Jumat, 01 Agustus 2025

SUDUT PANDANG KONSPIRASI KONDUKTOR BAYANGAN

SUDUT PANDANG KONSPIRASI KONDUKTOR BAYANGAN

Seruput kopinya, dan coba perhatikan, Indonesia gak fokus lagi sama USA, terlihat jelas pada 10 tahun pemerintahan Jokowi. Prabowo yg digadang pro USA ternyata miring arahnya juga, karena harus jabat tangan untuk jadi president dg kelompok kontra USA. Ada partai yg nyari backingan nih, Donald Trump kasih pajak tinggi, Prabowo melobby dg berbagai hal, negeri dijual tp mo gimana lagi, negara tetangga yg lain yg punya kepentingan sama, gak rela indonesia menjual diri pada USA, sejak itu banyak kerjaan belakang layar bgmn gereja-gereja mulai diperkusi, pemerintah mendapat sorotan ketidak percayaan kaum minoritas krn dianggap diam, dibuat gambar "kalo lo gak nurut, bukan BHINNEKA TUNGGAL IKA, TAPI BHINNEKA TINGGAL CERITA", makin lucu di salah satu episode ricuh perkusi ada provokator tertangkap dari pengurus cabang PDIP, dan petinggi PDIP langsung memecat (karena emang itu konsekuensi kalau tertangkap gagal melaksanakan perintah atasan), dan jumpa pers digelar PDIP tak tersangkut itu keputusan pribadi sang provokator, pemerintah untuk berjuang menaikan performa krn turun membuat keputusan keliru dan dianulir/digagalkan sendiri  shg nampak pro rakyat, contoh pembekuan rekening, penyitaan tanah nganggur, dlsb. Tidak bisa, harus ada negoisasi, dan bergulirlah negoisasi tsb.
Mega Memberi Isyarat,  Dari Amnesti Jadi Aliran Baru Kekuasaan


Malam tadi habis PPA, banyak dikirimi link berita dari kawan. "Bang, Hasto dan Tom diampuni Prabowo."  Tak ayal, saya pun menarasikan angan. Peta politik akan berubah. Seperti apa respon PDIP usai dapat voucher amnesti untuk Hasto dari sang presiden? Mari kita kulik sambil seruput kopi tanpa gula, wak! emang anti gula.

Presiden Prabowo memberi amnesti kepada Hasto Kristiyanto. Dalam daftar resmi yang disahkan DPR, nama Hasto masuk di antara 1.116 orang yang dinyatakan bebas dari lilitan pasal. Sontak, atmosfer politik berubah. Tapi itu hanya bunga pembuka. Yang membuat Indonesia mendadak seperti panggung Yunani klasik adalah kalimat-kalimat Megawati Soekarnoputri di Denpasar, dalam Bimtek Fraksi PDIP. Ia tak sedang bercanda. Ia tak sedang retoris. Ia sedang mengatur arah angin.


Instruksi Megawati tidak sekadar seruan. Itu naskah baru yang langsung dipentaskan. Katanya, PDIP akan mendukung pemerintahan Prabowo. Tapi, tunggu dulu. Ini bukan bentuk kepatuhan buta. Ini semacam kepatuhan bermata elang, tajam, waspada, dan penuh perhitungan. Jika bukan ini sekadar salam dua jari yang berubah jadi empat jari, nan coba kalau belum mengerti cara kerja kekuasaan di tanah ini.


“Dukung, tapi jangan tunduk. Jaga pemerintahan, tapi jangan diam.” Kira-kira begitu tafsir dari arah Megawati. Partai banteng ini, yang dulu sempat digambarkan sebagai oposisi garang, kini memilih menjadi penjaga rel. Rel apa? Rel kekuasaan, rel fiskal, rel utang luar negeri, dan rel geopolitik yang jalurnya tak pernah lurus.

PDIP tahu bahwa defisit anggaran menunggu di ujung tahun. Mereka tahu pemasukan negara seperti ember bocor di tengah hujan utang. Mereka juga tahu dolar tak bisa dilawan dengan slogan. Maka, mereka tidak hanya ingin berdiri di luar ring sambil mengacungkan jari. Mereka ingin masuk gelanggang, bukan sebagai petarung, tapi sebagai pengarah strategi. Tak harus masuk kabinet. Tapi cukup berada di meja makan, bukan jadi buruh cuci piring.

Megawati menginstruksikan, seluruh kader turun ke bawah. Dengarkan rakyat. Tapi jangan sekadar mendengar seperti mikrofon di acara dangdut. Dengarkan dengan analisa, tafsir, dan sensitivitas politik. Karena suara rakyat bukan sekadar desahan penderitaan, tapi juga kode arah perubahan.

Deddy Yevri Sitorus menegaskan, PDIP akan menjaga agar pemerintahan tetap berada “di jalur yang benar”. Tapi di republik ini, kata “benar” selalu bisa dinegosiasi. Maka, PDIP tidak sekadar menjaga. Mereka sedang menandai jalur baru. Mereka ingin jadi kompas, bukan hanya peta.


Amnesti terhadap Hasto adalah pintu. Tapi bukan pintu rumah tahanan, melainkan pintu masuk ke rekonsiliasi. Megawati sudah mengambil langkah pertama, bukan dengan pelukan, tapi dengan kalimat, sebuah senjata politik yang lebih tajam dari veto.

Bayangkan, wak! Dalam satu minggu, Hasto diberi amnesti, Tom Lembong dibebaskan dari jerat impor gula, dan Megawati memberi restu untuk mendukung pemerintah. Semua ini bukan kebetulan. Ini simfoni kekuasaan.

Di tengah simfoni itu, PDIP tampil bukan sebagai pemain band, tapi sebagai konduktor bayangan. Mereka tidak tampil di panggung kabinet, tapi mereka memimpin irama dari balik layar. Diam-diam, tegas-tegas.

Jangan kaget bila sebentar lagi bendera PDIP tidak hanya berkibar di luar pagar istana. Tapi juga mulai dijahitkan ke dalam selimut kekuasaan baru, selimut merah yang tak membakar, tapi menghangatkan kursi kekuasaan Prabowo.

Indonesia sedang menyaksikan babak baru. Megawati baru saja membuka tirainya.

Amnesti terhadap Hasto bukan sekadar keputusan hukum, tapi penanda, musim baru telah tiba. PDIP yang dulu berdiri di luar pagar kini memegang kunci garasi. Bukan untuk pindah rumah, tapi untuk “mengatur parkir”.

Prabowo, sang aktor utama, sedang menulis naskah besar. Ia tahu, untuk membuat pertunjukan politik yang utuh, dibutuhkan pemain antagonis yang bisa berubah jadi protagonis dalam dua episode saja.

Yuk, seruput kopinya (02082025)(TUS)

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...