Jumat, 27 September 2024

SUDUT PANDANG MARKUS 9 : 38 - 50, 𝗦𝗸𝗮𝗻𝗱𝗮𝗹 𝗽𝗲𝗺𝗶𝗺𝗽𝗶𝗻 𝗷𝗲𝗺𝗮𝗮𝘁

SUDUT PANDANG MARKUS 9 : 38 - 50, 𝗦𝗸𝗮𝗻𝗱𝗮𝗹 𝗽𝗲𝗺𝗶𝗺𝗽𝗶𝗻 𝗷𝗲𝗺𝗮𝗮𝘁

Cukup banyak orang Kristen yang memahami imannya secara infantil. Bukan sepenuhnya kesalahan mereka, karena memang kurang pengajaran orang dewasa dari pemimpin jemaat. Kekurangan itu dapat karena kekurangcakapan pemimpin umat. Namun, dapat juga memang disengaja agar umat tetap beriman balita sehingga mudah untuk disetir oleh pemimpin jemaat. Injil Markus menyamakan pemimpin jemaat seperti itu dengan penjahat besar.

Hari ini adalah Minggu kesembilan belas setelah Pentakosta. Bacaan ekumenis diambil dari Injil Markus 9:38-50 yang didahului dengan Bilangan 11:4-6, 10-16, 24-29, Mazmur 19:7-14, dan Yakobus 5:13-20.

Bacaan Injil Minggu ini adalah sambungan langsung dari bacaan Minggu lalu mengenai pengajaran Yesus tentang ukuran atau syarat menjadi terbesar. Bacaan mencakup dua perikop yang diberi judul oleh LAI 𝘚𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘶𝘳𝘪𝘥 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘴𝘪𝘳 𝘴𝘦𝘵𝘢𝘯 (ay. 38-41) dan 𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘣𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘴𝘢 (ay. 42-50). Perikop kesatu mengenai sabda-sabda pengajaran, sedang perikop kedua tentang perbandingan.

Ulasan bacaan dibagi ke dalam dua bagian:
🛑 Siapa pihak kita? (ay. 38-41)
🛑 Konsekuensi skandal (ay. 9:42-50)

𝗦𝗶𝗮𝗽𝗮 𝗽𝗶𝗵𝗮𝗸 𝗸𝗶𝘁𝗮? (ay. 38-41)

Pada bacaan Minggu lalu Yesus menyampaikan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia akan diserahkan kepada pemuka agama Yahudi, dibunuh, dan bangkit sesudah tiga hari. Mereka tidak mengerti (atau tidak peduli?), tetapi tidak mau bertanya. Mereka malah sibuk bertengkar saling mendaku siapa yang terbesar di antara mereka. Yesus mengajar mereka untuk menjadi terbesar haruslah menjadi pelayan bagi mereka. Yesus kemudian memberi ilustrasi dengan menghadirkan dan memeluk anak kecil sebagai simbol orang tak berdaya. Siapa saja yang menyambut anak kecil itu, ia menyambut Yesus, bahkan menyambut Allah yang mengutus-Nya.

Sesudah adegan itu Yohanes berkata kepada Yesus, “𝘎𝘶𝘳𝘶, 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘴𝘪𝘳 𝘴𝘦𝘵𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘮𝘪 𝘯𝘢𝘮𝘢-𝘔𝘶, 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘤𝘦𝘨𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘢, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘪𝘢 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘬𝘪𝘵𝘢.” (ay. 38)

Teks ayat 38 tampaknya merujuk situsi Gereja mula-mula sesudah kebangkitan Yesus. Petunjuknya adalah frase 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘬𝘪𝘵𝘢 (disebut dua kali). Ada orang bukan warga Gereja melakukan mukjizat menggunakan nama Yesus. Di dunia kuno para pelaku mukjizat lazim menyerukan nama tokoh sakti (atau nama-nama dewa), termasuk nama Yesus. Tampaknya banyak warga jemaat perdana menganggap karya dalam nama Yesus itu sebagai monopoli mereka. Hal ini mirip ketika Yosua meminta Musa untuk mencegah dua orang, Eldad dan Medad, yang kepenuhan Roh seperti nabi (lih. Bil 11:26-30).

Sama seperti Musa, Yesus menolak sikap picik para pengikut-Nya. Kata Yesus, “𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘤𝘦𝘨𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘢! 𝘚𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘵𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘥𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘶𝘬𝘫𝘪𝘻𝘢𝘵 𝘥𝘦𝘮𝘪 𝘯𝘢𝘮𝘢-𝘒𝘶 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘈𝘬𝘶. 𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘸𝘢𝘯 𝘬𝘪𝘵𝘢, 𝘪𝘢 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘱𝘪𝘩𝘢𝘬 𝘬𝘪𝘵𝘢.” (ay. 39-40)

• Alasan kesatu sangat sederhana dan jelas, siapa saja yang melakukan kebajikan dalam nama Yesus sudah jelas tidak menjelekkan nama-Nya.
• Alasan kedua adalah pemikiran inklusif. Setiap orang yang tidak melawan jemaat Kristen sepatutnya dihisab sebagai simpatisan atau bahkan keluarga (bdk. Mat. 12:30).

Jawaban Yesus itu menunjukkan kepicikan murid-murid Yesus (dhi. Gereja perdana). Mereka hendak memonopoli Yesus, untuk diri mereka sendiri. Mereka mau menjadi yang 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘦𝘴𝘢𝘳. Padahal baru saja Yesus mengajar mereka untuk menjadi terbesar hendaklah menjadi yang terakhir dan pelayan bagi sesama (lih. Mrk. 9:35). Mereka harus mengubah mentalitas kemaruk kuasa.

Yesus menambah alasan ketiga. Kata Yesus, “𝘚𝘦𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶: 𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘪𝘯𝘶𝘮 𝘴𝘦𝘤𝘢𝘯𝘨𝘬𝘪𝘳 𝘢𝘪𝘳 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘒𝘳𝘪𝘴𝘵𝘶𝘴, 𝘪𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘶𝘱𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢.” (ay. 41) 

Ayat 41 menjadi ilustrasi dua alasan sebelumnya di ayat 39-40. Ayat 41 merupakan hasil perenungan petulis Injil Markus untuk disampaikan kepada jemaatnya. Jika itu ucapan Yesus-historis, ucapan itu akan berbunyi 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘶𝘵-𝘒𝘶, bukan 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘒𝘳𝘪𝘴𝘵𝘶𝘴. Markus mengajar jemaatnya untuk tidak berlaku eksklusif. Siapa saja yang berbuat baik kepada Gereja, ia adalah keluarga Yesus, meskipun ia secara organisasi bukan orang Kristen. Orang berbuat baik kepada pengikut Kristus pastilah diganjar oleh Allah.

𝗞𝗼𝗻𝘀𝗲𝗸𝘂𝗲𝗻𝘀𝗶 𝘀𝗸𝗮𝗻𝗱𝗮𝗹 (ay. 9:42-50)

Bagian ini berisi sabda-sabda perbandingan bernada keras dan radikal. Ayat-ayat di sini bernasabah dengan pengajaran Yesus mengenai tema orang kecil di ayat 37. 

Kata Yesus, “𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘣𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘤𝘪𝘭 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢-𝘒𝘶 𝘪𝘯𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘥𝘰𝘴𝘢, 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘣𝘢𝘨𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘵𝘶 𝘨𝘪𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘪𝘬𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘭𝘦𝘩𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘥𝘪𝘣𝘶𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘭𝘢𝘶𝘵.” (ay. 42)

Di ayat 37 kata yang digunakan adalah 𝘱𝘢𝘪𝘥𝘪o𝘯 yang berarti 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘬𝘦𝘤𝘪𝘭 atau 𝘣𝘶𝘥𝘢𝘬. Di ayat 42 Markus menajamkan lagi dengan menggunakan 𝘮𝘪𝘬𝘳o𝘯 yang berarti 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘤𝘪𝘭. Siapa 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘤𝘪𝘭 itu? Mereka adalah warga jemaat sederhana, yang kurang pengetahuan, yang mudah terombang-ambing oleh tutur kata dan tindak-tanduk para pemimpin jemaat atau warga jemaat kaya.

Tutur kata dan tindak-tanduk para pemimpin jemaat atau warga kaya tersebut menggiring umat dari kalangan kecil berbuat dosa (𝘴𝘬𝘢𝘯𝘥𝘢𝘭𝘪𝘴e). Misal, mengajak umat mendukung pemimpin yang zalim, mengajak umat turut mendoakan pemimpin jemaat yang baru, padahal ia kroninya, dll. Dari kata 𝘴𝘬𝘢𝘯𝘥𝘢𝘭𝘪𝘴e muncul kata skandal yang selalu berhubungan dengan perbuatan jahat. Pada zaman dulu, di luar masyarakat Yahudi, para penjahat besar dihukum mati dengan ditenggelamkan ke dalam laut. Untuk memastikan ia tidak dapat mengapung lehernya dipasangi beban batu giling. Para pemimpin jemaat atau warga kaya yang menggiring umat dari kalangan masyarakat kecil berbuat dosa adalah penjahat besar. Untuk itulah para pemimpin jemaat itu lebih baik ditenggelamkan, kata Yesus.

Yesus memandang sangat serius penyesatan itu. Ia memberi perintah kepada para murid-Nya untuk mencabut kecondongan berbuat jahat lewat simbol anggota-anggota tubuh dengan bahasa kiasan yang keras dan radikal.

Kesatu. “𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘣𝘬𝘢𝘯 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘥𝘰𝘴𝘢, 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩! 𝘓𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘶𝘯𝘵𝘶𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘥𝘶𝘢 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘶𝘵𝘶𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘯𝘦𝘳𝘢𝘬𝘢, 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘢𝘱𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘵𝘦𝘳𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘬𝘢𝘯.” (ay. 43)

Kedua. “𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘬𝘢𝘬𝘪𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘣𝘬𝘢𝘯 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘥𝘰𝘴𝘢, 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩! 𝘓𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘮𝘱𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘦𝘥𝘶𝘢 𝘬𝘢𝘬𝘪 𝘶𝘵𝘶𝘩 𝘥𝘪𝘤𝘢𝘮𝘱𝘢𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦 𝘯𝘦𝘳𝘢𝘬𝘢.” (ay. 45)

Ketiga. “𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘣𝘬𝘢𝘯 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘥𝘰𝘴𝘢, 𝘤𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘭𝘭𝘢𝘩! 𝘓𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘒𝘦𝘳𝘢𝘫𝘢𝘢𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘥𝘶𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘥𝘪𝘤𝘢𝘮𝘱𝘢𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘯𝘦𝘳𝘢𝘬𝘢, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘶𝘭𝘢𝘵-𝘶𝘭𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘱𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘵𝘦𝘳𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘬𝘢𝘯.” (ay. 47-48)

Di ayat 43 tertulis kata 𝘯𝘦𝘳𝘢𝘬𝘢 dan frase 𝘢𝘱𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘵𝘦𝘳𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘬𝘢𝘯. Kata dan frase ini muncul juga di ayat 45 dan 47-48. Kata 𝘯𝘦𝘳𝘢𝘬𝘢 diterjemahkan dari kata Grika 𝘨𝘦𝘦𝘯𝘯𝘢𝘯 yang meniru bunyi Ibrani 𝘨𝘦-𝘩𝘪𝘯𝘯𝘰𝘮, lembah Hinom di sebelah barat daya Yerusalem. Di sana terdapat sampah Yerusalem, tempat ulat-ulat belatung, asap, dan api yang tak pernah padam. Pada zaman Perjanjian Lama di situ juga tempat anak-anak dikurbankan dalam nyala api kepada dewa Molokh (2Raj. 23:10; Yer. 7:32-ff).

Dengan tangan orang mencuri uang kolekte jemaat, menerima uang suap dari warga kaya agar didahulukan dilayani, dll. Dengan kaki orang dapat pergi bersenang-senang daripada melayani warga jemaat kecil, menginjak-injak hak-hak warga kecil, dll. Dengan mata orang dapat menjadi sombong, tidak pernah puas, dan membangkitkan hawa nafsu, dll. Ketimbang perbuatan-perbuatan itu menjadi skandal atau batu sandungan yang menyebabkan warga kecil berbuat dosa karena meniru atau digiring berbuat dosa, lebih baik hidup dengan tangan buntung, kaki timpang, dan bermata satu. Perbandingan yang begitu berat sebelah atau 𝘯𝘫𝘰𝘮𝘱𝘭𝘢𝘯𝘨 ini menunjukkan betapa serius Yesus melindungi warga kecil dari para pemimpin jemaat yang culas dan korup. Daripada menjadi skandal, lebih baik pemimpin jemaat yang tak bermoral itu dikeluarkan saja.

Perikop di atas seolah-olah membawa pembaca kepada pemikiran penghakiman terakhir. Namun, sebenarnya bukan tentang itu, melainkan mengenai hidup nyata. Markus tampaknya mengembalikan cerapan pembaca mengenai hidup di bumi seperti tertulis pada dua ayat terakhir.

Kata Yesus, “𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘨𝘢𝘳𝘢𝘮𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘢𝘱𝘪. 𝘎𝘢𝘳𝘢𝘮 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘨𝘢𝘳𝘢𝘮 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘵𝘢𝘸𝘢𝘳 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘯𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢? 𝘏𝘦𝘯𝘥𝘢𝘬𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘦𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪𝘢𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢𝘪 𝘨𝘢𝘳𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘢𝘮𝘢𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘮𝘢.” (ay. 49-50)

Barangkali petulis Markus mengambil tradisi tentang kurban persembahan di Bait Allah disertai dengan garam (lih. Im. 2:13; Yeh. 43:24). Penggabungan metafora garam dan api menjadi 𝘥𝘪𝘨𝘢𝘳𝘢𝘮𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘢𝘱𝘪 yang hendak memerikan (𝘥𝘦𝘴𝘤𝘳𝘪𝘣𝘦) hidup para murid Kristus benar-benar sepenuhnya menjadi persembahan bagi Allah terjadi dalam derita dan aniaya termasuk mau menjadi yang terakhir dan pelayan bagi sesama. Meskipun berat, garam di dalam diri mereka tidak boleh menjadi tawar sehingga sanggup berdamai dengan sesama. Dengan demikian ia akan mampu mengikuti Yesus dalam perjalanan menuju Yerusalem.

(29092024)(TUS)

Jumat, 20 September 2024

SUDUT PANDANG MARKUS 9 :30 - 37, 𝗕𝗼𝗹𝗲𝗵𝗸𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗽𝗲𝗷𝗮𝗯𝗮𝘁?


SUDUT PANDANG MARKUS 9 :30 - 37, 𝗕𝗼𝗹𝗲𝗵𝗸𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗽𝗲𝗷𝗮𝗯𝗮𝘁?

Cukup banyak orang menjadi pendeta bukan lagi untuk menjadi gembala yang melindungi domba-domba dari ancaman binatang buas, yang merawat domba-domba di kandang yang berbau tak sedap. Mereka menjadi pendeta untuk status sosial. Dari bukan siapa-siapa lalu menjadi priyayi, yang minta dihormati, minta didengarkan, tetapi tidak mau menggawaikan telinganya untuk mendengarkan.

Hari ini adalah Minggu kedelapan belas sesudah Pentakosta. Bacaan secara ekumenis diambil dari Injil Markus 9:30-37 yang didahului dengan Yeremia 11:18-20, Mazmur 54, dan Yakobus 3:13 – 4:3, 7-8a.

Cara bernarasi Markus 8:22 sampai akhir pasal 10 segala hal yang berpautan dengan Yesus dan murid-murid-Nya dibuat dalam latar perjalanan. Dari Betsaida ke Kaisarea Filipi, lalu dari sana melewati wilayah Galilea secara rahasia menuju Yerusalem. Hal apa yang disampaikan oleh Yesus? Yesus menyampaikan “nasib” Mesias yang akan dibunuh oleh pemuka agama Yahudi dan bangkit sesudah tiga hari. Dalam bacaan Injil Minggu Yesus menyampaikan untuk kali kedua mengenai jalan penderitaan yang akan dilalui-Nya, sedang para murid sibuk berebut kuasa. Pemberitahuan kesatu di Markus 8:31 (bacaan Minggu lalu), pemberitahuan ketiga di Markus 10:33-34.

Ulasan bacaan dikelompokkan ke dalam tiga bagian:
🛑 Pemberitahuan kedua (ay. 30-32)
🛑 Murid-murid berebut kuasa (ay. 33-34)
🛑 Jadilah pelayan (ay. 35-37)

𝗣𝗲𝗺𝗯𝗲𝗿𝗶𝘁𝗮𝗵𝘂𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮 (ay. 30-32)

Bacaan dibuka dengan adegan Yesus dan murid-murid-Nya berangkat dari Kaisarea Filipi dan melewati Galilea, sedang Yesus tidak mau hal itu diketahui oleh orang (ay. 30), sebab Ia sedang mengajar murid-murid-Nya (ay. 31a). Perjalanan “rahasia” ini sebelumnya sudah disampaikan di Markus 7:24 ketika mereka pergi ke Tirus (lih. Sudut 𝘗𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨 edisi 8 September 2024). Alasannya karena Yesus hendak mengajar murid-murid-Nya secara khusus.

Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “𝘈𝘯𝘢𝘬 𝘔𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘴𝘦𝘳𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢, 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩 𝘋𝘪𝘢, 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘨𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘐𝘢 𝘥𝘪𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩 𝘐𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘬𝘪𝘵.” (ay. 31b) Sebutan atau gelar Anak Manusia sering ditujukan kepada Nabi Yehezkiel yang mengalami banyak penderitaan dalam masa pembuangan di Babel (Yeh. 4:9, 5:1, dll.). Sebutan itu juga merujuk kemuliaan dan kekuasaan (Dan. 7:13-14). Jadi, penderitaan sekaligus kemuliaan mewarnai gelar Anak Manusia bagi Yesus.

Kata kerja pasif tanpa objek pelaku dalam Alkitab pada umumnya merujuk Allah sebagai objek pelaku. Dengan demikian objek pelaku untuk kata 𝘥𝘪𝘴𝘦𝘳𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 (𝘱𝘢𝘳𝘢𝘥𝘪𝘥𝘰𝘵𝘢𝘪) adalah Allah (dhi. sesuai dengan kehendak Allah). Kata 𝘥𝘪𝘴𝘦𝘳𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 yang acap muncul dipautkan dengan nasib orang-orang benar atau para nabi.

Narator kemudian menjelaskan bahwa para murid tidak mengerti perkataan Yesus di ayat 31b, tetapi mereka takut bertanya kepada-Nya (ay. 32). Kronologi kisah ini belumlah lama sesudah episode 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘥𝘪𝘮𝘶𝘭𝘪𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘨𝘶𝘯𝘶𝘯𝘨. Pada saat mereka turun dari gunung, mereka tidak mengerti ungkapan Yesus 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘬𝘪𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘵𝘪, tetapi mereka tidak bertanya. Sekarang pun mereka tidak mengerti dan tidak bertanya kepada Yesus. Mengapa?

𝗠𝘂𝗿𝗶𝗱-𝗺𝘂𝗿𝗶𝗱 𝗯𝗲𝗿𝗲𝗯𝘂𝘁 𝗸𝘂𝗮𝘀𝗮 (ay. 33-34)

Para murid tidak mengerti dan tidak bertanya kepada Yesus terungkap dalam bagian ini. Mereka tiba di Kapernaum. Ketika Yesus sudah di rumah, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya, “𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘪𝘯𝘤𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘥𝘪 𝘥𝘪 𝘵𝘦𝘯𝘨𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘢𝘯?” (ay. 33) 

Rumah milik siapa di Kapernaum? Tidak jelas. Di Injil Markus beberapa kali Yesus mengajar murid-murid-Nya secara khusus di rumah atau saat mereka sendirian tidak bersama dengan orang banyak (lih. Mrk. 7:17; 9:28; 10:10). Barangkali kisah di Injil Markus merupakan cermin situasi Gereja pada masa Injil ditulis yang para warga diberi pengajaran khusus oleh pemimpin di rumah pada saat mereka bersekutu, misal dalam rangka perayaan ekaristi.

Yesus biasanya mengajukan pertanyaan kepada murid-murid-Nya untuk membuka ruang pengajaran baru (bdk. Mrk. 7:27). Demikian juga di bagian ini Yesus mengajukan pertanyaan kepada mereka, “𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘪𝘯𝘤𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯?” Mereka diam, karena di tengah perjalanan tadi mereka bertengkar mengenai siapa yang terbesar di antara mereka (ay. 34). Padahal persis sebelumnya Yesus menyampaikan jalan penderitaan yang akan dilalui-Nya. Yesus akan menuju ke Yerusalem untuk dibunuh oleh para pemuka Yahudi. Mereka menutup mata dan telinga. Mereka mati rasa. Mereka berambisi menjadi orang terdekat Yesus, jika kelak Ia menjadi Raja Israel.

Pertengkaran para murid itu tampaknya juga cermin situasi Gereja perdana. Masyarakat Yahudi sangat memerhatikan status sosial. Ada persaingan di antara para pemimpin jemaat Kristen. Mereka cenderung mencari hormat lewat kedudukan dan fasilitas yang didapatkan. Orang yang berpakaian indah dan mewah akan lebih dihormati.

Kelakuan mereka mirip dengan banyak pemimpin Gereja masa kini yang sudah mati rasa. Pada saat banyak warga jemaat yang berkekurangan, menderita, para pemimpin Gereja berebut jabatan. Bahkan ada dari mereka bertindak korup mengelabuhi umat agar kroninya, yang sebenarnya tidak memenuhi syarat menjadi pendeta, dapat menjadi pejabat gerejawi lewat program kerjasama ekumenis gadungan. Apakah Yesus melarang para pengikut-Nya menjadi petinggi, pebesar, pejabat?

𝗝𝗮𝗱𝗶𝗹𝗮𝗵 𝗽𝗲𝗹𝗮𝘆𝗮𝗻 (ay. 35-37)

Yesus lalu duduk dan memanggil kedua belas murid itu. Kata Yesus kepada mereka, “𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢, 𝘩𝘦𝘯𝘥𝘢𝘬𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘭𝘢𝘺𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢.” (ay. 35)

Guru Yahudi biasanya duduk saat mengajar (lih. Mrk. 4:1; bdk. Mat. 5:1, Luk. 4:20-21). Kedua belas murid diterjemahkan dari 𝘵𝘰𝘶𝘴 𝘥e𝘥𝘦𝘬𝘢 yang berarti literal 𝘬𝘦𝘥𝘶𝘢 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘴 (tanpa kata murid) atau 𝘵𝘩𝘦 𝘵𝘸𝘦𝘭𝘷𝘦 (NRSV). Jadi, kedua belas bukan sekadar angka, melainkan gelar atau sebutan atau julukan bagi 12 murid Yesus.

Yesus menjernihkan cerapan kedua belas murid itu mengenai hakikat pemimpin. Yesus sama sekali tidak melarang orang untuk menjadi pejabat, petinggi. Namun, untuk menjadi pejabat, petinggi, ia harus menjadi yang terakhir dan pelayan dari semuanya. Itu berarti pejabat, petinggi, bukan berpikir untuk diri sendiri, melainkan berwawasan pada kesejahteraan orang lain. Siapakah orang lain itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah mereka yang dalam keadaan tak berdaya.

Yesus lalu mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk nak itu dan berkata kepada mereka, “𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘯𝘢𝘮𝘢-𝘒𝘶, 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘈𝘬𝘶. 𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘈𝘬𝘶, 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘈𝘬𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘴𝘢𝘮𝘣𝘶𝘵𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘋𝘪𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘵𝘶𝘴 𝘈𝘬𝘶.” (ay. 36-37)

Dalam mengajar kedua belas murid Yesus memberi ilustrasi dengan mengambil seorang anak (𝘱𝘢𝘪𝘥𝘪𝘰𝘯). Kata paidion juga dapat berarti budak. Anak atau budak adalah orang-orang yang tak berdaya. Mereka adalah orang-orang marginal, yang status sosial mereka sangat rendah di mata masyarakat. Menyambut (𝘥𝘦𝘹e𝘵𝘢𝘪) berarti menerima mereka secara terhormat. 

Orang-orang besar menurut standar Yesus adalah mereka yang berwawasan pada kesejahteraan orang-orang yang tak berdaya. Pejabat, petinggi, pebesar, pendeta, yang tidak sesuai dengan standar Yesus adalah penipu.

 (22092024)(TUS)

Selasa, 17 September 2024

Sekilas Sudut Pandang kaitan Baptis Anak dan Perjamuan Kudus Anak, Serial Sudut Pandang

Sekilas Sudut Pandang kaitan Baptis Anak dan Perjamuan Kudus Anak, Serial Sudut Pandang


Baptisan anak dasarnya adalah perjanjian Allah kepada Abraham. Dalam perjanjian itu Allah berkenan menjadi Allah Abraham dan keturunannya. Seorang anak dapat dimasukkan ke dalam perjanjian itu melalui tradisi sunat (Kejadian 17:7-12). Dalam Perjanjian Baru, tradisi sunat itu diganti dengan baptisan. Tidak perlu lagi ada penumpahan darah (melalui sunat), karena darah Kristus telah tercurah di kayu salib untuk menyucikan kita.

Nah, berangkat dari tradisi sunat, kita tahu bahwa perjanjian keselamatan yang Allah buat dengan Abraham berlaku juga untuk anak-anaknya yang masih kecil. Di Israel, seorang bayi disunat ketika berumur 8 hari (Kejadian 17:2). Dengan disunat, maka anak itu dimasukkan ke dalam perjanjian keselamatan yang Allah buat dengan orangtuanya. Dengan demikian, ketika tradisi sunat diganti dengan tradisi baptisan, maka orangtua yang telah menerima baptisan juga dapat membaptiskan anak-anaknya. Dengan cara itu, orangtua memasukkan anak-anaknya ke dalam perjanjian keselamatan yang telah diterimanya.

memakai analogi asuransi meskipun tidak sepenuhnya tepat. Perjanjian asuransi dibuat oleh orangtua, namun seorang anak bisa dimasukkan dalam perjanjian itu, sehingga anak itu ikut mendapat perlindungan asuransi yang dibuat orangtuanya.

Lalu bagaimana dengan perjamuan kudus anak?

Menurut John Wesley sendiri, perjamuan kudus adalah sarana anugerah yang bersifat universal, oleh karena itu anak-anak boleh ikut serta dalam perjamuan kudus asalkan mereka telah memahami makna perjamuan kudus itu sendiri

Perjamuan kudus anak adalah konsekuensi logis dari adanya baptisan anak. Bukankah seorang anak yang sudah dibaptis berarti ia telah menerima meterai keselamatan Kristus melalui orangtuanya? Dengan demikian anak itu menjadi bagian dari tubuh Kristus. Bagaimana mungkin seorang anak yang sudah di dalam Kristus dilarang untuk mengikuti perjamuan kudus yang adalah simbol persekutuan kita dengan tubuh dan darah Kristus? (I Korintus 10:16-17).

Makna lain dari perjamuan kudus adalah peringatan dan pemberitaan akan kematian dan pengorbanan Kristus di kayu salib (Lukas 22:19-20). Benar bahwa seorang anak belum sepenuhnya paham akan makna perjamuan kudus. Namun bukankah justru itu menjadi tugas orangtua yang telah membaptiskannya untuk mengajarkannya. Justru dengan mengikutkan anak dalam perjamuan kudus, maka anak itu akan belajar apa arti simbol ‘roti dan air anggur’ itu. Memang soal ‘peringatan’ ini dapat dilihat dari dua sisi: yang tidak setuju perjamuan kudus anak akan mengatakan bahwa ‘yang mengingat harus yang mengerti’ sedangkan yang setuju akan mengatakan bahwa mengikutkan anak menjadi proses agar anak mengerti.

Lalu bagaimana dengan unsur ‘kelayakan’ sebagaimana disebutkan dalam 1 Korintus 11:27,29: “barang siapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. .. barang siapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya.” ayat ini benar, tetapi harus dilihat konteksnya. Ayat ini hadir karena pada waktu itu orang-orang Korintus yang ikut perjamuan kudus bersifat egois. Mereka mengabaikan kesatuan tubuh Kristus karena mereka tidak mau berbagi perjamuan dengan yang lain (1 Korintus 11:21-22).

Nah, kalau unsur kelayakan dalam 1 Korintus 11 ini diujikan dalam rangka perjamuan kudus anak, maka jawabnya jelas: anak-anak yang sudah dibaptis tidak dilarang ikut perjamuan kudus, karena kalau dilarang, maka berarti mereka dipisahkan dari persekutuan tubuh Kristus.

Ada juga yang tidak menyetujui anak ikut perjamuan kudus karena seorang anak dianggap ‘masih kurang beriman’ dibandingkan dengan orang dewasa. Benarkah? Bukankah justru anak-anak yang sering dijadikan contoh oleh Tuhan Yesus bagi orang dewasa dalam soal pertobatan dan keberimanan? “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga” (Matius 18:3)

Memang tidak ada ayat-ayat yang secara spesifik menyebutkan tentang perjamuan kudus anak. Namun ketika seorang anak sudah dibaptis, berarti ia sudah menerima meterai keselamatan Kristus, mestinya boleh ikut perjamuan kudus. Melarang seorang anak yang sudah dibaptis untuk ikut perjamuan kudus justru sebuah tindakan yang tidak mengakui tubuh Tuhan, karena anak itu sudah menjadi bagian dari tubuh Tuhan.

(17092024)(TUS)

Baca juga :

http://titusroidanto.blogspot.com/2024/07/sudut-pandang-perjamuan-kudus-anak.html

Jumat, 13 September 2024

15 September 2024 SUDUT PANDANG MARKUS 8 : 27 - 38, 𝗦𝗶𝗮𝗽 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗱𝗮𝗽𝗶 𝗿𝗶𝘀𝗶𝗸𝗼


15 September 2024
SUDUT PANDANG MARKUS 8 : 27 - 38, 𝗦𝗶𝗮𝗽 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗱𝗮𝗽𝗶 𝗿𝗶𝘀𝗶𝗸𝗼

Kitab Injil ditulis untuk menjawab pergulatan umat Kristen perdana mengapa Mesias mati. Dalam paruh pertama Injil Markus petulis memerikan Yesus sebagai pribadi yang misterius sekaligus luar biasa dalam berkarya. Masyarakat terpukau, sedang 12 murid Yesus tidak memahami-Nya. Untuk itulah dalam awal paruh kedua Injil Markus timbul pertanyaan: Siapakah Yesus?

Hari ini adalah Minggu ketujuh belas setelah Pentakosta. Bacaan ekumenis diambil dari injil Markus 8:27-38 yang didahului dengan Yesaya 50:4-9a, Mazmur 116:1-9, dan Yakobus 3:1-12.

Bacaan Injil Minggu ini merupakan awal paruh kedua kitab Injil Markus. Dapat juga disebut tulang sendi Injil Markus, karena bacaan Minggu ini menjadi titik balik. 𝘗𝘦𝘯𝘨𝘢𝘬𝘶𝘢𝘯 𝘗𝘦𝘵𝘳𝘶𝘴 dapat dipandang sebagai konklusi paruh pertama. Paruh kedua akan mengenalkan Yesus, Anak Manusia yang harus menderita. Arah pergerakan Yesus ke Yerusalem.

Konteks bacaan harus dihubungkan dengan dua bagian besar yang mendahuluinya, yaitu Markus 6:30 – 7:37 and Markus 8:1-26. Dalam dua kisah penggandaan roti murid-murid masih belum memahami. Mereka tetap tidak peka baik akal maupun hati. Bahkan ada dua kisah Yesus memulihkan orang tuli-gagap dan mencelikkan orang buta, para murid tetap tidak mampu mendengar dan melihat. Lewat kisah-kisah pengantar ini Markus menyiapkan para pembaca menyaksikan 𝘗𝘦𝘯𝘨𝘢𝘬𝘶𝘢𝘯 𝘗𝘦𝘵𝘳𝘶𝘴.

Ulasan bacaan dibagi ke dalam tiga kelompok:
🛑 Pengakuan Petrus (ay. 27-30)
🛑 Jatidiri Yesus (ay. 31-33)
🛑 Implikasi menjadi murid Yesus (ay. 34-38)

𝗣𝗲𝗻𝗴𝗮𝗸𝘂𝗮𝗻 𝗣𝗲𝘁𝗿𝘂𝘀 (ay. 27-30)

Sesudah Yesus memulihkan pelihatan (bukan penglihatan seperti tertulis di Alkitab LAI) orang buta di Betsaida, Yesus mengajak murid-murid-Nya ke desa-desa di sekitar Kaisarea Filipi. Di tengah jalan Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya, “𝘒𝘢𝘵𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘈𝘬𝘶 𝘪𝘯𝘪?” (ay. 27) 

Menurut sejarah Herodes Agung membangun kuil Dewa Pan di Kaisarea untuk menghormati Kaisar Agustus di Roma. Raja Filipus kemudian mengembangkannya menjadi kota sehingga diberi nama Kaisarea Filipi. Tampaknya Markus sengaja menempatkan kisah penyataan jatidiri Yesus untuk kali pertama di wilayah berbudaya asing, daerah yang memuja kaisar Roma sebagai dewa.

Di mata orang banyak Yesus tetaplah tidak lebih daripada seorang nabi besar, Yohanes Pembaptis, Elia, atau seorang dari para nabi (ay. 28, bdk. Mrk. 6:14-16). Meskipun demikian pendapat masyarakat itu masih positif apabila dibandingkan dengan tuduhan ahli-ahli Taurat bahwa Yesus kerasukan setan (lih. Mrk. 3:22).

Yesus tidak mendebat opini masyarakat. Yesus ingin mendengar opini para murid. Markus hendak menaikkan ketegangan. Situasi ini mirip di satu kelompok atau kelas, orang dengan ringan mengutarakan pendapat-pendapat orang. Begitu ditanya pendapat sendiri, ia gelagapan. Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya, “𝘔𝘦𝘯𝘶𝘳𝘶𝘵 𝘬𝘢𝘮𝘶, 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘈𝘬𝘶 𝘪𝘯𝘪?” Petrus menjawab, “𝘌𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘔𝘦𝘴𝘪𝘢𝘴!” (ay. 29)

Jawaban Petrus singkat. Mesias (𝘊𝘩𝘳𝘪𝘴𝘵𝘰𝘴), Sang Kristus, Yang Diurapi Allah. Bagi orang Israel 𝘮𝘢𝘴𝘺𝘪𝘢𝘩 adalah sebutan untuk seorang raja keturunan Daud, yang mereka nantikan sebagai pemimpin bangsa untuk membebaskan mereka dari penindasan musuh. Apakah dengan 𝘗𝘦𝘯𝘨𝘢𝘬𝘶𝘢𝘯 𝘗𝘦𝘵𝘳𝘶𝘴 itu murid-murid sudah memahami sosok Yesus yang sesungguhnya? Tampaknya belum. Hal itu tampak dalam ayat selanjutnya (ay. 30) Yesus menegur keras mereka untuk tidak memberitahukan jatidiri Yesus kepada siapa pun juga.

𝗝𝗮𝘁𝗶𝗱𝗶𝗿𝗶 𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 (ay. 31-33)

Sesudah Pengakuan Petrus, Yesus mengajar para murid bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari (ay. 31). 

Yesus mengajarkan tentang Mesias, karena murid-murid mencerap bahwa Yesus adalah Mesias politik. Markus mengusung teologi (bisa juga disebut kristologi) Hamba Yahweh yang menderita, yang dibunuh oleh bangsanya sendiri demi menyelamatkan manusia (bdk. Yes. 53). Dalam menjelaskan kepada para murid Yesus menggunakan sebutan atau gelar Anak Manusia. Sebutan ini sering ditujukan kepada Nabi Yehezkiel yang mengalami banyak penderitaan dalam masa pembuangan di Babel (Yeh. 4:9, 5:1, dll.). Sebutan itu juga merujuk kemuliaan dan kekuasaan (Dan. 7:13-14). Jadi, penderitaan dan kemuliaan mewarnai gelar Anak Manusia bagi Yesus.

Markus menyebut Yesus bangkit sesudah tiga hari, sedang di kitab-kitab lainnya Yesus disebut bangkit pada hari ketiga. Bagaimana memahami ini?

Dalam masa eksodus Musa dan bangsa Israel mengembara di gurun selama 40 tahun. Yesus diceritakan menyendiri di gurun selama 40 hari. Sesudah kebangkitan Yesus tinggal bersama dengan murid-murid selama 40 hari. Bilangan 40 tampaknya merujuk waktu tercukupkan.

Allah menciptakan siklus hari ibadah sepanjang tujuh hari (Kej. 1). Tiga hari kurang daripada setengah siklus itu. Kitab-kitab Injil ditulis bertahun-tahun sesudah kebangkitan Yesus yang ditulis secara retrospektif. Dapat saja Markus keliru mengutip sumber, tetapi tiga hari dipahami sebagai waktu yang singkat. Kurang daripada setengah siklus tujuh hari.

Di atas sudah saya sebut bahwa 𝘗𝘦𝘯𝘨𝘢𝘬𝘶𝘢𝘯 𝘗𝘦𝘵𝘳𝘶𝘴 belumlah menunjukkan para murid memahami jatidiri Yesus sesungguhnya. Hal ini dibuktikan dengan reaksi Petrus atas penjelasan Yesus mengenai jatidiri Mesias. Petrus tidak berterima bahwa Yesus akan dianiaya dan dibunuh oleh para pemuka agama Yahudi. Ia menarik Yesus ke samping dan Petrus menegur-Nya dengan keras (ay. 32). Isi teguran Petrus tidak dijelaskan secara eksplisit. Namun, kita dapat menerka bahwa Petrus (dan para murid) 𝘴𝘺𝘰𝘬, karena sepanjang paruh pertama kisah Injil Markus menunjukkan Yesus begitu digdaya atas para pemuka Yahudi, atas roh jahat, atas penyakit, dan bahkan atas alam. Yesus bakal menjadi pemimpin mereka mengusir penjajah Roma. Mendengar keterusterangan penjelasan Yesus mereka belum siap menghadapi kenyataan.

Atas reaksi Petrus itu dan sambil memandang murid-murid yang lain Yesus menegur keras Petrus, “𝘌𝘯𝘺𝘢𝘩𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘣𝘭𝘪𝘴, 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘬𝘪𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢.” (ay. 33) Bukan guru yang mengikuti murid, melainkan murid harus mengikuti guru.

Tampaknya ini yang terjadi di dalam jemaat Markus. Mereka luluh lantak ditekan oleh penguasa. Mereka depresi karena Mesias yang dinanti ternyata mati. Petulis Injil Markus hendak menggembala jemaatnya dengan menjernihkan pengertian Mesias. Yesus memang harus mati dan bangkit sesudah tiga hari. Untuk itulah Yesus menegur keras murid-murid-Nya agar tidak memberitahukan jatidiri-Nya sebelum Anak Manusia mati dan bangkit.

𝗜𝗺𝗽𝗹𝗶𝗸𝗮𝘀𝗶 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗺𝘂𝗿𝗶𝗱 𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 (ay. 34-38)

Yesus lalu memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka, “𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘈𝘬𝘶, 𝘪𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘭 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘬𝘶𝘭 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘣𝘯𝘺𝘢, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘈𝘬𝘶.” (ay. 34) Yesus memanggil orang banyak menyuratkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pengikut-Nya. Berlaku kepada siapa saja yang mau mengikut Yesus.

Menyangkal diri mencakup dua pengertian. Kesatu, hidupnya bukan lagi dirinya, melainkan Kristus di dalamnya. Kedua, implikasinya segala hal yang diperbuatnya bukan lagi dirinya, melainkan mencerminkan perbuatan Kristus. 

Memikul salib bukanlah metafora Yahudi. Pada saat Injil Markus ditulis, penyaliban adalah realitas yang kejam. Banyak penganut Kristen perdana dihukum mati dengan cara disalib oleh Pemerintah Romawi. Itu berarti mengikut Yesus harus siap dikucilkan, harus siap dianiaya, bahkan harus siap mati!

Implikasi lebih jauh lagi mengikut Yesus berarti tidak dapat mundur. Yesus menjelaskan, “𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘯𝘺𝘢𝘸𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘯𝘺𝘢𝘸𝘢𝘯𝘺𝘢; 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘯𝘺𝘢𝘸𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘈𝘬𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘐𝘯𝘫𝘪𝘭, 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢.” (ay. 35)

Kata 𝘯𝘺𝘢𝘸𝘢 di sini dari kata 𝘱𝘴𝘺𝘤𝘩𝘦̄𝘯 yang merujuk 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 atau 𝘥𝘪𝘳𝘪. Orang yang mau menyelamatkan dan mengamankan dirinya dengan menyangkal Kristus, ia akan kehilangan hidupnya yang sejati, kehilangan jatidirinya. Ayat 36-38 merupakan konklusi mengenai mereka yang menolak dan malu mengakui Yesus, Yesus pun malu ketika Ia datang dalam kemuliaan Bapa.

Dulu banyak orang mengikut Yesus karena pengajaran-Nya, memberitakan Injil (atau disebut Injil saja). Di sini Markus menekankan mengikut Yesus bukan saja karena pengajaran-Nya atau Injil, tetapi juga demi Yesus sendiri. Kesamabangunan antara Yesus dan Injil adalah khas Markus. Barangkali pada zamannya banyak orang berseru “𝘋𝘦𝘮𝘪 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘥𝘢𝘯 𝘐𝘯𝘫𝘪𝘭” sebelum mati. Secara paradoksal Markus merumuskan bahwa orang yang mati karena Yesus dan Injil justru akan diselamatkan, mendapat kehidupan sejati.

(15092024)(TUS)

Selasa, 10 September 2024

Kami membaptis dengan percik, Serial Sudut Pandang

Kami membaptis dengan percik, Serial Sudut Pandang



PENGANTAR 

Baptisan berasal dari bahasa Latin baptismus atau baptisma. Dalam Perjanjian Baru yang aslinya ditulis dalam bahasa Yunani kata yang dipakai untuk membaptis adalah baptizo. Kedua kata ini mempunyai arti yang sama, yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya: menyelamkan atau mencelupkan tetapi bisa juga membasuh atau membersihkan. Dalam gereja baptisan dipakai untuk menunjuk pada peristiwa di mana seseorang memberi diri sebagai pengikut Kristus dan karena itu menjadi bagian dari tubuh Kristus. Tanda atau bukti penyerahan diri menjadi pengikut Kristus biasanya dilakukan melalui upacara baptisan.
Baptisan dilakukan dalam persekutuan atau ibadah jemaat. Ia tidak benar dilakukan secara diam-diam (rahasia) dan hanya dihadiri oleh pendeta (pastor atau imam) dan calon baptisan. Ini kecenderungan yang banyak terjadi dalam gereja protestant. Ritus ini adalah akta jemaat. Dalam pelaksanaannya pendeta atas nama dan disaksikan oleh jemaat (umat) membawa orang yang menyerahkan diri untuk menjadi pengikut Kristus ke satu tempat di mana terdapat air, lalu menyelamkan atau membasuh yang bersangkutan ke dalam atau dengan air. Pada saat menyelamkan atau menyiram calon baptisan dengan air sang pendeta menyerukan nama orang tersebut dalam satu tarikan napas dengan nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Itu merupakan proklamasi kepada kepada dunia, jemaat dan juga kepada yang bersangkutan bahwa Allah Tritunggal menerima dia sebagai milik kesayanganNya. Dari statusnya yang lama sebagai pemberontak terhadap Allah, dia sekarang didamaikan dengan Allah sehingga dianggap layak oleh Allah untuk menjadi anak sekaligus pewaris janji keselamatan Allah. Pengumuman itu datang dari Allah. Atas dasar proklamasi itu ia menjadi anggota gereja.
Oleh gereja (Protestan, Roma Katolik maupun Orthodoks Timur) baptisan dianggap sebagai sakramen. Sakramen, kata bapak gereja dari Afrika: Tertulianus (thn 200)  dan Agustinus, juga dari Afrika, adalah tanda yang kelihatan dari Firman (verbum visibile) untuk menggambarkan misteri keselamatan Allah yang tidak kelihatan. R. Bultman, mengasumsikan bahwa pada kondisi tertentu daya supranatural dapat berdiam dalam satu obyek kelihatan. Obyek itu berfungsi sebagai mediator melalui mana daya supranatural itu bekerja kalau obyek itu diperlakukan sesuai dengan fungsinya umpamanya, rumusan yang benar diucapkan secara tepat serta seremoninya dilaksanakan pada tempatnya. Baptisan disebut sakramen karena gereja dan orang kristen percaya bahwa air dan ritus baptisan, oleh anugerah Allah, berfungsi sebagai media di mana anugerah Allah yang menyelamatkan bekerja dalam diri manusia, pada saat baptisan dilayankan secara benar kepada seseorang dalam persekutuan ibadah jemaat. Sebagai sakramen baptisan tidak mempunyai arti pada dirinya sendiri. Maksudnya, arti baptisan tidak terletak pada air dalam pelaksanaan ritus baptisan. Arti baptisan ada di luar  tanda yang kelihatan. Melalui air dan ritus baptisan perhatian jemaat diarahkan kepada darah dan karya Yesus Kristus yang menyucikan manusia dari dosa dan memberi kehidupan baru. Baptisan karena itu adalah sebuah kiasan (I Pet. 3:21) yang menunjuk kepada kematian dan kebangkitan Kristus. Sakramen, menurut Calvin adalah "kesaksian tentang kasih Allah kepada manusia yang ditunjukan dalam satu tanda yang nampak." Dalam pengertian ini sakramen artinya tanda keselamatan.
Baptisan berubah fungsinya dari tanda keselamatan menjadi perbuatan magis bila ia dilepaskan dari anugerah Allah yang menyelamatkan, atau bila ia dianggap sebagai yang mempunyai makna pada dirinya sendiri. Kecenderungan ini, menurut J. Feuneren, cukup kuat dalam gereja Roma Katolik yang memahami sakramen sebagai: "Perbuatan simbolis dari gereja yang ditetapkan oleh Yesus Kristus dan mereka yang menerimanya dengan cara yang khusus ambil bagian dalam buah kerja kematian dan kebangkitan Yesus."  G.R. Beasley-Murray tepat saat ia mengatakan: "Baptisan menyelamatkan bukan karena air membersihkan kotoran dari tubuh manusia, tetapi sebagai momen di mana seseorang dijumpai oleh Kristus yang bangkit."

MAKNA BAPTISAN

a. Baptisan dan kelahiran
Kalau bicara tentang baptisan, apa yang serta merta muncul dalam pikiran anda?  Bagi saya bicara tentang baptisan, berarti bicara tentang saat seseorang dilahirkan. Pernyataan ini bisa dianggap mengada-ada. Tetapi menurut saya di sinilah letak pesan utama atau makna sesungguhnya dari pelayanan baptisan yang dilakukan oleh Gereja. Ada dua alasan yang bisa saya  kemukakan.
Pertama, ritus baptisan dalam kebanyakan gereja protestan dan Roma Katolik biasanya dilakukan pada hari minggu pertama setelah seorang bayi dilahirkan. Kelahiran dan baptisan bagi banyak orang kristen merupakan dua peristiwa yang terjadi hampir bersamaan. Itu sebabnya di banyak negara kristen (di Eropa) untuk periode yang cukup lama akte kelahiran tidak berbeda dengan surat baptisan.
Kedua, baptisan merupakan perbuatan simbolis yang sarat makna. Melalui baptisan hendak ditegaskan bahwa "manusia lama" yang takluk pada dosa dan kematian sudah berlalu dan bersamaan dengan itu "manusia baru" sedang datang. Baptisan adalah sebuah tindakan simbolis atau sakramental yang menunjuk pada peristiwa berakhirnya kehidupan lama dan dimulainya kehidupan yang baru. Baptisan bukan peristiwa kelahiran kembali. Ia adalah tanda yang menunjuk pada peristiwa itu. Air baptisan melambangkan darah Kristus yang membersihkan manusia dari dosa dan pada Roh Kudus yang melahirkan kembali dan membaharui manusia.
Makna sakramental ini ditegaskan Paulus dalam surat-suratnya kepada beberapa jemaat kristen purba. Kepada jemaat di Kolose dia menulis: "... karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah..." (Kol. 2:12). Dalam Roma 6:4 Paulus katakan: "Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru. "
Dalam Galatia 3:27 Paulus mengatakan bahwa dibaptis artinya mengenakan Kristus. Kita tinggalkan pakaian kita yang lama, pakaian kematian dan kita pakai pakaian yang baru yang mendatangkan keselamatan, itulah Yesus Kristus. Dalam arti ini dibaptis artinya dipersatukan dengan Kristus. Jurgen Moltmann mengatakan: “Baptisan menghubungkan hidup manusia yang rapuh dan tidak sempurna dengan hidup Allah yang penuh kemuliaan dan sempurna. Kalau dua pendapat ini kita sederhanakan, kita bisa katakan bahwa dibaptis berarti dibungkus dalam Kristus. Waktu Pendeta berkata: “Fini! Aku membaptis engkau dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus,” saat itu Fini menjadi satu dengan Kristus. Fini orang berdosa. Nasib yang menunggu dia adalah mati. Kristus tidak mati. Dia hidup. Di dalam Dia ada hidup kekal. Dia tetap sama kemarin, hari ini dan selama-lamanya (Ibr. 13:8). Pada saat dibaptis Fini yang seharusnya mati mengenakan Kristus yang tidak binasa (Gal. 3:27). Hidup Fini yang rapuh dan tidak sempurna disatukan dengan Allah yang kekal dan sempurna. Siapakah lagi yang dapat mengusik hidup Fini? Penyakitkah? Kematiankah? Mautkah? Tidak ada. Nama yang di dalam-Nya Fini dibungkus adalah nama di atas segala nama (Fil. 2:9). Semua kuasa di sorga, di bumi dan di bawah bumi bertekuk lutut kepada nama itu (Mat. 28:18). Fini akan selamat karena dia disatukan dengan nama yang kekal itu.
Yesus sendiri dalam percakapan dengan Nikodemus secara implisit merujuk pada peristiwa kelahiran kembali yang terjadi melalui air dan Roh (Yoh. 3:5). Di sini Yesus secara tidak langsung sedang berkata-kata tentang baptisan sebagai sebuah proses kelahiran kembali sebagaimana yang juga ditegaskan oleh para nabi Israel sebelumnya, seperti Yeremiah (31: 33) dan Yehezkiel 18: 31).
Jadi ada hubungan erat antara baptisan dan kehidupan baru. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Pada saat seseorang menerima baptisan pada saat itu juga ia telah dilahirkan kembali. Baptisan memeteraikan bahwa manusia lama kita dikuburkan bersama Kristus dan atas dasar itu kita boleh dilahirkan kembali sebagai manusia baru. Atas dasar ini Dr. G. Oorthuys menulis: "Demikianlah baptisan adalah sebuah akta penghakiman (doodvonnis) sekaligus tindakan penyelamatan (behoudenis), karena dalam baptisan kita mati bersama Kristus supaya kita boleh bangkit dari kematian bersama Dia."

b. Kelahiran kembali sebagai karya  Allah
Bicara tentang kelahiran kembali (baru) mengandaikan bahwa ada kelahiran yang terjadi sebelumnya. Yang dimaksud dengan kelahiran sebelumnya adalah peristiwa di mana seorang manusia lahir secara alamiah karena keinginan seorang laki-laki dan perempuan. Yesus menyebut kelahiran yang alamiah ini dilahirkan dari daging (Yoh. 3: 6). Dalam kelahiran dari daging ini manusia ada sebagai makluk pendosa. Ia adalah orang berdosa pada saat lahir, bahkan sejak dalam kandungan ibunya (Maz. 51: 7). Akibatnya, manusia itu tunduk di bawah kuasa dosa. Bagian yang tersedia bagi dia tidak lain dari pada maut atau kematian (Rom. 6:23).
Untuk ambil bagian dalam keselamatan yang dikerjakan Allah dalam dan melalui Kristus, manusia perlu dilahirkan kembali. Ia yang ada dalam kuasa dosa dan kematian harus ditarik kembali untuk hidup bagi Allah. Kelahiran kembali itu harus terjadi atas manusia, tetapi itu hanya mungkin terjadi sebagai tindakan dan karya Allah. Ibrani 10: 19-22 menegaskan bahwa kelahiran kembali hanya mungkin terjadi karena karya Yesus Kristus. Menurut kitab Injil ke empat, kelahiran kembali itu hanya mungkin terjadi melalui air dan Roh. Inilah yang disebut dalam Yohanes 3: 6, dilahirkan dari Roh. Kelahiran dari Roh ini terjadi di luar pengetahuan, kemauan dan kekuatan manusia. Allah adalah subyek primer dari kelahiran dari roh.
Tapi, Allah tidak mau bekerja sendiri tanpa manusia. Ia memanggil gereja untuk mengumumkan kelahiran dari roh itu secara kasat mata kepada manusia. Oleh Gereja kelahiran dari Roh ini ditunjukkan dalam bentuk yang kelihatan melalui baptisan. Itu sebabnya baptisan ditetapkan sebagai sakramen, karena ia menunjuk pada karya Allah untuk membaharui hidup manusia. Baptisan adalah peristiwa lewat mana karya Allah yang tidak kasat mata untuk menggantikan manusia lama dengan manusia baru kita peragakan dalam cara-cara yang kasat mata. Dengan sangat tepat Katekismus Heidelberg menegaskan: "Baptisan bukanlah meterai atas prestasi kita, melainkan meterai dari janji dan grasi dari Allah." Dengan maksud yang sama Dr. G. Oorthuys menulis: "Baptisan tidak memeteraikan siapa kita tetapi janji dan karya Allah atas kita."
Tanpa Allah tidak ada ciptaan baru dan tanpa karya Allah tidak mungkin ada sakramen baptisan. Ini berarti bahwa baptisan tidak dapat dibatalkan. Sekali seseorang dibaptis dalam nama Allah Tritunggal, tanda atau meterai itu tidak dapat dihilangkan begitu saja. Manusia tidak dapat menghilangkan tanda yang ditaruh Allah dalam hidupmu. Si penerima baptisan bisa saja melupakan tanda Allah yang ada padanya. Karena lupa atau tidak peduli pada tanda itu, ia hidup secara sembarono dan melakukan banyak hal yang jahat. Dalam semua itu ia tetap milik Allah. Satu kali kelak Allah akan meminta pertanggung-jawaban dari dia.
Atas dasar ini gereja kristen di mana saja dan kapan saja harus menolak praktek baptisan ulang. Baptisan ulang merupakan dosa dari sudut pandang Allah (teologis) maupun sudut pandang gereja (eklesiologis) dan budaya (sosio-kultural). Secara teologis baptisan ulang merupakan penyangkalan terhadap kesetiaan Allah pada perjanjian. Kita memaksa Allah yang bebas untuk bekerja menurut pola yang sudah kita tetapkan. Dari sudut pandang gereja baptisan ulang adalah dosa karena dengan melakukan itu gereja menganggap diri berkuasa menentukan keselamatan. Gereja yang begitu bertindak lebih dari panggilannya sebagai saksi. Secara kultural baptisan ulang adalah dosa karena terjadi pelecehan terhadap simbol-simbol dalam budaya.

c. Tindakan Allah mendahului jawaban manusia
Persoalan yang mungkin muncul adalah kapan kelahiran kembali itu dikerjakan Allah atas manusia? Apakah karya Allah menguburkan manusia lama dan membangkitkan manusia baru terjadi pada saat seseorang mencapai satu tingkat hidup tertentu yang pantas untuk itu?  Pertanyaan ini penting dan mendesak mengingat dalam Gereja kristen ada beberapa denominasi yang menolak baptisan kepada anak-anak (infant baptism). Mereka beralasan: baptisan hanya bisa dilayankan kalau yang dibaptis telah mengaku imannya. Anak-anak tidak dapat mengaku iman karena itu mereka tidak dapat dibaptis. Baptisan yang dilakukan Gereja terhadap anak-anak memiliki cacat ganda. Ia dianggap tidak sah ditinjau dari segi iman calon baptisan dan bertentangan dengan baptisan Yesus di Yordan: yaitu pada saat Dia berumur dewasa.
Sudah banyak buku ditulis sebagai apologi untuk membela keabsahan baptisan kepada anak-anak (infant baptism). Dalam formulir baptisan beberapa gereja arus utama dikatakan bahwa anak-anak tidak berada di luar janji Allah yang diberikan kepada Abraham. Bahkan Yesus sendiri menyambut anak-anak. Ia menghargai mereka sebagai pewaris perjanjian sama seperti orang dewasa.
Intisari dari formulir itu adalah bahwa Allah Yang Mahakuasa tidak meremehkan anak-anak karena keluguan dan ketidaktahuan mereka. Allah tidak mau menunggu sampai mereka menjadi besar dan bijak, tetapi Dia mau menjadikan mereka anak-anakNya serta partner perjanjianNya sejak mereka masih kanak-kanak. Anugerah Allah yang terwujud dalam keputusan untuk menjadikan manusia anak-anak dan partner di dalam perjanjian mendahului jawaban manusia. Hal ini ditegaskan Paulus dalam Roma 5:8: "Akan tetapi Allah menunjukan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa."
Jawaban manusia berupa iman bukan kondisi atau pra syarat di atas mana perjanjian kasih setia Allah ditetapkan. Jelasnya, anugerah Allah mendahului iman manusia. Anugerah tidak lagi disebut anugerah jika ia dikondisikan oleh sesuatu di luar Allah. Artinya Allah tidak lagi bebas kalau ia bekerja berdasarkan pertimbangan jasa manusia. Singkatnya, kelahiran kembali (pengangkatan manusia sebagai partner perjanjian Allah) bukan prestasi manusia tetapi grasi Allah. Grasi itu berlaku universal, tidak diskriminatif dan sektarian. Grasi itu diberikan secara adil baik kepada orang dewasa maupun kepada anak-anak. Allah bahkan sudah mengenal dan memanggil seseorang menjadi milikNya sejak dalam kandungan (Yer. 1:5).
Petrus tidak berani menahan diri untuk membaptis Kornelius dan seisi rumahnya karena Allah tidak menahan anugerahNya kepada mereka. Ketika Petrus baru mulai berbicara, Allah telah menaruh mencurahkan RohNya dalam hati semua yang ada di rumah itu. Atas dasar itu Petrus membaptis orang-orang di situ (Kis 10: 44-47). Dalam Mazmur 8: 3 dan Yoel 2: 28 kita berhadapan dengan kenyataan yang sejajar. Dalam  bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu baik yang laki-laki maupun perempuan Allah telah menaruh dasar kekuatan untuk membungkamkan musuh dan para pendendam. Allah ternyata tidak diskriminatif terhadap manusia. Jika demikian, bolehkah orang mencegah anak-anak untuk dibaptis, sedangkan mereka juga menerima Roh Kudus sama seperti orang-orang dewasa?
Menjawab pertanyaan yang kita ajukan di atas, kapankah kelahiran kembali itu dikerjakan Allah atas manusia? Kelahiran kembali atau pembenaran manusia dari dosa  dikerjakan Allah di dalam kematian dan kebangkitan Yesus, ketika kita (orang dewasa dan anak-anak) masih berdosa. Kelahiran kembali itu berlaku untuk semua orang tanpa kenal usia. Baptisan sebagai tanda persekutuan dalam kematian dan kebangkitan Kristus ( proses peralihan dari kehidupan lama kepada kehidupan baru) karena itu berlaku baik bagi anak-anak, orang dewasa maupun mereka yang sudah lanjut usia. Prof. J.H. Bavinck benar saat ia berkata: "Kehidupan baru dalam Kristus dapat terjadi juga sejak masa kanak-kanak karena baptisan bukan berdasar pada prestasi manusia tetapi pada janji Allah."

TANDA ATAU METERAI BAPTISAN

a. Tanda dan yang ditandakan
Waktu bicara tentang baptisan kita perlu membedakan antara tanda dan yang ditandakan. Baptisan seperti yang sudah kita sebutkan di atas adalah sakramen. Sebagai sakramen artinya baptisan hanyalah tanda saja. Baptisan bukanlah keselamatan itu. Yang menyucikan manusia dari dosa dan memberi kehidupan baru bukan unsur-unsur dan ritus-ritus baptisan. Air dan ritus baptisan bukan juru selamat manusia dan dunia. Air dan ritus baptisan adalah tanda-tanda yang kelihatan untuk mengokohkan iman kita pada karya Kristus yang tidak kelihatan. Dalam I Petrus 3: 21 baptisan disebut kiasan dari kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Dengan begitu dibaptis artinya seseorang ditarik masuk dalam jalan yang dilalui Yesus Kristus, yakni mati bagi dosa dan bangkit untuk memperoleh hidup baru. Itu berarti kalau bicara tentang baptisan, sebagaimana kalau kita bicara tentang sakramen gerejawi, kita harus membedakan antara tanda dan yang ditandakan. Baptisan adalah tanda. Pengampunan dosa dan pembaharuan hidup manusia dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus adalah hal yang ditandakan. Saudara-saudari kita umat Katolik menekankan maksud serupa dengan menegaskan bahwa kita perlu membedakan antara esensi dan seremoni saat kita bicara tentang baptisan.
Dalam butir dua di atas kita sudah berbicara agak detail mengenai esensi atau yang ditandakan. Baiklah sekarang kita bicarakan juga mengenai elemen-elemen dalam baptisan yang berfungsi sebagai tanda. Sekurang-kurangnya ada dua elemen yang perlu kita pikirkan secara sungguh-sungguh. Kedua elemen itu adalah air dalam upacara baptisan dan bentuk dari upacara itu. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: 1. Apa fungsi air, 2. Berapa banyak air yang perlu dipakai. Sehubungan dengan dua pertanyaan ini ada pertanyaan berikut yakni 3). Apa bentuk baptisan yang syah: selam, siram atau percik?

b. Air dalam upacara baptisan
Dalam bahasa Indonesia kata Latin baptismus artinya menyelamkan atau membasuh. Serta merta muncul pertanyaan menyelamkan dalam apa atau membasuh dengan apa? Ada banyak unsur yang perlu dalam kegiatan menyelamkan dan membasuh. Sebut saja misalnya air dan minyak. Dua unsur ini merupakan elemen dominan dalam proses menyelamkan dan membasuh.  Jadi kalau kata baptismus artinya menyelamkan dan membasuh maka sudah pasti air atau minyak merupakan unsur yang tidak bisa diabaikan dalam satu upacara baptisan.
Tapi dalam upacara baptisan air merupakan unsur yang paling banyak dipakai. Ada dua alasan. Pertama, air merupakan unsur alamiah yang paling mudah ditemukan dan banyak dipakai untuk keperluan membersihkan atau mencuci. Minyak juga mudah ditemukan dan banyak dipakai tetapi ia merupakan unsur artivisial, buatan. Kedua, Yesus (sang pengagas upacara baptisan dalam gereja) pernah menggunakan air untuk membersihkan murid-muridNya sebagai persiapan untuk makan paskah pada saat Ia akan menjalani penderitaan. Lebih dari itu, baptisan Yesus yang disebut-sebut sebagai model dari baptisan yang dilakukan gereja terjadi di dalam air sungai Yordan. Karena dua alasan ini air diterima oleh hampir semua komunitas kristen sebagai unsur penting dalam pelayanan baptisan sebab air ternyata berfungsi bukan hanya untuk membersihkan kotoran. Unsur ini juga sering dihubungkan dengan tanda kehidupan. Di mana ada air di situ pasti ada hidup yang subur. Air dan kehidupan (baru) berkaitan erat satu sama lain. Dua fungsi air ini sejajar dengan makna baptisan. Itu sebabnya air dianggap sebagai unsur yang tepat untuk memberi tanda pada pembersihan dosa dan pembaharuan hidup manusia yang dikerjakan oleh Yesus Kristus dan Roh Kudus.
Meskipun hampir semua komunitas kristen menerima air sebagai elemen penting, tetapi ada juga perbedaan pemahaman di antara mereka. Gereja Roma Katolik umpamanya berpendapat bahwa baptisan tidak bisa terjadi atau tidak dianggap syah jika tidak tersedia air. Pada akhir abad ke-6 pernah terjadi baptisan oleh gereja kepada seorang Yahudi bernama Yohanes Moschus. Karena keadaan sangat mendesak dan tidak tersedia air, gereja membaptis Moschus dengan menggunakan pasir sambil menyerukan nama Allah Tritunggal. Perbuatan ini diprotes dengan keras oleh gereja pada waktu itu karena dianggap tidak syah.
Alasan yang diajukan saudara-saudari kita dari gereja Katolik adalah bahwa Kristus sendiri sudah menggariskan bahwa baptisan harus dilakukan dengan air. Ada dua contoh yang mereka pakai. Pertama, Yesus menjalani baptisan di sungai Yordan. Dalam hal ini gereja Roma Katolik mempertahankan pandangan banyak bapak gereja purba. Ignatius dari Anthiokia, Tertulianus, Ambrosius  umpamanya mengatakan bahwa bahwa salah satu maksud baptisan Kristus di Yordan adalah untuk mentahirkan air dari dosa dan melayakkan air untuk dipakai sebagai sarana penyucian dan pembaharuan manusia. Kedua, waktu Yesus bicara dengan Nikodemus tentang kelahiran kembali (baptisan) dia menegaskan bahwa hal itu hanya mungkin terjadi melalui air dan Roh.
Berbeda dengan sahabat-sahabatnya dalam gereja Katolik, Marten Luther tidak mutlakkan air dalam ritus baptisan. Bagi Luther bukan membaptis dalam (dengan) air yang penting, melainkan iman yang benar pada Bapa, Anak dan Roh Kudus. "Penghiburan terbesar bagi kita," kata Luther, "ditarik dari kenyataan bahwa dalam baptisan keprihatinan kita bukan terutama berhubungan dengan air, tetapi dengan Firman Allah." Selanjutnya, keabsahan sebuah baptisan terletak pada penyeruan nama Allah Tritunggal, bukan pada pemakaian air. Dalam keadaan darurat, kata Luther, zat cair macam apapun syah untuk dipakai dalam baptisan. Di kalangan gereja Quaker dan Bala Keselamatan baptisan dengan air tidak merupakan kebiasaan.
Alasan Luther bersikap fleksibel terhadap air dalam upacara baptisan berhubungan dengan pemahaman bahwa air bukan juruselamat manusia. Lebih jauh lagi karena yang penting dalam baptisan bukan tanda lahiriahnya, yakni air, melainkan kesediaan si penerima baptisan untuk percaya dan hidup baru atas dasar baptisan yang dia terima.
Mengenai pertanyaan nomer dua tentang banyaknya air. Dalam gereja ada perdebatan hebat. Ada aliran dalam kekristenan yang tidak mempersoalkan jumlah air. Yang penting bukan jumlah airnya, melainkan komitmen untuk hidup meneladani Kristus. Aliran-aliran ini tidak keberatan dengan bentuk baptisan. Mereka menerima semua bentuk baptisan selam, siram atau percik sejauh diserukan dengan jelas nama Bapa, Anak dan Roh Kudus dan dilakukan dalam pertemuan atau ibadah jemaat. Gereja arus utama termasuk aliran dalam gereja yang memberi apresiasi pada semua bentuk baptisan. Meskipun demikian dalam pelaksanaannya dengan sadar sebagian besar gereja arus utama melayani baptisan dengan memercik. Mengenai alasan tindakan ini, saya uraikan dalam bagian lain tulisan ini.
Tetapi ada juga aliran-aliran tertentu dalam gereja yang gigih mempertahankan selam sebagai bentuk baptisan yang syah, Alkitabiah dan menyelamatkan. Mereka menunjuk pada baptisan Yesus di Yordan. Menurut mereka, apa yang dialami Yesus di Yordan merupakan dasar sekaligus model bagi pelayanan baptisan yang dilakukan gereja. Selain itu mereka juga menunjuk pada kata Latin dan Yunani untuk baptisan yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya menyelamkan dalam. Jadi baptisan yang benar, menurut mereka, adalah dalam bentuk selam.
Baptisan Yesus di Yordan tidak bisa kita jadikan model bagi pelaksanaan baptisan dalam gereja. Ada dua alasan. Pertama, baptisan dalam gereja merupakan tanda dari penyatuan seseorang ke dalam gereja. Melalui baptisan yang bersangkutan diterima sebagai anggota atau warga dari umat Allah. Baptisan Yesus di Yordan, tidak menunjukan pada maksud itu. Peristiwa di mana Yesus disatukan dalam persekutuan umat Allah, sebagai anggota umat perjanjian bukan baptisan di Yordan, melainkan sunat di Bait Allah pada waktu Ia berumur delapan hari (Luk. 2:22).
Kedua, baptisan Yesus di Yordan menunjukan pada penugasan khusus untuk menjalankan tugas kemesiasan yang Ia terima dari Allah. Baptisan Yesus di Yordan merupakan saat pelantikan Dia ke dalam jabatan mesias yang harus menderita sebagai tebusan bagi banyak orang. Kita katakan begitu karena oleh penulis kitab-kitab injil peristiwa baptisan Yesus di Yordan dihubungkan secara jelas dengan Yesaya 42:1 yang menunjukan pada hamba Tuhan yang harus menderita. Dalam gereja kita dibaptis bukan untuk jadi Mesias, tetapi sebagai tanda dan meterai sebagai pewaris dari keselamatan yang sudah dikerjakan oleh sang Mesias.
Jadi, penolakan beberapa denominasi terhadap praktek baptisan kepada anak-anak dalam bentuk percik dalam gereja dengan merujuk kepada baptisan Yesus di Yordan merupakan sebuah pandang yang keliru secara teologis, dan tidak berdasar pada kesaksian Alkitab. Alasan itu bersifat mengada-ada.

c. Bentuk-bentuk baptisan
Sekarang mengenai bentuk-bentuk baptisan. Manakah dari ketiga bentuk baptisan ini: selam, siram atau percik, yang dianggap syah, Alkitabiah dan menyelamatkan? Sebelum menjelaskan posisi saya mengenai persoalan ini, saya ajak pembaca mencermati praktek baptisan dalam sejarah perkembangan gereja.
Sejak berdiri sampai saat ini gereja tidak mengikat diri hanya pada satu bentuk baptisan. Pada masa para bapak gereja mula-mula bentuk baptisan yang paling populer adalah selam. Tetapi ada variasi. Ada beberapa bapak gereja yang membenamkan seluruh anggota tubuh dari calon baptisan ke dalam air, sebagai simbol dikuburkan bersama Kristus. Tetapi ada juga bapak gereja lain yang hanya membenamkan separuh anggota tubuh dari calon baptisan ke dalam air. Uskup Hippolitus melakukan baptisan dengan cara sebagai berikut. Calon baptisan dibawa masuk ke dalam air setinggi pinggang. Sang pendeta menumpangkan tangan ke atas kepala calon baptisan lalu membenamkan kepala si calon baptisan ke dalam air.
Cara lain terlihat dalam ikon dalam gereja-gereja tua serta gambar-gambar pada dinding katakombe. Calon baptisan berdiri dalam air setinggi pinggang. Pendeta yang membaptis menuangkan air ke atas kepala calon baptisan entah dengan tangan atau dengan mangkuk. Inilah cikal bakal bentuk baptisan dengan cara percik. Dalam gereja-gereja berbahasa Latin, baptisan selam berangsur-angsur ditinggalkan. Pada masa Thomas Aquinas baptis selam masih merupakan kewajiban, tetapi penyelaman hanya dilakukan setengah badan. Saat ini, sejauh yang saya ketahui dalam gereja-gereja berbahasa Latin bentuk percik paling banyak dipakai.
Alasan bagi adanya perubahan ini pada bersifat praktis. Para pemimpin gereja hendak menghindari perasaan malu yang umumnya dialami oleh calon baptisan berjenis kelamin perempuan. Di samping itu pertimbangan kesehatan anak-anak juga mendapat perhatian jika mereka harus diselamkan, apalagi di negara-negara beriklim sub tropis dan dingin. Baptisan percik juga dianggap paling mudah terutama bagi orang dewasa. D. Bont, dkk menyimpulkan bahwa gereja Kristen tak pernah menetapkan aturan yang mengikat sehubungan dengan bentuk selam sebagai baptisan yang syah, Alkitabiah dan menyelamatkan.
Juga kalau kita periksa kesaksian Alkitab dengan saksama tidak kita temukan bentuk baptisan yang dapat kita anggap sebagai yang Alkitabiah. Cerita Alkitab mengenai baptisan 3000 orang yang bertobat pada perayaan Pentakosta di Yerusalem (Kis 2: 37) dan baptisan kepala penjara Filipi dan seisi rumahnya (Kis. 16: 33) mengandaikan bahwa pada masa para rasul, baptisan dilakukan dalam bentuk yang sederhana dan mudah, yakni percik atau siram. Dalam Didakhe (kitab yang dianggap berasal dari masa para rasul) dikatakan dengan tegas: "Kalau padamu tidak tersedia air panas atau dingin dalam jumlah yang cukup untuk menyelamkan calon baptisan, cukuplah menyiram kepala calon baptisan tiga kali." Sejak abad ketiga cukup banyak bukti yang realible yang mengatakan bahwa orang sakit dibaptis dengan cara siram atau percik.
Kalau kita mencermati perintah baptisan dalam PB rumusan-rumusan berikut ini yang sering dipakai. Matius 28: 19 menulis "Baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus." Kisah 8:16; 19:5 berbunyi: "Dibaptis dalam nama Tuhan Yesus." Kalau kata "baptisan" dalam ayat-ayat ini kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya akan menjadi menyelamkan dalam. Selanjutnya kalau kita ganti semua kata "baptisan" dalam ayat itu dengan kata menyelamkan dalam maka bunyi dari ayat-ayat yang sudah kita kutip tadi akan berubah. Matius 28:19 akan menjadi: "Selamkanlah mereka dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus." Kisah 8:16; 19:5 akan terbaca: "Diselamkan dalam nama Tuhan Yesus." Jadi arti baptisan yang sesungguhnya adalah diselamkan dalam nama Tuhan Yesus. Penyelaman dalam air bukan conditio sine quo non (syarat mutlak) dari upacara baptisan.
Singkatnya, semua bentuk baptisan (selam, siram dan percik) dapat kita sebut alkitabiah dan syah. Ini disebabkan, keabsahan sebuah baptisan tidak terletak pada pencelupan atau pemercikan dalam air. Yang penting adalah pencelupan dalam nama Tuhan Yesus/Bapa,Putra, dan Roh Kudus. Air dan bentuk baptisan bukan juruselamat dunia. Juruselamat dunia adalah Allah, Kristus atau Roh Kudus bahkan ketiganya . Yang penting dalam upacara baptisan kata Marten Luther adalah iman atau kepercayaan yang benar pada Firman Allah dan kesediaan penerima baptisan untuk meneladani pola hidup Kristus.

SEREMONI BAPTISAN

Selama belajar teologia saya pernah mengikuti pemberitaan surat kabar mengenai perdebatan di kalangan warga gereja mengenai pelaksanaan baptisan kudus. Seorang pendeta dikritik habis-habisan oleh warganya karena ia hanya memercikan air sebanyak satu kali saja di kepala penerima baptisan. Sejak dulu di jemaat itu pendeta pembaptis selalu memercikan air di kepala penerima baptisan sebanyak tiga kali sesuai dengan penyebutan tiga oknum dari Trinitas (Bapa, Anak dan Roh Kudus). Jemaat merasa terganggu dengan ulah sang pendeta baru yang hanya memercik satu kali saja, meskipun dia tetap berkata "dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus."
Selama beradab-abad dan sudah menjadi tradisi bahwa baptisan apakah itu selam, siram maupun percik selalu dilakukan tiga kali. Pada tiap kali dibenamkan atau dipercik selalu diserukan nama salah satu oknum dalam Trinitas. Ada dua arti dari tiga kali pembenaman atau pemercikan. Pertama, Kalau baptisan dimaksud untuk menyimbolkan penguburan manusia lama bersama Kristus, maka pembenaman atau pemercikan harus dilakukan sebanyak tiga kali supaya sama dengan jumlah hari Kristus berada dalam kubur. Kedua, tiga kali pembenaman atau pemercikan juga merupakan wujud penghormatan pada tiga pribadi dalam Allah sekaligus untuk memeteraikan bahwa penguburan manusia lama dan penciptaan manusia baru itu merupakan karya Allah Tritunggal.
Sayangnya tradisi ini tidak dipelihara di seluruh wilayah kekristenan. Sejak abad keenam terutama di Spanjol, baptisan hanya dilakukan dengan satu kali pembenaman ke dalam air. Hal ini dibuat sebagai reaksi terhadap kaum Arian yang mengatakan bahwa pembenaman tiga kali adalah bukti bahwa ada tiga pribadi yang terpisah-pisah dalam Allah. Pertanyaan yang muncul manakah dari dua seremoni ini yang syah dan alkitabiah? Apakah baptisan baru bisa dianggap syah bila penerima baptisan menerima tiga kali penyelaman (pemercikan) atau apakah cukup sekali saja? Pertanyaan ini berhubungan dengan pertanyaan berikut: manakah yang menyelamatkan manusia: tiga kali diselamkan (dipercik) atau tiga nama dalam Tritunggal?
Kita kembali pada baptisan Yesus di Yordan. Momen ini disebut-sebut sebagai saat penetapan baptisan dalam gereja. Di situ tidak disebutkan kepada kita berapa kali Yesus mencelupkan diriNya dalam air di hadapan Yohanes Pembaptis. Kalau kita katakan tiga kali sangat tidak mungkin, sebab dogma Allah Tritunggal belum terbentuk saat itu. Setelah Yesus keluar dari air barulah ada kejadian mengejutkan (suara dari langit dan Roh Kudus turun ke atas Yesus dalam wujud burung merpati), yang oleh banyak bapak gereja purba disebut sebagai peristiwa di mana misteri ketritunggalan Allah diungkapkan. Jadi kalau benar Allah itu terdiri dari tiga pribadi (Bapa, Anak dan Roh Kudus) hal itu baru disadari jemaat setelah Yesus selesai dibaptis.
Kesaksian PB mengenai seremoni baptisan yang dilakukan oleh para rasul juga tidak menegaskan berapa banyak penerima baptisan dicelup atau dipercik. Kalau kita teliti dengan saksama bahwa para rasul umumnya membaptis orang hanya "dalam nama Yesus" (Kis. 2:38, 8:16, 10:48, 19:5) atau "dalam Kristus"  (Rom 6:3, Gal. 3:27) maka tidak tertutup kemungkinan bahwa pada masa rasul-rasul pembenaman atau pemercikan terhadap penerima baptisan hanya dilakukan satu kali saja.
Kesimpulannya, tidak mungkin Yesus membenamkan diri dalam air di hadapan Yohanes sebanyak tiga kali. Kemungkinan besar hanya satu kali saja. Yang istimewa dalam baptisan Yesus bukan berapa kali Dia membenamkan diri ke dalam air, tetapi proklamasi ketritunggalan Allah yang terjadi setelah Dia keluar dari air. Kalau kita ingat perintah dalam Matius 28 untuk membaptis "dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus" maka jelas bahwa yang penting dalam upacara baptisan bukan tiga kali pencelupan atau pemercikan melainkan tiga nama tadi. Jelasnya, tiga kali pencelupan atau pemercikan hanyalah merupakan unsur seremonial saja. Itu tidak termasuk pada apa yang kita sebut di atas esensi dari baptisan. Nilai sebuah peristiwa baptisan tidak terletak pada seremoninya, melainkan esensinya.

(10092024)(TUS)

Baca juga :
https://titusroidanto.blogspot.com/2024/09/harus-baptis-selam-atau-tidak-serial.html

https://titusroidanto.blogspot.com/2024/09/baptis-selam-serial-sudut-pandang.html





SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...