Beragama itu mirip makan di Foodcourt. Pengunjung bebas memilih sesuai dengan selera dan kebutuhan tubuhnya: Boleh pilih yang manis, gurih, asam, asin atau campur. Tidak ada pilihan yang lebih mulia daripada pilihan yang lain.
Setelah memilih, biasanya pengunjung akan menikmati pilihannya itu dengan riang gembira. Favorit saya biasanya bakmi rebus dengan toping tulang-tulang ayam yang masih ada sedikit daging. Paling enak dimakan saat masih panas, lalu mengelupas daging dari tulang dengan tangan telanjang. Wuih nikmat penuh tuh.
Tapi belakangan ini masih ada orang yang masih usil dengan makanan pilihan orang lain yang berbeda dengan pilihannya. Alih-alih bertekun menikmati makanan, matanya malah jelalatan ke meja-meja di sekitarnya. Dia sibuk mencerca dan mengejek pilihan orang lain. Dia membanding-bandingkan pilihannya: "Makanan itu lebih enak kalau dimakan dingin" Demikian katanya ketika dia lihat orang masih menikmati bakso B2 panas-panas. "Ngapain memilih minuman pahit? Enakan minum sirup manis" Demikian cercanya pada peminum jamu. Padahal orang lain itu makan dan minum menggunakan mulutnya sendiri. Bukan meminjam cangkeme si pencerca. Makanan itu juga menggelontor ke dalam lambungnya sendiri, bukan lambung si pencerca. Kalau ternyata makanan itu membuatnya sakit, yang menderita adalah orang itu. Itu konsekuensi dari pilihan bebasnya.
Tampaknya dia ingin semua orang memilih sama dengan dirinya. Atau barangkali, dia sebenarnya sedang membutuhkan validasi bahwa makanan pilihan itu sudah benar. Tidak membuatnya sakit. Dia sebenarnya masih agu-ragu karena belum mengenal makanan itu sebenar-benarnya.
Selain pengunjung tipe usil ini, ada juga tipe orang di foodcourt yang juga tidak menikmati makanan. Dia bersuara melulu. Dia sedang mengamen.
Ada penyelenggara festival jazz yang lebih banyak menampilkan penyanyi pop.
Terselip kurang percaya diri kalau menampilkan lagu-lagu jazz murni. Takut tidak laku.
Ada penceramah dari X yang pindah jalur ke Y tapi yang dikupas adalah soal X melulu. Mungkin dia merasa masih belum PD, karena:
1. Belum menguasai materi Y, atau
2. Materi X masih lebih laku.
😁😇
Kalau saya rese dan menuduh orang pakai cincin imitasi padahal sy blom pernah melihat apalagi memegang cincinnya, hanya melihat foto jari tangannya pakai cincin, itu artinya sy bodoh banget.
Klo sy kemudian tetep ngeyel bilang cincinnya imitasi dan akan berhenti ngeyel jika ditunjukkan cincinnya, bukan minta ditunjukkan surat kwitansi dari toko di mana dia beli cincin, saya bodoh banget.
Tapi ya nggak apa2, yg penting banyak orang yg percaya omongan saya . Semoga mereka para pemuja saya tetap setia dan setia pula pada kebodohannya juga.
Sebentar lagi saya dapat menginap dan makan gratis dibiayai negara atas keresehan dan kebodohan saya. Oh betapa baiknya negara. 😃😃😃
Bagi Israel kuna, Mesir kuna adalah musuh. Di Alkitab juga disebutkan bahwa Mesir kuna itu memperbudak Israel kuna. Israel kuna dianiaya, bahkan Mesir berusaha memunahkan Israel kuna. Mesir melakukan genoside ke Israel kuna. Semua bayi lelaki dibunuh agar tidak ada keturunan. Akan tetapi, nenek moyang Israel kuna, yaitu Yakub dan seluruh keturunannya, ketika mengalami bahaya kelaparan, diselamatkan oleh Mesir. Mereka pindah ke Mesir sehingga lestari hidup. Bayi Yesus dan Maria,ibunya, diungsikan oleh Yusuf ke Mesir.
Selayaknya daripada mengobarkan permusuhan lebih baik menumbuhkan-kembangkan persaudaraan.
Di lain kesempatan saya mendapat ceritera lucu, juga tentang sikap dan tindakan konyol demikian itu. Ada seorang pedagang kampung yang naik bis dari kota kecamatan menuju ke kota kabupaten. Ketika di atas bis saling bercakap dengan yang lain, akhirnya ia tahu kalau bis itu milik seorang yang beragama Kristen. Ia kemudian turun sebelum sampai di tempat tujuan. Ia tidak mau naik bis yang dimiliki orang Kristen. Meskipun sebenarnya sopir dan kernetnya bukan orang beragama Kristen.
Sikap dan tindakan konyol demikian itu sebenarnya lebih didasarkan pada kecenderungan mempertegas perbedaan, seolah orang yang satu dibatasi tembok tebal, tinggi, kokoh agar tidak berhubungan dengan yang lain. Daripada mempertajam perbedaan suku, ras, agama, kebudayaan, kemampuan ekonomi, status sosial, dsb, lebih baik memperkuat Kerjasama. Perbedan diterima sebagai kekayaan hidup. Kamu memang bukan saya, mereka bukan kami, namun kamu dan saya demikian juga mereka dan kami bisa menjadi kita dalam semakin mengupayakan pertumbuhan hidup dan kehidupan. Betapa pun besar, lebar, dalam, tinggi, luas perbedaan, namun tetap saja ada persamaan yang di persamaan ini semua yang berbeda itu menjadi satu, yaitu MANUSIA. Oleh sebab itu, selayaknya aku, kamu, kami, mereka menyatu dalam kemanusiaan untuk menumbuhkan kemanusiaan.
Saya mesti terus dan terus mengupayakan, memperjuangkan ke-kita-an dalam perbedaan apa pun bentuk, jenis dan macam perbedaan itu. Yang menjadi dasar dan juga tujuannya adalah semua itu manusia dan selayaknya semakin bertumbuh-kembang dalam kemanusiaan.
(12072025)(TUS)