Pemuda Gereja merupakan lahan subur untuk ditanami benih fundamentalisme. Pengibar fundamentalisme sangat memahami ini. Studi saya mengenai pengaruh fundamentalisme terhadap warga muda Gereja lebih daripada dua dasawarsa lalu masih tetap relevan.
Fundamentalisme berawal dari gerakan kelompok Kristen yang anti-moderninasi pemikiran Kristen di AS pada awal abad ke-20. Mereka mencetak dan menyebarkan buklet yang berisi lima dalil fundamental iman Kristen. Buklet itu diberi judul ๐๐ฉ๐ฆ ๐๐ถ๐ฏ๐ฅ๐ข๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ต๐ข๐ญ๐ด. Orang-orang Kristen yang tidak mencitrakan lima dalil fundamental itu bukanlah Kristen sejati. Dalam perjalanannya hanya satu dalil yang dominan sampai sekarang yaitu ketiadasalahan Alkitab atau ๐ช๐ฏ๐ฆ๐ณ๐ณ๐ข๐ฏ๐ค๐บ ๐ฐ๐ง ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐ฃ๐ช๐ฃ๐ญ๐ฆ.
Curtis Lee Laws, seorang redaktur pada ๐๐ฉ๐ฆ ๐๐ข๐ต๐ค๐ฉ๐ฎ๐ข๐ฏ ๐๐น๐ข๐ฎ๐ช๐ฏ๐ฆ๐ณ, sebuah surat kabar dari kelompok Baptis, pada 1920 mengenakan istilah fundamentalis kepada kelompok Kristen di atas dan fundamentalisme sebagai aliran yang diusung oleh kelompok itu. Pada mulanya Laws mengenakan istilah itu untuk mengolok-olok kelompok tersebut. Sejalan dengan waktu olok-olok dari Laws itu digunakan oleh teolog, Gereja, dan bahkan kalangan di luar Gereja untuk orang atau kelompok (fundamentalis) yang secara selektif memilih teks-teks Kitab Suci untuk menjalankan ideologi mereka (fundamentalisme).
Fundamentalisme kemudian melahirkan aliran evangelikal dengan aneka variannya. Juga di AS. Aliran ini menyebar keluar dari AS termasuk ke Indonesia. Di Jakarta dapat kita lihat Gereja fundamentalis yang selalu mendaku paling reformed. Gereja ini sukses menanamkan benih fundamentalisme dan membuat banyak warga Gereja arus-utama menjadi pengikut. Umat awam secara sederhana dapat mengukur watak fundamentalistik Gereja itu dengan membaca pengakuan iman mereka mengenai Alkitab: ๐๐ข๐ฎ๐ช ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ค๐ข๐บ๐ข ๐ฃ๐ข๐ฉ๐ธ๐ข ๐๐ญ๐ฌ๐ช๐ต๐ข๐ฃ ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ด๐ข๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ ๐ด๐ฆ๐จ๐ข๐ญ๐ข ๐ฉ๐ข๐ญ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ช๐ข๐ซ๐ข๐ณ๐ฌ๐ข๐ฏ๐ฏ๐บ๐ข, ๐ต๐ฆ๐ณ๐ฎ๐ข๐ด๐ถ๐ฌ ๐ฉ๐ข๐ญ-๐ฉ๐ข๐ญ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ฏ๐จ๐ฌ๐ถ๐ต ๐ด๐ฆ๐ซ๐ข๐ณ๐ข๐ฉ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ช๐ญ๐ฎ๐ถ.
Oleh karena fundamentalisme menyebar ke banyak tubuh Gereja, maka fundamentalisme itu jamak. Martin E. Marty mencandra sekurang-kurangnya ada tiga jenis fundamentalis: ๐น๐ถ๐๐ฒ๐ฟ๐ฎ๐น๐ถ๐, ๐๐ฒ๐ฟ๐ผ๐ฟ๐ถ๐, dan ๐ฎ๐ธ๐๐ถ๐๐ถ๐ ๐ฝ๐ผ๐น๐ถ๐๐ถ๐ธ. Ketiga jenis fundamentalis tersebut dapat berdiri sendiri dan dapat juga gabungan ketiganya sekaligus dalam diri seseorang atau secara kelompok. Meskipun fundamentalisme itu jamak, tetap saja bertemu di muara yang sama: ๐๐ฒ๐น๐ฒ๐ธ๐๐ถ๐ณ ๐บ๐ฒ๐บ๐ถ๐น๐ถ๐ต ๐๐ฒ๐ธ๐-๐๐ฒ๐ธ๐ ๐๐ถ๐๐ฎ๐ฏ ๐ฆ๐๐ฐ๐ถ ๐๐ป๐๐๐ธ ๐บ๐ฒ๐ป๐ท๐ฎ๐น๐ฎ๐ป๐ธ๐ฎ๐ป ๐ถ๐ฑ๐ฒ๐ผ๐น๐ผ๐ด๐ถ ๐บ๐ฒ๐ฟ๐ฒ๐ธ๐ฎ.
Fundamentalisme adalah isu ekumenis, masalah bersama (lih. Hans Kรผng & Jรผrgen Moltmann (๐ฆ๐ฅ๐ด.), ๐๐ถ๐ฏ๐ฅ๐ข๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ต๐ข๐ญ๐ช๐ด๐ฎ ๐ข๐ด ๐ข๐ฏ ๐๐ค๐ถ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ช๐ค๐ข๐ญ ๐๐ฉ๐ข๐ญ๐ญ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฆ. London: SCM Press, 1996). Gereja-gereja arus-utama sudah sejak lama mendapat serangan fundamentalisme. Banyak warga eksodus ke Gereja-gereja berwatak fundamentalistik. Lebih banyak lagi warga yang terjangkiti fundamentalisme menetap di Gereja-gereja arus-utama. Gereja-gereja arus-utama ada yang menanggapi dengan cerdas, ada yang defensif, ada yang tidak peduli. Bagaimana dengan GKI?
Kala itu Pdt. Eka Darmaputera sangat sibuk meyakinkan pendeta-pendeta di GKI bahwa fundamentalisme itu ada dan nyata sudah masuk ke dalam tubuh GKI. Para pendeta diminta oleh Pak Eka untuk membuat langkah cerdas dalam menanggapi serangan fundamentalisme. Dalam kenyataan ada cukup banyak pendeta yang justru menangguk untung dari fundamentalisme karena pengikut fundamentalisme menyembah mereka.
Pengalaman saya mengajar anak-anak muda untuk lebih berani mengembara di dalam Kitab Suci lewat penghampiran kritis-naratif menjadi pengalaman menarik. Mereka menyadari bahwa makin kritis terhadap teks, mereka makin banyak menemukan makna baru yang tidak pernah habis digali. Pengajaran sikap kritis terhadap iman sendiri justru membuat anak-anak muda antusias guna mengubah paradigma mereka dalam berwawasan hidup lebih bermaslahat di negara yang sarat aneka suku.
Menanggulangi fundamentalisme di kalangan warga muda justru dengan mengajak mereka berpikir kritis untuk beriman secara dewasa, bukan kanak-kanak bertubuh orang dewasa. Bukankah Yesus sudah memberi perintah untuk mencintai Allah dengan segenap akal-budi? Pdt. Eka Darmaputera memarafrasekannya secara jitu: Beragamalah dengan akal sehat! Dan ini menjadi motto saya dalam menulis SUDUT PANDANG.
(28082025)(TUS)