Kamis, 07 Agustus 2025

SUDUT PANDANG MEMAHAMI TAFSIR KEKERASAN DALAM PERJANJIAN LAMA, TRILOGI KEKERASAN

SUDUT PANDANG MEMAHAMI TAFSIR KEKERASAN DALAM PERJANJIAN LAMA, TRILOGI KEKERASAN

Ada tiga bentuk kekerasan dalam PL tersebut itu antara lain kekerasan antar sesama manusia yang terjadi pada masa itu dan juga antar bangsa, tentu ini menarik ya, kekerasan yang dalam tanda kutip dilakukan oleh Allah sendiri gitu. Dan tiga bentuk kekerasan ini sebenarnya bukan hanya sekedar apa aksi brutal ya, aksi kekerasan yang dilakukan, tetapi lebih mau menunjukkan juga bahwa ada dinamika yang terjadi di sana antar manusia, antar bangsa dan juga Allah dalam sejarah dan teologi bangsa Israel ya. Sehingga pada hari ini, kita mau mencoba melihat kira-kira dalam kaitan dengan kehidupan beriman kita ya, bagaimana seharusnya kita memahami gitu loh narasi-narasi kekerasan yang ada di dalam Alkitab khususnya di dalam Perjanjian Lama ini atau juga kemudian misalnya kenapa kekerasan itu begitu dominan dalam narasi Perjanjian Lama? Lalu mungkin pertanyaan yang lebih konkret yang mau kita angkat hari ini, bagaimana umat masa kini bisa memahami gambaran Allah yang kita tahu maha pengasih dan sebagainya itu tampaknya tetapi tampaknya begitu keras gitu atau penuh murka dalam perjanjian lama ini, sekali lagi mencoba untuk mendalami tema ini, mendalami  tema yang saya pikir sangat relate dengan kehidupan kita hari-hari ini. Di mana juga banyak terjadi bentuk kekerasan dan sebagainya yang kadang-kadang kita sendiri bingung mau menempatkan diri di posisi yang mana gitu atau bagaimana harus menyikapi situasi tersebut. Trilogi kekerasan dalam PL . Nah, sebetulnya berbicara mengenai kekerasan ini sesuatu tema yang sudah sangat apa ya, sudah sangat mendunia. Itu bukan hanya sekarang dalam keadaan kita ke dunia yang tidak baik-baik saja, tapi sejak dahulu pun itu menjadi sebuah topik. Nah, kalau saya boleh mengatakan pada awal ini nanti akan saya coba untuk dijelaskan dalam keseluruhan pembicaraan sore hari ini, pembicaraan mengenai kekerasan itu sebetulnya dalam arti tertentu sebuah pembicaraan yang agak sedikit boleh dikatakan kurang seimbang. Nah, ini nanti mau saya ulang beberapa kali  bahwa kita diajak untuk memahami Alkitab itu secara seimbang. Ya, mengapa demikian dan apa yang saya maksudkan nanti mudah-mudahan bisa kita dalami lebih lanjut. Maka supaya pembicaraan bisa terarah, trilogi kekerasan ini kan sebuah judul yang menarik gitu ya. Mengapa ada trilogi kekerasan itu seperti apa macam trilogi novel atau apa kok ada trilogi kekerasan segala macam. Nah, ini adalah salah satu usaha untuk apa? Mendekatkan orang, menarik orang kekerasan, kekerasan, kekerasan seperti itu. Secara spontan kalau kita berbicara mengenai kekerasan dalam konteks Alkitab terutama atau gereja atau itu kita sebetulnya sudah merasakan ada semacam ketegangan tertentu. Mengapa demikian? Karena kalau kita berbicara mengenai Alkitab atau kitab suci atau gereja, kita berada dalam satu semantik domain atau apa ya, dalam apa pemaknaan yang lebih khas ya berkaitan dengan kasih, berkaitan dengan pengorbanan, berkaitan dengan macam-macam hal positif seperti itu yang bertentangan dengan kekerasan, lah ….. kok ada nih crita kekerasan di PL? dalam 3 versi lagi, kekerasan antar manusia, kekerasan antar bangsa, dan paling shock kekerasan oleh Allah. Sementara kekerasan itu sendiri mempunyai karakteristik sendiri. Maka kalau kekerasan, pembunuhan, darah dan macam-macam itu dicoba dikaitkan dengan satu bagian atau satu entitas lain, misalkan gereja atau Alkitab yang konotasinya itu sudah suci, indah, ah ini menimbulkan semacam ketegangan tertentu, ya. Nah, inilah yang kemudian memunculkan persoalan sehubungan dengan bagaimana memahami kekerasan ya. Nah, baiklah, terus terang saja pembicaraan mengenai kekerasan dan Alkitab ini seperti sudah katakan bukan sesuatu yang baru. Ini sudah banyak sekali bicarakan. Saya sendiri sudah diminta beberapa kali berbicara mengenai kekerasan seperti ini seiring saya mendalami sejarah, sastra, dan arkeologi Alkitab / biblika dan harus saya akui bagaimana perkembangan saya berpikir itu ya secara umum ya tidak terlalu banyak. Karena apa? Karena persoalan mengenai kekerasaan itu nanti didekati ya hanya kurang lebih seperti itu saja. Baiklah kita lihat sedikit ya apa yang mana tadi. Nah ini kekerasan itu membuat orang galau ya, apalagi orang kristen yang selama ini taunya pengajaran iman dari Alkitab adalah kasih anti kekerasan, Lah …. Kok ini ada narasi kekerasan di Alkitab. Nah ini kemudian kalau orang membaca kitab suci kemudian kaget ya. Kenapa demikian? Di kok di dalam kitab suci menimbul ada banyak teks-teks yang menimbulkan pertanyaan. Nah, ini sebetulnya bisa saya beri catatan ketika orang membaca teks kitab suci sendiri lalu menemukan banyak teks-teks yang menimbulkan pertanyaan ya, itu wajar malah baik. Ketika pada suatu zaman, misalkan saya ambil perspektifnya orang-orang Katolik (hanya contoh) ya, ketika pada suatu masa orang khatolik itu tidak banyak membaca teks kitab suci sendiri, tidak boleh menafsir alkitab kalau bukan itu Romo atau pastur, umat hanya mendengarkan. Lalu pertanyaanpersoalan-persoalan tekstual yang berkaitan dengan yang menimbulkan pertanyaan tidak begitu saja muncul, tidak banyak muncul ya, manut saja atau tidak berani bertanya, bahkan tidak berwewenang bertanya. Hanya ketika orang mulai membaca sendiri, seperti layaknya umat protestan, ah inilah muncul pertanyaan-pertanyaan yang salah satunya berkaitan dengan apa ini kekerasan seperti ini. Nah, dalam judul trilogi kekerasan. Coba, misal umat prostestan yang membaca alkitab dengan ideologi yang sudah kental bahwa dasar ajaran iman itu KASIH, bertemu dengan ideologi alkitab/ayat alkitab di bagian tertentu yang ideologinya mengandung kekerasan, mengesahkan tindakan kekerasan, Nah ….. lho, bagaimana. Nah, mungkin ada satu hal yang tadi mesti saya sedikit koreksi tapi tidak terlalu banyak ya. Mengapa yang disebut dengan trilogi kekerasan itu apa? Trilogi kekerasan itu adalah trilogi atau tiga model kekerasan yang ada di dalam ditemukan di dalam Alkitab, utamanya PL. Harus diakui ada banyak sekali teks-teks yang berbicara mengenai kekerasan atau yang bisa kita pandang sebagai teks berbicara mengenai kekerasan paling tidak pada PL, itu yang berbicara mengenai ini ada tiga kategori kemungkinan orang berbicara mengenai kekerasan dalam Alkitab itu. Misalkan kekerasan manusia terhadap manusia. Nah, ini sebagai kita bisa melihat salah satu contohnya adalah peristiwa kain dan habil. Ini kekerasan manusia dengan manusia. Ya, ini satu hal. Kemudian kita juga akan menemukan kekerasan dari doa yang dimohonkan kepada Allah atau di doa yang disampaikan kepada Allah memohonkan supaya ada kekerasan terjadi pada orang yang saya doakan. Misalkan musuh atau  bangsa lain, mungkin gampangnya adalah doa yang membuat mengutuk orang supaya memohon Allah untuk menghukum orang. Biarlah orang ini begini begini begini dan seterusnya, Itu yang kedua, kekerasan antar bangsa, Jenis kedua kekerasan dalam Alkitab ya. Dan yang ketiga adalah kekerasan yang dengan cara bagaimana dikaitkan dengan Allah sebagai subjeknya. Nah, kekerasan dengan Allah sebagai subjeknya ini bisa berarti secara langsung. Allah secara langsung buat menimbulkan kekerasan. Misalkan seperti contohnya ya kalau kita baca misalkan Sodom Gomorah misalkan atau misalkan juga kisah air bah misalkan seperti itu ya atau kekerasan yang diperintahkan oleh Allah. 1 Samuel 15 itu disampaikan perintah untuk menghabisi orang-orang Amalek. Kemudian kitab Yosua juga berbicara semacam itu ya. Nah, ini kalau kita bicara mengenai judul trilogi kekerasan di dalam Alkitab, kira-kira ada pembagian yang seperti itu dan ini cukup banyak ya. Mungkin ada sekitar 600 teks-teks yang berbicara mengenai kekerasan manusia dengan manusia. Ada yang kekerasan yang melibatkan Allah sebagai job subyek. Itu mungkin ada sekitar 1000 ayat yang berkaitan dalam itu ya. Dan kemudian banyak hal yang lain-lain seperti itu ya. Nah, ini persoalannya ya. Kalau kita bicara kekerasan dalam Alkitab, lalu kita bisa membuat kategorisasi tiga hal ini paling tidak ya dengan pemahaman yang seperti ini. Lalu kita paling tidak bisa memilah-milah ya. Nah, di antara hal yang yang tiga ini yang paling yang paling problematik, yang paling menimbulkan masalah yang mana kira-kira? Ya, tentu saja yang ketiga ya, kekerasan dengan Allah sebagai subjek. Entah Allah itu yang memerintahkan manusia untuk melakukan kekerasan atau Allah sendiri yang bertindak kekerasan seperti itu. Nah, dari sini sebetulnya kita sudah bisa bertanya, kenapa kita kok merasa terganggu dengan gambaran seperti itu? Allah kalau kita membaca Allah kok memerintahkan orang untuk membunuh seperti itu. Kenapa ini menjadi persoalan bagi kita? Nah, sebetulnya di sini ada sebuah cara pandang tertentu yang membuat kita merasa galau, merasa kaget. Ya, demikian. Nah, yang kedua kemudian kekerasan doa yang dimohonkan kepada Allah ya, terutama dalam mazmur-mazmur nanti saya akan kutip satu dua mazmur yang menunjukkan bagaimana hal ini muncul ya. Sementara kekerasan manusia dengan manusia itu sebetulnya dalam arti tertentu ya di mana-mana kita bisa terima. Tidak hanya di dalam Alkitab kita bisa terima. Sekarang saja kalau kita melihat ke dalam mas media, surat kabar, kanal YouTube, dan macam-macam, kekerasan manusia terhadap manusia itu senantiasa muncul. Ya, ini ya. Jadi kalau kita bicara mengenai kekerasan, trilogi kekerasan, saya membuat kategorisasi adalah tiga seperti ini yang  mungkin nanti bisa kita telusuri lebih lanjut ya. Nah, ini saya ambil contohnya. Ini adalah kekerasan yang dikaitkan dengan Allah. 1 Samuel 15:18-23 : “Beginilah firman Tuhan semesta alam. Aku akan membalas apa yang dilakukan Amalek kepada orang Israel karena mereka mengadang orang Israel keluar dari Mesir. Sekarang pergi dan kalahkanlah orang Amalek. Tumpaslah segala yang ada padanya dan janganlah mengasihi mereka. Bunuhlah semuanya laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun bayi, lembu atau domba, unta, maupun keledai”. Nah, ini adalah perintah yang ayat yang boleh dikatakan tidak membuat kita nyaman. Kenapa Allah memerintahkan hal yang seperti itu? Ya. Nah, sekali lagi pertanyaan yang boleh kita mulai  renungkan adalah ini. Mengapa kita kok tidak nyaman kalau Allah itu memberikan perintah seperti ini? Ada apa di balik pemahaman kita, penghayatan kita seperti itu? Ya, satu contoh ini ya. Kemudian kita bisa melihat satu contoh lagi dari Mazmur ya. Mazmur 137 ini di tepi sungkai Babel. Sebuah dijadikan lagu yang terkenal ya by the revers of Babylon itu Bonnie M yang mengarang dan ini seringkiali dinyanyikan. Tetapi perhatikan, ada ayat dalam Mazmur itu. Mazmur 137. Tetapi yang senantiasa di populerkan juga dalam nyanyian itu hanya sampai pada ayat 6 ya 7, 8, 9 itu praktis tidak pernah dibaca ya. Nah, apa yang ada di dalam bab ayat 8 dan 9 seperti yang ada di sini. Hai putri Babel yang suka melakukan kekerasan, berbahagialah orang yang membalas kepadamu perbuatan-perbuatan yang kau lakukan kepada kami. Berbahagialah orang yang menangkap dan menghempaskan anak-anakMu pada Bukit Batu. Silakan bayangkan ayat 9 ini. Berbahagialah orang yang menangkap dan menghempaskan anak-anakmu, bayi-bayimu pada Bukit Batu. Ini kekerasan yang tidak bisa dibayangkan bagaimana ini masuk ke dalam kitab suci seperti itu bagian dari Mazmur ya. Ini salah satu ya. Kemudian kita bisa melihat salah satu lain teks lain ini kitab dari Hakim-hakim bab 16 ayat 30. Ini cerita tentang Simpson. Silakan saudara-saudara bisa menyaksikan teksnya berbunyi seperti ini. “Berbahagialah Simpson, biarlah aku mati bersama orang Filistin ini. Lalu ia membungkuk dengan sekuat tenaga sehingga robohlah rumah itu, menimba raja-raja kota itu dan rakyat yang ada di dalamnya. Yang mati dibunuhnya pada waktu ia mati lebih banyak daripada yang dibunuhnya pada waktu ia hidup”, Ini juga gambaran kekerasan. Dan kita sebetulnya sudah mulai sedikit merasakan kok di dalam teks Alkitab seperti ini ada orang yang seperti ini ya, orang yang rela membunuh dirinya sendiri tapi juga dengan membawa banyak orang mati bersama-sama dia. Lihat gambaran seperti ini juga mungkin sedikit banyak kita sudah bisa merasakan rupa-rupanya model-model, model seperti Simpson ini juga terjadi ya di dalam kasus banyak kasus beberapa kasus yang bom bunuh diri dan seterusnya, Ini mirip dengan apa yang dibuat Simpson ya. Tetapi mari kita perhatikan seperti ini ya. Ada rupanya di dalam Alkitab kita yang menginspirasikan atau yang menunjukkan menggambarkan bagaimana kekerasan itu dilaksanakan dengan membunuh diri sendiri dan seraya membawa banyak orang untuk mati bersama-sama. Nah, ini beberapa contoh ya, beberapa contoh mengenai teks yang berbicara mengenai kekerasan yang tadi menurut pembahasan kosakata yang kita pakai pada adalah trilogi kekerasan, kekerasan antar manusia, kekerasan yang melibatkan Tuhan sebagai subjek atau doa yang menginginkan kekerasan menimpa orang-orang lain, atau kekerasan antara bangsa. Ya, contoh-contohnya seperti ini. Nah, sekarang mari kita lihat beberapa reaksi yang seringkali muncul ya. Saya menggunakan istilah itu, teks-teks yang kekerasan itu saya ambil mudahnya saja sebagai teks-teks teror ya. Ketika kita mulai membaca kitab suci sendiri, kita bertemu dengan teks-teks teror seperti ini. Ya, sekali lagi ketika kita mulai membaca kitab suci sendiri, ya. Karena saya sebagai teolog yang mendalami History and Arkeologi Biblika atau Sejarah Sastra dan Arkeologi Alkitab seperti ini, sebagai teolog biblika saya tidak akan selalu tidak akan terlalu bahagia untuk memberikan khotbah berkaitan dengan hal-hal seperti ini ya. Ini menjadi tidak terlalu mudah, ya. Nah, apa reaksi yang muncul di kalangan kita secara spontan kalau kita membaca sebuah teks bernuansa teror atau kekerasan seperti itu? Paling tidak ada tiga ya. Bisa membingungkan kitab suci kok seperti itu ya. Ah ini kita orang tidak percaya dengan kitab suci ya. Masa kitab suci seperti itu? Mirip dengan yang pertama tadi ya. salah bingung lalu tidak percaya lalu mungkin logout ke tempat lain untuk mencari hal-hal yang seperti itu. Ya, tidak percaya pada kitab suci. Masa kitab suci seperti itu? Penuh dengan darah, penuh dengan kekerasan. Tidak, tidak mungkin. Mestinya kitab suci itu penuh dengan kasih dan seterusnya. Lihat, digunakan kata mestinya. Nah, itu berarti ada sebuah pemahaman tertentu, ya. Nah, kalau kita melihat reaksi-reaksi seperti ini, itu ada semacam ketegangan tertentu, ya. ketegangan tertentu berhadapan dengan teks-teks teror. Kalau itu dikaitkan dengan tadi yang saya katakan pada kitab suci, kenapa ya kitab suci demikian? Kalau kita bertanya, "Kenapa kitab suci demikian?" Itu kan sebetulnya punya sebuah pemahaman. Kitab suci mestinya tidak demikian ya. Lalu orang mulai bertanya seperti itu, ya. Nah, ini kita mulai pelan-pelan ya, spontan ke kita merasa tidak nyaman ya. Karena apa? Karena kita sebetulnya sudah mempunyai gagasan tentang Allah ya. Kita sebagai orang Kristen atau ya orang beriman katakanlah begitu itu sejak awal entah dengan berbagai macam cara pendidikan kita secara spontan kita dibawa pada suatu pemahaman siapa Allah itu sebetulnya ya. Dan yang paling banyak dalam dalam situasi kita itu adalah bahwa Allah itu adalah Allah yang baik. Allah adalah Bapa yang baik. Allah adalah kasih. Ini adalah gambaran Allah yang seringkali sudah disampaikan kepada kita sejak usia dini. Dan juga tidak hanya usia dini, sekarang pun akan masih disampaikan seperti itu, ya. Nah, gagasan Allah yang seperti ini termasuk juga nanti gagasan kitab suci yang seperti itu ya mau tidak mau membuat sebentuk-membentuk sebuah pemikiran tertentu. Nah, maka ketika kita bertemu dengan teks-teks yang tidak menunjukkan hal seperti itu, lalu kita membuat bingung, menjadi bingung. Kok seperti ini, kok seperti ini, kok seperti ini, ya. Lalu ya ini sama ya teks-teks teror seperti itu itu bisa mengaburkan gambaran tentang Allah. Allah tuh sebetulnya Allah yang macam apa? Allah yang menghukum, Allah yang pemarah atau Allah yang penuh belas kasih. Lalu apakah kaitannya dengan identitas moral umat Allah? Umat Allah itu mesti seperti apa? Mengikuti yang mana? Allah yang adalah Allah yang penuh kasih atau Allah yang menghukum ini ya. Kemudian akibat yang lain juga akhirnya ini berkaitan dengan wibawa kitab suci. Kalau kitab suci itu ternyata isinya seperti itu bisa membawa kepada apa? Kepada tindak kekerasan yang merugikan sesama dan orang lain itu seperti itu. Lalu mengapa kitab kita, mengapa kitab suci harus seperti itu? Apa itu suci seperti itu gitu ya? Maka pertanyaan kita adalah bagaimana kita mesti menghadapi teks-teks seperti itu? Itu saya kira yang akan menjadi pokok persoalan pada pembicaraan  ini ya. Nah, nah ini gambar dari tadi yang kebingungan umat Allah ya. Kebingungan kita mungkin di satu pihak kita mempunyai teks-teks teror yang berkaitan dengan kekerasan. Kalau disebut tadi trilogi kekerasan, kekerasan Allah yang melibatkan Allah, kekerasan doa yang dimohonkan kepada orang-orang tertentu  atau kekerasan antar bangsa atau kekerasan manusia kepada manusia itu di satu pihak. Tetapi di lain pihak kita mempunyai juga paham tertentu ya. Allah adalah kasih seperti digambarkan oleh 1 Yohanes ya. Kemudian kita mempunyai Mazmur 109 ayat 105. Bicaranya apa 109 105 itu ya? itu adalah bahwa firman Allah itu terang dan pelita bagi jalanku. Itu menunjukkan apa? Menunjukkan bahwa Alkitab mestinya sungguh bisa menjadi sebuah terang dan pembimbing bagi jalan kita dalam menghayati hidup ini ya. Kemudian 2 Timotius bab 3 ayat 6 sampai 17 yang sudah kita sering tahu bab 3 ayat 16 yang sudah sangat terkenal ya. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Loh, bagaimana Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa persoalan yang sedang kita bicarakan, yaitu persoalan kekerasan seperti ini, ini baru menunjuk satu pihak atau satu sisi dari Alkitab. Karena ada sisi lain yang dari Alkitab yang boleh dikatakan  memberontak dari dalam diri kita. Ketika kita berbicara dan dibingungkan oleh teks-teks kekerasan, kita di dalam batin sudah merasakan ada yang tidak beres dengan ini. Karena apa? Loh, teksnya bukankah Alkitab mengatakan Allah adalah kasih? Bukankah Alkitab mengatakan ini adalah difirmankan Tuhan untuk mengajar? Bukankah Alkitab itu mengatakan bahwa terang firman itu terang bagi jalan dan perita bagi langkahku? Nah, ini sisi lain. Nah, gambaran seperti ini sebetulnya perlu kita sadari bahwa ketika kita berbicara mengenai kekerasan dalam Alkitab itu sebetulnya kita hanya berbicara satu sisi dari Alkitab yaitu sisi yang bernuansa kekerasan. ya. Nah, ini nanti akan kita saya mau mengajak untuk menyeimbangkan kalau kita terlalu berbicara mengenai teks teror seperti ini ya dengan segala macam berkutat untuk memahaminya dan macam-macam. Jangan lupa bahwa ada teks-teks lain di dalam Alkitab yang juga memberikan sebuah peneguhan dan gambaran tentang Allah. Dan ini saya kira sesuatu yang berbeda ya. Nah, ini nanti kita akan lebih dalami lebih lanjut ya. Nah, ini menimbulkan ketidaknyaman-nyamanan psikologis ya pembacaan seperti itu. Nah, maka saya mengatakan ini yang mau saya katakan membaca Alkitab harus secara seimbang. Ada keseimbangan. Jangan berfokus hanya pada satu dan dua ayat. Ya, nanti kita akan melihat juga bahwa sebetulnya kalau kita bicara mengenai moralitas Alkitab, moralitas Alkitab itu tidak diambil dari hanya satu dua ayat saja, tapi dari seluruh Alkitab. Ya, ini ya. Nah, persoalan seperti ini bukan persoalan yang baru. Persoalan ini sudah sejak awal Alkitab dibaca itu sudah memunculkan ketegangan ya. Santo Agustinus abad keempat itu sudah memberikan semacam rambu-rambu ya kalau kita membaca sebuah teks yang harus kita perhatikan dan saya kira ini suatu pedoman patokan yang masih bisa kita perhatikan. Agustinus mengatakan kurang lebih seperti ini. Saya tidak mengutip teks dalam dalam kata-katanya harafiah, tapi isinya kurang lebih seperti ini. Kalau suatu teks dibaca dalam arti harafiahnya menghasilkan gambaran Allah yang tidak biasa, yang aneh, maka teks itu perlu dibaca secara metaforis, secara kiasan seperti itu, ya, Alkitab adalah karya sastra yang penuh metafora, belum lagi dikaitkan dengan ide penulisannya, siapa penulisnya, bagaimana latar belakang penulisannya, apa zamannya, dlsb. Jadi misalkan kalau kita membaca sebuah teks lalu dari situ muncul sebuah gambaran. Misalkan saya ambil contoh ya. Saya ambil contoh saja. Kalau barang siapa seorang yang mau mengikuti aku itu harus membenci orang tuanya seperti itu ya. Nah ini mengikuti Kristus harus membenci orang tua. Ini kan menimbulkan gambaran yang tidak yang tidak tidak bisa, tidak lazim. Bagaimana kok Allah atau Tuhan Yesus itu mensyaratkan supaya orang mengikuti dia itu mesti membenci orang tuanya? Nah, teks seperti ini kan membuat kita harus berhenti dan bertanya apa maksudnya? Karena teks dalam arti harafiahnya menghasilkan gambaran yang tidak biasa. Nah, oleh karena itu kalau mengikuti apa itu mengikuti pedomannya Agustinus katakanlah teks seperti itu mesti dibaca secara metaforis, secara perumpamaan, karena tak bisa ditolak Alkitab adalah karya sastra, bukan dalam arti membenci dalam arti yang sesungguhnya, tetapi membenci mungkin dalam arti ya lebih mau mengasihi Kristus dan seterusnya seperti itu. Saudara-saudara jangan lupa ya dalam kehidupan kita itu kita itu selalu berbicara dengan dua model berbicara ya. Kita itu secara spontan kadang-kadang berpindah berbicara secara harafiah atau berbicara secara kiasan. ini seringkali dalam kehidupan kita itu terjadi secara natural ya. Misalkan saja saya mengatakan kalau saya mengatakan waduh saya ini sedang sakit hati ya. Nah kata sakit hati ini mau diartikan seperti apa? Kalau sakit hati itu diartikan secara harafiah maka usulannya adalah Mungkin baiknya pak Titus itu pergi ke rumah sakit untuk periksa jangan-jangan kena hepatitis. Nah, itu kalau sakit hati dipahami secara secara harafiah. Tapi kalau dipahami sakit hatinya itu secara metaforis, atau perumpamaan atau peribahasa, nah lalu ini punya usulan yang lain. Nah, dalam membaca teks saya kira kita perlu senantiasa sadar dengan hal-hal seperti ini ya, untuk tidak terjebak dalam  ini, apa Agustinus mengatakan hal yang seperti ini. Kalau sebuah teks itu dalam arti harafiah menghasilkan gambaran Allah yang tidak biasa, maka mungkin teks itu perlu dibaca secara metaforis atau secara perumpamaan, secara kiasan ya. Nah, secara historis, ini gambaran satu ya, gambaran Allah itu seperti ini, perlu pula dipikirkan gambaran Allah yang lain. Kalau tadi kita berbicara mengenai teks-teks teror dan tentang gambaran Allah, mari kita lihat ini Keluaran 34 ayat 6. Keluaran 34 ayat 6 itu kalau kita membaca teks seperti ini, Allah macam apa ini sebetulnya digambarkan di sini? Tuhan-tuhan Allah penyayang dan pengasih panjang sabar berlimpah kasih setia kasih-Nya dan setianya yang meneguhkan kasih setianya kepada beribu-ribu orang yang mengampuni kesalahan, pelanggaran, dan dosa. Tetapi tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman yang membalaskan kesalahan Bapa kepada anak-anaknya dan cucunya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat. Allah macam apa yang digambarkan di sini? Ya, ini jelas dikatakan Allah adalah Tuhan Allah penyayang dan pengasih. Panjang sabar berlimpah kasih setianya yang meneguhkan kasih setia yang mengampuni kesalahan pelanggaran dosa, tetapi juga tidak membebaskan orang bersalah dari hukuman. Nah, kalau kita melihat teks seperti ini, Keluaran 34 ayat ayat 6, Tuhan Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setianya itu adalah atribut Allah yang yang muncul dalam berbagai macam teks. Kalau  menengok kembali teks-teks yang saya kutip di sini. Nehemia bab 9 ayat 17, Mazmur 86 ayat 15, Mazmur 103 ayat 8, 145 ayat 8, Yoel 2 ayat 13, Yunus 4 ayat 2, Nahum ayat 1 sampai 3. Seperti ini, sama, Ini menggambarkan bagaimana Allah ditampilkan dengan atribut seperti itu. Allah yang pengasih dan penyayang, panjang sabar, dan berlimpah kasih setinya. Ini adalah warna di dalam Perjanjian Lama sebetulnya ya, selain warna kekerasan. Nah, kalau kita melihat gambaran Allah seperti ini, lalu akan terasa bahwa gambaran atau tuduhan-tuduhan katakanlah kalau boleh saya katakan pada Allah yang keras, Allah yang menghukum, Allah yang menghancurkan, memerintahkan penghancuran. Rupanya perlu kita pahami secara lebih seimbang. Karena gambaran itu bukan satu-satunya gambaran tentang Allah. Ada gambaran tentang Allah yang jauh lebih positif, lebih  indah ya. Nah, ini ya. Baiklah kita beberapa teks kita lanjutkan ya. Nah, ini saya menggambarkan ini karena kata kunci saya sebetulnya adalah keseimbangan ya, jangan tinggalkan konteks teks, latar belakang zamannya, latar belakang penulisnya, dlsb, jangan menafsir hanya yang tersurat perhatikan tafsiran yang tersirat. Banyak metode yang dimiliki tafsir alkitab, tidak hanya tafsir teks yang tertulis atau tersurat, kalau non teolog bolehlah hanya menafsir apa yang tertulis atau tersurat tetapi harus belajar dan dibimbing oleh teolog yang belajar apa yang tersirat agar tidak kehilangan arah. Supaya kita memahami teks secara seimbang ya, selalu walaupun kalau kita berbicara mau mengatakan keseimbangan sebetulnya kalau kita merasa ada ketidakberesan itu sebetulnya kita sudah tahu bahwa di situ ada sesuatu ya seperti tadi saya contohkan kalau kita merasa tidak nyaman membaca teks bahwa Allah itu kok memerintahkan Samuel untuk membunuh Amalehk, Yosua membunuh orang-orang Yeriko dan tidak nyaman dengan itu dan mempertanyakan bagaimana Allah yang adalah kasih kok berbuat seperti itu? Ah, kita tahu sebetulnya bahwa gambaran Allah itu juga adalah Allah kasih, hanya penulisan alkitab juga dipengaruhi oleh sastra, sejarah, budaya tradisi, latar belakang, dlsb dari penulis maupun zaman penulisan selain tentunya maksud dan tujuan penulisan. Hanya karena kita terlalu menekankan kekerasan dan kurang menekankan kasihnya, maka yang muncul adalah seperti itu, ya. Nah, oleh karena itu dalam membicarakan kekerasan, saya kira saya harus atau kita mesti berada dalam sebuah keseimbangan secara jujur, secara fair, menilik seluruh Alkitab, menafsir secara bertanggung jawab serta berargumentasi kuat dan coba melihat bagaimana halnya seperti itu bisa kita pahami ya. Nah, oke … Saya mau lanjutkan beberapa fakta. Silakan nanti ya sebelum nanti kita bicaraan ada beberapa fakta yang mungkin harus kita perhatikan ya. Satu. teks-teks kekerasan itu sudah ada dari dulu sampai sekarang. Gereja tidak menambah ataupun mengurangi ya. Teks itu sudah dari dulu ada di dalam di mana pun tempat itu di dalam Alkitab kita dan sudah diterima sebagai firman Allah. Ya, Jadi orang-orang Kristen terdahulu yang mewarisi Alkitab dari Alkitab Ibrani Perjanjian Lama dari tradisi Yahudi kemudian digunakan sebagai Alkitab komunitas Kristiani seperti itu ya itu tahu bahwa ini adalah firman Allah dan di dalamnya itu ada teks-teks yang berkaitan dengan kekerasan ya. Ada itu mereka sudah sadar seperti itu ya. Nah, yang penting adalah kalau kita melihat sebetulnya tidak ada atau tidak terlalu ada kehebohan mengenai hal itu. Tidak seperti kita ya. Kita tidak seperti kita yang baru membaca kitab suci lalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu sampai mendegradasi wibawa Alkitab yang mengatakan Alkitab palsu, dlsb. Karena seperti itu, itu bukan pertanyaan baru, itu pertanyaan lama itu seperti itu ya, sangat dimungkinkan dulu pun sudah ada pertanyaan serupa. Tetapi orang itu dari dulu tidak ada yang menjadi heboh, tidak ada yang meninggalkan - meninggalkan Alkitab. Lalu begitu gak ada tidak heboh, Ya ……. Atau mungkin lebih heboh dari sekarang tapi tidak tercatat dalam sejarah …… wk ….. wk …… tapi kalau kita membaca banyak tulisan atau tafsir dari zaman Bapa gereja, Sanath Rasuli, reformator, dlsb … memang penafsirannya dengan argumentasinya tidak jauh dengan penafsir modern sekarang ini, jadi tak ada kehebohan ….. heboh itu karena gak ngerti.  Ya …..  Ini fakta yang saya kira perlu kita sampaikan supaya pembicaraan kita mengenai kekerasannya menjadi lebih seimbang. Nah, saya perlu menyebut satu hal ya …..  orang yang namanya Markion pada abad ke pertama atau abad ke-2, kedua. Markion ini menjadi penting karena apa? Karena ya, harus dikatakan ya, sebelum kita melanjutkan, Markion ini bukan pertama-tama berpikir tentang tersandung karena kekerasan Alkitab. Ya, Markion ini adalah orang yang boleh dikatakan memandang kekerasan perjanjian lama itu yang penuh dengan teks-teks seperti itu. Termasuk di dalamnya kekerasan itu sungguh berbeda dari Perjanjian Baru. Dan dari situ dia sebetulnya mempunyai sebuah gagasan. Kalau demikian, maka nampaknya harus ada dua Allah ini. Yang satu adalah Allah Perjanjian Lama, Allah pencipta yang kekerasan seperti itu, penghukum dan macam-macam. Dan yang kedua adalah Allah Perjanjian Baru yaitu Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang penuh kerahiman dan macam-macam. Nah, oleh karena itu ini memang ekstrem saya kira yang dikatakan oleh Markion. Markion akhirnya membuang semua teks perjanjian lama karena ini berasal dari Allah Perjanjian Lama dan beberapa perjanjian baru ya. Sehingga Markion itu akhirnya mengusulkan sebuah Injil. Dia boleh dikatakan membuat sebuah kanonisasi ya dengan menyingkirkan semua teks-teks yang berbau kekerasan. Boleh dikatakan begitu dan menyisakan hanya 12 kitab yaitu Injil Lukas dan Kisah Para Rasul dan beberapa tulisan surat Paulus. Yang lain dia buang. Karena yang lain-lain itu dianggapnya berasal dari bagian Perjanjian Lama ya, yang di dalamnya ada kekerasan seperti itu. Nah, ini ini menarik ya orang yang seperti Markion ini karena membuat atau memaksa gereja kemudian juga mengkanonisasi Alkitabnya. Ini yang saya tulis tadi ya, Markion itu membuang semua teks perjanjian lama dan sebagian Perjanjian Baru menyisakan Injil Markion disebut sebagai Injil Mark yang isinya adalah Lukas dan Kisah  para rasul serta surat Paulus, jumlahnya semua 12 tulisan. Nah, apa yang dibuat oleh gereja? Gereja itu menolak Markion. Ya, apa artinya dengan menolak Markion? Gereja dengan menolak Markion itu berarti menerima teks-teks yang oleh Markion dibuang perjanjian lama yang katanya penuh kekerasan sebagai bagian dari kitab sucinya. Dan itu berarti apa? Gereja sejak awal sudah memutuskan bahwa Alkitabnya Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu bisa menimbulkan ketegangan karena mengandung teks-teks yang mungkin mengandung kekerasan. Gereja sudah awal sudah seperti itu ya. Kalau seandainya gereja mau menghindari masalah-masalah seperti itu, gereja bisa saja sebetulnya mengikuti Markion. Baik, seluruh perjanjian lama yang mengandung kekerasan saya tidak akan pilih. Selesai. Tetapi ternyata tidak. Gereja memandang seperti ini dan memilih hidup. Saya katakan di sini memilih hidup dalam ketegangan. Pembicaraan trilogi kekerasan itu sebetulnya lahir dari sebuah ketegangan juga ya. Ketegangan antara apa? Bagaimana mungkin di dalam kitab suci dengan gagasan kita yang mestinya suci-suci ada di sana, cinta-cinta ada di sana, kok ini ada kekerasan, pedang dan macam-macam. Ini kan menimbulkan ketegangan dan ini yang dipilih oleh gereja. Sebetulnya kita hidup dalam ketegangan dan biasanya hidup dalam ketegangan itu sebetulnya sesuatu yang indah gitu. Karena di situ orang selalu dipacu untuk mencari apa ya? Mencari jalan keluar, tetap menjaga ketegangan tidak ke kiri dan ke kanan. tapi cukup seimbang. Sehingga, tafsir jawab atas pertanyaan kekerasan dalam Alkitab sudah ada sejak zaman purbakala, abad 1 sampai 2, itu kalau dianggap Yesus lahir awal abad 1, tafsir jawab atas kekerasan dalam Alkitab sudah ada sejak saat itu, argumentasinya kuat.  Nah, menjaga keseimbangan dalam ketegangan inilah yang saya kira perlu kita perhatikan ketika kita berbicara mengenai teks-teks yang berkaitan dengan kekerasan seperti itu. Nah, saya memberikan catatan satu lagi ya … Saya sebut Markionisme itu mencoba menghilangkan teks-teks kekerasan dengan membuang teksnya ya ekstrem membuang. Tetapi ada juga sebuah usaha yang tidak seekstrem Markion, tetapi sebetulnya sama kurang lebih ya. Itu yang saya sebut sebagai leksionarium. Leksionarium itu dalam apa? di dalam konteks liturgi Gereja Katolik adalah tata bacaan ekaristi. Itu adalah buku kitab yang berisi daftar bacaan yang digunakan dalam peran ekaristi dalam liturgi resmi gereja ya. Itu di dalam misa harian, peran ekaristi atau leksionari mingguan itu ada daftarnya ya, ada daftarnya disampaikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Nah, leksionarium itu ya tata bacaan atau bacaan sabda, peran bacaan leksionari itu sebetulnya boleh dikatakan daftar bacaan Alkitab yang resmi di dalam liturgi sebetulnya itu ya.  Karena ini saya mencoba menjelaskan bagaimana dalam liturgi lima, yang disepakati badan gereja dunia baik protestant dan khatolik itu memiliki peran keseimbangan bacaan yang membuat orang tidak hanya memandang alkitab hanya pada satu titik pandang, misal kekerasan, tapi lebih melihat kekayaan alkitab sebagai suatu keseimbangan. Di dalam peribadatan itu dibacakan Alkitab dan Alkitab yang dibacakan lewat daftar bacaan  kitab suci yang disebut dengan leksionarium. Nah …. Leksionarium itu tata bacaannya sudah disusun. Dan apa yang terjadi pada penyusunan teks seperti itu? Ya, ini yang menarik. Ketika gereja purba menyusun tata bacaan leksionari, maka terjadi juga seleksi. Entah karena itu, entah karena itu supaya tidak terlalu panjang, tetapi juga ada motif-motif teologis pastoral lain. Antara lain teks-teks yang bernuansa kekerasan itu tidak pernah dimasukkan di dalam leksionarium, Gak ada. Maka kalau kita mengikuti perayaan selama 3 tahun (tahun a, b, c) misalkan dan mencoba menyimak secara sangat tertib ya, apakah pernah mendengar 1 Samuel bab 15 dibaca sini? Nanti gak akan pernah. Apa Yosua pasal 7 dan 6 atau sekitar itu ketika Yosua memasuki Kanaan dan segala macam itu, itu tidak pernah dibacakan. Nah, ini sebetulnya adalah sejenis apa ya? sejenis markionisme menghilangkan teks-teks yang tidak nyaman itu. Dan itu bisa dikatakan sebuah istilahnya seorang yang bernama Philip Jenkins itu sebetulnya adalah tekstual cleansing ya. Teks-teks tertentu dihindarkan. Karena apa? Karena memang de facto kita itu sekarang tidak bisa menghilangkan teks Alkitab,  tidak bisa mentip EX ah teks ini enggak mau saya hapus,  Gak bisa,  teks itu ya ada tertulis di situ, ya …… itu Alkitab. Apa yang tertulis tertulis seperti itu ya hanya dalam konteks leksionarium dimungkinkan bisa. Nah, sekarang kita bisa membayang selama ini boleh dikatakan ya orang-orang kita ambil sekali lagi dari perspektif Gereja zaman dulu beberapa tahun yang lalu, beberapa puluh tahun yang lalu, orang hanya mendengarkan bacaan dari leksionarium dalam peran peribadatan, tidak pernah membaca sendiri maka dia aman-aman saja. Karena yang dia dengar adalah hal-hal yang indah-indah seperti itu boleh dikatakan ya, tidak pernah mendengar hal teks-teks kecil, satu ayat yang mengganggu nurani. Enggak. Karena teks itu memang boleh dikatakan disembunyikan tidak dibaca karena punya potensi membingungkan umat. Nah, ketika orang tidak membaca lalu gak apa-apa. Tetapi ketika orang mulai membaca sendiri lalu ini ketemu sendiri dengan teks-teks teror seperti ini lah.  Lalu menimbulkan ketegangan apa yang akan dibuat, bagaimana solusi yang dibuat seperti itu ya. solusi apa yang mau dibuat kalau ketika ketika berhadapan dengan teks-teks seperti ini. Nah, mestinya kalau berkaitan dengan Alkitab  bertanyanya kepada siapa? Ya, bertanyalah kepada para pastornya atau para pendetanya atau teolognya yang tahu betul-betul Alkitabnya. Ya, kalau kebingungan mengerti Alkitab, teks-teks Alkitab tanyanya bukan kepada ahli Alkitab atau yang tidak pernah belajar Alkitab, ya itulah sama dengan orang buta menuntun orang buta. Akhirnya sama-sama masuk ke dalam comberan seperti itu, ya. Jadi, ada banyak hal teks-teks yang membingungkan. Mari kita cari di dalam konteks yang benar, dalam koridor yang benar kepada siapa kita bisa berbicara mengenai hal itu, ya, itulah maka saya selalu mengatakan harus beda tafsir yang dilakukan oleh awam dengan tafsir yang dilakukan oleh orang yang belajar biblika. Baik. Nah, teks tidak bisa dihapus atau diubah ya. Ini masih fakta, teks tidak bisa dihapus, tidak bisa diubah, tidak bisa di tip EX, tidak bisa di delete segala macam gak bisa adanya ya itu, ya itu Alkitab. Tetapi kita berhadapan dengan lain. Teks kekerasan mungkin menimbulkan pertanyaan, tetapi sebagian besar umat tidak dibingungkan. Ya, tidak hanya sedikit satu dua orang yang bingung seperti itu, yang bertanya supaya orang bisa memahami ya, banyak orang yang bingung. Bingung dalam arti sampai ya, sampai betul-betul mempengaruhi kehidupannya. Yang lain tenang-tenang saja. Dari dulu sampai sekarang tenang-tenang saja, yang menarik, ambil contoh teks dari hakim-hakim mengenai Simpson seperti itu. Coba lihat di dalam sejarah kekristenan, berapa orang yang sungguh-sungguh menghayati apa yang dibuat Simpson mati untuk diri, untuk bunun diri untuk orang lain. Ada berapa pernah mendengarkah? Itu Alkitab loh ya. Ya …. Apakah ada orang kristen yang harus membunuh seperti diperintahkan Yosua membasmi Kanaan? Apa atau seperti orang-orang Amalek yang harus dibasmi oleh Samuel? Firman Tuhan ini apakah ada dipraktekan? Nah, ini adalah fakta lain yang saya kira perlu kita sadari bahwa meskipun ada begitu banyak teks-teks kekerasan di dalam Alkitab, ternyata hanya sedikit orang Kristen yang melakukan kekerasan berdasarkan Alkitab. Artinya apa? Artinya untuk hal-hal seperti ini, kekerasan ini, ternyata orang-orang Kristen mempunyai sebuah pertimbangan lain. Dia tidak begitu saja mengikuti apa yang dikatakan oleh Alkitab. Ini fakta yang supaya kita bisa sampai pada sebuah keseimbangan memahami teks-teks Alkitab tadi itu ya sehingga tidak lalu terlalu sempit memahami demikian. Sehebat apapun kekerasan yang ada dalam Alkitab itu tidak banyak kok yang ditiru secara persis orang Kristen. Gak. Yang ditiru itu bukan hal-hal itu, tapi rupanya ya, tetapi hal-hal yang ditunjukkan, diteladankan oleh Tuhan Yesus mengenai kasih dan persembahan, derma dan seterusnya dan seterusnya, sudah saya singgung tadi ketegangan yang muncul itu sebetulnya menunjukkan bahwa kita sendiri sebetulnya mempunyai pandangan lain. Ya, tadi kalau ada ketegangan muncul ketika kita berhadapan dengan kitab bersifat teror atau kekerasan, itu menandakan bahwa kita sebetulnya mempunyai sebuah penghayatan lain tentang Allah. Nah, penghayatan lain tentang Allah inilah Allah adalah kasih, Allah adalah pengampun, Maha Rahim, dan seterusnya. Ini nampaknya tidak diperhatikan sehingga yang muncul adalah kegundahan, kegunaan ketika kita berhadapan dengan teks-teks seperti itu yang kekerasan ya. Nah, ini adalah bagi saya sebuah mari kita mencoba untuk seimbang ya. Pembicaraan mengenai teks kekerasan itu bukan sesuatu yang gak usah terlalu sampai kepada membuat harus logout. Enggak. Ini sesuatu yang dari dulu sudah ada di situ kok. Ya, hanya mungkin kita menjadi kurang seimbang dan mungkin ada sedikit curiosity, ada sedikit keingintahuan ya. Kalau teks seperti ini ini bagaimana atau kita bisa memahaminya? Usaha memahami ini adalah sebuah usaha untuk menenangkan kegulanaan-kegundahan yang mengalami ketegangan dalam teks seperti ini.  Jangan takut bertanya, IMAN YANG BERTUMBUH ADALAH IMAN YANG BERTANYA. Kita lanjutkan, Kita berhenti di sini tadi ya, sebuah fakta bahwa teks kita tidak bisa kita hapus itu ya. Jangan coba-cobalah hapus teks itu ya. Jangan di-delete, jangan ditip ex, jangan dihilangkan kalau saya tidak mau baca. Teks itu ada di situ. Termasuk juga teks-teks berkaitan dengan tindak kekerasan, ya. Walaupun ada begitu banyak teks-teks yang berkaitan dengan kekerasan yang menimbulkan pertanyaan untuk kita, tetapi mari kita sadarilah sebetulnya gak banyak orang Kristen yang dibingungkan dengan hal seperti itu. Gak banyak orang mungkin apalagi kalau kita membayangkan bahwa penggunaan Alkitab oleh orang Kristen sudah dari sejak awal ya sudah selama tahun masehi 2000 tahun lalu itu tapi gak pernah ada kebingungan mengenai itu, mungkin yang lebih mencolok adalah ini, Hanya sedikit orang Kristen yang melakukan kekerasan berdasarkan Alkitab. Ya, teksnya banyak di dalam Alkitab tentang kekerasan tapi tidak banyak yang diaplikasikan dalam hidup sehari-hari. Hah, ini kan sebetulnya menunjukkan kepada kita ya entah bagaimana alasannya. Rupa-rupanya teks-teks bernuansa kekerasan itu tidak selalu menghasilkan kekerasan ya bagi paling tidak bagi orang-orang Kristen kebanyakan, ya yang menghidupi atau yang dihidupi oleh Alkitab, bukan teks-teks kekerasan yang menghidupi dan dijadikan nyata dalam perilaku keseharian, tetapi justru teks-teks yang lain, teks-teks kasih. Teks-teks yang bernuansa kasih, bernuansa keindahan, apa solidaritas dan hal-hal seperti itu ya. Dan ini menunjukkan bahwa kita itu hidup dalam ketegangan seperti itu ya. Kalau kita merasa tidak nyaman dengan teks-teks kekerasan dalam Alkitab, kita sebetulnya tahu mengapa kita tidak tidak nyaman. Dan itu karena kita mempunyai sebuah penghayatan tentang Allah yang berbeda dengan yang kita lihat dari teks-teks teror seperti itu. Tetapi itu berarti menunjukkan bahwa kita sebetulnya punya pandangan tentang Allah. Ini yang membuat kita menjadi tegang.  Tekstual cleansing berarti ada teks yang memang sengaja tidak dibaca ya.  Lalu apa kira-kira fungsi teks tersebut dan mengapa teks-teks tersebut masih dipertahankan di dalam Alkitab atau kitab suci itu? Jadi begini ya, sejak awal saya mengatakan bahwa Alkitab kita itu harus kita akui mengandung teks-teks yang bernuansa kekerasan seperti itu. Ya, harus diakui itu dan itu adalah kita terima. Gereja menerima seperti itu ya. Dan kita tidak bisa mengubahnya. Kita tidak bisa mengubahnya, menghapus, menghilangkan dan enggak bisa …. Gak bisa. Itu adalah teks yang kita terima dan kita bertanggung jawab. Gereja bertanggung jawab untuk melestarikannya. Apalagi kalau kita mengatakan itu firman Tuhan loh, walaupun kata firman Tuhan itu juga metafora. Kitab Wahyu mengatakan siapa menambah dan mengurangi akan dihukum seperti itu ya toh. Nah, maka kita tidak bisa. Tetapi di lain pihak kita sadar bahwa ada teks-teks tertentu ya kalau seandainya dibaca secara sembarangan tanpa bimbingan dan hal-hal bimbingan para ahli seperti itu bisa menimbulkan salah paham ya. Menimbulkan gambaran Allah yang salah. Menimbulkan tadi adalah apakah  gambaran moralitas umat Allah yang salah dan seterusnya serta seterusnya. Oleh karena itu ya, oleh karena itu untuk kepentingan-kepentingan yang tadi saya katakan dalam konteks Gereja, untuk konteks ibadat, leksionarium, kita memilih teks-teks dengan menyortir atau menghilangkan teks-teks seperti itu. Karena apa? supaya tidak menimbulkan begitu saja sandungan pada umat dan bertanya dan bingung atau juga menyulitkan kepada para pastor supaya tidak berkhotbah mengenai teks-teks sulit seperti itu. Beda dengan kalau kita ada dalam dunia tafsir biblika, semuanya didiskusikan, semuanya dibicarakan, tidak ada yang terlewatka, tapi ini kan peribadatan dengan audiens yang berbeda-beda, dan ibadah ada unsur pastoralnya. Nah, tapi teks seperti itu bisa kita diskusikan dalam konteks yang lain ya. Jadi soalnya sebetulnya sangat soal sangat pastoral dan praktis. Kita di satu pihak tahu teks itu adalah teks yang tidak mudah tetapi tidak bisa dihilangkan. Tapi marilah kita jangan begitu saja membingungkan umat dengan seperti itu. Maka mari kita sudahlah kita sembunyikan sedikit saja. Ada lebih banyak hal-hal yang nilai-nilai yang jauh lebih indah dan penting, untuk dikerjakan daripada membahas teks seperti itu. Nanti pada waktunya ketika orang membaca sendiri dan bertanya, lalu mari kita diskusikan mengenai teks-teks seperti itu, seperti yang kita buat tulisan yang pada kali ini ya. Jadi soalnya adalah seperti itu. Kita mencoba untuk lebih pastoral memperhatikan situasi umat yang bisa sangat gitu galau. Paulus mengatakan ya kalau dengan orang-orang masih bayi ya kau beri roti jangan kau beri kacang itu giginya belum ada gitu ya macam begitu. Atau orang tua jangan kau beri kacang juga lebih baik roti saja karena giginya sudah tinggal dua, tekstual cleansing ya, menghilangkan teks-teks yang yang ya kita sembunyikan karena menimbulkan mungkin banyak persoalan dibandingkan yang positif seperti itu. Nah, sekarang kita lanjutkan ya.  Alkitab Kristiani itu adalah perjanjian lama dan perjanjian baru. Ya, perjanjian lama dan perjanjian baru ya, di mana salah satu usaha untuk menggabungkan hal seperti itu ya menggabungkan dua Alkitab itu adalah bahwa Tuhan Yesus itu atau ya Tuhan Yesus itu adalah pemenuhan dari apa yang menjadi kerinduan bangsa Israel yang terungkap dalam Perjanjian Lama. Maka relasi Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama ini sebetulnya boleh dikatakan merupakan sebuah relasi antara pemenuhan dan atau nubuat, pengharapan, dan pemenuhan, pengharapan nubuat perjanjian lama dipenuhi di dalam perjanjian baru ya. Nah, di dalam dinamika pewahyuan yang seperti itu ya, maka mau tidak kita harus menyebutnya bahwa Yesus adalah Tuhan Yesus adalah puncak sejarah pewahyuan Allah. Kalau sepanjang sejarah sebelum sejarah bangsa Israel, Allah menyatakan dengan berbagai macam cara. Kalau kita mengutip surat Ibrani bab 1 ayat 1 sampai 4 itu dikatakan kalau pada zaman dahulu Allah berbicara melewati para nabinya lalu sekarang pada zaman terakhir ini Allah berbicara lewat anaknya sendiri ya itu menggambarkan adalah sebuah dinamika pewahyuan ya maka Yesus menjadi puncak pewahyuan puncak sejarah pemenuhan pengharapan Perjanjian Lama Nah, kalau Tuhan Yesus itu menjadi puncak sejarah, maka sekaligus dia menjadi ukuran dan menjadi norma, bukan norma lama bangsa Israel. Ya, Paulus mengatakan dalam diri Yesus tinggallah sepenuhnya keutuhan Allah. Yesus adalah kepenuhan Allah. Dalam bahasa Injil Yohanes, siapa melihat aku melihat Bapa ini. Nah, dengan demikian maka segala sesuatu sejarah itu berpusat pada Yesus Kristus. Nah, dalam konteks ini sebetulnya seluruh ukuran atau norma-norma apapun itu mesti diukur dari perspektif Perjanjian Baru atau perspektif Yesus. Nah, kaitannya dengan teks-teks kekerasan, usaha-usaha memahami kekerasan dalam Perjanjian Lama itu nanti akhirnya harus di akhiri dengan muaranya teladan Kristus, harus menerima muaranya di dalam pernyataan atau di dalam kehidupan Yesus Kristus. Maka misalkan saja kalau saya mengatakan secara lebih sederhana ya, ini terungkap misalkan di dalam khotbah di bukit kalau Tuhan Yesus mengatakan misalkan dalam Injil Matius bab 5 ya,  kamu telah mendengar firman, "Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu." Ya, ini …. Perimbangannya, Kasihilah sesama manusia dan bencilah musuhmu. Ini adalah hukum pada zaman bangsa yang ada di dalam Perjanjian Lama, sesama manusia hanya sebatas sesama suku bangsa, mengasihi sesama bangsa Israel, tetapi menghukum atau membenci bahkan membunuh musuh. Tuhan Yesus apa? Tuhan Yesus mengatakan tidak demikian. Ya, tapi aku berkata kepadamu, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." Lihat di sini ada semacam progres, ada semacam dinamika perkembangan dalam hal relasi moral seperti itu antara Perjanjian Lama dan pemenuhannya dalam diri Yesus, ada pergeseran dari kekerasan antar manusia, kekerasan antar bangsa, Allah yang dianggap membolehkan kekerasan terjadi, berubah menjadi kasih antar manusia, siapapun itu, kasih antar bangsa, dan Allah yang wujudnya adalah kasih. Kalau perjanjian lama masih mengatakan, "Kasihilah sesamamu dan bencilah musuhmu." Yesus mengatakan tidak. Kasihilah musuhmu juga. Ini adalah ukuran kesempurnaannya. Nah, dari perspektif inilah sebetulnya orang-orang Kristen itu mesti membaca. Maka Saudara-saudara, sebetulnya tulisan mengenai kekerasan itu ada banyak sekali di PL. Kalau sempat menelusuri banyak tulisan-tulisan ya yang berbicara mengenai Perjanjian Lama eh mengenai kekerasan dalam kitab suci atau Alkitab hampir semuanya pada akhirnya akan bermuara pada Perjanjian Baru yaitu Yesus Kristus. Karena apa? Karena Alkitab Kristiani itu terdiri dari perjanjian lama dan perjanjian baru. Dan itu dianggap sebagai sebuah kelanjutan dengan gambaran nubuat dan apa tadi? nubuat dan pemenuhan. Maka Yesus menjadi ukuran atau norma. Katakanlah semua moralitas ada di dalam Perjanjian Lama itu berkembang terus sampai mencapai ukuran normalnya pada perjanjian baru dalam diri Yesus. Nah, ini adalah sesuatu yang khas di dalam perspektif memaham bagaimana orang Kristen memahami perjanjian lama dalam memahami kekerasan. Karena apa? Karena semuanya itu nanti mesti sampai kepada Tuhan Yesus. Detail-detailnya, kontekstualnya memang bisa, tetapi nanti pada akhirnya orang akan memahami bahwa kekerasan itu harus dipahami dalam konteks Yesus Kristus yang memberikan pipi kanan, pipi kiri kepada musuh pada mereka yang menampar pipi kanan, yang menyerahkan dirinya di dalam salib untuk pendamaian umat manusia dengan Allah. Lain halnya, Saudara-saudara, kalau kita kalau orang Yahudi yang hanya mempunyai perjanjian lama itu bagaimana mereka mencoba memahami kekerasan pasti berbeda. Karena bagi mereka yang ada ya Perjanjian Lama itu adalah teksnya. Sementara bagi kita ada Perjanjian Baru ya. Ada banyak kekerasan bagi kita orang-orang Kristen juga saudara-saudara Yudaisme Yahudi mempunyai membaca teks yang sama tapi solusinya pasti berbeda. Karena apa? Karena orang Kristen mempunyai Tuhan Yesus yang menjadi ukuran. Dan ini gak bisa gak bisa disangkal. Sementara orang Yahudi tidak bisa mengacu kepada siapa lagi. Mereka hanya punya Perjanjian Lama. Nah, ini adalah sesuatu yang perlu kita pahami bahwa kekerasan-kekerasan nanti harus sebagaimana kita berusaha memahami akan sampai kepada bagaimana hidup dan pribadi Yesus Kristus itu bersikap di hadapan kekerasan, ya. Nah, ini. Nah, baiklah kita lanjutkan mengenai analisisnya ya. Saya tidak sekali lagi saya tidak akan terlalu banyak bicara mengenai bagaimana memahami teks satu teks tertentu mengenai ini. Tapi saya mau memberikan sebuah perspektif global ya. ada persoalan apa sehubungan dengan teks-teks yang berkaitan dengan kekerasan seperti ini. Perjanjian Lama itu memandang Allah dengan sudut pandang KEADILAN, sehingga Allah pasti merestui pembalasan yang setimpal bahkan lebih bagi musuh yang menganiaya umat pilihanNya, shg konsep kekerasan itu berlaku dan dianggap upah dari KETAATAN umat pilihan pada Allah, namanya umat pilihan maka menindas yang bukan umat pilihan itu direstui Allah, tapi Perjanjian Baru memberikan sesuatu gambar yang lain, KEADILAN Allah itu dibungkus oleh KASIH Allah, KEADILAN tanpa KASIH adalah penindasan yang dibenci oleh Allah. Kembali lagi, teks tidak bisa diubah,  semua menghidupi Alkitab secara ketat. Ya, menengok ke dalam batin sendiri, Hidup kita itu sebetulnya diwarnai oleh Alkitab. Teks Alkitab yang mana? Nah, ini …… ya …….. yang mana sebetulnya yang menjadi menghidupi, apakah teks-teks yang bernuansa kekerasan mungkin tidak ya toh? Atau yang Bernuansa kebaikan yang positif mungkin iya. Nah, ini kan ada sesuatu di sini ya bahwa akhirnya yang menentukan bagaimana memaknai teks-teks kekerasan itu bukan Alkitabnya tetapi pembacanya, maka sebetulnya semua eksegesse itu eisgesse, karena tidak mungkin pembaca alkitab, itu membaca dengan otak atau pikiran kosong sama sekali, tiap membaca itu pasti menafsir, dan saat membaca atau menafsir itu tidak mungkin orang membaca dengan otak atau pikiran kosong, tidak mungkin orang itu mengeluarkan apa yang ada dalam alkitab, pasti sudah ada ideologi atau dasar pikir dari pembaca saat membaca atau menafsir tsb, terlebih menterjemahkan itu tindakan lanjutan. Jadi, yang pasti terjadi adalah orang akan pasti memasukan ideologinya atau dasar pikirnya saat membaca atau menafsir alkitab. Dan itu berkaitan dengan latar belakang, berkaitan dengan cara bagaimana pembaca itu membaca teksnya seperti ini ya. Maka kita di satu pihak tidak perlulah terlalu berlebih-lebihan khawatir ya. Mungkin berada pada tahap curiosity (penasaran) lah ya untuk tahu ini teks seperti ini bagaimana kita pahami kok demikian. Tetapi bagaimanapun juga kita akan mempertanyakan, mempersoalkan teks-teks tentang kekerasan seperti itu, kita tidak akan memilih untuk mengikutinya secara konkret dalam hidup kita sehari-hari … Gak, kita akan lebih memilih secara ya entah alasan apapun, tetapi yang jelas bahwa kita sebagai orang-orang Kristen itu akan lebih memilih hidup mengikuti perintah-perintah yang lebih positif. Sebetulnya tidak hanya orang Kristen, saudara-saudara muslim itu juga saya kira hal yang sama. Ada teks yang berbau indah sekali, ada bau kekerasan. Tetapi silakan dipahami juga bahwa tidak banyak kok orang-orang yang mengikuti teks-teks yang berbau kekerasan itu. Ada lebih banyak yang apa mengungkapkan hidup dengan menghidupi nilai-nilai yang indah, nilai-nilai kasih yang ada di dalam kitab suci mereka. ya. Maka yang menentukan sebetulnya adalah pembacanya. Ya, pembaca itu tentu mempunyai latar belakang tertentu. Karena latar belakang tentu tidak bisa ditolak begitu saja. Pasti ada. Dan bagaimana kita membacanya? membaca sebuah teks. Nah, dalam membaca sebuah teks tadi saya sudah berikut pada awal sudah memberikan sebuah rambu-rambu ya yang dikatakan oleh Agustinus. Ketika sebuah teks dalam arti harafiahnya itu menghasilkan sebuah pemahaman mengenai Allah yang tidak biasa, mungkin kita perlu switch, kita memahaminya dalam dunia metaforik atau kiasan, ya, mulai cari latar belakangnya apa, siapa penulisnya, sastranya, dlsb. Maka biasanya orang bisa atau dalam bahasa yang lebih populer, kitab suci itu mempunyai dua makna ya, makna spiritual dan makna yang harafiah, saya lebih sering mengatakan tersurat dan tersirat. Jangan hanya mengikuti makna harafiahnya saja, atau tersurat saja, tapi mungkin ada makna harafiah atau tersurat, makna-makna spiritualnya atau yang tersirat digali juga. Nah, berdasarkan latar belakang pembaca, ideologi pembaca, cara pembaca yang berbeda-beda, maka nanti efeknya pada pembaca pun akan berbeda-beda pula, ya akan berbeda-beda pula. Itulah sebabnya mengapa tidak ada yang meniru apa yang digambarkan dalam kitab Hakim-hakim mengenai Samson. Orang Kristen gak ada yang seperti itu yang dengan jelas mungkin memasang menghancurkan dirinya sendiri supaya tapi dengan membawa korban ribuan orang seperti itu, karena nilai positif atau ideologi positif Alkitab tentang KASIH sudah tumbuh subur dalam umat Kristiani. Kalaupun ada hanya satu dua tetapi tidak merupakan sebuah tren atau gambaran umum hal yang seperti itu ya. Kenapa? Bahkan ada pertimbangan-pertimbangan lain di dalam kehidupan seseorang manusia itu yang juga perlu diperhatikan ya. Nah, dalam kaitan dengan ini pembacaan para ahli, dan pembaca biasa juga para ahli juga berbeda-beda. Lalu kadang-kadang saya juga bertanya ya,siapa yang mempersoalkan apa itu kekerasan dalam alkitab? kalau kita bertanya kepada para pemimpin jemaat yang tahu Alkitab, apakah teks-teks kekerasan itu menimbulkan kegalauan? Mungkin juga tidak, gitu ya. Jadi untuk para ahli itu mungkin ini teks biasa saja, tapi untuk orang-orang sederhana itu mungkin menjadi sungguh-sungguh sebuah pertanyaan ya. Walaupun sekali lagi pertanyaan ini bukan pada level saya ingin melaksanakannya, tetapi pada level mungkin keingintahuan dan penasaran. Apa toh sebetulnya yang dimaksudkan hal seperti itu ya. Nah, kalau beberapa hal ini nanti kita perhatikan dengan tenang ya, kita tidak terlalu bingung dengan teks-teks teror seperti itu, maka fungsi Alkitab seperti yang terdapat di dalam 2 Timotius bab 3 ayat 16 bahwa Alkitab itu berguna untuk mengajar, menunjukkan kesalahan dan seterusnya itu bisa dilaksanakan. Demikian juga apa yang terungkap dalam Mazmur 119 ayat 105. bahwa firmanku terang bagiku jalanku dan pelita bagi langkah itu oke saja kalau kita membacanya secara seimbang tidak menekankan hanya satu hal khususnya yang berkaitan dengan teks-teks bernuansa kekerasan. Satu dokumen ya yang judulnya adalah Inspirasi dan Kebenaran Kitab Suci yang diterbitkan diterbitkan tahun 2014, ditulis oleh apa yang disebut dengan Pontifical Biblical Commission, ya menjadi komisi kitab suci tahun 2014 yang diminta untuk menyampaikan gagasan tentang dua pokok inspirasi dan kebenaran kitab suci bagaimana ini dipahami. Nah, berkaitan dengan kebenaran kitab suci, ada satu tema yang harus dibicarakan atau yang mau dibicarakan karena ini mengganggu wibawa kitab suci, yaitu apa? Ini yang saya sebut sebagai the violence in the Bible. Kekerasan dalam Alkitab. Kekerasan dalam Alkitab itu mengganggu wibawa kitab suci. Karena seperti tadi sudah saya sampaikan, bagaimana bertanya, "Kok kitab suci penuh dengan kekerasan? Katanya suci kok penuh dengan kekerasan, dengan darah, dengan pedang, dan tombak dan macam-macam." Hah, ini sedikit banyak mengganggu. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah pemahaman bagaimana kita bisa memahami seperti itu, tapi menurut saya sejauh saya bisa memahami ini punya nuansa yang cukup umum ya, bukan hanya sekedar dari perspektif ini karena ini persoalan bukan hanya  persoalan denominasi, ini persoalan seluruh kekristenan. Saya ambil beberapa contoh. Yang pertama, kekerasan itu dipahami sebagai legal remedies. Artinya apa? Ini adalah semacam penyembuh, ya. Penyembuh remedis itu kan menyembuhkan secara hukum. Apa yang dimaksudkan? Sejak awal kitab suci itu memuat cerita tentang kekerasan dari mana? yang berakar pada ketidaktaatan manusia kepada kehendak Allah. Ya, kalau kita membaca kitab Kejadian pasal 6, bagaimana Allah menyesal melihat kekerasan muncul di bumi ini. Ah, itu dipahami sebagai ketidaktaatan manusia kepada kehendak Allah. Allah ingin mempunyai sebuah tata yang harusnya dipahami, tetapi manusia itu  justru tidak taat sehingga menghasilkan kekerasan. Nah, lalu bagaimana kekerasan kitab suci itu selalu menolak dan mengecam kekerasan ya, tetapi juga memberikan ancaman hukuman berat. Maka poin salah satunya adalah untuk memahami mengapa kekerasan itu terjadi adalah ini mempromosikan kebaikan dan mengurangi kejahatan. Maka hukum kekerasan kalau yang di utamakan kekerasan yang merupakan perwujudan dari hukum itu adalah semacam rem untuk menghalangi yang tidak baik itu, mencegah keburukan-keburukan itu menyebar terlalu luas. Saya kira ini mudah saja dipahami ya. Ini adalah soal kekerasan berkaitan dengan hukuman yang menimbulkan efek jera. Seorang pelaku kejahatan itu perlu dihukum supaya apa? Supaya kejahatannya tidak semakin menyebar. Syukur-syukur kalau bisa memberikan efek jera. Nah, ini kan jelas bahwa kekerasan itu mempunyai makna dan kekerasan itu bisa dipahami dalam hal itu. Ya, ditafsir kekerasan dalam Alkitab dalam terutama dalam hukum Taurat pada awal itu memang untuk mengerem supaya kejahatan, hal-hal yang tidak baik itu tidak semakin menyebar atau boleh dikatakan kalau menurut istilah kita ya ini menjadi efek jera. Nah, kalau tidak dihukum, tidak diberikan hukuman yang setimpal ini nanti akan menimbulkan ketidakadilan, contoh lawan umat pilihan berarti di pihak berlawanan dengan Allah maka harus diberikan efek jera, bahkan keadilan yang menindas agar tidak melawan Allah lagi. Ini satu ya. Jadi, kekerasan itu merupakan sebuah remedi memulihkan secara hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Singkat saja, saya tidak akan terlalu lama di sini ya. Ini Taurat tidak hanya menunjukkan apa yang harus dibuat, tetapi apa? tetapi juga apa yang mesti dilakukan terhadap orang yang melanggar ayat ini. Ya, Taurat tidak hanya menunjukkan perintah apa yang harus dibuat oleh manusia, oleh bangsa Israel, tetapi menunjukkan apa yang akan terjadi kalau ada orang yang melanggar. Supaya apa? Supaya kejahatan bisa disingkirkan, korban dikompensasi, kedamaian dipulihkan. Ya, ini maka hukuman dengan kekerasan itu diperlukan. Tidak bisa tidak. Ah, konteks ini  memberi arah bahwa kekerasan bisa dipahami. Make sense kekerasan itu ya. Membuang hukuman atau tidak menghukum itu berarti mentoleransi, membiarkan kejahatan, membiarkan perlawanan terhadap Allah. Ya, ini kemudian patokannya apa? Patokannya ya mata ganti mata, gigi ganti gigi. Ya, apa artinya mata ganti mata seperti ini ya maksudnya? Ya, kalau kalau seorang yang mencuri katakanlah itu Rp100.000 ya hukumannya harus mengembalikan Rp100.000. Jangan diambil lebih gitu loh. Jangan sampai orang yang hanya melukai menyinggol seseorang lalu jatuh dan kemudian lecet-lecet lalu hukumannya lalu kakinya dipatahkan itu tidak tidak sesuai. Mata ganti mata, gigi-ganti gigi itu sebetulnya untuk melindungi yang dihukum supaya dia hanya mendapatkan hukuman sejauh yang dia rugikan, yang dia apa dia buat seperti itu ya, Ini yang pertama ya. Yang kedua ini law of extermination, Ini yang dikonteks di dalam konteks kekerasan antar bangsa, ada banyak cerita mengenai bagaimana memahami penumpasan bangsa Kanaan dan Amaleh seperti dalam kitab Yosua dan 1 Samuel 15. Kalau  membaca teks bagaimana para eksekutor, para ahli kitab menceritakan hal ini ada banyak sebetulnya ya, ada banyak sekali. Tapi yang jelas adalah salah satu kemungkinan dikatakan oleh dokumen kita ini adalah kisah ini bukan laporan historis atau sejarah. Ketika hukum itu dirumuskan, bangsa yang dimaksud sudah tidak ada. Maka teks itu perlu dipahami secara simbolik. Nah, ini teksnya dipahami secara simbolik, ya. Nah, dengan jelas di sini dikatakan jangan dipahami secara literal, tapi pahamilah secara simbolik. Seperti itu ya yang mengatakan bahwa apa? Bahwa kemenangan akhirnya adalah bukan karena kekuatan Israel sendiri tetapi karena kekuatan Tuhan ya. Nah, ini mau menekankan teks-teks seperti itu. Mau menekankan kekudusan umat perjanjian yang sama sekali berbeda dengan bangsa lain. Israel mesti taat kepada Allah, membela keadilan. Maka tindakan kekerasan sekali lagi mesti dilihat untuk menghilangkan kejahatan dan menjaga common good. Ya, kalau tidak itu seperti itu malah repot, saya sampai pada ini termasuk doa mohon pembalasan ini mungkin aja ya. Jadi begini, Mazmur-Mazmur itu kan sebetulnya istimewa ya, Mazmur itu adalah doa yang sungguh-sungguh dalam beberapa kasus itu sangat emosional ya. Maka kalau kita memahami itu adalah sebuah doa yang mau diungkapkan kepada Allah ya, doa orang yang tertindas itu, maka bisa dilihat, bisa dibayangkan bahwa motif-motif kekerasan itu muncul sangat emosional seperti itu. Ya, saya mungkin bisa melihat ini beberapa teks. Misalkan Mazmur 143 ayat 12 tadi yang kita Mazmur 137 sudah kita lihat Mazmur 143 ayat 12 teksnya seperti ini ya. Binasakanlah musuh-musuhku demi kasih setia-Mu dan lenyapkanlah semua orang yang mendesak Aku sebab aku ini hambaMu. Sangat emosional meminta Allah untuk membinasakan musuh-musuhku demi kasih setiaMu. Lihat, Binasakanlah musuh-musuhmu demi kasih setiaMu. Lenyapkanlah semua orang yang mendesak Aku, sebab aku ini hamba-Mu. Lihat bahasanya perlu kita pahami bukan soal apa kekerasannya, tetapi itu adalah doa sungguh orang yang tertekan, yang tertindas dan hanya berharap kepada Allah. Ya. Maka dalam situasi yang sangat tertindas seperti itu, kadang-kadang kata-kata kasar muncul, kita sendiri juga sudah bisa membayangkan ya bagaimana kalau kita dalam situasi yang sangat tertindas, ditindas oleh musuh seperti itu misalkan ya kata-kata kita itu sangat emosional dan macam-macam ya ini satu poin doa mohon pembalasan itu perlu dipahami bahwa mazmur itu sungguh-sungguh merupakan sebuah jenis tersendiri, mazmur adalah doa yang sangat emosional maka kalau kita dalam situasi doa jangan berani atau tidak merasa perlu untuk mengutuk untuk meminta supaya Tuhan Allah membalaskan musuh-musuh kita itu, kita mempunyai contohnya dalam mazmur kita tidak boleh mengikutinya ya. Oke . … Satu ini ya, Kemudian ini sama doa orang yang menderita bahasanya berlebihan. Sudah jelas orang yang menderita itu bahasanya berlebihan ya, Karena ya sungguh-sungguh tertindas itu, ya tertindas oleh penderitaannya memohon dan berharap kepada Allah sendiri, karena tidak ada pelarian lain, sangat terdesak dan menderita, hanya bisa berdoa atau berteriak pada Tuhan sebagai luapan emosi. Maka bahasanya itu sungguh bebas dan kadang-kadang bahkan sangat kasar? Terlalu keras. Ini orang yang berdoa Bapa Kami ya, jadi diingatkan ajaran Yesus, bebaskanlah dari yang jahat ya. Ini juga yang tadi dikatakan, sebetulnya tidak ada kok dalam doa, kutukan, tidak, tidak mengharapkan Allah berbuat sesuatu ya, terserah pada Allah, hanya mau mengatakan bahwa pembalasan itu milik Allah, dan sekaligus percaya pada Allah yang akan membalas yang sebanding ini ya. Jadi, minta supaya Allah membebaskan, tetapi bukan  demi, hanya sebuah keyakinan kepada Allah yang akan membalas orang yang saleh dengan kebaikannya, orang jahat dengan kejahatannya, karena Allah adalah adil, ini jelas konsep PL. Ya …… Dan kemudian siapa musuhnya? Musuh si pendoa itu ya … musuh si pendoa itu siapapun sebetulnya bisa itu. Ya, sekali lagi ini adalah sebuah doa yang bahasanya tertentu dan siapapun itu bisa menjadi apa? Musuh bisa setan, bisa musuh-musuh yang sesungguhnya dan terhadapan musuh seperti itu bahasa sekali lagi bisa kasar. Catatan saya, Alkitab tidak boleh dibaca secara simplistik sebagai laporan sejarah, tetapi melupakan teologis kontekstual, tulisan teologis kontekstual pada zamannya bahkan dapat ditarik pada zaman kekinian, pahamilah alkitab adalah kisah teologis penulisnya, sekali lagi kisah teologis penulisnya, walaupun di dalamnya memuat sejarah, puisi, sastra, surat, pengajaran, dlsb. Pembacaan pra kritis (tersurat/harafiah) mudah, sederhana, terbuka untuk semua. Sementara pembacaan kritis inter (tersirat/spiritual) lebih sulit tetapi lebih mendalam dan lebih persis. Nah, kita diajak untuk membaca bukan hanya dari pembacaan yang prakritis, tetapi sampai kepada yang lebih serius, pelan-pelan dengan studi pendalaman. Ketika kita berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari pembacaan yang prakristis, kita diminta untuk tidak hanya sekedar berhenti, tapi mencoba masuk. Alkitab, Kesaksian akan pewahyuan Allah dalam kata dan karya sekaligus juga moralitas manusia. Ini tadi sudah saya singgung bahwa Yesus Kristus menjadi puncak. Tetapi moralitas itu tidak didapat dalam satu ayat tertentu, tetapi dari seluruh Alkitab dari kitab kejadian sampai kitab Wahyu, maka kita mencoba untuk memahaminya secara holistik, komprehensif. Ya, memang tidak tentu saja bisa kalau kita memahami satu teks-teks tertentu bisa saja. Tetapi untuk keseluruhan berbicara mengenai Alkitab itu saya kira harus pemahaman gereja saya kira harus membaca seluruh Alkitab ya. Maka pada dasarnya yang dicari dalam membaca Alkitab adalah apa? sebetulnya dikatakan tentang Allah dan apa yang dikatakan tentang keselamatan manusia. Ah, ini saya kira perspektifnya, kerangka kita membaca. Kalau kita mencoba untuk membaca teks-teks kekerasan yang ada di sini pun kita mesti sampai kepada ini sebetulnya apa yang mau dikatakan tentang Allah dan apa yang mau dikatakan tentang keselamatan manusia. Jadi, tidak berhenti pada apa itu tadi? teks-teks teror kekerasan saja, tetapi sampai kepada sesuatu yang lebih dalam, lebih mendalam, lebih komprehensif. Dan itu sebetulnya untuk seluruh kitab suci isinya adalah demikian. Tulisan saya sampaikan, mudah-mudahan menyadarkan pada kita semua bahwa persoalan itu bukan persoalan yang baru ya, sudah ada sejak purbakala, sejak gereja purba, tergantung literasi kita saja, maka nya saya juga bingung kalau ada yang mengeluh dalam menafsir tentang pemaksaan tema, lah .. wong tafsir alkitab itu udah berjalan berabad-abad kok, maka mana ada tema yang belum dibahas? kurang literasi saja kita, saya selalu berpegang TIDAK ADA TAFSIR ALKITAB YANG SALAH, APALAGI BENAR, YANG ADA HANYA TAFSIR ALKITAB YANG DAPAT DIPERTANGGUNG JAWABKAN ATAU TIDAK, PERTANGGUNGAN JAWAB TAFSIR ALKITAB ADA PADA ARGUMENTASI YANG DIPAKAI SEBAGAI  DASAR TAFSIR TERSEBUT. Tapi kita diajak untuk janganlah terlalu memperhatikan teks-teks seperti itu, apalagi samapi galau, tetapi kita punya keseimbangan. Kita tidak usah dibebani untuk memahami teks-teks yang berkaitan dengan kekerasan. Karena ada banyak teks lain yang menimbulkan penghiburan, peneguhan hidup dan seterusnya serta seterusnya, tapi tetap dipelajari dasar pemikirannya jadi tidak goyah terus logout. Keseimbangan diperlukan walaupun kita tetap hidup dalam ketegangan yang senantiasa ada. Lalu apa peran budaya dan konteks zaman dalam narasi-narasi kekerasan di dalam Perjanjian Lama? Ya, tentu saja, konteks zaman dan narasi  dalam budaya itu mempunyai peranan dalam cukup besar. Karena apa? Karena penulis-penulis Alkitab itu kan, lahir dalam menulis dari sebuah perspektif tertentu ya. Menulis itu sebenarnya kan mereka itu mencoba mengkisahkan pengalaman iman atau pemahaman mereka (penulis) tentang Allah, para penulis artikel Alkitab itu kan  mau memberi kesaksian tentang karya Allah, ya dalam sejarah (secara sastra, surat, dlsb) sejauh mereka tangkap dan bagaimana mereka menulis itu pasti dipengaruhi oleh budaya oleh konteks zamannya pasti ya. Misalkan saja kalau mereka menulis karena sebagai orang-orang yang ada di dalam di periode itu di sana Timur Tengah, mereka menulis dalam bahasa Ibrani. Karena memang orang-orang Ibrani di sana nanti perjanjian baru ketika Hellenisme itu menguasai daerah Palestina seperti itu ya. Lalu ketika Yunani menjadi semacam apa? bahasa common ya lingua franka begitu orang menulis dalam bahasa Yunani termasuk juga pemikiran-pemikiran segala macam itu pasti lahir terpengaruh oleh budaya termasuk budaya patriarkinya misalkan ya sehingga menempatkan apa itu menempatkan kaum perempuan itu lebih rendah, maaf ya dalam konteks itu itu terbawa di dalam seperti itu dan itu tercermin juga di dalam di dalam teks-teks yang kita lihat. Dan sebetulnya kalau kita mau mencoba untuk melakukan penelitian sebetulnya kan titik awalnya justru adalah dari teks-teks seperti ini ya. Teks itu ditarik ke belakang, Gambaran teks seperti mengarah kepada sebuah pengaruh apa yang ada di sana. Jadi pendek kata,  jelas justru kalau kita menerima bahwa Alkitab kita itu ditulis juga oleh manusia dengan segala macam kekhasannya, keterbatasan dan kekuatannya ya selain inspirasi atau ilham dari Tuhan Allah, pasti konteks zaman dan budaya itu berpengaruh. Dan ini hanya bisa kita lihat mana tunjukannya itu kalau kita mempunyai  rujukan-rujukan pada teks tertentu. Termasuk juga dalam rumuskan atau merumuskan kekerasan seperti itu ini pasti ada kaitannya.
Mengapa ada hukuman yang tampaknya sangat berat untuk pelanggaran kecil? Misalnya itu dalam bilangan bab 15 ayat 32 sampai 36, hukuman mati karena mengumpulkan kayu di hari Sabat. Itu kira-kira kenapa sampai begitu … ya? Ee kalau kita melihat secara objektif ya, ini ya pertanyan, apa persoalannya, menjadi sangat itu menimbulkan pertanyaan yang dirumuskan. Bagaimana mungkin hanya mengumpulkan ranting pada hari Sabat sampai kepada hukum hukuman mati? De facto itu yang ada, ya toh? De facto itu yang ada aturannya seperti itu. Maka persoalannya sekali lagi teks tidak bisa kita ubah ya toh. Enggak bisa kita revisi. Mungkin ini kuhapnya revisi nanti ini terlalu berat bukan itu. Tapi kalau teksnya seperti itu, lalu kita harus memahaminya bagaimana? Nah di sinilah lalu para ahli kitab atau teolog biblika bisa berdebat ke mana-mana ya. Salah satunya yang bisa dimungkinkan adalah persoalannya sebetulnya, bukan soal ini, ya ringannya ini ya mengumpulkannya, tapi bagaimana kita menghormati hari Sabat dan hari Sabat itu menjadi sesuatu yang serius harus dihormati, menghormati hari sabat berarti menghormati Allah, tidak menghormati hari sabat bearti melawan Allah, tidak taat pada Allah, harus ada hukuman yang membuat jera agar tetap taat pada Allah, itu tadi tentang sisi hukum, tidak boleh kau mengerjakan apapun juga. Saya ambil sebuah contoh bagaimana cara bernalar orang Yahudi ya. Kita tahu semua ya hari Sabat itu kan ada larangan tidak boleh bekerja toh ya. Itu termasuk mengumpulkan ranting itu bisa dianggap bekerja ya. Tapi begini pertanyaannya yang dimaksud bekerja itu apa? Nah, inilah orang mulai berdiskusi. Mengangkat batu itu bekerja memindahkan batu dari satu tempat ke tempat lain itu bekerja tidak? Oh, bekerja itu. Oke, bekerja. Jadi tidak boleh mengangkat batu dari satu tempat ke tempat lain. Tidak boleh dikerjakan pada hari Sabat karena termasuk bekerja. Begitu logikanya ya. Nah, sekarang kalau batunya kecil termasuk bekerja atau tidak? Memindahkan satu batu kecil dari satu tempat ke tempat, ke tempat lain. Ah, bekerja itu. Nah, pertanyaannya kemudian begini. Bagaimana kalau batu itu saya saput dengan apa? Dengan emas dan saya jadikan cincin? Boleh tidak memakai cincin berbatu pada hari Sabat? Kan pertanyaan jadi begitu ya. Jadi batu yang tadinya besar dibayangkan sebagai diangkut sekarang menjadi batu akek cincin. Itu boleh tidak pakai cincin pada hari Sabat? Pertanyaan jadi seperti itu. Karena apa? Karena orang itu pengin tahu persis bagaimana saya bisa mematuhi kehendak Tuhan. Kalau Tuhan sudah menghendaki seperti itu, saya jaga sungguh-sungguh supaya bukan …. bukan mempersoalkan apa? Bukan mempersoalkan tindakannya, tetapi bagaimana saya persis itu tadi bisa ditanyakan kalau orang mengumpulkan ranting eh ranting apa dulu ini? Kalau ranting kelapa boleh tidak? Ranting kolif boleh tidak? Itu bisa macam-macam pertanyaannya ya. Tapi pertanyaan bukan pada perbandingan apakah ringan beratnya seperti itu, tapi saya mau menggaris bawahi nampaknya bagaimana keseriusan orang-orang Israel itu terhadap hukum Sabat dan itu berarti penghormatan hukum Sabat, itu penghormatan pada Allah, itu taat pada Allah, jadi legalistik buanget. Kalau sebuah hukum aturan itu harus diperjuangkan sampai dengan yang seringan itu pun menjadi berat, itu berarti ini tidak boleh ditoleransi. Hukum sabat adalah sesuatu yang paling. Nah, ini saya kira cara membacanya salah satunya kemungkinan sehingga bagi kita menjadi …. wah masa seperti itu, zaman itu yah, gak heran … kemudian hari dikritisi Yesus. Itu kan sama dengan masa mencuri ayam saja harus dihukum mati misalnya seperti itu. Nah, ini kalau kita melihat secara lebih dalam mungkin bisa sampai ke sana ya. Lihat bagaimana orang-orang Israel itu sangat menghargai hukum. Karena hukum bagi mereka adalah ekspresi perwujudan perintah Allah, mentaati hukum bearti mentaati Allah. Maka mereka berusaha memahami sepersis mungkin. Nah, ini bagi kita mungkin kita perlu belajar dari orang Israel karena seringkali kalau kita ada aturan-aturan tertentu, ini ah aturan lagi … ah aturan lagi, seperti itu ya. Nah, orang Israel tidak demikian, orang Yahudi Berarti jelas ya untuk yang melanggar hukum tidak ada toleransi dan sebagainya itu ya, karena itu wujud ketaatan pada Allah, hukum setimpal itu untuk membuat taat pada Allah, itulah keadilan Allah di mata bangsa Israel kuno, di mata orang Yahudi, Ya bukan  melanggarnya hukum tetapi ini sabatnya yang sangat suci seperti itu, sepadan penghormatan pada Allah. Semoga membantu. Tuhan memberkati kita semua. Yeah. (07082025)(TUS)

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...