SUDUT PANDANG MARKUS 7:24-37, 𝗠𝗲𝗹𝗶𝗵𝗮𝘁 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗵𝗮𝘁𝗶
Kitab Injil bukanlah kitab kisah sejarah, melainkan kitab kisah teologis. Pergerakan pelayanan Yesus yang berpindah-pindah lokasi secara 𝘻𝘪𝘨-𝘻𝘢𝘨 dari Galilea ke Gerasa, Betsaida, Genesaret, Tirus, Dekapolis, Dalmanuta, Kaisarea Filipi, dll. tampak tidak masuk akal. Ini pun hendaklah juga dimaknai teologis, bukan geografis.
Hari ini adalah Minggu keenam belas setelah Pentakosta. Bacaan ekumenis diambil dari Injil Markus 7:24-37 yang didahului dengan Yesaya 35:4-7a, Mazmur 146, dan Yakobus 2:1-10, (11-13), 14-17.
Konteks terdekat bacaan Injil Minggu ini adalah Markus pasal 7. Konteks lebih besar lagi adalah Markus 6:30 – 8:26 yang bertema sentral tentang roti. Bacaan Minggu lalu tentang perbedaan pandangan mengenai adat istiadat Yahudi antara Yesus dan orang-orang Farisi serta ahli-ahli Taurat menyiapkan pelayanan Yesus lebih luas lagi terhadap bangsa-bangsa kafir (bukan-Yahudi).
Bacaan Injil Minggu ini terdiri atas dua perikop: (1) 𝘗𝘦𝘳𝘦𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯 𝘚𝘪𝘳𝘰-𝘍𝘦𝘯𝘪𝘴𝘪𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢 (ay. 24-30) dan (2) 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘭𝘪𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘶𝘭𝘪-𝘨𝘢𝘨𝘢𝘱 (ay. 31-37).
𝗣𝗲𝗿𝗲𝗺𝗽𝘂𝗮𝗻 𝗦𝗶𝗿𝗼-𝗙𝗲𝗻𝗶𝘀𝗶𝗮 (ay. 24-30)
Perikop ini sejajar dengan Matius 15:21-28. Matius mengambil bahan Markus, tetapi Matius memodifikasi cerita dan menjadikannya semacam liturgi. Matius lebih menekankan dialog Yesus dengan perempuan itu dan campur tangan murid-murid Yesus. Perbedaan lain yang jarang tertangkap oleh pembaca masa kini adalah Yesus menolong perempuan kafir itu sebagai perkecualian (versi Injil Matius). Petulis Matius mengarang kitab Injilnya untuk jemaat Kristen dari kalangan Yahudi sehingga ia tidak menonjolkan peran orang Kristen bukan-Yahudi dalam Gereja. Markus jauh lebih terbuka, karena memang kitab Injilnya untuk jemaat Kristen dari kalangan bukan-Yahudi.
Sesudah perdebatan mengenai adat istiadat warisan nenek moyang orang Yahudi Yesus pergi ke daerah Tirus. Yesus masuk ke sebuah rumah dan tidak ingin seorang pun mengetahuinya, tetapi kedatangan-Nya tidak dapat dirahasiakan. Seorang ibu, yang anak perempuannya kerasukan roh jahat, segera mendengar tentang Yesus. Perempuan itu seorang Grika keturunan Siro-Fenisia. Ia datang, sujud, dan memohon kepada Yesus untuk mengusir roh jahat dari anak perempuannya. (ay. 24-26)
Dari Genesaret wilayah orang Yahudi (Mrk. 6:53) Yesus pergi ke Tirus wilayah orang bukan-Yahudi. Untuk kali kedua Markus mengisahkan perjalanan pewartaan Yesus ke wilayah orang bukan-Yahudi. Kunjungan kesatu ke Gerasa (lih. Mrk. 5:1-20). Sudah barang tentu ada perbedaan latar belakang atau konteks antara kunjungan kesatu dan kedua ini.
Kunjungan kesatu konteksnya sesudah pengajaran perumpamaan tentang Kerajaan Allah (Mrk. 4:1-34). Setelah itu Markus menyajikan kumpulan cerita mukjizat: (1) 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘥𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘳𝘪𝘣𝘶𝘵 (Mrk. 4:35-41), (2) 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘴𝘪𝘳 𝘳𝘰𝘩 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘎𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 (Mrk. 5:1-20), lalu (3) dan (4) 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘮𝘣𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘦𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘢𝘳𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘬𝘪𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘠𝘢𝘪𝘳𝘶𝘴 (Mrk. 5:21-43). Semua cerita mukjizat itu dikumpulkan untuk menyampaikan bahwa Yesus berkuasa atas alam, atas roh-roh jahat, atas penyakit, dan atas kematian.
Yesus tampaknya sudah terkenal di Tirus, meskipun kedatangan-Nya dirahasiakan, seorang ibu keturunan Siro-Fenisia memohon pertolongan Yesus. Ia percaya bahwa Yesus berkuasa mengusir roh jahat. Di Injil Markus tidak ada kalimat langsung dari perempuan itu untuk meminta pertolongan. Narator yang menyampaikan kepada pembaca: Ia datang, sujud, dan memohon kepada Yesus untuk mengusir roh jahat dari anak perempuannya. Di Injil Matius ada kalimat langsung yang diucapkan oleh perempuan itu. Bahkan di Injil Matius murid-murid Yesus menghasut-Nya untuk tidak meladeni perempuan itu.
Yesus berkata kepada perempuan itu, “𝘉𝘪𝘢𝘳𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘯𝘢𝘬-𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘬𝘦𝘯𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘥𝘢𝘩𝘶𝘭𝘶, 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘵𝘶𝘵 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘮𝘣𝘪𝘭 𝘳𝘰𝘵𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘴𝘦𝘥𝘪𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘢𝘯𝘢𝘬-𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘮𝘱𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘢𝘯𝘫𝘪𝘯𝘨.” (ay. 27) Yesus menjawab permintaan perempuan itu dengan analogi. Di sini 𝘢𝘯𝘢𝘬-𝘢𝘯𝘢𝘬 tampaknya merujuk umat Israel yang kerap disebut 𝘢𝘯𝘢𝘬-𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 (Kel. 4:22-23; Ul. 14:1; Mzm. 82:6; Yes. 1:1-2; Yer. 3:19; dll.). Orang Israel menjuluki orang asing sebagai 𝘢𝘯𝘫𝘪𝘯𝘨 (1Raj. 14:11; 16:4; 2Raj. 9:36; Yer. 15:3; dll.) Ungkapan ini apabila dibaca pada masa kini memang terasa menghina, tetapi pada masa lalu (mungkin) ungkapan yang biasa-biasa saja untuk membedakan umat Israel dan bukan-Israel. Bahkan nama Kaleb (𝘬𝘦𝘭𝘦𝘷) dapat juga berarti anjing. Analogi yang disampaikan oleh Yesus merupakan pandangan tradisional tentang keselamatan pertama-tama ditawarkan kepada orang-orang Yahudi dan baru kemudian kepada orang-orang bukan-Yahudi.
Jawaban analogi Yesus itu dibenarkan oleh perempuan itu. “𝘉𝘦𝘯𝘢𝘳, 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯,” kata perempuan itu, “𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯, 𝘢𝘯𝘫𝘪𝘯𝘨-𝘢𝘯𝘫𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘣𝘢𝘸𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘫𝘢 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘳𝘦𝘮𝘢𝘩-𝘳𝘦𝘮𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘫𝘢𝘵𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘢𝘬-𝘢𝘯𝘢𝘬.” (ay. 28 ) Perempuan itu satu-satunya yang menyapa Yesus dengan gelar Tuhan di Injil Markus. Ia pun menerima metafora anjing, karena ucapan Yesus 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘥𝘢𝘩𝘶𝘭𝘶 membawa secercah harapan bagi orang bukan-Yahudi. Secara cerdas ia juga menggunakan analogi Yesus untuk mendapat keselamatan. Kesatu, keselamatan bagi orang Yahudi diakuinya sebagai sarana untuk membawa berkat bagi bangsa-bangsa lain yang tersirat dalam frase 𝘢𝘯𝘫𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘣𝘢𝘸𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘫𝘢 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘳𝘦𝘮𝘢𝘩-𝘳𝘦𝘮𝘢𝘩. Kedua, anjing itu tidak harus menanti sampai anak-anak selesai makan. Anjing bisa langsung makan remah-remah yang jatuh dari meja.
Yesus berkata kepadanya, “𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘪𝘵𝘶, 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪𝘭𝘢𝘩, 𝘴𝘦𝘵𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘢𝘯𝘢𝘬𝘮𝘶.” (ay. 29) Yesus mengabulkan permintaan perempuan itu bukan karena kerendahhatiannya saja, melainkan juga kecerdasannya. Di ayat 30 narator menyampaikan bahwa perempuan itu pulang, lalu mendapati anaknya berbaring dan setan itu sudah keluar.
Di sini Markus hendak menampilkan model murid Yesus lewat perempuan tanpa nama dari bangsa kafir. Dari titik pandang Yahudi ia adalah orang asing dan najis. Merujuk bacaan Minggu lalu tentang adat istiadat Yahudi di sini Yesus membiarkan diri-Nya najis agar dapat menerobos pemahaman dan penghayatan iman orang Yahudi yang eksklusif. Secara radikal Yesus membaharui pemahaman dan penghayatan iman dengan menerima orang bukan-Yahudi yang bertobat. Ketahiran tidak diukur dengan penampakan lahiriah, melainkan hati yang bersih.
𝗢𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘁𝘂𝗹𝗶-𝗴𝗮𝗴𝗮𝗽 (ay. 31-37)
Dari Tirus Yesus pergi ke Danau Galilea melalui Sidon dan melintasi daerah Dekapolis (ay. 31). Adegan berpindah dari Tirus ke Dekapolis yang masih wilayah orang kafir. Episode ini 𝗸𝗵𝗮𝘀 Injil Markus dan tidak ada kesejajarannya di Injil sinoptik. Patut diduga kisah ini bermakna khusus bagi Markus, yakni menyiapkan pembaca untuk mendengarkan ucapan Yesus mengenai kepentingan menangkap tanda-tanda zaman penyelamatan (Mrk. 8:12). Cara bercerita Markus juga mirip dengan kisah penyembuhan orang buta (Mrk. 8:23-25), yang mendahului kisah Pengakuan Petrus. Tampaknya Markus memungut teologi Yesaya yang menganalogi orang tuli dan buta adalah umat (termasuk murid-murid Yesus) yang tak mendengarkan sabda Allah dan melihat kuasa-Nya.
Di sana (Dekapolis) orang membawa seorang tuli-gagap kepada Yesus dan memohon agar Yesus meletakkan tangan-Nya di atas orang tuli-gagap itu (ay. 32). Tampaknya penduduk Dekapolis mengerti kebiasaan orang Yahudi dalam memberkati dengan menumpangkan tangan. Orang meminta berkat Yesus untuk orang tuli-gagap itu.
Yesus kemudian memisahkan orang tuli-gagap itu dari orang banyak sehingga mereka sendirian (ay. 33a). Kesendirian mereka dapat dibaca dengan dua penafsiran. Kesatu, pembuat mukjizat tulen lazim merahasiakan pekerjaannya (bdk. Mrk. 5:37, 40; 8:23). Kedua, Yesus hendak merahasiakan identitas-Nya sebagai Mesias.
Yesus memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu (ay. 33b). Sambil menengadah ke langit Yesus mendesah dan berkata kepadanya, “𝘌𝘧𝘢𝘵𝘢! (Artinya: Terbukalah!)” (ay. 34) Pada masa itu ludah dipandang sebagai sarana penyembuhan. Menengadah ke langit merupakan liturgi untuk menunjukkan sumber kuasa. Mendesah bukan berarti Yesus sedang terharu, melainkan mengharapkan kekuatan ilahi dari sumber kuasa di langit. Kosmologi orang zaman dulu memandang langit tempat Allah bersemayam.
Dalam dunia Helenis penyembuhan sering menggunakan kata-kata asing untuk menambah kesan kuasa misterius. Efata dari bahasa Aramik yang sengaja dipertahankan oleh Markus lengkap dengan artinya. Cukup banyak kata dari Aramik yang dipertahankan Markus: 𝘣𝘰𝘢𝘯𝘦𝘳𝘨𝘦𝘴 (3:17), 𝘵𝘢𝘭𝘪𝘵𝘢 𝘬𝘶𝘮 (5:41), 𝘲𝘰𝘳𝘣𝘢𝘯 (7:11), 𝘩𝘰𝘴𝘢𝘯𝘢 (15:22), 𝘨𝘰𝘭𝘨𝘰𝘵𝘢 (15:34), 𝘦𝘭𝘰𝘪 𝘦𝘭𝘰𝘪 𝘭𝘦𝘮𝘢 𝘴𝘢𝘣𝘢𝘬𝘩𝘵𝘢𝘯𝘪 (15:34).
Seketika itu terbukalah telinga orang itu dan pulihlah lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik (ay. 35). Frase 𝘱𝘶𝘭𝘪𝘩𝘭𝘢𝘩 𝘭𝘪𝘥𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢 diterjemahkan dari 𝘦𝘭𝘺𝘵𝘩e 𝘩𝘰 𝘥𝘦𝘴𝘮𝘰𝘴 𝘵e𝘴 𝘨𝘭o𝘴𝘴e𝘴 𝘢𝘶𝘵𝘰𝘶 (arti literal: terlepaslah ikatan lidahnya). Tampaknya Markus merujuk lidah orang itu dikuasai oleh roh jahat dan Yesus melepaskannya (bdk. Mrk. 9:14-26).
Yesus kemudian berpesan kepada orang banyak agar jangan menceritakan kepada siapa pun juga. Namun, makin dilarang-Nya makin luas mereka memberitakannya. (ay. 36). Di sini larangan Yesus bukan untuk menceritakan bahwa diri-Nya adalah Mesias, karena toh akan bocor juga. Bandingkan dengan larangan Yesus kepada murid-murid-Nya sesudah Pengakuan Petrus (Mrk. 8: 30). Tentu anda penasaran mengapa Yesus melarang murid-murid-Nya. Jawabannya ada di Markus 9:9.
Orang banyak teramat takjub dan berkata, “𝘐𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘢𝘭𝘢-𝘨𝘢𝘭𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘢𝘪𝘬, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘶𝘭𝘪 𝘥𝘪𝘫𝘢𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯-𝘕𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘶 𝘥𝘪𝘫𝘢𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯-𝘕𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢-𝘬𝘢𝘵𝘢.” (ay. 37) Masyarakat Dekapolis yang dicap sebagai orang-orang kafir justru memuji Allah atas karya-karya-Nya dengan berliturgi:
▶ Ia menjadikan segala-galanya baik (Kej. 1:31)
▶ Telinga orang tuli akan mendengar (Yes. 35:5)
▶ Mulut orang bisu akan bersorak-sorai (Yes. 35:6)
Dua perikop bacaan di atas tidak boleh dilepaskan dari bacaan sebelumnya mengenai adat istiadat Yahudi menyoal tahir-najis (Mrk. 7:1-23). Di sini petulis Markus hendak menyampaikan bahwa ketahiran hati adalah yang hakiki, bukan ketahiran lahiriah mengikuti adat istiadat Yahudi. Orang-orang kafir dengan ketahiran hati justru melihat karya-karya Allah lewat Yesus.
(08092024)(TUS)