Menurut kalender gerejawi 𝘔𝘪𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘗𝘢𝘭𝘦𝘮 (𝘓𝘪𝘵𝘶𝘳𝘨𝘺 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘗𝘢𝘭𝘮𝘴) dan 𝘔𝘪𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘚𝘦𝘯𝘨𝘴𝘢𝘳𝘢 (𝘓𝘪𝘵𝘶𝘳𝘨𝘺 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘗𝘢𝘴𝘴𝘪𝘰𝘯) adalah pembuka 𝘏𝘰𝘭𝘺 𝘞𝘦𝘦𝘬, yang diindonesiakan menjadi 𝙋𝙚𝙠𝙖𝙣 𝙎𝙪𝙘𝙞. Hari-hari di dalam Pekan Suci disebut hari-hari suci. Ada tiga hari suci khusus berendeng di dalam Pekan Suci yang disebut dengan 𝙏𝙧𝙞𝙙𝙪𝙪𝙢 𝙎𝙖𝙘𝙧𝙪𝙢, yang diindonesiakan menjadi 𝙏𝙧𝙞𝙝𝙖𝙧𝙞 𝙎𝙪𝙘𝙞. Tiga hari suci khusus itu adalah 𝘒𝘢𝘮𝘪𝘴 𝘗𝘶𝘵𝘪𝘩-𝘑𝘶𝘮𝘢𝘵 𝘈𝘨𝘶𝘯𝘨-𝘚𝘢𝘣𝘵𝘶 𝘚𝘶𝘯𝘺𝘪. Penamaan Trihari Suci diselaraskan dengan pengindonesiaan Pekan Suci.
Sering pula 𝘛𝘳𝘪𝘥𝘶𝘶𝘮 𝘚𝘢𝘤𝘳𝘶𝘮 disebut dengan 𝘛𝘳𝘪𝘥𝘶𝘶𝘮 𝘗𝘢𝘴𝘤𝘩𝘢𝘭𝘦, yang dimaknai sebagai tiga hari menuju 𝘔𝘪𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘗𝘢𝘴𝘬𝘢; dimula dari Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, kemudian sampai puncaknya pada Minggu Paska, 𝘏𝘢𝘳𝘪 𝘒𝘦𝘣𝘢𝘯𝘨𝘬𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘒𝘳𝘪𝘴𝘵𝘶𝘴.
Trihari Suci hendak menyampaikan narasi 𝘀𝗮𝘁𝘂-𝗱𝗿𝗮𝗺𝗮 𝘁𝗶𝗴𝗮-𝗮𝗸𝘀𝗶 yang memerkuat narasi penyelamatan Allah melalui kebangkitan Kristus. Trihari Suci merupakan tiga hari utama di sekitar 𝘀𝗲𝗻𝗴𝘀𝗮𝗿𝗮, 𝗸𝗲𝗺𝗮𝘁𝗶𝗮𝗻, dan 𝗽𝗲𝗺𝗮𝗸𝗮𝗺𝗮𝗻 𝗬𝗲𝘀𝘂𝘀. Kesatu-tigaan topik tersebut tampil dalam Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Sunyi.
Sabtu malam dalam tradisi Gereja mula-mula sudah merupakan hari baru, hari Minggu, 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 Sabtu Sunyi lagi. Ibadah Sabtu Malam disebut 𝘝𝘪𝘨𝘪𝘭𝘪 𝘗𝘢𝘴𝘬𝘢 (𝘌𝘢𝘴𝘵𝘦𝘳 𝘝𝘪𝘨𝘪𝘭 atau 𝘗𝘢𝘴𝘤𝘩𝘢𝘭 𝘝𝘪𝘨𝘪𝘭). Vigili berarti berjaga-jaga yang kemudian dimaknai berjaga-jaga menanti dan merayakan kebangkitan Yesus secara lebih daripada pengawal mengharap pagi (Mzm. 130:6).
Minggu Paska adalah hari kesatu atau awal pekan yang baru dan bukan hari di dalam Pekan Suci menurut kalender gerejawi. 𝗠𝗶𝗻𝗴𝗴𝘂 𝗣𝗮𝘀𝗸𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗮𝘀𝘂𝗸 𝗸𝗲 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗧𝗿𝗶𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗦𝘂𝗰𝗶. Dengan kata lain secara 𝙩𝙞𝙢𝙚𝙡𝙞𝙣𝙚 𝗧𝗿𝗶𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗦𝘂𝗰𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗠𝗶𝗻𝗴𝗴𝘂 𝗣𝗮𝘀𝗸𝗮 𝗯𝗲𝗿𝗯𝗲𝗱𝗮.
🛑 Minggu Palem/Minggu Sengsara, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi
🛑 Minggu Paska
🛑 Minggu kedua Paska
🛑 Dst.
🛑 Hari Pentakosta
[𝘗𝘦𝘳𝘢𝘭𝘪𝘩𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘪𝘮𝘶𝘭𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘵𝘦𝘯𝘨𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘪𝘱𝘦𝘳𝘬𝘦𝘯𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘥𝘢 1582 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘦𝘯𝘥𝘦𝘳 𝘎𝘳𝘦𝘨𝘰𝘳𝘪𝘢𝘯. 𝘚𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮𝘯𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘮𝘢𝘵𝘢𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘦𝘯𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘭𝘪𝘩 𝘬𝘦 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘣𝘢𝘳𝘶. 𝘚𝘦𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘪𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘭𝘪𝘩𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘵𝘦𝘯𝘨𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘪𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘥𝘢 1884. 𝘔𝘦𝘴𝘬𝘪𝘱𝘶𝘯 𝘥𝘦𝘮𝘪𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘎𝘦𝘳𝘦𝘫𝘢 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘳𝘢 𝘵𝘳𝘢𝘥𝘪𝘴𝘪 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘥𝘪𝘮𝘶𝘭𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘱𝘢𝘴 𝘮𝘢𝘵𝘢𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘦𝘯𝘢𝘮 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘬𝘦𝘱𝘦𝘳𝘭𝘶𝘢𝘯 𝘭𝘪𝘵𝘶𝘳𝘨𝘪 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘳𝘢𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘗𝘢𝘴𝘬𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘕𝘢𝘵𝘢𝘭.]
𝗞𝗮𝗺𝗶𝘀 𝗣𝘂𝘁𝗶𝗵 (𝘔𝘢𝘶𝘯𝘥𝘺 𝘛𝘩𝘶𝘳𝘴𝘥𝘢𝘺)
𝘎𝘦𝘳𝘦𝘫𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘒𝘢𝘮𝘪𝘴 𝘗𝘶𝘵𝘪𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘺𝘢𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘗𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮𝘶𝘢𝘯 𝘒𝘶𝘥𝘶𝘴 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘑𝘶𝘮𝘢𝘵 𝘈𝘨𝘶𝘯𝘨, 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘥𝘪𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘱𝘦𝘫𝘢𝘣𝘢𝘵 𝘨𝘦𝘳𝘦𝘫𝘢𝘸𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘩𝘢𝘮𝘪 𝘮𝘢𝘬𝘯𝘢 𝘵𝘦𝘰𝘭𝘰𝘨𝘪𝘴 𝘥𝘢𝘯 𝘭𝘪𝘵𝘶𝘳𝘨𝘪𝘴 𝘒𝘢𝘮𝘪𝘴 𝘗𝘶𝘵𝘪𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘳𝘢𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢.
Kamis Putih adalah penanda hari terakhir atau penutup masa Pra-Paska. Mengapa 𝘔𝘢𝘶𝘯𝘥𝘺 𝘛𝘩𝘶𝘳𝘴𝘥𝘢𝘺 diindonesiakan menjadi Kamis Putih?
𝘔𝘢𝘶𝘯𝘥𝘺 berakar kata Latin 𝘮𝘢𝘯𝘥𝘢𝘵𝘶𝘮 yang berarti perintah. Dalam pautannya dengan Kamis Putih perintah Yesus itu disebut 𝘮𝘢𝘯𝘥𝘢𝘵𝘶𝘮 𝘯𝘰𝘷𝘶𝘮 atau perintah baru, yang diperagakan oleh Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya, “𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶 …” (Yoh. 13:14), yang kemudian disambung, “𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶, 𝘺𝘢𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘶𝘱𝘢𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪; 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘥𝘦𝘮𝘪𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘱𝘶𝘭𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪.” (Yoh. 13:34).
Pembasuhan kaki bukanlah barang baru dalam tradisi Yahudi. Pembasuhan kaki dilakukan oleh hamba-hamba atau pelayan-pelayan tuan rumah sebelum perjamuan. Akan tetapi yang Yesus lakukan adalah radikal. Yesus yang adalah Guru membasuh kaki para murid-Nya. Jabatan atau status lebih tinggi melayani pihak yang berstatus lebih rendah.
Kembali lagi ke pertanyaaan mengapa disebut Kamis Putih? Pada Kamis Putih dilayankan Liturgi Sabda, Upacara Pembasuhan Kaki, Perjamuan Kudus atau Ekaristi, dan 𝗣𝗲𝗺𝗶𝗻𝗱𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗿𝗮𝗹𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗦𝗮𝗸𝗿𝗮𝗺𝗲𝗻. Warna liturgi putih. Sesudah perarakan pemindahan peralatan sakramen, altar diselubungi atau ditutupi dengan kain putih sehingga tampak polos tanpa ornamen apa pun. Penyelubungan dengan kain putih itu 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝘀𝗶𝗺𝗯𝗼𝗹 𝗯𝗮𝗵𝘄𝗮 𝗴𝗲𝗿𝗲𝗷𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗺𝗲𝗹𝗮𝘆𝗮𝗻𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗮𝗸𝗿𝗮𝗺𝗲𝗻 𝘀𝗮𝗺𝗽𝗮𝗶 𝗦𝗮𝗯𝘁𝘂 𝗦𝘂𝗻𝘆𝗶. Memang tak semua Gereja menyelubungi dengan kain putih, tetapi pada dasarnya altar dibuat kosong dari peralatan sakramen. Gereja memula melayankan sakramen lagi pada Minggu Paska.
𝗝𝘂𝗺𝗮𝘁 𝗔𝗴𝘂𝗻𝗴 (𝘎𝘰𝘰𝘥 𝘍𝘳𝘪𝘥𝘢𝘺)
Pengindonesiaan 𝘑𝘶𝘮𝘢𝘵 𝘈𝘨𝘶𝘯𝘨 erat pautannya dengan perayaan. Jumat Agung adalah hari kematian Yesus. 𝘓𝘩𝘢 𝘬𝘰𝘬 dirayakan? Pertanyaan itu lumrah terangkat karena cerapan orang Indonesia pada kata merayakan dan perayaan adalah berpesta, kegiatan hingar-bingar penuh sukacita dan tidak lengkap apabila tanpa makan bersama.
Dalam liturgi ada dua macam ibadah: selebrasi dan aksi. Ibadah selebrasi adalah berhimpun di rumah ibadah. Misal, kebaktian atau misa Minggu. Ibadah aksi adalah perbuatan-perbuatan atau praksis umat sehari-hari dalam rangka membawa misi dari ibadah selebrasi. Ingat, dalam penutupan ibadah selebrasi ada sesi pengutusan, yang pemimpin ibadah mengatakan, “𝘗𝘦𝘳𝘨𝘪𝘭𝘢𝘩, … “
Selebrasi berarti perayaan. Perayaan bersinonim dengan pemuliaan, pengagungan. Dalam bentuk kata kerja 𝗺𝗲𝗿𝗮𝘆𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗮𝗿𝘁𝗶 𝗺𝗲𝗺𝘂𝗹𝗶𝗮𝗸𝗮𝗻, 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗴𝘂𝗻𝗴𝗸𝗮𝗻. Dalam kebaktian Minggu umat Kristen sedang merayakan, memuliakan, mengagungkan kebangkitan Kristus yang diimani terjadi pada hari pertama (Minggu). Merayakan Jumat Agung berarti memuliakan, mengagungkan salib. Mengapa memuliakan salib?
Injil sinoptik memandang suram pada salib. Salib adalah simbol kehinaan dan kekejian. Bahkan petulis Injil Markus dan Matius menampilkan Yesus sedang putus asa di kayu salib, “𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩𝘬𝘶, 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩𝘬𝘶, 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘌𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘈𝘬𝘶?” Pengakuan Iman (Syahadat) Rasuli mengikuti pandangan Injil sinoptik sehingga penyaliban Yesus dikelompokkan ke dalam bagian penderitaan Yesus.
Petulis Injil Yohanes menolak pandangan di atas. Salib adalah simbol kemuliaan “… 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘔𝘶𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘭𝘢𝘳 𝘥𝘪 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘨𝘶𝘳𝘶𝘯, 𝘥𝘦𝘮𝘪𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘈𝘯𝘢𝘬 𝘔𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘥𝘪𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘬𝘢𝘯, 𝘴𝘶𝘱𝘢𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢-𝘕𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘭.” (Yoh. 3:14-15). Ucapan terakhir Yesus di kayu salib dibuat begitu gagah oleh petulis Injil Yohanes, “𝘚𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪!” Yesus lalu menundukkan kepala-Nya dan 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝗿𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 nyawa-Nya (Yoh. 19:30). Hidup Yesus tidak diambil, melainkan Ia sendiri yang menyerahkan hidup-Nya. Perayaan Jumat Agung merujuk teologi Injil Yohanes: 𝗺𝗲𝗺𝘂𝗹𝗶𝗮𝗸𝗮𝗻 atau 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗴𝘂𝗻𝗴𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗮𝗹𝗶𝗯. Bacaan ekumenis selalu mengambil dari Injil Yohanes 18 – 19.
𝗣𝗮𝗱𝗮 𝗝𝘂𝗺𝗮𝘁 𝗔𝗴𝘂𝗻𝗴 𝗚𝗲𝗿𝗲𝗷𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗲𝗹𝗮𝘆𝗮𝗻𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗮𝗸𝗿𝗮𝗺𝗲𝗻. Tidak ada Ekaristi atau Perjamuan Kudus. Ekaristi dari kata 𝘦𝘶𝘤𝘩𝘢𝘳𝘪𝘴𝘵𝘪𝘢 yang berarti pengucapan syukur. “𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘢𝘯𝘵𝘢𝘴 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘦𝘴𝘵𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘚𝘢𝘯𝘨 𝘔𝘦𝘮𝘱𝘦𝘭𝘢𝘪 𝘭𝘢𝘬𝘪-𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘥𝘪𝘢𝘮𝘣𝘪𝘭 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘪𝘵𝘢,” kata Tertulianus yang sejalan dengan Matius 9:14-15. Muatan teologis Ekaristi atau Perjamuan Kudus adalah perayaan iman gereja atas karya, kematian, kebangkitan Kristus, dan penantian kedatangan-Nya kembali. Ada gatra eskatologis. Kata Rasul Paulus, “𝘚𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘳𝘰𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘪𝘯𝘶𝘮 𝘤𝘢𝘸𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪, 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘵𝘪𝘢𝘯 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘐𝘢 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨.” (1Kor. 11:26). Pada Jumat Agung Yesus belum bangkit.
Dengan demikian melayankan Perjamuan Kudus pada Jumat Agung 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸𝗹𝗮𝗵 𝘁𝗲𝗽𝗮𝘁 𝗯𝗮𝗶𝗸 𝘀𝗲𝗰𝗮𝗿𝗮 𝗹𝗶𝘁𝘂𝗿𝗴𝗶𝘀 𝗺𝗮𝘂𝗽𝘂𝗻 𝘁𝗲𝗼𝗹𝗼𝗴𝗶𝘀.
Dalam Jumat Agung umat Kristen menghayati ulang kematian Yesus, mereka menghayati suatu kehidupan suci dan agung Yesus yang telah diserahkan, ditiadakan, dilenyapkan, dipermalukan melalui hukuman mati pada salib untuk pembebasan orang lain. 𝘝𝘪𝘤𝘢𝘳𝘪𝘰𝘶𝘴 𝘴𝘶𝘧𝘧𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨, suatu penderitaan yang ditanggung demi orang lain agar tidak mengalami sendiri penderitaan itu. Suatu penghayatan yang sangat membangun dan membebaskan umat dari perasaan dan situasi batin yang terkalahkan oleh beban-beban penderitaan dari dunia ini.
𝗦𝗮𝗯𝘁𝘂 𝗦𝘂𝗻𝘆𝗶 (𝘏𝘰𝘭𝘺 𝘚𝘢𝘵𝘶𝘳𝘥𝘢𝘺)
Seperti pengindonesiaannya dari 𝘏𝘰𝘭𝘺 𝘚𝘢𝘵𝘶𝘳𝘥𝘢𝘺 menjadi 𝘚𝘢𝘣𝘵𝘶 𝘚𝘶𝘯𝘺𝘪 sesudah Jumat Agung Gereja memelihara keheningan. Tidak ada liturgi pada Sabtu Sunyi. 𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮 𝗶𝗯𝗮𝗱𝗮𝗵 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗦𝗮𝗯𝘁𝘂 𝗦𝘂𝗻𝘆𝗶. Mengapa?
Ibadah Kristen berpusat pada Kristus. Pada Sabtu Sunyi Yesus berada dalam keheningan dan kesendirian di dalam kubur. Menjadi aneh ibadah Kristen tanpa dihadiri oleh Kristus. Gereja memelihara keheningan agar umat terus merenungkan kesengsaraan Yesus secara agung.
Ada tradisi umat berhimpun pada Sabtu Sunyi, namun bukan untuk beribadah selebrasi yang dipimpin oleh pemimpin ibadah. Untuk menambah kekhidmatan umat membaca Kitab Suci. Pembacaan yang dianjurkan dalam daftar bacaan ekumenis (RCL) adalah Ayub 14:1-14 yang kemudian disambut dengan Mazmur 31:1-4, 15-16 secara responsoria. Pembacaan dari Perjanjian Lama disusul dengan pembacaan Surat Rasuli dari 1Petrus 4:1-8 dan akhirnya pembacaan Injil dari Yohanes 19:38-42.
Barangkali orang Kristen akan ada yang bertanya, “𝘉𝘶𝘬𝘢𝘯𝘬𝘢𝘩 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘬𝘪𝘵, 𝘵𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘵 𝘬𝘦 𝘴𝘶𝘳𝘨𝘢, 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘭𝘢𝘨𝘪? 𝘑𝘢𝘥𝘪, 𝘗𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮𝘶𝘢𝘯 𝘒𝘶𝘥𝘶𝘴 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘬𝘢𝘱𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘫𝘢.”
Hari raya liturgi Gereja dimula dan berpusat pada misteri Paska. Pada mulanya tidak ada susunan sistematis dan terencana untuk merayakan peristiwa-peristiwa Kristus. Secara evolusi gereja memberikan tanggapan atas peristiwa-peristiwa tersebut satu per satu. Bapak-bapak gereja sejak abad II merapikan, membentuk, menyusun, dan membangun kisah teologinya sehingga menjadi bermakna, bertema, dan bercerita saling berurutan satu dengan lainnya. Hari raya liturgi merupakan drama sarat makna; suatu upaya Gereja untuk memastori dan membina umat agar dapat lebih menghayati kisah Kristus menurut kesaksian Alkitab dalam bentuk perayaan.
(17042025)(TUS)