Jumat, 18 April 2025

SUDUT PANDANG 𝗔𝗽𝗮𝗸𝗮𝗵 𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 𝗯𝗲𝗻𝗮𝗿-𝗯𝗲𝗻𝗮𝗿 𝗺𝗮𝘁𝗶?, Serial Paskah



SUDUT PANDANG 𝗔𝗽𝗮𝗸𝗮𝗵 𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 𝗯𝗲𝗻𝗮𝗿-𝗯𝗲𝗻𝗮𝗿 𝗺𝗮𝘁𝗶?, Serial Paskah

Sebelum menjawab pertanyaan judul di atas, mengapa umat Kristen merayakan Jumat Agung? Cukup banyak pendeta menentang penggunaan istilah 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘑𝘶𝘮𝘢𝘵 𝘈𝘨𝘶𝘯𝘨. 𝘒𝘰𝘬 merayakan kematian Yesus? Kata mereka istilah yang tepat adalah 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨𝘢𝘵𝘪 bukan 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯. Benarkah? Tampaknya para pendeta ini perlu belajar ilmu liturgi lebih rajin lagi.

Dalam liturgi ada dua macam ibadah: 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘣𝘳𝘢𝘴𝘪 dan 𝘢𝘬𝘴𝘪. Ibadah selebrasi adalah berhimpun di rumah ibadah. Misal, kebaktian atau misa Minggu. Ibadah aksi adalah perbuatan-perbuatan atau praksis umat sehari-hari dalam rangka membawa misi dari ibadah selebrasi. Ingat, dalam penutupan ibadah selebrasi ada sesi pengutusan, yang pemimpin ibadah mengatakan, “𝘗𝘦𝘳𝘨𝘪𝘭𝘢𝘩, … “

Selebrasi berarti perayaan. Perayaan bersinonim dengan pemuliaan, pengagungan. Dalam bentuk kata kerja 𝗺𝗲𝗿𝗮𝘆𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗮𝗿𝘁𝗶 𝗺𝗲𝗺𝘂𝗹𝗶𝗮𝗸𝗮𝗻, 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗴𝘂𝗻𝗴𝗸𝗮𝗻. Dalam kebaktian Minggu umat Kristen sedang merayakan, memuliakan, mengagungkan kebangkitan Kristus yang diimani terjadi pada hari kesatu (hari Minggu). 𝗠𝗲𝗿𝗮𝘆𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗝𝘂𝗺𝗮𝘁 𝗔𝗴𝘂𝗻𝗴 𝗯𝗲𝗿𝗮𝗿𝘁𝗶 𝗺𝗲𝗺𝘂𝗹𝗶𝗮𝗸𝗮𝗻, 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗴𝘂𝗻𝗴𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗮𝗹𝗶𝗯. Mengapa memuliakan salib?

Injil sinoptik memandang suram pada salib. Salib adalah simbol kehinaan dan kekejian. Bahkan petulis Injil Markus dan Matius menampilkan Yesus sedang putus asa di kayu salib, “𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩𝘬𝘶, 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩𝘬𝘶, 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘌𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘈𝘬𝘶?” 

Petulis Injil Yohanes menolak pandangan di atas. 𝗦𝗮𝗹𝗶𝗯 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝘀𝗶𝗺𝗯𝗼𝗹 𝗸𝗲𝗺𝘂𝗹𝗶𝗮𝗮𝗻 “… 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘔𝘶𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘭𝘢𝘳 𝘥𝘪 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘨𝘶𝘳𝘶𝘯, 𝘥𝘦𝘮𝘪𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘈𝘯𝘢𝘬 𝘔𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘥𝘪𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘬𝘢𝘯, 𝘴𝘶𝘱𝘢𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢-𝘕𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘭.” (Yoh. 3:14-15). Ucapan terakhir Yesus di kayu salib dibuat begitu gagah oleh petulis Injil Yohanes, “𝘚𝑢𝘥𝑎𝘩 𝘴𝑒𝘭𝑒𝘴𝑎𝘪!” 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘥𝘶𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢-𝘕𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘳𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘯𝘺𝘢𝘸𝘢-𝘕𝘺𝘢 (Yoh. 19:30). Hidup Yesus tidak diambil, melainkan Ia sendiri yang menyerahkan hidup-Nya. 𝗣𝗲𝗿𝗮𝘆𝗮𝗮𝗻 𝗝𝘂𝗺𝗮𝘁 𝗔𝗴𝘂𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗿𝘂𝗷𝘂𝗸 𝘁𝗲𝗼𝗹𝗼𝗴𝗶 𝗜𝗻𝗷𝗶𝗹 𝗬𝗼𝗵𝗮𝗻𝗲𝘀: memuliakan atau mengagungkan salib. Bacaan ekumenis selalu diambil dari Injil Yohanes 18 – 19.

Kembali ke pertanyaan, 𝗮𝗽𝗮𝗸𝗮𝗵 𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀 𝗯𝗲𝗻𝗮𝗿-𝗯𝗲𝗻𝗮𝗿 𝗺𝗮𝘁𝗶?

Keempat Injil kanonik (Markus, Matius, Lukas, dan Yohanes) yang ditulis sepanjang kuartal keempat abad kesatu memberitakan kematian Yesus yang dijatuhi hukuman mati lewat kayu salib. Bukti keempat Injil ini barangkali diragukan oleh sejumlah kalangan, karena ini dianggap propaganda. 

Jika propaganda, pertanyaannya 𝘢𝘱𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘭𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘫𝘦𝘮𝘢𝘢𝘵 𝘒𝘳𝘪𝘴𝘵𝘦𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘥𝘢𝘯𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘮𝘪𝘮𝘱𝘪𝘯 𝘳𝘰𝘩𝘢𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘭𝘶𝘬𝘢𝘯? Tidak ada alasan bagi jemaat Kristen perdana untuk menutup-nutupi, karena hukuman mati terhadap Yesus merupakan fakta sejarah yang tidak dapat ditutup-tutupi. Fakta sejarah bahwa Yesus dihukum mati oleh Pemerintah Roma dengan dakwaan tindak pidana subversif. Sumber-sumber di luar kitab-kitab kanonik membuktikan bahwa Yesus mati di kayu salib. 

Kesatu, Flavius Josephus, ahli sejarah Yahudi yang hidup pada abad mula-mula, menulis tentang seorang Yahudi yang bijaksana bernama Yesus melakukan banyak hal besar, tetapi kemudian dihukum mati di kayu salib oleh Pemerintah (Romawi). 𝘒𝘪𝘳𝘢-𝘬𝘪𝘳𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘸𝘢𝘬𝘵𝘶 𝘪𝘯𝘪 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘭𝘢𝘩 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴, 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘫𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢, 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘪𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘯𝘥𝘢𝘬𝘢𝘯-𝘵𝘪𝘯𝘥𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘨𝘶𝘳𝘶 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢 𝘬𝘦𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢. 𝘐𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘪 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘠𝘢𝘩𝘶𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘎𝘳𝘪𝘬𝘢. 𝘚𝘦𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘪𝘢 𝘥𝘪𝘵𝘶𝘥𝘶𝘩 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘬𝘦𝘮𝘶𝘬𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘬𝘪𝘵𝘢, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘗𝘪𝘭𝘢𝘵𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘵𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘭𝘪𝘣𝘢𝘯 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢. 𝘛𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘶𝘭𝘢-𝘮𝘶𝘭𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘱𝘢𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘴𝘢 𝘒𝘳𝘪𝘴𝘵𝘦𝘯 𝘪𝘯𝘪, 𝘥𝘪𝘴𝘦𝘣𝘶𝘵 𝘥𝘦𝘮𝘪𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘶𝘵𝘪 𝘯𝘢𝘮𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘭𝘦𝘯𝘺𝘢𝘱.

Kedua, sumber-sumber Rabinik Yahudi yang menolak kehadiran Yesus karena para pengikut Yesus melakukan provokasi-provokasi terhadap Yudaisme. Dalam Talmud Babilonia mereka membalas provokasi pengikut Yesus  dengan menulis bahwa menjelang Sabat Paska Yesus orang Nasaret mati digantung. 𝘗𝘢𝘥𝘢 𝘚𝘢𝘣𝘢𝘵 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯 𝘗𝘢𝘴𝘬𝘢 𝘠𝘦𝘴𝘩𝘶 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘕𝘢𝘴𝘢𝘳𝘦𝘵 𝘥𝘪𝘨𝘢𝘯𝘵𝘶𝘯𝘨, 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘱𝘶𝘭𝘶𝘩 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘦𝘬𝘴𝘦𝘬𝘶𝘴𝘪 𝘥𝘪𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘬𝘢𝘯, 𝘮𝘶𝘯𝘤𝘶𝘭 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯: '𝘐𝘯𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘕𝘢𝘴𝘢𝘳𝘦𝘵, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘳𝘢𝘫𝘢𝘮 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘵𝘶 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘥𝘪𝘢 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘳𝘢𝘬𝘵𝘪𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘪𝘩𝘪𝘳 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘶𝘩𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘐𝘴𝘳𝘢𝘦𝘭 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘶𝘳𝘵𝘢𝘥. 𝘉𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘭𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘩𝘦𝘯𝘥𝘢𝘬𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘮𝘱𝘪𝘭 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘭𝘢𝘯𝘺𝘢.' 𝘛𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘱𝘶𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘮𝘱𝘪𝘭 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘭𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘪𝘢 𝘱𝘶𝘯 𝘥𝘪𝘨𝘢𝘯𝘵𝘶𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘰𝘳𝘦 𝘗𝘢𝘴𝘬𝘢.

Ketiga, Mara bar Sarpion, filsuf stoik berkebangsaan Suriah, menulis surat kepada anaknya 𝘈𝘱𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘭𝘢𝘩𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘠𝘢𝘩𝘶𝘥𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩 𝘳𝘢𝘫𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘳𝘪𝘧 𝘣𝘪𝘫𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢? Seperti diketahui kepala salib Yesus ditulis oleh otoritas Romawi di Yudea (yang sebenarnya bahan olok-olok) dengan INRI (𝘐e𝘴𝘶𝘴 𝘕𝘢𝘻𝘢𝘳e𝘯𝘶𝘴 𝘙e𝘹 𝘐u𝘥𝘢𝘦o𝘳𝘶𝘮), Yesus (orang) Nasaret Raja (orang) Yahudi. 𝘈𝘱𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘭𝘢𝘩𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘠𝘢𝘩𝘶𝘥𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩 𝘳𝘢𝘫𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘳𝘪𝘧, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘬𝘦𝘳𝘢𝘫𝘢𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘪𝘵𝘶 𝘥𝘪𝘳𝘦𝘯𝘨𝘨𝘶𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 [merujuk Perang Yahudi I pada 66-73/74 ZB]? 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘪𝘭 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘢𝘴 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯-𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘫𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢 𝘪𝘯𝘪. 𝘖𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘈𝘵𝘦𝘯𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯; 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘴𝘢 𝘚𝘢𝘮𝘪𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘭𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘣𝘢𝘯𝘫𝘪𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘭𝘢𝘶𝘵; 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘠𝘢𝘩𝘶𝘥𝘪 𝘥𝘪𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘶𝘴𝘪𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘦𝘳𝘢𝘫𝘢𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢, 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘥𝘪 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵-𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘳𝘢𝘬𝘢𝘯. 𝘚𝘰𝘬𝘳𝘢𝘵𝘦𝘴 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘵𝘪; 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶𝘪 𝘗𝘭𝘢𝘵𝘰; 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘵𝘶 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘗𝘩𝘺𝘵𝘢𝘨𝘰𝘳𝘢𝘴, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘱𝘢𝘵𝘶𝘯𝘨 𝘏𝘦𝘳𝘢. 𝘋𝘦𝘮𝘪𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘳𝘢𝘫𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘫𝘢𝘬 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘵𝘪, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘪𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢, 𝘮𝘶𝘯𝘤𝘶𝘭 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘢 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯.

Keempat, Cornelius Tacitus, seorang senator dan sejarawan Romawi yang termasyur karena dua karya sejarahnya 𝘏𝘪𝘴𝘵𝘰𝘳𝘪𝘦𝘴 dan 𝘈𝘯𝘯𝘢𝘭𝘴, antara abad kesatu dan kedua menulis 𝘒𝘳𝘪𝘴𝘵𝘶𝘴 [Tacitus menggunakan nama Krsitus – lihat cara menulisnya] 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮 𝘮𝘢𝘵𝘪 (𝘴𝘶𝘱𝘱𝘭𝘪𝘤𝘪𝘰 𝘢𝘥𝘧𝘦𝘤𝘵𝘶𝘴) 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘮𝘢𝘴𝘢 𝘱𝘦𝘮𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘛𝘪𝘣𝘦𝘳𝘪𝘶𝘴 [14-37 𝘡𝘉] 𝘥𝘪 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘳𝘰𝘬𝘶𝘳𝘢𝘵𝘰𝘳 𝘬𝘪𝘵𝘢, 𝘗𝘰𝘯𝘵𝘪𝘶𝘴 𝘗𝘪𝘭𝘢𝘵𝘶𝘴 [26-36 𝘡𝘉], 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘩𝘢𝘺𝘶𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘳𝘶𝘴𝘢𝘬 𝘪𝘵𝘶 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘦𝘮𝘦𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘥𝘪𝘬𝘦𝘯𝘥𝘢𝘭𝘪𝘬𝘢𝘯, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘱𝘦𝘤𝘢𝘩 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘥𝘪 𝘠𝘶𝘥𝘦𝘢, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘥𝘪 𝘙𝘰𝘮𝘢 … . 

Namun demikian mengapa kalangan penganut ideologi tertentu dari abad mula-mula sampai sekarang meragukan kematian Yesus lewat kayu salib? 

Secara historis ideologi mengenai Yesus tidak mati di kayu salib dibuat dan dikembangkan oleh Sekte Gnostik pada abad kesatu dan kedua. Dalam satu seksi dokumen Nag Hammadi menyatakan bahwa Rasul Petrus melihat ada dua sosok yang terlibat dalam penyaliban: sosok yang satu sedang dipaku oleh para algojo pada tangan dan kakinya, sedang yang satunya lagi berada di atas sebuah pohon, bergembira sambil menertawakan apa yang sedang berlangsung.

Dalam pada itu tradisi 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯 Yesus yang mengganti korban salib juga muncul di daerah Edessa, Suriah, yang jemaat Kristen di sana keliru menafsirkan Tomas sebagai 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯 (Didimus). Padahal Didimus itu adalah nama lain dari Rasul Tomas. Komunitas di Edessa ini kemudian banyak berkiprah di Tanah Arab.

Secara ringkas pandangan Gnostik terhadap Yesus yang sejati adalah Yesus rohani, Yesus surgawi, sehingga Yesus tidak dapat disalib. Sialnya bagi kaum Gnostik kematian Yesus di kayu salib itu nyata, maka Sekte Gnostik harus menyimpulkan bahwa yang sudah disalibkan itu pastilah orang lain. Orang yang wajahnya serupa dengan rupa atau wajah Yesus, bukan Yesus surgawi, bukan Yesus yang dijunjung mereka. 

Pandangan Sekte Gnostik ini sebenarnya bukan mau menyatakan bahwa secara historis Yesus tidak mati disalib. Justru Yesus benar-benar mati disalib, kaum Gnostik  perlu mencari seorang 𝘱𝘦𝘮𝘢𝘪𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘯𝘵𝘪 demi menyelamatkan ideologi mereka bahwa Yesus yang mereka sembah adalah Yesus surgawi, yang tidak dapat mati disalib. Sungguh mengenaskan jika dongeng yang dikembangkan oleh Sekte Gnostik yang sejak awal ditolak oleh jemaat Kristen mula-mula, masih dijadikan ideologi sampai masa kini.

Bagi umat kristiani kematian Yesus bukan sekadar fakta sejarah objektif, namun melampaui itu yang dihayati sebagai Allah yang berbelarasa. Penghayatan ini diragakan melalui Jumat Agung. Ketika umat Kristen menghayati ulang kematian Yesus, umat menghayati kehidupan suci Yesus yang telah menyerahkan nyawa-Nya untuk pembebasan orang lain. 𝘝𝘪𝘤𝘢𝘳𝘪𝘰𝘶𝘴 𝘴𝘶𝘧𝘧𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨, suatu penderitaan yang ditanggung demi orang lain agar tidak mengalami sendiri penderitaan itu. Suatu penghayatan yang sangat membangun dan membebaskan umat dari perasaan dan situasi batin yang terkalahkan oleh beban-beban penderitaan dari dunia ini.

Apabila kematian Yesus adalah fakta sejarah objektif, apakah kebangkitan Yesus juga fakta sejarah objektif? Sila baca Sudut 𝘗𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨 edisi Minggu Paska besok.

(18042025)(TUS)

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...