PENGANTAR
Dua perumpamaan yang intinya serupa diceritakan Oleh Yesus. Yang pertama tentang seseorang yang tengah malam mengetuk pintu tetangganya untuk meminjam roti. Tetangganya enggan bangun. Mungkin untuk membuka pintu ia harus melangkahi istri dan anak-anaknya yang terbaring di lantai di ruangan yang sama. Namun, karena pintu terus-menerus diketuk, akhirnya tetangga itu terpaksa membuka pintu (lih. Luk 11 :5-8).
Perumpamaan yang kedua adalah tentang seorang janda miskin lemah kedudukannya sehingga diliciki di pengadilan oleh penuntutnya. Lalu janda ini terus-menerus datang menemui dan merengk kepada hakim untuk minta keadilan. Hakim ini terkenal jahat dan sama sekali tidak mau membela kebenaran. Namun, karena janda ini terus menerus datang merengek dan memusingkan kepala, akhirnya hakim terpaksa mengabulkan permintaannya (lih. Luk. 18:2-5).
PEMAHAMAN
Perumpamaan ini sering disalahpahami. Orang mengira Yesus menyuruh kita berdoa sambil memaksa supaya akhirnya Tuhan terpaksa mengabulkan doa kita. Kita mengira, ini pengajaran iman bahwa Tuhan adalah tetangga dan hakim tadi yang sebetulnya kurang mau mengabulkan, namun akhirnya mau. Untuk memahami duduk perkaranya, mari kita memikirkan nalar pemahaman dasarnya. Kita mengira bahwa PERUMPAMAAN ATAU METAFORA SELALU BERFUNGSI MENYAMAKAN. Memang banyak perumpamaan atau metafora itu menyamakan sebagaimana sabda Yesus, "Kerajaan Allah itu seumpama ......." Tetapi, sebaliknya, PERUMPAMAAN PUN BERFUNGSI UNTUK MEMPERTENTANGKAN ATAU MENGKONTRASKAN.
selanjutnya, kita lihat arti hakiki perumpamaan (Yun, parabole), itu berasal dari verba paraballein, artinya meletakan suatu di samping sesuatu untuk dibandingkan. Jadi, PERUMPAMAAN ADALAH PERBANDINGAN. Sebuah perbandingan dapat memperlihatkan persamaan atau sebaliknya memperlihatkan perbedaan, bahkan kontras. Dalam buku The Parables Then And Now, A.M. Hunter menegaskan bahwa banyak argumentasi Yesus berfungsi, "by contraries, the point lies not in the similarity but in the contrast. "
Selanjutnya, kita lihat kunci hakiki kedua perumpamaan ini. Ternyata Lukas menempatkan kunci itu di Lukas 1 1:13, dengan ragam kalimat ingkar, "Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga!" simak antara "jadi jika" lawan "apalagi", yang dalam bahasa aslinya lebih kontras lagi antara "ei oun humeis" lawan "posoo mallon". Oleh sebab itu, kedua perumpamaan ini bukan hendak menyamakan Allah dengan tetangga dan hakim yang mengabulkan secara terpaksa, melainkan justru untuk mengingkarinya. Sikap Allah kontra dengan sikap tetangga dan hakim tadi.
Siapakah subjek dalam kedua perumpamaan ini? Bukan pihak meminta melainkan pihak yang dimintai. Sebab itu, tema kedua perumpamaan atau metafora ini bukanlah orang yang berdoa kepada Allah, melainkan tentang Allah yang bermurah hati kepada orang yang berdoa.
Hal itu lebih jelas jika kita melihat bahwa perumpamaan atau metafora tentang ketukan pintu itu terletak diapit oleh dua kejadian lain dalam lukas 11 :1-23. Perikop ini terdiri dari tiga kejadian yang berbeda waktu dan tempat terjadinya. Pertama, tentang contoh doa pendek kepada para rasul (lih. ay. 1-4). Kedua, perumpamaan tentang ketukan pintu (ay. 5-8). Ketiga, tentang hakikat doa (lih. ay. 9-13). Lukas tentunya punya maksud sehingga menempelkan perumpamaan ketukan pintu ini pada dua kejadian itu.
Contoh doa yang pendek itu bermaksud menekankan bahwa pengabulan doa bukan tergantung pada panjangnya pendek doa, melainkan pada "Datanglah Kerajaan-Mu" (ay. 2), yaitu datangnya dan berlakunya pemerintahan Allah atas diri kita.
Selanjutnya, suruhan "mintalah ... carilah . . . ketuklah" (ay 9) bermaksud menekankan bahwa doa adalah perjuangan untuk tekun sekaligus perjuangan untuk pasrah karena pengabulannya bukan tergantung dari cara kita berdoa, melainkan dari kemurahan "Bapakmu yang di surga" (ay. 13) yang kontras dengan "bapa di antara kamu"(ay 11).
Tetangga dan hakim itu mengabulkan permintaan secara setengah terpaksa setelah ada desakan dan rengekan. Allah bukan begitu, Allah tidak perlu didesak-desak. Allah mengabulkan doa bukan karena desakan dan rengekan, melainkan karena, Oleh sebab kemurahan hati.
Kemurahan hati Tuhan tidak setengah terpaksa bahkan tidak terpaksa sama sekali, oleh karena itu kemurahan hati Tuhan seharusnya lah diperagakan dalam kehidupan sebagai wujud doa dengan ketekunan, pantang menyerah serta kepasrahan. Oleh sebab itu, tidak perlu memaksa dalam doa, karena kemurahan hati Tuhan tergambar dalam "kehendakMulah yang jadi". Dalam ketidak menyerahan dan ketidak hentian berjuang pada titik lelah sekalipun, doa bukan sekedar gerakan menutup mata dan melipat tangan, tetapi dia terlebih pada gerakan membuka mata dan mengulurkan tangan, kerjakanlah doa kita, doakanlah yang kita kerjakan.
(19102025)(TUS)