Kami membaptis dengan percik, Serial Sudut Pandang
PENGANTAR
Baptisan berasal dari bahasa Latin baptismus atau baptisma. Dalam Perjanjian Baru yang aslinya ditulis dalam bahasa Yunani kata yang dipakai untuk membaptis adalah baptizo. Kedua kata ini mempunyai arti yang sama, yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya: menyelamkan atau mencelupkan tetapi bisa juga membasuh atau membersihkan. Dalam gereja baptisan dipakai untuk menunjuk pada peristiwa di mana seseorang memberi diri sebagai pengikut Kristus dan karena itu menjadi bagian dari tubuh Kristus. Tanda atau bukti penyerahan diri menjadi pengikut Kristus biasanya dilakukan melalui upacara baptisan.
Baptisan dilakukan dalam persekutuan atau ibadah jemaat. Ia tidak benar dilakukan secara diam-diam (rahasia) dan hanya dihadiri oleh pendeta (pastor atau imam) dan calon baptisan. Ini kecenderungan yang banyak terjadi dalam gereja protestant. Ritus ini adalah akta jemaat. Dalam pelaksanaannya pendeta atas nama dan disaksikan oleh jemaat (umat) membawa orang yang menyerahkan diri untuk menjadi pengikut Kristus ke satu tempat di mana terdapat air, lalu menyelamkan atau membasuh yang bersangkutan ke dalam atau dengan air. Pada saat menyelamkan atau menyiram calon baptisan dengan air sang pendeta menyerukan nama orang tersebut dalam satu tarikan napas dengan nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Itu merupakan proklamasi kepada kepada dunia, jemaat dan juga kepada yang bersangkutan bahwa Allah Tritunggal menerima dia sebagai milik kesayanganNya. Dari statusnya yang lama sebagai pemberontak terhadap Allah, dia sekarang didamaikan dengan Allah sehingga dianggap layak oleh Allah untuk menjadi anak sekaligus pewaris janji keselamatan Allah. Pengumuman itu datang dari Allah. Atas dasar proklamasi itu ia menjadi anggota gereja.
Oleh gereja (Protestan, Roma Katolik maupun Orthodoks Timur) baptisan dianggap sebagai sakramen. Sakramen, kata bapak gereja dari Afrika: Tertulianus (thn 200) dan Agustinus, juga dari Afrika, adalah tanda yang kelihatan dari Firman (verbum visibile) untuk menggambarkan misteri keselamatan Allah yang tidak kelihatan. R. Bultman, mengasumsikan bahwa pada kondisi tertentu daya supranatural dapat berdiam dalam satu obyek kelihatan. Obyek itu berfungsi sebagai mediator melalui mana daya supranatural itu bekerja kalau obyek itu diperlakukan sesuai dengan fungsinya umpamanya, rumusan yang benar diucapkan secara tepat serta seremoninya dilaksanakan pada tempatnya. Baptisan disebut sakramen karena gereja dan orang kristen percaya bahwa air dan ritus baptisan, oleh anugerah Allah, berfungsi sebagai media di mana anugerah Allah yang menyelamatkan bekerja dalam diri manusia, pada saat baptisan dilayankan secara benar kepada seseorang dalam persekutuan ibadah jemaat. Sebagai sakramen baptisan tidak mempunyai arti pada dirinya sendiri. Maksudnya, arti baptisan tidak terletak pada air dalam pelaksanaan ritus baptisan. Arti baptisan ada di luar tanda yang kelihatan. Melalui air dan ritus baptisan perhatian jemaat diarahkan kepada darah dan karya Yesus Kristus yang menyucikan manusia dari dosa dan memberi kehidupan baru. Baptisan karena itu adalah sebuah kiasan (I Pet. 3:21) yang menunjuk kepada kematian dan kebangkitan Kristus. Sakramen, menurut Calvin adalah "kesaksian tentang kasih Allah kepada manusia yang ditunjukan dalam satu tanda yang nampak." Dalam pengertian ini sakramen artinya tanda keselamatan.
Baptisan berubah fungsinya dari tanda keselamatan menjadi perbuatan magis bila ia dilepaskan dari anugerah Allah yang menyelamatkan, atau bila ia dianggap sebagai yang mempunyai makna pada dirinya sendiri. Kecenderungan ini, menurut J. Feuneren, cukup kuat dalam gereja Roma Katolik yang memahami sakramen sebagai: "Perbuatan simbolis dari gereja yang ditetapkan oleh Yesus Kristus dan mereka yang menerimanya dengan cara yang khusus ambil bagian dalam buah kerja kematian dan kebangkitan Yesus." G.R. Beasley-Murray tepat saat ia mengatakan: "Baptisan menyelamatkan bukan karena air membersihkan kotoran dari tubuh manusia, tetapi sebagai momen di mana seseorang dijumpai oleh Kristus yang bangkit."
MAKNA BAPTISAN
a. Baptisan dan kelahiran
Kalau bicara tentang baptisan, apa yang serta merta muncul dalam pikiran anda? Bagi saya bicara tentang baptisan, berarti bicara tentang saat seseorang dilahirkan. Pernyataan ini bisa dianggap mengada-ada. Tetapi menurut saya di sinilah letak pesan utama atau makna sesungguhnya dari pelayanan baptisan yang dilakukan oleh Gereja. Ada dua alasan yang bisa saya kemukakan.
Pertama, ritus baptisan dalam kebanyakan gereja protestan dan Roma Katolik biasanya dilakukan pada hari minggu pertama setelah seorang bayi dilahirkan. Kelahiran dan baptisan bagi banyak orang kristen merupakan dua peristiwa yang terjadi hampir bersamaan. Itu sebabnya di banyak negara kristen (di Eropa) untuk periode yang cukup lama akte kelahiran tidak berbeda dengan surat baptisan.
Kedua, baptisan merupakan perbuatan simbolis yang sarat makna. Melalui baptisan hendak ditegaskan bahwa "manusia lama" yang takluk pada dosa dan kematian sudah berlalu dan bersamaan dengan itu "manusia baru" sedang datang. Baptisan adalah sebuah tindakan simbolis atau sakramental yang menunjuk pada peristiwa berakhirnya kehidupan lama dan dimulainya kehidupan yang baru. Baptisan bukan peristiwa kelahiran kembali. Ia adalah tanda yang menunjuk pada peristiwa itu. Air baptisan melambangkan darah Kristus yang membersihkan manusia dari dosa dan pada Roh Kudus yang melahirkan kembali dan membaharui manusia.
Makna sakramental ini ditegaskan Paulus dalam surat-suratnya kepada beberapa jemaat kristen purba. Kepada jemaat di Kolose dia menulis: "... karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah..." (Kol. 2:12). Dalam Roma 6:4 Paulus katakan: "Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru. "
Dalam Galatia 3:27 Paulus mengatakan bahwa dibaptis artinya mengenakan Kristus. Kita tinggalkan pakaian kita yang lama, pakaian kematian dan kita pakai pakaian yang baru yang mendatangkan keselamatan, itulah Yesus Kristus. Dalam arti ini dibaptis artinya dipersatukan dengan Kristus. Jurgen Moltmann mengatakan: “Baptisan menghubungkan hidup manusia yang rapuh dan tidak sempurna dengan hidup Allah yang penuh kemuliaan dan sempurna. Kalau dua pendapat ini kita sederhanakan, kita bisa katakan bahwa dibaptis berarti dibungkus dalam Kristus. Waktu Pendeta berkata: “Fini! Aku membaptis engkau dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus,” saat itu Fini menjadi satu dengan Kristus. Fini orang berdosa. Nasib yang menunggu dia adalah mati. Kristus tidak mati. Dia hidup. Di dalam Dia ada hidup kekal. Dia tetap sama kemarin, hari ini dan selama-lamanya (Ibr. 13:8). Pada saat dibaptis Fini yang seharusnya mati mengenakan Kristus yang tidak binasa (Gal. 3:27). Hidup Fini yang rapuh dan tidak sempurna disatukan dengan Allah yang kekal dan sempurna. Siapakah lagi yang dapat mengusik hidup Fini? Penyakitkah? Kematiankah? Mautkah? Tidak ada. Nama yang di dalam-Nya Fini dibungkus adalah nama di atas segala nama (Fil. 2:9). Semua kuasa di sorga, di bumi dan di bawah bumi bertekuk lutut kepada nama itu (Mat. 28:18). Fini akan selamat karena dia disatukan dengan nama yang kekal itu.
Yesus sendiri dalam percakapan dengan Nikodemus secara implisit merujuk pada peristiwa kelahiran kembali yang terjadi melalui air dan Roh (Yoh. 3:5). Di sini Yesus secara tidak langsung sedang berkata-kata tentang baptisan sebagai sebuah proses kelahiran kembali sebagaimana yang juga ditegaskan oleh para nabi Israel sebelumnya, seperti Yeremiah (31: 33) dan Yehezkiel 18: 31).
Jadi ada hubungan erat antara baptisan dan kehidupan baru. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Pada saat seseorang menerima baptisan pada saat itu juga ia telah dilahirkan kembali. Baptisan memeteraikan bahwa manusia lama kita dikuburkan bersama Kristus dan atas dasar itu kita boleh dilahirkan kembali sebagai manusia baru. Atas dasar ini Dr. G. Oorthuys menulis: "Demikianlah baptisan adalah sebuah akta penghakiman (doodvonnis) sekaligus tindakan penyelamatan (behoudenis), karena dalam baptisan kita mati bersama Kristus supaya kita boleh bangkit dari kematian bersama Dia."
b. Kelahiran kembali sebagai karya Allah
Bicara tentang kelahiran kembali (baru) mengandaikan bahwa ada kelahiran yang terjadi sebelumnya. Yang dimaksud dengan kelahiran sebelumnya adalah peristiwa di mana seorang manusia lahir secara alamiah karena keinginan seorang laki-laki dan perempuan. Yesus menyebut kelahiran yang alamiah ini dilahirkan dari daging (Yoh. 3: 6). Dalam kelahiran dari daging ini manusia ada sebagai makluk pendosa. Ia adalah orang berdosa pada saat lahir, bahkan sejak dalam kandungan ibunya (Maz. 51: 7). Akibatnya, manusia itu tunduk di bawah kuasa dosa. Bagian yang tersedia bagi dia tidak lain dari pada maut atau kematian (Rom. 6:23).
Untuk ambil bagian dalam keselamatan yang dikerjakan Allah dalam dan melalui Kristus, manusia perlu dilahirkan kembali. Ia yang ada dalam kuasa dosa dan kematian harus ditarik kembali untuk hidup bagi Allah. Kelahiran kembali itu harus terjadi atas manusia, tetapi itu hanya mungkin terjadi sebagai tindakan dan karya Allah. Ibrani 10: 19-22 menegaskan bahwa kelahiran kembali hanya mungkin terjadi karena karya Yesus Kristus. Menurut kitab Injil ke empat, kelahiran kembali itu hanya mungkin terjadi melalui air dan Roh. Inilah yang disebut dalam Yohanes 3: 6, dilahirkan dari Roh. Kelahiran dari Roh ini terjadi di luar pengetahuan, kemauan dan kekuatan manusia. Allah adalah subyek primer dari kelahiran dari roh.
Tapi, Allah tidak mau bekerja sendiri tanpa manusia. Ia memanggil gereja untuk mengumumkan kelahiran dari roh itu secara kasat mata kepada manusia. Oleh Gereja kelahiran dari Roh ini ditunjukkan dalam bentuk yang kelihatan melalui baptisan. Itu sebabnya baptisan ditetapkan sebagai sakramen, karena ia menunjuk pada karya Allah untuk membaharui hidup manusia. Baptisan adalah peristiwa lewat mana karya Allah yang tidak kasat mata untuk menggantikan manusia lama dengan manusia baru kita peragakan dalam cara-cara yang kasat mata. Dengan sangat tepat Katekismus Heidelberg menegaskan: "Baptisan bukanlah meterai atas prestasi kita, melainkan meterai dari janji dan grasi dari Allah." Dengan maksud yang sama Dr. G. Oorthuys menulis: "Baptisan tidak memeteraikan siapa kita tetapi janji dan karya Allah atas kita."
Tanpa Allah tidak ada ciptaan baru dan tanpa karya Allah tidak mungkin ada sakramen baptisan. Ini berarti bahwa baptisan tidak dapat dibatalkan. Sekali seseorang dibaptis dalam nama Allah Tritunggal, tanda atau meterai itu tidak dapat dihilangkan begitu saja. Manusia tidak dapat menghilangkan tanda yang ditaruh Allah dalam hidupmu. Si penerima baptisan bisa saja melupakan tanda Allah yang ada padanya. Karena lupa atau tidak peduli pada tanda itu, ia hidup secara sembarono dan melakukan banyak hal yang jahat. Dalam semua itu ia tetap milik Allah. Satu kali kelak Allah akan meminta pertanggung-jawaban dari dia.
Atas dasar ini gereja kristen di mana saja dan kapan saja harus menolak praktek baptisan ulang. Baptisan ulang merupakan dosa dari sudut pandang Allah (teologis) maupun sudut pandang gereja (eklesiologis) dan budaya (sosio-kultural). Secara teologis baptisan ulang merupakan penyangkalan terhadap kesetiaan Allah pada perjanjian. Kita memaksa Allah yang bebas untuk bekerja menurut pola yang sudah kita tetapkan. Dari sudut pandang gereja baptisan ulang adalah dosa karena dengan melakukan itu gereja menganggap diri berkuasa menentukan keselamatan. Gereja yang begitu bertindak lebih dari panggilannya sebagai saksi. Secara kultural baptisan ulang adalah dosa karena terjadi pelecehan terhadap simbol-simbol dalam budaya.
c. Tindakan Allah mendahului jawaban manusia
Persoalan yang mungkin muncul adalah kapan kelahiran kembali itu dikerjakan Allah atas manusia? Apakah karya Allah menguburkan manusia lama dan membangkitkan manusia baru terjadi pada saat seseorang mencapai satu tingkat hidup tertentu yang pantas untuk itu? Pertanyaan ini penting dan mendesak mengingat dalam Gereja kristen ada beberapa denominasi yang menolak baptisan kepada anak-anak (infant baptism). Mereka beralasan: baptisan hanya bisa dilayankan kalau yang dibaptis telah mengaku imannya. Anak-anak tidak dapat mengaku iman karena itu mereka tidak dapat dibaptis. Baptisan yang dilakukan Gereja terhadap anak-anak memiliki cacat ganda. Ia dianggap tidak sah ditinjau dari segi iman calon baptisan dan bertentangan dengan baptisan Yesus di Yordan: yaitu pada saat Dia berumur dewasa.
Sudah banyak buku ditulis sebagai apologi untuk membela keabsahan baptisan kepada anak-anak (infant baptism). Dalam formulir baptisan beberapa gereja arus utama dikatakan bahwa anak-anak tidak berada di luar janji Allah yang diberikan kepada Abraham. Bahkan Yesus sendiri menyambut anak-anak. Ia menghargai mereka sebagai pewaris perjanjian sama seperti orang dewasa.
Intisari dari formulir itu adalah bahwa Allah Yang Mahakuasa tidak meremehkan anak-anak karena keluguan dan ketidaktahuan mereka. Allah tidak mau menunggu sampai mereka menjadi besar dan bijak, tetapi Dia mau menjadikan mereka anak-anakNya serta partner perjanjianNya sejak mereka masih kanak-kanak. Anugerah Allah yang terwujud dalam keputusan untuk menjadikan manusia anak-anak dan partner di dalam perjanjian mendahului jawaban manusia. Hal ini ditegaskan Paulus dalam Roma 5:8: "Akan tetapi Allah menunjukan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa."
Jawaban manusia berupa iman bukan kondisi atau pra syarat di atas mana perjanjian kasih setia Allah ditetapkan. Jelasnya, anugerah Allah mendahului iman manusia. Anugerah tidak lagi disebut anugerah jika ia dikondisikan oleh sesuatu di luar Allah. Artinya Allah tidak lagi bebas kalau ia bekerja berdasarkan pertimbangan jasa manusia. Singkatnya, kelahiran kembali (pengangkatan manusia sebagai partner perjanjian Allah) bukan prestasi manusia tetapi grasi Allah. Grasi itu berlaku universal, tidak diskriminatif dan sektarian. Grasi itu diberikan secara adil baik kepada orang dewasa maupun kepada anak-anak. Allah bahkan sudah mengenal dan memanggil seseorang menjadi milikNya sejak dalam kandungan (Yer. 1:5).
Petrus tidak berani menahan diri untuk membaptis Kornelius dan seisi rumahnya karena Allah tidak menahan anugerahNya kepada mereka. Ketika Petrus baru mulai berbicara, Allah telah menaruh mencurahkan RohNya dalam hati semua yang ada di rumah itu. Atas dasar itu Petrus membaptis orang-orang di situ (Kis 10: 44-47). Dalam Mazmur 8: 3 dan Yoel 2: 28 kita berhadapan dengan kenyataan yang sejajar. Dalam bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu baik yang laki-laki maupun perempuan Allah telah menaruh dasar kekuatan untuk membungkamkan musuh dan para pendendam. Allah ternyata tidak diskriminatif terhadap manusia. Jika demikian, bolehkah orang mencegah anak-anak untuk dibaptis, sedangkan mereka juga menerima Roh Kudus sama seperti orang-orang dewasa?
Menjawab pertanyaan yang kita ajukan di atas, kapankah kelahiran kembali itu dikerjakan Allah atas manusia? Kelahiran kembali atau pembenaran manusia dari dosa dikerjakan Allah di dalam kematian dan kebangkitan Yesus, ketika kita (orang dewasa dan anak-anak) masih berdosa. Kelahiran kembali itu berlaku untuk semua orang tanpa kenal usia. Baptisan sebagai tanda persekutuan dalam kematian dan kebangkitan Kristus ( proses peralihan dari kehidupan lama kepada kehidupan baru) karena itu berlaku baik bagi anak-anak, orang dewasa maupun mereka yang sudah lanjut usia. Prof. J.H. Bavinck benar saat ia berkata: "Kehidupan baru dalam Kristus dapat terjadi juga sejak masa kanak-kanak karena baptisan bukan berdasar pada prestasi manusia tetapi pada janji Allah."
TANDA ATAU METERAI BAPTISAN
a. Tanda dan yang ditandakan
Waktu bicara tentang baptisan kita perlu membedakan antara tanda dan yang ditandakan. Baptisan seperti yang sudah kita sebutkan di atas adalah sakramen. Sebagai sakramen artinya baptisan hanyalah tanda saja. Baptisan bukanlah keselamatan itu. Yang menyucikan manusia dari dosa dan memberi kehidupan baru bukan unsur-unsur dan ritus-ritus baptisan. Air dan ritus baptisan bukan juru selamat manusia dan dunia. Air dan ritus baptisan adalah tanda-tanda yang kelihatan untuk mengokohkan iman kita pada karya Kristus yang tidak kelihatan. Dalam I Petrus 3: 21 baptisan disebut kiasan dari kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Dengan begitu dibaptis artinya seseorang ditarik masuk dalam jalan yang dilalui Yesus Kristus, yakni mati bagi dosa dan bangkit untuk memperoleh hidup baru. Itu berarti kalau bicara tentang baptisan, sebagaimana kalau kita bicara tentang sakramen gerejawi, kita harus membedakan antara tanda dan yang ditandakan. Baptisan adalah tanda. Pengampunan dosa dan pembaharuan hidup manusia dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus adalah hal yang ditandakan. Saudara-saudari kita umat Katolik menekankan maksud serupa dengan menegaskan bahwa kita perlu membedakan antara esensi dan seremoni saat kita bicara tentang baptisan.
Dalam butir dua di atas kita sudah berbicara agak detail mengenai esensi atau yang ditandakan. Baiklah sekarang kita bicarakan juga mengenai elemen-elemen dalam baptisan yang berfungsi sebagai tanda. Sekurang-kurangnya ada dua elemen yang perlu kita pikirkan secara sungguh-sungguh. Kedua elemen itu adalah air dalam upacara baptisan dan bentuk dari upacara itu. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: 1. Apa fungsi air, 2. Berapa banyak air yang perlu dipakai. Sehubungan dengan dua pertanyaan ini ada pertanyaan berikut yakni 3). Apa bentuk baptisan yang syah: selam, siram atau percik?
b. Air dalam upacara baptisan
Dalam bahasa Indonesia kata Latin baptismus artinya menyelamkan atau membasuh. Serta merta muncul pertanyaan menyelamkan dalam apa atau membasuh dengan apa? Ada banyak unsur yang perlu dalam kegiatan menyelamkan dan membasuh. Sebut saja misalnya air dan minyak. Dua unsur ini merupakan elemen dominan dalam proses menyelamkan dan membasuh. Jadi kalau kata baptismus artinya menyelamkan dan membasuh maka sudah pasti air atau minyak merupakan unsur yang tidak bisa diabaikan dalam satu upacara baptisan.
Tapi dalam upacara baptisan air merupakan unsur yang paling banyak dipakai. Ada dua alasan. Pertama, air merupakan unsur alamiah yang paling mudah ditemukan dan banyak dipakai untuk keperluan membersihkan atau mencuci. Minyak juga mudah ditemukan dan banyak dipakai tetapi ia merupakan unsur artivisial, buatan. Kedua, Yesus (sang pengagas upacara baptisan dalam gereja) pernah menggunakan air untuk membersihkan murid-muridNya sebagai persiapan untuk makan paskah pada saat Ia akan menjalani penderitaan. Lebih dari itu, baptisan Yesus yang disebut-sebut sebagai model dari baptisan yang dilakukan gereja terjadi di dalam air sungai Yordan. Karena dua alasan ini air diterima oleh hampir semua komunitas kristen sebagai unsur penting dalam pelayanan baptisan sebab air ternyata berfungsi bukan hanya untuk membersihkan kotoran. Unsur ini juga sering dihubungkan dengan tanda kehidupan. Di mana ada air di situ pasti ada hidup yang subur. Air dan kehidupan (baru) berkaitan erat satu sama lain. Dua fungsi air ini sejajar dengan makna baptisan. Itu sebabnya air dianggap sebagai unsur yang tepat untuk memberi tanda pada pembersihan dosa dan pembaharuan hidup manusia yang dikerjakan oleh Yesus Kristus dan Roh Kudus.
Meskipun hampir semua komunitas kristen menerima air sebagai elemen penting, tetapi ada juga perbedaan pemahaman di antara mereka. Gereja Roma Katolik umpamanya berpendapat bahwa baptisan tidak bisa terjadi atau tidak dianggap syah jika tidak tersedia air. Pada akhir abad ke-6 pernah terjadi baptisan oleh gereja kepada seorang Yahudi bernama Yohanes Moschus. Karena keadaan sangat mendesak dan tidak tersedia air, gereja membaptis Moschus dengan menggunakan pasir sambil menyerukan nama Allah Tritunggal. Perbuatan ini diprotes dengan keras oleh gereja pada waktu itu karena dianggap tidak syah.
Alasan yang diajukan saudara-saudari kita dari gereja Katolik adalah bahwa Kristus sendiri sudah menggariskan bahwa baptisan harus dilakukan dengan air. Ada dua contoh yang mereka pakai. Pertama, Yesus menjalani baptisan di sungai Yordan. Dalam hal ini gereja Roma Katolik mempertahankan pandangan banyak bapak gereja purba. Ignatius dari Anthiokia, Tertulianus, Ambrosius umpamanya mengatakan bahwa bahwa salah satu maksud baptisan Kristus di Yordan adalah untuk mentahirkan air dari dosa dan melayakkan air untuk dipakai sebagai sarana penyucian dan pembaharuan manusia. Kedua, waktu Yesus bicara dengan Nikodemus tentang kelahiran kembali (baptisan) dia menegaskan bahwa hal itu hanya mungkin terjadi melalui air dan Roh.
Berbeda dengan sahabat-sahabatnya dalam gereja Katolik, Marten Luther tidak mutlakkan air dalam ritus baptisan. Bagi Luther bukan membaptis dalam (dengan) air yang penting, melainkan iman yang benar pada Bapa, Anak dan Roh Kudus. "Penghiburan terbesar bagi kita," kata Luther, "ditarik dari kenyataan bahwa dalam baptisan keprihatinan kita bukan terutama berhubungan dengan air, tetapi dengan Firman Allah." Selanjutnya, keabsahan sebuah baptisan terletak pada penyeruan nama Allah Tritunggal, bukan pada pemakaian air. Dalam keadaan darurat, kata Luther, zat cair macam apapun syah untuk dipakai dalam baptisan. Di kalangan gereja Quaker dan Bala Keselamatan baptisan dengan air tidak merupakan kebiasaan.
Alasan Luther bersikap fleksibel terhadap air dalam upacara baptisan berhubungan dengan pemahaman bahwa air bukan juruselamat manusia. Lebih jauh lagi karena yang penting dalam baptisan bukan tanda lahiriahnya, yakni air, melainkan kesediaan si penerima baptisan untuk percaya dan hidup baru atas dasar baptisan yang dia terima.
Mengenai pertanyaan nomer dua tentang banyaknya air. Dalam gereja ada perdebatan hebat. Ada aliran dalam kekristenan yang tidak mempersoalkan jumlah air. Yang penting bukan jumlah airnya, melainkan komitmen untuk hidup meneladani Kristus. Aliran-aliran ini tidak keberatan dengan bentuk baptisan. Mereka menerima semua bentuk baptisan selam, siram atau percik sejauh diserukan dengan jelas nama Bapa, Anak dan Roh Kudus dan dilakukan dalam pertemuan atau ibadah jemaat. Gereja arus utama termasuk aliran dalam gereja yang memberi apresiasi pada semua bentuk baptisan. Meskipun demikian dalam pelaksanaannya dengan sadar sebagian besar gereja arus utama melayani baptisan dengan memercik. Mengenai alasan tindakan ini, saya uraikan dalam bagian lain tulisan ini.
Tetapi ada juga aliran-aliran tertentu dalam gereja yang gigih mempertahankan selam sebagai bentuk baptisan yang syah, Alkitabiah dan menyelamatkan. Mereka menunjuk pada baptisan Yesus di Yordan. Menurut mereka, apa yang dialami Yesus di Yordan merupakan dasar sekaligus model bagi pelayanan baptisan yang dilakukan gereja. Selain itu mereka juga menunjuk pada kata Latin dan Yunani untuk baptisan yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya menyelamkan dalam. Jadi baptisan yang benar, menurut mereka, adalah dalam bentuk selam.
Baptisan Yesus di Yordan tidak bisa kita jadikan model bagi pelaksanaan baptisan dalam gereja. Ada dua alasan. Pertama, baptisan dalam gereja merupakan tanda dari penyatuan seseorang ke dalam gereja. Melalui baptisan yang bersangkutan diterima sebagai anggota atau warga dari umat Allah. Baptisan Yesus di Yordan, tidak menunjukan pada maksud itu. Peristiwa di mana Yesus disatukan dalam persekutuan umat Allah, sebagai anggota umat perjanjian bukan baptisan di Yordan, melainkan sunat di Bait Allah pada waktu Ia berumur delapan hari (Luk. 2:22).
Kedua, baptisan Yesus di Yordan menunjukan pada penugasan khusus untuk menjalankan tugas kemesiasan yang Ia terima dari Allah. Baptisan Yesus di Yordan merupakan saat pelantikan Dia ke dalam jabatan mesias yang harus menderita sebagai tebusan bagi banyak orang. Kita katakan begitu karena oleh penulis kitab-kitab injil peristiwa baptisan Yesus di Yordan dihubungkan secara jelas dengan Yesaya 42:1 yang menunjukan pada hamba Tuhan yang harus menderita. Dalam gereja kita dibaptis bukan untuk jadi Mesias, tetapi sebagai tanda dan meterai sebagai pewaris dari keselamatan yang sudah dikerjakan oleh sang Mesias.
Jadi, penolakan beberapa denominasi terhadap praktek baptisan kepada anak-anak dalam bentuk percik dalam gereja dengan merujuk kepada baptisan Yesus di Yordan merupakan sebuah pandang yang keliru secara teologis, dan tidak berdasar pada kesaksian Alkitab. Alasan itu bersifat mengada-ada.
c. Bentuk-bentuk baptisan
Sekarang mengenai bentuk-bentuk baptisan. Manakah dari ketiga bentuk baptisan ini: selam, siram atau percik, yang dianggap syah, Alkitabiah dan menyelamatkan? Sebelum menjelaskan posisi saya mengenai persoalan ini, saya ajak pembaca mencermati praktek baptisan dalam sejarah perkembangan gereja.
Sejak berdiri sampai saat ini gereja tidak mengikat diri hanya pada satu bentuk baptisan. Pada masa para bapak gereja mula-mula bentuk baptisan yang paling populer adalah selam. Tetapi ada variasi. Ada beberapa bapak gereja yang membenamkan seluruh anggota tubuh dari calon baptisan ke dalam air, sebagai simbol dikuburkan bersama Kristus. Tetapi ada juga bapak gereja lain yang hanya membenamkan separuh anggota tubuh dari calon baptisan ke dalam air. Uskup Hippolitus melakukan baptisan dengan cara sebagai berikut. Calon baptisan dibawa masuk ke dalam air setinggi pinggang. Sang pendeta menumpangkan tangan ke atas kepala calon baptisan lalu membenamkan kepala si calon baptisan ke dalam air.
Cara lain terlihat dalam ikon dalam gereja-gereja tua serta gambar-gambar pada dinding katakombe. Calon baptisan berdiri dalam air setinggi pinggang. Pendeta yang membaptis menuangkan air ke atas kepala calon baptisan entah dengan tangan atau dengan mangkuk. Inilah cikal bakal bentuk baptisan dengan cara percik. Dalam gereja-gereja berbahasa Latin, baptisan selam berangsur-angsur ditinggalkan. Pada masa Thomas Aquinas baptis selam masih merupakan kewajiban, tetapi penyelaman hanya dilakukan setengah badan. Saat ini, sejauh yang saya ketahui dalam gereja-gereja berbahasa Latin bentuk percik paling banyak dipakai.
Alasan bagi adanya perubahan ini pada bersifat praktis. Para pemimpin gereja hendak menghindari perasaan malu yang umumnya dialami oleh calon baptisan berjenis kelamin perempuan. Di samping itu pertimbangan kesehatan anak-anak juga mendapat perhatian jika mereka harus diselamkan, apalagi di negara-negara beriklim sub tropis dan dingin. Baptisan percik juga dianggap paling mudah terutama bagi orang dewasa. D. Bont, dkk menyimpulkan bahwa gereja Kristen tak pernah menetapkan aturan yang mengikat sehubungan dengan bentuk selam sebagai baptisan yang syah, Alkitabiah dan menyelamatkan.
Juga kalau kita periksa kesaksian Alkitab dengan saksama tidak kita temukan bentuk baptisan yang dapat kita anggap sebagai yang Alkitabiah. Cerita Alkitab mengenai baptisan 3000 orang yang bertobat pada perayaan Pentakosta di Yerusalem (Kis 2: 37) dan baptisan kepala penjara Filipi dan seisi rumahnya (Kis. 16: 33) mengandaikan bahwa pada masa para rasul, baptisan dilakukan dalam bentuk yang sederhana dan mudah, yakni percik atau siram. Dalam Didakhe (kitab yang dianggap berasal dari masa para rasul) dikatakan dengan tegas: "Kalau padamu tidak tersedia air panas atau dingin dalam jumlah yang cukup untuk menyelamkan calon baptisan, cukuplah menyiram kepala calon baptisan tiga kali." Sejak abad ketiga cukup banyak bukti yang realible yang mengatakan bahwa orang sakit dibaptis dengan cara siram atau percik.
Kalau kita mencermati perintah baptisan dalam PB rumusan-rumusan berikut ini yang sering dipakai. Matius 28: 19 menulis "Baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus." Kisah 8:16; 19:5 berbunyi: "Dibaptis dalam nama Tuhan Yesus." Kalau kata "baptisan" dalam ayat-ayat ini kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya akan menjadi menyelamkan dalam. Selanjutnya kalau kita ganti semua kata "baptisan" dalam ayat itu dengan kata menyelamkan dalam maka bunyi dari ayat-ayat yang sudah kita kutip tadi akan berubah. Matius 28:19 akan menjadi: "Selamkanlah mereka dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus." Kisah 8:16; 19:5 akan terbaca: "Diselamkan dalam nama Tuhan Yesus." Jadi arti baptisan yang sesungguhnya adalah diselamkan dalam nama Tuhan Yesus. Penyelaman dalam air bukan conditio sine quo non (syarat mutlak) dari upacara baptisan.
Singkatnya, semua bentuk baptisan (selam, siram dan percik) dapat kita sebut alkitabiah dan syah. Ini disebabkan, keabsahan sebuah baptisan tidak terletak pada pencelupan atau pemercikan dalam air. Yang penting adalah pencelupan dalam nama Tuhan Yesus/Bapa,Putra, dan Roh Kudus. Air dan bentuk baptisan bukan juruselamat dunia. Juruselamat dunia adalah Allah, Kristus atau Roh Kudus bahkan ketiganya . Yang penting dalam upacara baptisan kata Marten Luther adalah iman atau kepercayaan yang benar pada Firman Allah dan kesediaan penerima baptisan untuk meneladani pola hidup Kristus.
SEREMONI BAPTISAN
Selama belajar teologia saya pernah mengikuti pemberitaan surat kabar mengenai perdebatan di kalangan warga gereja mengenai pelaksanaan baptisan kudus. Seorang pendeta dikritik habis-habisan oleh warganya karena ia hanya memercikan air sebanyak satu kali saja di kepala penerima baptisan. Sejak dulu di jemaat itu pendeta pembaptis selalu memercikan air di kepala penerima baptisan sebanyak tiga kali sesuai dengan penyebutan tiga oknum dari Trinitas (Bapa, Anak dan Roh Kudus). Jemaat merasa terganggu dengan ulah sang pendeta baru yang hanya memercik satu kali saja, meskipun dia tetap berkata "dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus."
Selama beradab-abad dan sudah menjadi tradisi bahwa baptisan apakah itu selam, siram maupun percik selalu dilakukan tiga kali. Pada tiap kali dibenamkan atau dipercik selalu diserukan nama salah satu oknum dalam Trinitas. Ada dua arti dari tiga kali pembenaman atau pemercikan. Pertama, Kalau baptisan dimaksud untuk menyimbolkan penguburan manusia lama bersama Kristus, maka pembenaman atau pemercikan harus dilakukan sebanyak tiga kali supaya sama dengan jumlah hari Kristus berada dalam kubur. Kedua, tiga kali pembenaman atau pemercikan juga merupakan wujud penghormatan pada tiga pribadi dalam Allah sekaligus untuk memeteraikan bahwa penguburan manusia lama dan penciptaan manusia baru itu merupakan karya Allah Tritunggal.
Sayangnya tradisi ini tidak dipelihara di seluruh wilayah kekristenan. Sejak abad keenam terutama di Spanjol, baptisan hanya dilakukan dengan satu kali pembenaman ke dalam air. Hal ini dibuat sebagai reaksi terhadap kaum Arian yang mengatakan bahwa pembenaman tiga kali adalah bukti bahwa ada tiga pribadi yang terpisah-pisah dalam Allah. Pertanyaan yang muncul manakah dari dua seremoni ini yang syah dan alkitabiah? Apakah baptisan baru bisa dianggap syah bila penerima baptisan menerima tiga kali penyelaman (pemercikan) atau apakah cukup sekali saja? Pertanyaan ini berhubungan dengan pertanyaan berikut: manakah yang menyelamatkan manusia: tiga kali diselamkan (dipercik) atau tiga nama dalam Tritunggal?
Kita kembali pada baptisan Yesus di Yordan. Momen ini disebut-sebut sebagai saat penetapan baptisan dalam gereja. Di situ tidak disebutkan kepada kita berapa kali Yesus mencelupkan diriNya dalam air di hadapan Yohanes Pembaptis. Kalau kita katakan tiga kali sangat tidak mungkin, sebab dogma Allah Tritunggal belum terbentuk saat itu. Setelah Yesus keluar dari air barulah ada kejadian mengejutkan (suara dari langit dan Roh Kudus turun ke atas Yesus dalam wujud burung merpati), yang oleh banyak bapak gereja purba disebut sebagai peristiwa di mana misteri ketritunggalan Allah diungkapkan. Jadi kalau benar Allah itu terdiri dari tiga pribadi (Bapa, Anak dan Roh Kudus) hal itu baru disadari jemaat setelah Yesus selesai dibaptis.
Kesaksian PB mengenai seremoni baptisan yang dilakukan oleh para rasul juga tidak menegaskan berapa banyak penerima baptisan dicelup atau dipercik. Kalau kita teliti dengan saksama bahwa para rasul umumnya membaptis orang hanya "dalam nama Yesus" (Kis. 2:38, 8:16, 10:48, 19:5) atau "dalam Kristus" (Rom 6:3, Gal. 3:27) maka tidak tertutup kemungkinan bahwa pada masa rasul-rasul pembenaman atau pemercikan terhadap penerima baptisan hanya dilakukan satu kali saja.
Kesimpulannya, tidak mungkin Yesus membenamkan diri dalam air di hadapan Yohanes sebanyak tiga kali. Kemungkinan besar hanya satu kali saja. Yang istimewa dalam baptisan Yesus bukan berapa kali Dia membenamkan diri ke dalam air, tetapi proklamasi ketritunggalan Allah yang terjadi setelah Dia keluar dari air. Kalau kita ingat perintah dalam Matius 28 untuk membaptis "dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus" maka jelas bahwa yang penting dalam upacara baptisan bukan tiga kali pencelupan atau pemercikan melainkan tiga nama tadi. Jelasnya, tiga kali pencelupan atau pemercikan hanyalah merupakan unsur seremonial saja. Itu tidak termasuk pada apa yang kita sebut di atas esensi dari baptisan. Nilai sebuah peristiwa baptisan tidak terletak pada seremoninya, melainkan esensinya.
(10092024)(TUS)
Baca juga :
https://titusroidanto.blogspot.com/2024/09/harus-baptis-selam-atau-tidak-serial.html
https://titusroidanto.blogspot.com/2024/09/baptis-selam-serial-sudut-pandang.html