Hermeneutik sebagai ilmu terlihat sekitar 50 tahun terakhir. Namun tentunya pendekatan hermeneutik (penafsiran) terhadap Kitab Suci telah dilakukan sejak dulu. Selama berabad-abad, gereja telah melakukan penafsiran untuk memahami arti Alkitab. Penafsiran aliran Aleksandria yang dipelopori oleh Origenes telah melakukan penafsiran dengan mencari “makna rohaniah” dari pembacaan Alkitab. Karena itu Origenes menggunakan makna alegoris dalam menafsirkan ayat-ayat Alkitab. Sebaliknya pola penafsiran aliran Antiokia melakukan penafsiran dengan memperhatikan kejadian historis ( peristiwa sejarah ). Pada abad pertengahan, gereja memahami bahwa Alkitab memiliki 4 arti (GR O'Day dan C. Hackett, 29), yaitu:
- Arti Harafiah (literer)
- Arti Moral
- Arti Doktrinal
- Arti Mistis (eskatologis).
Sejak abad XIX, hermeneutik telah digunakan sebagai proses dan preposisi untuk memperoleh pemahaman yang logis ketika umat membaca dan mencari arti ayat atau perikop Alkitab. Arti “preposisi” muncul sebagai hasil dari asumsi-asumsi yang diperoleh dari berbagai komunitas yang melatar-belakanginya. Misalnya seseorang yang hidup dari suatu komunitas yang menyukai hal-hal yang supranatural akan lebih cenderung memahami makna ayat-ayat Alkitab yang berhubungan dengan mukjizat atau sesuatu yang luar-biasa. Berbeda dengan umat yang hidup dari latar belakang “akademis” akan melihat Yesus sebagai seorang guru agung yang mengajarkan sistem moral. Mukjizat yang dilakukan Yesus akan dipahami sebagai suatu inspirasi medis bagi orang-orang yang memiliki latar belakang akademis dalam dunia medis. Oleh karena itu dari suatu hermeneutik akan menghasilkan berbagai preposisi teologis, tepatnya pemahaman teologis tergantung dari asumsi-asumsi yang dimiliki oleh umat. Pengertian “ Narratives Time ” dalam penafsiran leksionari menunjuk pada kesaksian bagaimana Allah berkarya dan menyatakan diri-Nya di tengah-tengah sejarah umatNya. Pola dari masa “ Narrative Times ” tersebut dilaksanakan selama masa Adven – Pentakosta . Lalu pada masa Minggu Biasa, umat dipanggil untuk memberikan respon terhadap karya keselamatan Allah tersebut. Jadi dengan memahami “waktu narasi”, umat diharapkan mampu menghayati sejarah keselamatan yang dilakukan Allah (GR O'Day dan C. Hackett, 32). Melalui pembacaan leksionari pada masa “Narrative Time” umat tersebut percaya menghidupkan kembali kisah dari pengalaman iman mereka. Untuk itu ulasan Alkitab pada masa “Narrative Time” dapat dibuat suatu tema tertentu (GR O'Day dan C. Hackett, 37). Misalnya pada Minggu Adven pertama dapat ditekankan pada suatu tema khusus, misalnya: penghakiman terakhir. Saat penafsiran pada masa Minggu Biasa, umat memiliki kesempatan untuk mendalami suatu teks dari bacaan leksionari ketiga. Misalnya umat pada masa Minggu Biasa dapat mengeksplorasi bacaan pertama dari salah satu kitab Perjanjian Lama, atau bacaan ketiga dari surat-surat Rasuli. Setiap bagian Alkitab memiliki latar belakang sejarah tertentu. Dari penafsiran dari ayat atau perikop suatu teks baik pada masa “ Narrative Time ” maupun pada masa Minggu Biasa, gereja juga dapat menggunakan untuk menjelaskan suatu “doktrin” tertentu (GR O'Day and C. Hackett, 39). Dengan demikian melalui leksionari, gereja tidak hanya memotivasi umat untuk menghayati karya keselamatan Allah melalui makna tahun gerejawi, tetapi juga dapat memampukan umat untuk memahami suatu pengajaran Gereja. Dalam hal ini leksionari berfungsi untuk mengakomodasi kedua perspektif tersebut, yaitu tahun liturgis dan pengajaran gereja (GR O'Day dan C. Hackett, 42). Sejarah perkembangan tahun liturgi ( tahun liturgi ) dan leksionari sejak awal disadari memiliki suatu hubungan yang tak terpisahkan antara “kisah dan waktu” ( kisah dan waktu ). Kesadaran ini dihayati oleh Yudaisme dan kekristenan bahwa suatu momen khusus dalam sejarah dapat menjadi berlipat ganda, yang mana momen khusus tersebut dapat terus terulang dalam pengalaman generasi selanjutnya. Sebab pengalaman keagamaan tidak hanya dibatasi pada segelintir orang di masa lampau tentang karya keselamatan Allah, misalnya kisah Keluaran atau kisah penderita dan Kematian Kristus. Jadi melalui kisah iman yang disaksikan dalam Alkitab, umat pada masa lalu, sekarang dan mendatang dapat mengalami kembali karya keselamatan Allah, sehingga terbentuklah “bangunan kehidupan suatu komunitas” ( kehidupan korporat komunitas ). Dengan pemahaman demikian, kita dapat menyusun dan menata kehidupan di masa kini dengan belajar dari kesaksian dan pengalaman umat di masa lalu (GR O'Day dan C. Hackett, 43). Dalam hal ini umat dapat mempelajari kekayaan rohani saat mereka membaca dan memikirkan kehidupan, penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus. Jadi jelaslah bahwa melalui pola pembacaan leksionari, gereja dapat menghayati setiap momen kehidupan dan peristiwa hidup mereka dari perspektif karya keselamatan Allah, khususnya karya keselamatan yang telah dilakukan oleh Kristus. Oleh karena itu Gail R. O'Day dan Charles Hackett berkata: “……… pengulangan leksionari memungkinkan kisah gereja tersedia di setiap momen kehidupan manusia . Jemaat dapat menempatkan kisah dan waktu mereka sendiri dalam siklus kisah dan waktu gereja ” (GR O'Day dan C. Hackett, 48). Tepatnya melalui leksionari, umat dapat mengalami kesinambungan kisah keselamatan Allah sepanjang 52 minggu. Oleh karena itu Gail R. O'Day dan Charles Hackett menyatakan bahwa melalui leksionari tidak ada satu hari Minggu yang terpisah atau terlepas dari hari Minggu-hari Minggu lainnya. Bahkan pada masa Minggu Biasa yang diawali dengan Minggu Trinitas sampai Kristus Raja (satu minggu sebelum Adven) juga memiliki jalinan yang sinambung. Walaupun harus disadari bahwa setiap hari Minggu atau hari raya gerejawi memiliki kekhasan dan kekhususannya sendiri. Dengan kesadaran akan kesinambungan kisah dalam seluruh kalender gerejawi, maka pengkhotbah dapat mempersiapkan materi khotbah secara lebih khusus dan mendalam. Dengan demikian, “ pelayanan dakwah ” dapat menjadi “ sebuah rangkaian khotbah ”. Gail R.O'Day dan Charles Hackett berkata: “……… Kesadaran akan kesinambungan kisah gereja sepanjang waktu juga dapat menginformasikan cara pengkhotbah mendekati persiapan khotbah dan khotbah… .” (GR O'Day dan C. Hackett, 49).