendiri”, jelas penulis Vulgata yang cendekia itu.
† : “Edan tenan”, kata St. Lucifer dari Cagliari. “Kalau nama saya dikasih Setan, masih maklumlah. Lha ini kan gelar Kristus yang mulia”, St. Lucifer kaget-kaget.
Karena penasaran, ia membuka bagian 2 Petrus 1:19, teks Vulgata: “Et habemus firmiorem propheticum sermonem cui bene facitis adtendentes quasi lucernae lucenti in caliginoso loco donec dies inlucescat et lucifer oriatur in cordibus vestris”. Artinya: “Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan lucifer (bintang timur) terbit bersinar di dalam hatimu.”
† : “Jadi, bagaimana sejarahnya sampai Setan dapat gelar spesifik ‘Lucifer’, Bro?”, tanya St. Lucifer lagi.
‡ : “Itu gara-gara King James tahun 1611 menerjemahkan Yesaya 14:12, mengutip istilah yang saya pakai, Bro!”, jawab St. Hieronimus. ‘How art thou fallen from heaven, O Lucifer, son of the morning...’ Sayangnya, istilah saya itu di ayat-ayat lain nggak dipakai. Khususnya dalam 2 Petrus 1:19, KJV menerjamahkan: ‘... until the day dawn, and the day star arise in your hearts’”, tambahnya.
† : “Oooo... Ngerti saya, gara-gara Lucifer hanya dipakai dalam Yesaya 14:12 itu, dan kemudian ayat itu ditafsirkan sebagai kejatuhan Setan, makanya Lucifer jadi nama diri Setan. Begitu kan, Bro?”, tanya St. Lucifer ingin tahu.
‡ : “Ya, ya. Tepat sekali katamu, Mas Bro!”
† : “Yang kesenengan ya Setan to, Bro. Gelar Yesus dikasihkan gratis. Dan ikut susah juga saya!”
‡ : “Kenapa ikut susah?”, tanya Hieronimus.
† : “Lha gimana enggak, Bro. Aku saiki di-”dhemit-dhemit”-kan lho. Sopo sing ora ngamuk?”, katanya.
‡ : “Huahaaaa....Haaaa... Haaaa...”, St. Hieronimus tertawa lepas.
Sungguh, St. Lucifer tak menyangka kalau sang pujangga gereja yang biasanya selalu serius itu bisa sesantai hari ini. Tanpa beban.
3. SANTO JUGA MANUSIA
† : “Bukan hanya itu, Bro. Gara-gara Lucifer dianggap nama Setan itu, nama saya St. Lucifer dari Cagliari jadi tenggelam. Tak ada lagi orang tua yang berani menamakan anaknya Lucifer. Takut kesetanan... “, keluh orang kepercayaan Paus Liberius itu.
‡ : “Sorry, Mas Bro”, sanggah St. Hieronimus. “Soal ini saya berbeda pendapat. Namamu tenggelam bukan hanya karena alasan itu, Mas Bro. Tapi juga karena Mas Bro berani melawan hierarkhi gereja. Masih ingat, ketika Mas Bro melawan St. Athanasius dari Alexandria?”
† : “Tapi...”, St. Lucifer memotong pembicaraan.
‡ : “Tunggu dulu, Mas Bro”, St. Hieronimus tak memberi kesempatan rekannya itu bicara.
“Secara orthodoksi Mas Bro benar, tidak ada kompromi sedikitpun dengan ajaran Arius. Tapi gara-gara Mas Bro menutup rapat-rapat pintu tobat bagi kaum Arian yang sudah sadar. Nah, apa yang terjadi?”
Keduanya diam sejenak, pikiran mereka melintasi abad-abad, menerawang zaman-zaman. Inilah pelajaran berharga tentang penegakan orthodoksi (ajaran yang lurus), namun tanpa orthopraxi (perilaku hidup yang lurus). Kontra-produktif hasilnya.
† : “Ya, ya. Saya waktu itu tak mampu mengendalikan para fans berat saya. Sayapun mengangguk setuju ketika ‘Luciferians’ dideklarasikan sebagai Front Pembasmi Arianisme (FPA)”, nada bicara St. Lucifer menyesal.
St. Hieronimus paham benar perasaan rekan diskusinya itu.
‡ : “Sudahlah, Mas Bro. Santo-santo seperti kita ini sama dengan semua saudara-saudari seiman kita yang kini masih berjuang di dunia. Sama seperti kita dulu, ketika kita masih terbungkus daging, darah dan tulang”, St. Hieronimus.
Rekannya itu mengangguk, mulutnya tak keluar sepatah katapun. Mereka sejenak menggambar beragam panorama di kanvas pikiran masing-masing.
‡ : “Dulu, ya Mas Bro”, suara berat St. Hieronimus memecah keheningan. “Saya juga difitnah punya affair dengan si cantik Paula, seorang ibu muda yang ditinggal mati suaminya. Hati saya waktu itu benar-benar hancur, saya di-dzalimi. Sampai waktu sendiri yang membuktikan tuduhan itu mengada-ada. Tapi Puji Tuhan, saya bisa menyelesaikan Vulgata, setelah lebih dari 30 tahun saya ‘bertapa’ di Bethlehem, di salah satu gua dekat tempat kelahiran Juru Selamat kita”, kenangnya.
† : “Dan kabarnya, si Paula itu yang mendukung finansial untuk kebutuhan penulisan buku-bukumu, ya Bro?”, tanya St. Lucifer.
‡ : “Haaa... Betul, betul Mas Bro. Lha wong saya ini ibaratnya hanya punya tekad tapi nggak punya ragad kok... Heeee...”, jawab St. Hieronimus. “Tapi akhirnya sejarah juga yang menjadi hakimnya, Mas Bro. Selama berabad-abad Vulgata, yang selama proses penulisan saya sering dikirimi uang sama si cantik Paula itu, telah menjadi terjemahan resmi Gereja Katolik sampai sekarang.
4. TEGA-TEGANYA, PAUS DALAM MISANYA DITUDUH MEMUJA SETAN
Kedua santo itu tampak mulai bosan duduk di beranda, sambil berdiri mereka melihat dari jendela emas “New Jerusalem”. Mata mereka melihat ke dunia, orang-orang Kristen yang suka bertikai.
† : “Tuh, tuh... Lihat, Bro!”, kata St. Lucifer.
‡ : “Mana?”, St. Hieronimus menghujamkan matanya ke bawah. Sekelompok orang Kristen non-Katolik menghujat Paus, katanya Sri Paus dalam misanya memuja Setan.
‡ : “Itu gara-gara kata Lucifer tadi”, tebak St. Hieronimus.
† : “Bravo, betul, betul Bro”, jawab St. Lucifer.
‡ : “Mas Bro, Mas Bro... Tadi kan saya yang kasih tahu duluan to?”, St. Hieronimus tak mau kalah.
Ternyata kurumunan tadi adalah kerumunan orang Indonesia, mukanya culun-culun. Heeee... Mereka lagi nonton tayangan youtube, salah satu misa vigil pra-Paskah di Roma. “Ya Tuhan, benar-benar sesat Katolik ini. Jelas-jelas menyembah Lucifer, memuja Iblis”, seperti suara burung bersautan mereka saling mengangguk, membenarkan opini sesama mereka yang terlalu awam dalam bahasa Latin itu.
‡ : “Dengar, dengarlah, Mas!”, pinta St. Hieronimus: “Flammas eius”, senandung seorang diakon merdu, mengiringi misa kudus Paus Francis, “Lucifer matutínus inveniat ille inquam lucifer qui nescit occasum. Christus Fílius tuus...” Kedua santo itu terus menyimak misa itu.
† : “Huahaaaa....”, kini gantian St. Lucifer yang tertawa ngakak.
Teks Latin yang disangka memanggil Setan itu, ternyata memuja Kristus Anak Allah sendiri yang dipanggil sebagai Bintang Timur (Lucifer), bukan menurut makna teks Yesaya 14:12, tetapi menurut 2 Petrus 1:19. Mulut kedua santo itu turut memuji, demikian makna pujian itu: “Kiranya nyalanya digabungkan dengan cahaya bintang timur, dengan bintang timur yang tak pernah terbenam, yang terbit dari alam maut dan menyinari manusia dengan cahaya-Nya. Dialah Kristus Putra-Mu”.
†&‡ : “Luar biasa!”, kedua santo itu berdecak kagum, sujud menyembah.
Misa Suci Vatican tampak baru usai pula. Alam raya di bawah sana membentang menyambut sang surya pagi yang merangkak perlahan mendaki kaki-kaki langit, cahayanya semburat merona, menunggu datang rembang siang. Namun kedua hamba Kristus itu masih melanjutkan obrolan-obrolan teologis mereka.¶
(05062024)(T)