Jumat, 23 Juli 2021

GAMBARAN PELAYANAN GEREJA SEBELUM, SELAMA DAN SESUDAH MASA PANDEMI COVID-19, SERIAL SUDUT PANDANG

GAMBARAN PELAYANAN GEREJA SEBELUM, SELAMA DAN SESUDAH MASA PANDEMI COVID-19, SERIAL SUDUT PANDANG

PENDAHULUAN
 Masa pandemi COVID-19 dapat diibaratkan sebagai “cermin” yang menunjukkan keaslian atau realita wajah pelayanan gereja. Sebelum masa pandemi, telah ada observasi yang menunjukkan adanya keterpisahan antara teologi yang Alkitabiah dan praksis pelayanan kejemaatan serta adanya pengabaian terhadap hal-hal yang primer dalam pelayanan. Kedua observasi ini seolah-olah dibuktikan kebenarannya dalam masa pandemi. Melalui penulisan penelitian tentang pelayanan gerejawi yang dilakukan Pusat Studi Pertumbuhan Gereja Sekolah Tinggi Teologi Baptis Injili, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah didapati bahwa gereja masih memiliki konsep teodisi yang tidak utuh atau proporsional, pelayanan gereja masih sangat bergantung kepada peran rohaniwan sebagai tenaga profesional dan terpusat secara sempit kepada aspek ibadah, ada kesenjangan yang serius antara generasi senior dan generasi muda, serta pelayanan gereja belum siap untuk berhadapan dengan teknologi. Merespons realita tersebut, artikel ini mengusulkan agar gereja melakukan penataan ulang pelayanan pascapandemi dalam enam hal, yaitu: membangun visi teologis yang bisa diejawantahkan dengan jelas dan utuh dalam pelayanan, menjadikan ibadah sebagai sentral tetapi bukan sebagai satu-satunya pelayanan yang penting, menggencarkan pembinaan dan pemuridan berbasis keluarga, memperkuat pelayanan pastoral yang menekankan relasi personal yang mendalam, memperhatikan pelayanan kepada generasi muda atau penerus, serta mengutamakan kapasitas pengutusan daripada kapasitas menampung orang di dalam gereja semata-mata. Pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia termasuk Indonesia tidak diragukan lagi telah mempengaruhi dan mengubah segala lini kehidupan manusia termasuk dimensi pela-yanan gereja. Setidaknya sejak 22 Maret 2020, sebagai respons atas anjuran presiden dan Surat Edaran Kementerian Kesehatan ter-tanggal 16 Maret 2020, hampir seluruh gereja di Indonesia menghentikan kegiatan ibadah dan pertemuan fisik yang dilakukan di lokasi tertentu, kemudian “memindahkannya” ke rumah masing-masing anggota.1 Sejak itu, seluruh aspek pelayanan gerejawi lainnya seperti “didesak” untuk berimprovisasi dan berubah bentuk, misalnya dari bentuk fisik menjadi bentuk digital. Tentu saja perubahan-perubahan dinamika pelayanan dan “migrasi” ke dalam dunia digital ini merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dihadapi Dengan banyak dan mendadaknya desakan-desakan perubahan yang terjadi, gereja-gereja, lembaga Kristen, bahkan sekolah teologi di Indonesia turut memberikan berbagai respons, misalnya melalui proyek penelitian, seminar, lokakarya, atau gerakan pelayanan, terlebih dikalangan injili.  Artikel singkat ini ditulis untuk menunjukkan sebuah sketsa tentang pelayanan gereja se-belum dan selama masa pandemi berdasarkan kumpulan hasil laporan penelitian yang telah diadakan. Kenyataan riil pelayanan gereja selama masa pandemi sedikit banyak (mes-kipun tidak sepenuhnya) dapat membukakan wajah pelayanan gereja sebelumnya dan se-sungguhnya. Dengan kata lain, masa pandemi ini menjadi momen yang tepat bagi para praktisi pelayanan gereja untuk bercermin tentang keadaan pelayanannya selama ini. Tidak berhenti sampai di situ, data-data yang diperoleh dari penelitian selama masa pan-demi juga dapat menjadi semacam acuan untuk memikirkan prinsip, strategi, bahkan arah pelayanan yang harus dikembangkan di dalam masa kenormalan baru atau bahkan setelah masa pandemi, jika tetap ingin terus berkiprah bahkan menjadi semakin efektif di tengah dunia yang berubah.
PELAYANAN GEREJA SEBELUM MASA PANDEMI
Ketertarikan untuk menyelidiki realitas pelayanan gereja tentu saja telah muncul sebelum masa pandemi, dan bahkan jika tidak ada pandemi sekali pun. Sudah begitu banyak buku, penelitian, dan berbagai upaya lain yang dilakukan untuk mencari tahu “mengapa,” “ada apa,” serta “mau di bawa ke mana” pelayanan gereja di tengah kompleksitas zaman. Tentu saja pertanyaan dan keprihatinan ini juga tidak muncul dari ruang vakum. Ada beberapa observasi yang diperoleh dari berbagai literatur, pengalaman, dan riset-riset sebelum-nya dari berbagai belahan dunia dan ragam bentuk pelayanan. Pertama, ada observasi bahwa telah terjadi keterpisahan antara teologi yang alkitabiah tentang gereja dan praksis pelayanan jemaat. Tampaknya ada pedang tajam yang membelah prinsip-prinsip teologi yang didapat dari Kitab Suci, buku-buku, serta ruang kelas teologi, dengan realita praksis pelayanan di tengah-tengah jemaat. Adalah jamak bagi para “teolog” untuk mendulang kekayaan pemikiran teologi Kristen tetapi hidup terpisah dan tidak relevan sama sekali dengan kompleksitas pergumulan hidup umat, pun di saat yang bersamaan para praktisi pelayanan gerejawi berpikir bahwa kebenaran-kebenaran biblikal dan teologis yang telah ditemukan tidak relevan atau tidak operatif dalam keunikan konteks pelayanannya. Keterpisahan ini sedikit banyak menjelaskan mengapa pelayanan gereja terasa stagnan bahkan “mandul” di tengah begitu banyak buku, seminar, karya. Kedua, ada pula observasi bahwa gereja telah mengabaikan, entah disadari atau tidak, hal-hal yang esensial dalam pelayanan, dan menggantikan fokusnya kepada hal-hal yang tidak primer. Pengabaian ini terlihat misalnya dari ambiguitas tolok ukur atas “kesuksesan” gereja. Banyak gereja yang berpikir bahwa kesuksesan dalam pelayanan berarti peningkatan jumlah kehadiran, keuangan, dan ekspansi pelayanan secara fisik, padahal Kitab Suci jelas mengatakan bahwa kesuksesan utamanya berbicara mengenai penjangkauan, pertobatan dan pertumbuhan jiwa-jiwa di dalam Kristus, sebagai bentuk ketaatan seluruh umat Tuhan pada Amanat Agung Tuhan Yesus. Secara praktis, pengabaian ini juga dapat terlihat melalui pergeseran fokus pelayanan: dari pelayanan jiwa-jiwa kepada orientasi program-program, dari pertumbuh-an rohani kepada penekanan pada metode-metode, dari kerohanian yang sejati kepada kesibukan dengan berbagai kegiatan, dari fokus pelayanan firman kepada keahlian manajerial organisasi semata, dan akhirnya, pergeseran “hasil,” dari murid Kristus yang setia kepada para penggemar kekristenan atau tokoh-tokoh Kristen tertentu belaka. Jika berbagai observasi ini diringkaskan dengan satu kata, maka “krisis” yang melanda pelayanan gereja, bahkan sebelum masa pan-demi, adalah: ambiguitas. Adanya ambiguitas dalam refleksi dan visi teologis terhadap gereja dan pelayanannya, ambiguitas tolok ukur keberhasilan, ambiguitas tujuan dan sasaran yang hendak dicapai, bahkan juga ambiguitas cara dan metodologi yang digunakan. Persoal-annya, ambiguitas ini telah berlangsung secara masif, luas, dan sirkular seperti “lingkaran setan,” dari satu penyebab kepada satu akibat, yang menghantar pada penyebab baru dan akibat baru, dan begitu seterusnya. Agaknya dibutuhkan semacam “interupsi Ilahi” untuk bisa menyadarkan gereja dari ambiguitas ini dan menghantarkannya pada haluan yang semestinya. Untuk itu, para pemimpin gereja perlu bersedia untuk memikirkan ulang hal-hal yang primer dan esensial dalam kehidupan berjemaat, serta mengalibrasi segala praksis pelayanan gerejawi yang dilakukan selama ini agar selaras dan mendukung hal-hal esensial tersebut.
PELAYANAN GEREJA SELAMA MASA PANDEMI
Apakah lantas masa pandemi ini dapat menjadi “interupsi Ilahi” yang dibutuhkan ter-sebut? Melihat berbagai fenomena pelayanan gereja selama ini dan temuan-temuan dari berbagai riset, dalam skala tertentu, pandemi ini dapat dipandang sebagai semacam “inte-rupsi Ilahi” yang membangunkan gereja dari ambiguitas panjangnya. Penghentian “paksa” dan tiba-tiba dari berbagai kegiatan dan bentuk pelayanan, mau tidak mau, membuat para praktisi pelayanan gereja berhenti sejenak dari rutinitas dan melihat ulang apa yang telah dikerjakan, atau apa yang telah terjadi, selama ini. Jika “interupsi Ilahi” pandemi ini dires-pons dengan tepat oleh gereja-gereja, maka akan muncul pembaharuan yang hakiki dalam kehidupan berjemaat. Ada beberapa isu dalam konteks riil pelayanan gereja yang tercermin dalam berbagai temuan penelitian, yang perlu dipikirkan ulang dan direspons secara tepat oleh para pemimpin gereja.Pertama, masa pandemi menunjukkan masih minimnya konsep teodisi yang utuh dan proporsional. Secara masif, para teolog dan pemikir Kristen menerbitkan beberapa buku terutama untuk menjawab problematika teologis seputar kuasa Allah dalam realitas pandemi, sebut saja CORONAVIRUS AND CHRIST DARI PENDETA JOHN PIPER, WHERE IS GOD IN A CORONAVIRUS WORLD? DARI APOLOGIS DAN ILMUWAN JOHN C. LENNOX, DAN GOD AND THE PANDEMIC DARI TEOLOG BIBLIKA N. T. WRIGHT. Buku-buku ini, meskipun ditulis dalam disiplin ilmu dan pendekatan yang berlainan, tetapi seperti ingin menyuarakan pesan yang seragam: bahwa Allah berdaulat dan tetap mengasihi manusia sekali pun di tengah wabah yang tidak terpahami. Agaknya penerbitan judul-judul ini merupakan sebuah indikasi tentang langgengnya perdebatan tentang topik teodisi. Para pemimpin gereja perlu memperhatikan hal ini dan jika memungkinkan, memasukkan pesan tentang teodisi yang utuh dan tepat di dalam khotbah, pengajaran, persekutuan, bah-kan pendampingan pastoral. Menariknya, kebutuhan tentang teodisi yang tepat ini juga bukan hanya dapat dilihat dari penerbitan judul-judul di atas, tetapi juga berdasarkan pengamatan empiris khususnya dalam konteks Indonesia. ketua sinode Gereja Baptis Injili Indonesia, menunjukkan bahwa ada “krisis teologis” yang di-hadapi oleh masyarakat Kristen pedesaan. Krisis teologis tersebut antara lain: pemahaman bahwa pandemi ini terjadi sebagai hukuman Tuhan atas dosa manusia, pandemi ini merupakan tanda-tanda akhir zaman dan mendekatnya kedatangan Kristus kedua kali, serta adanya keengganan untuk memindahkan ibadah dari gereja ke rumah dengan alasan umat harus lebih takut akan Allah daripada takut tertular virus. Kalau dianalisis bahwa problematika teologis ini terjadi akibat kemunculan ajaran-ajaran yang keliru khusus-nya tentang teodisi tetapi marak tersebar di media massa dan media sosial. Kedua, masa pandemi menunjukkan bahwa pelayanan gereja masih sangat terfokus dan bergantung pada peran rohaniwan sebagai tenaga profesional dan belum melibatkan selu-ruh anggota tubuh Kristus sebagai komunitas pelayan. Pada masa pandemi, terlihat banyak sekali rohaniwan mencoba untuk membuat konten daring berupa khotbah, seminar, sapaan gembala, lagu pujian, dan berbagai bentuk lain. Akan tetapi, beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa jemaat justru merasa tidak mengalami engagement dari pendeta atau gembala jemaat setempat. Hal ini disebabkan misalnya oleh perubahan intensitas pelayanan dari tatap muka menjadi pembatasan fisik, adanya gembala atau pendeta yang tidak mengetahui kondisi spiritualitas atau pertumbuhan iman jemaatnya, serta jemaat menganggap bahwa pemberian renungan pastoral (secara digital) yang umum dilakukan oleh para rohaniwan tidak serta-merta berarti sapaan personal kepadanya. Tanda-tanda ini sejatinya dapat dibaca dari dua sisi. Di satu sisi, tentu saja tanda-tanda ini memperlihatkan kreativitas dan inovasi para rohaniwan yang tetap setia melayani dan berkarya di tengah krisis. Akan tetapi, di sisi lain, tanda-tanda ini juga menunjukkan kecenderungan jemaat untuk “bergantung” dan terpusat pada pelayanan rohaniwan se-mata-mata, dan secara bersamaan menganggap diri mereka sebagai “konsumen” yang harus terus-menerus “disuapi” dan seolah-olah “tidak bisa hidup” tanpa pelayanan rohaniwan. Padahal, sejatinya pertumbuhan rohani dan pelayanan kepada Allah merupakan tanggung jawab seluruh anggota tubuh Kristus, bukan hanya rohaniwan (bdk. Ef. 4:11-16). dalam konteks pedesaan yang tidak semuanya memiliki tenaga rohaniwan yang cukup, sangat diperlukan pemberdayaan pelayan awam khususnya dalam berkhotbah dan memuridkan. Sebagai kesimpulan, seharusnyalah didorong gereja-gereja untuk membuka ruang sebesar-besar-nya bagi keterlibatan pelayan awam dengan cara peralihan dari pelayanan yang berpusat pada rohaniwan menjadi berpusat pada rohaniwan dan pemimpin awam; peralihan dari pelayanan rohaniwan sebagai pelaksana tunggal menjadi sebagai pemerlengkap jemaat Allah; dan peralihan dari peran rohaniwan sebagai gembala bagi seluruh umat menjadi gembala bagi para anggota tim penggembala. Ketiga, masa pandemi menunjukkan bahwa pelayanan gereja masih secara sempit terfokus hanya pada dimensi ibadah dan belum atau tidak holistik menyentuh bidang-bidang lain yang juga penting. Hal ini terlihat dari fokus gereja di paruh awal masa pandemi yang agaknya terkuras sepenuhnya pada penyelenggaraan dan penyediaan konten ibadah online di gereja masing-masing, baik secara tayangan langsung (live streaming) maupun tayangan yang sudah direkam sebelumnya (pre-recorded streaming). Gereja-gereja tampaknya berupaya sekuat tenaga untuk “bersaing” menghadir-kan konten ibadah daring yang lebih baik. Hal ini sedikit banyak disebabkan oleh kekhawatiran bahwa jemaatnya akan lebih memilih mengikuti ibadah daring di gereja lain. Survei kuantitatif yang dilakukan oleh Sinode GKI Wilayah Jawa Barat menunjukkan bahwa 80% jemaat mengikuti ibadah dan pelayanan daring di gerejanya, namun di saat bersamaan 60% jemaat mengikuti ibadah daring di kanal atau situs gereja lain. Upaya untuk “memenangkan” persaingan viewers di tengah dunia ibadah digital ini juga ditangkap dalam data Survei Nasional STT – STT INJILI di Indonesia yang dipresentasikan dalam sebuah seminar dan menyimpulkan bahwa di awal masa pandemi perhatian utama gereja-gereja ada pada pelaksanaan ibadah, sementara hal-hal lainnya dilakukan dengan agak gagap dan tidak terpikirkan. Fenomena ini, terjadi karena sejak sebelum pandemi pun fokus perhatian gereja-gereja memang lebih banyak tertuju pada ibadah Minggu, dan kurang pada aspek-aspek penting lainnya dalam pelayanan gerejawi. Tambahan pula, berdasarkan pembacaan Calvin Tong terhadap penelitian pengalaman ibadah jemaat dalam beribadah daring khususnya dalam konteks gereja di perkotaan, upaya pembuatan konten Webinar Hasil Survei Pengalaman Ibadah Jemaat dalam Ibadah Online, Pusat Studi Pertumbuhan Gereja STT Reformed Injili, Jakarta, 8 Juni 2020. Kekhawatiran yang dimaksud adalah jika di masa pandemi jemaat sangat mudah membanding-bandingkan layanan ibadah daring gerejanya dengan gereja lain, maka dikhawatirkan setelah masa pandemi jemaat akan benar-benar berpindah hati, fisik, dan bahkan keanggotaan. ibadah daring adalah hal yang tidak mudah, bahkan dapat dikatakan sangat menguras energi, waktu, tenaga, dan sumber daya baik manusia maupun material. Tentu saja pelayanan ibadah bukan tidak penting, tetapi realita di masa sebelum dan selama pandemi menunjukkan adanya perhatian yang tidak seimbang: terlalu berfokus kepada ibadah dan mengabaikan bidang-bidang lain yang sama pentingnya. Penelitian dari STT BAPTIS INJILI  menunjukkan setidaknya empat elemen pelayanan selain ibadah yang “terabai-kan” atau kurang mendapat perhatian yang cukup, yaitu: keuangan, sekolah Minggu, pelayanan keluarga, dan penginjilan.Hal ini patut dipikirkan secara serius karena gereja yang sehat tidak hanya perlu memikirkan aspek ibadah, tetapi juga aspek-aspek lain seperti persekutuan, pengajaran, dan kesak-sian. Di samping itu, ada pula beragam pelayanan yang berbasis kebutuhan (needs-based ministry) seperti misalnya pelayanan kelompok usia tertentu dalam kelompok kecil, pelayanan konseling, pelayanan di ruang sosial, dan pelayanan pemberdayaan ekonomi jemaat yang juga patut mendapat perhatian gereja. Keempat, masa pandemi menunjukkan ada-nya kesenjangan (gap) yang serius antara generasi tua dan muda di dalam gereja. Kesenjangan antara generasi tua (senior) dan muda (junior) ini terjadi bukan hanya di kalangan jemaat awam, tetapi mula-mula dari kalangan rohaniwan. Lagi-lagi penelitian dari STT BAPTIS INJILI memperlihatkan temuan yang menarik. Dilansir bahwa kebanyakan ibadah utama yang di-tayangkan secara online dilayani oleh hamba-hamba Tuhan yang senior, sehingga hamba-hamba Tuhan muda atau yang masih junior merasa tidak dibutuhkan dan tidak mendapat kesempatan dan tempat, demikian halnya para pengkhotbah non pendeta di gereja-gereja presbiterian ataupun para majelis, kehilangan ruang. Terlepas dari faktor-faktor internal gereja masing-masing, realita ini menunjukkan ada masalah dalam regenerasi kepemimpinan dan pelayanan gereja. Padahal, dalam disertasinya yang meneliti tentang revitalisasi gereja pada empat gereja lokal dari empat sinode berbeda di empat kota besar di Indonesia, menunjukkan salah satu faktor penyebab revitalisasi gereja adalah adanya tim kepemimpinan bersifat intergenerasi yang kuat dan harmonis. Penemuan ini juga diteguhkan kembali dalam panel diskusi STT BAPTIS INJILI dan REFORMED INJILI tentang pelayanan kaum muda, didapati bahwa kaum muda di gereja-gereja (INJILI) menghadapi kesulitan dalam mengikuti ibadah, salah satunya karena “konsumsi” dalam ibadah umum dirasa terlalu berat. Hal ini menunjukkan belum ada, atau kurangnya, pemahaman dan praktik pelayanan-pelayanan bersifat intergenerasi di dalam gereja. Kelima, masa pandemi menunjukkan bahwa gereja-gereja pada umumnya tidak siap berha-dapan dengan kemajuan teknologi. Temuan ini dilaporkan oleh  Yohanes Handoko dalam catatan keynote speaker me-ngenai konteks gereja berbasis pelayanan digital. Hasil penelitian  Yohanes Handoko menunjukkan bahwa tidak semua gereja bisa mengadakan ibadah online, karena ada yang tidak mempunyai infrastruktur yang memadai, atau ada pula yang tidak mengetahui caranya padahal infrastruktur yang dimiliki cukup mendu-kung.25 Selain itu, dalam penelitian lain yang dilakukan Yohanes Handoko secara kuantitatif terhadap berbagai gereja di perkotaan Indonesia dari tiga aliran berbeda (Presbiteral, injili dan Pentakosta/Karismatik), didapati bahwa sebagian besar gereja tidak mempunyai bidang atau komisi khusus digital, dan kalau pun ada, pada umumnya baru dibentuk pada masa pandemi COVID-19. dua poin penting, yaitu bahwa banyak gereja masih enggan dan tergopoh-gopoh mengikuti perkembangan teknologi; serta banyak hamba Tuhan dan gereja injili yang belum serius menggarap pelayanan digital. Beberapa temuan di atas menunjukkan bahwa masa pandemi menjadi cermin yang mereflek-sikan wajah gereja sesungguhnya. Tentu saja poin-poin ini hanya dipaparkan secara garis besar dan umum. Masih ada poin-poin spesifik lain yang tidak terangkum. Tetapi, dari kelima poin di atas, agaknya tidak berlebihan untuk menyimpulkan bahwa observasi yang telah dimiliki tentang pelayanan gereja selama ini dapat terbukti benar. Adanya ambiguitas visi teologis dalam pelayanan yang berakibat juga pada ambiguitas praksis pelayanan. Pertanyaan selanjutnya yang perlu digumulkan adalah: bagaimana kemudian gereja merevitalisasi pelayanannya di dalam masa kenormalan baru bahkan sesudah masa pandemi?
PELAYANAN GEREJA SESUDAH MASA PANDEMI
Mengasumsikan bahwa pelayanan gereja akan serta-merta berubah setelah diterpa pandemi adalah sebuah kekeliruan yang sama dengan harapan kosong. Seorang pengajar dan peneliti pertumbuhan gereja bernama Ed Stetzer berkata bahwa di tengah anggapan banyak orang tentang perubahan pelayanan gereja secara besar-besaran setelah pukulan pan-demi, ia justru lebih mengkhawatirkan pelayanan gereja yang akan kembali menjadi sama lagi seperti sebelum pandemi dan tidak akan mengalami perubahan apa-apa.28 Menurutnya, gereja sepanjang zaman telah mengalami berbagai gejolak tantangan dan “pandemi” lain selain COVID-19, tetapi tetap tidak mudah untuk meninggalkan perspektif yang keliru dan cara pelayanan yang kurang efektif. Jika demikian, maka apa lagi yang dapat kita katakan? Atau lebih tepatnya, jika pandemi yang berpengaruh sebesar ini saja tidak cukup untuk membawa pembaharuan, maka apa atau siapa yang mampu melakukannya? Lalu, bagaimana cara mewujudkan pembaharuan tersebut? Tentu saja peringatan Stetzer ini tidak bertujuan untuk mematahkan semangat pelayanan gereja atau membuyarkan semangat di masa datang, melainkan justru menjadi sebuah catatan serius yang perlu diperhatikan. Setelah menyadari beberapa hasil observasi dan melihat pantulan realita dari “cermin” pandemi, sudah waktunya gereja-gereja memikirkan hal-hal yang seharusnya ada dan diupayakan tetapi mungkin selama ini diabaikan. Thom Rainer di dalam bukunya The Post-Quarantine Church mengatakan bahwa masa pasca-pandemi merupakan waktu yang ideal untuk gereja menata ulang (reset) pelayanannya menjadi lebih selaras dengan Injil. Akan tetapi, perlu terlebih dahulu dicatat bahwa dunia pelayanan gerejawi pasca-pandemi itu sendiri adalah sesuatu yang masih buram, tidak pasti, dan belum terpetakan (uncharted), bahkan secara waktu sekali pun belum ada yang dapat memastikan kapan masa pandemi ini akan benar-benar berakhir. Maka, alih-alih menjadi panduan atau “tips dan trik” pelayanan, bagian ini ditulis lebih sebagai sebuah antisipasi. Melalui observasi sebelum masa pandemi dan pantulan wajah gereja dari berbagai temuan penelitian di masa pandemi, setidaknya dapat dianalisis hal-hal yang perlu dikaji ulang dalam pelayanan gereja. Hal esensial yang perlu diingat dan dikaji ulang bagi pelayanan pascapandemi adalah tujuan eksistensi gereja, yaitu melakukan pelayanan kepada Allah melalui ibadah, pelayanan kepada sesama melalui pembinaan dan penggembalaan, serta pelayanan kepada dunia melalui pekabaran Injil dan kesaksian sosial. Ketiga dimensi pelayanan ini perlu dijalankan dengan utuh dan seimbang. Untuk itu, penulis berpandangan bahwa gereja perlu menata ulang fokus perhatian (refocus) kepada seti-daknya enam hal untuk mencapai tujuan ini. Pertama, gereja perlu berfokus untuk mem-persempit atau bahkan menghilangkan kesenjangan antara teologi dan praksis pelayanan, dengan cara membangun sebuah visi atau refleksi teologis yang sehat dan menjadi nilai utama yang terpenetrasi dan mempengaruhi seluruh dinamika pelayanan. Tim Keller men-jelaskan hal ini dengan menarik. Ia mema-parkan bahwa gereja pada umumnya memiliki “perangkat lunak” kebenaran doktrinal, peng-akuan iman, falsafah teologis, atau eksposisi biblikal. Gereja juga pada umumnya memiliki “perangkat keras” praktik pelayanan, struktur organisasi, tata gereja, atau sistem pengelolaan pelayanan. Tetapi, kedua hal ini saja tidak cukup dan justru malah sering dipertentangkan satu sama lain. Gereja membutuhkan “perangkat tengah” (middleware) refleksi teologis, yaitu bagaimana konsep teologis yang solid diejawantahkan dan dihidupi dalam konteks yang spesifik. Agaknya, refleksi teologis ini yang akan sangat menentukan respons gereja ketika menghadapi berbagai perubahan zaman dan tantangan eksternal seperti pandemi. Refleksi teologis inilah yang akan membuat kebenaran Alkitab tidak hanya menjadi milik para tokoh Alkitab atau teolog, tetapi menjadi milik seluruh jemaat Kristus. Namun, apa dan bagaimana sebenarnya bentuk konkret dari refleksi teologis ini? Ed Stetzer menjelaskan bahwa refleksi teologis ini merupakan hal berharga yang harus dimiliki dan dihasilkan oleh pemimpin gereja. Ia menyebutnya dengan istilah “praktikalitas.” Praktikalitas ini berbeda dengan pragmatisme atau semangat hanya mau mengurusi hal-hal operasional tanpa memikirkan hal-hal yang filosofis, teologis dan fondasional. Praktikalitas ini adalah kemampuan pemimpin dan jemaat gereja untuk mencerna teologi secara dalam dan matang, kemudian mengartikulasi-kannya dalam praktik hidup keseharian dan pelayanan, untuk memobilisasi umat Tuhan melaksanakan kehendak Allah di tengah dunia. Praktikalitas ini dapat dibangun dengan misalnya memasukkan aspek refleksi teologis, ilustrasi, atau aplikasi yang konkret di dalam khotbah dan pengajaran, serta melatih jemaat untuk bertanya: “Apa artinya bagi saya?” untuk setiap kebenaran teologi yang dicerna dan didapatkan. Kedua, gereja perlu fokus kepada ibadah sebagai sentral (central) dalam pelayanan, tetapi bukan pusat (center) dari bagian-bagian pelayanan yang lain.Pelayanan ibadah seharusnya tidak dianggap lebih superior dan semua bidang pelayanan lain hanya “pelengkap” untuk ibadah. Melainkan, pelayanan ibadah seharusnya menjadi sentral yang menjadi pusat pertemuan sekaligus memberi daya bagi sendi-sendi kehidupan gerejawi lainnya. Melalui pelayanan ibadah yang dipersiapkan dengan baik, meliputi liturgi yang menceritakan Injil Kristus, khotbah yang berakar pada pengajaran Kitab Suci yang kokoh dan lurus, serta sakramen yang dilaksanakan dengan setia, jemaat dapat dipikat dalam narasi misi Kristus di dalam dunia dan justru digerakkan untuk menghidupi dan mewartakan Injil. Ibadah yang dipersiapkan dengan baik juga dapat menjadi kesaksian bagi orang-orang di luar kekristenan tentang narasi Injil yang menyelamatkan. Adalah penting untuk mempersiapkan ibadah dengan baik, tetapi perlu dicatat juga bahwa pelayanan ibadah bukanlah satu-satunya apalagi segala-galanya di dalam dinamika bergereja. Perlu disadari bahwa pelayanan ibadah pasca-pandemi mungkin akan berbeda dengan keadaan sebelum pandemi. Setelah adanya budaya pelayanan daring, gereja perlu memikirkan dengan strategis mengenai pertemuan-pertemuan yang dilakukan dan secara fisik, dan pelayanan serta penjangkauan yang dapat atau perlu juga dilakukan secara digital. Konsekuensinya, alokasi dana untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas fisik dapat dialihkan guna menunjang bentuk-bentuk pelayanan lain. Pun pelayanan ibadah dapat secara bersamaan dikelola sebagai sarana penjangkauan dan pemberitaan Injil dalam dunia global. Ketiga, gereja perlu berfokus pada pembinaan dan pemuridan berbasis keluarga. Masa pandemi telah menunjukkan bahwa pelayanan mimbar yang terpusat hanya dari dan di dalam gereja, serta dilakukan semata-mata oleh rohaniwan sebagai tenaga profesional, adalah tidak cukup dan sangat terbatas dalam menjawab kebutuhan rohani jemaat. Di tengah realita jemaat yang “dipulangkan ke rumah” dan segala sesuatunya berlangsung dari rumah, maka pelayanan keluarga menjadi sangat sentral dan penting. Urgensi pelayanan keluarga ini menjadi tambah meningkat dalam konteks pelayanan yang mungkin minim tenaga rohaniwan profesional. Karena itu, gereja perlu menyadari dan mengedepankan pen-tingnya pelayanan pembinaan iman dan pemuridan yang dimulai dan berbasis dari keluarga. Dalam bentuk ini, keluarga dipandang sebagai pemurid yang utama dan gereja memainkan peran untuk memperlengkapi orang tua membina iman anak-anak. Gereja dapat menjalankan pelayanan ini misalnya dengan memperlengkapi dan melatih orang tua dalam materi dan keterampilan mengadakan ibadah keluarga, mengajar sekolah Minggu anak-anak di rumah, dan mengadakan percakapan iman (faith talk), serta menyediakan mentor-mentor yang dapat mendampingi orang tua dalam proses bertumbuh membina iman anak dari rumah. Keempat, gereja perlu berfokus pada pelayanan pastoral yang menekankan relasi personal yang mendalam. Sudah banyak saran-saran pelayanan dan konsep penggembalaan yang mengemukakan pentingnya orang (people) daripada program. Tetapi, sesering itu pula “relasi dengan orang” yang digemakan itu justru kembali berakhir dan terhenti menjadi sebuah program lain. Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan hal ini, tetapi harus diakui bahwa menjalin relasi yang otentik dan mendalam merupakan perkara yang tidak mudah dan bahkan bisa menuntut harga yang “lebih mahal” dibandingkan dengan menjalankan agenda kegiatan semata. Tentu saja keter-batasan kapasitas seorang rohaniwan tidak akan cukup untuk menopang kebutuhan relasional ini. Karena itu, gereja perlu beralih dari pelayanan yang berpusat pada rohaniwan (pastor-centered) menjadi kombinasi dan sinergi antara pelayanan rohaniwan dan para pemimpin awam. Tenaga rohaniwan tidak lagi berfungsi sebagai “pemain tunggal” (sole doer) dan satu gembala bagi seluruh gereja, melainkan berubah menjadi pemerlengkap (equipper) tubuh Kristus dan gembala bagi para gembala lain. Hanya dengan sinergi, kolaborasi, dan pemberdayaan kaum awam seperti ini, relasi yang mendalam antara seluruh anggota tubuh Kristus dapat tercipta. Kelima, gereja perlu fokus kepada pengembangan pelayanan dan penjangkauan generasi muda. Pelibatan dan penjangkauan kaum muda ini menjadi penting khususnya di era setelah pandemi, ketika pelayanan digital akan menjadi sebuah keniscayaan. Fokus melibatkan dan menjangkau generasi muda ini dapat dimulai dengan misalnya memberi ruang bagi hamba-hamba Tuhan muda (junior) untuk mengambil peran strategis dalam pelayanan, sementara hamba Tuhan senior dapat berperan sebagai mentor, pelatih, atau penasihat yang mendukung. Selain itu, gereja juga perlu membuka pintu lebih lebar bagi generasi muda untuk berada pada posisi konseptor, pengambil keputusan, atau bagian dari tim kepemimpinan, dan bukan hanya “pelaku” atau “asisten” dari orang-orang dewasa. Sebagai catatan, pelibatan generasi muda dan pemuridan berbasis keluarga sebenarnya da-pat dijalankan bersamaan melalui model pelayanan intergenerasi. Pelayanan intergenerasi terjadi ketika sebuah gereja secara intensional membawa dan memfasilitasi berbagai generasi yang berbeda untuk terlibat di dalam proses saling beribadah, berkomunitas, dan melayani bersama-sama sebagai bagian dari satu ke-satuan tubuh Kristus. Pelayanan intergenerasi dibangun atas keyakinan bahwa seluruh anggota jemaat, dalam kelompok usia mana pun, adalah bagian yang sama penting dan setara dalam kesatuan tubuh Kristus, dan pertumbuhan dapat terjadi dengan lebih ideal jika diupayakan ketersalingan. Pelayanan intergenerasi memberi ruang bagi pemberdayaan generasi muda sekaligus memperlengkapi orang tua untuk menjadi pembina iman dan teladan rohani. Terakhir, gereja perlu berfokus pada kapasitas pengutusan (sending capacity) ketimbang kapasitas penampungan jemaat (seating capa-city). Pandemi membukakan gereja bahwa Kerajaan Allah memiliki cakupan global dan bukan hanya berdimensi lokal dalam satu gereja atau sinode tertentu. Maka, sudah sepa-tutnya gereja mengubah tolok ukur keberhasilannya dari kehadiran (attendance), bangunan fisik (building), dan keuangan (cash) menjadi kapasitas pengutusan (sending) jemaat sebagai pelayan Allah di tengah dunia. Gereja perlu mengingat bahwa umat Allah seharusnya di-utus ke tengah dunia, bukan hanya di dalam tembok gereja. Gereja perlu memperlengkapi jemaat untuk menjadi utusan “misi” Allah di dalam pekerjaan, keluarga, lingkungan, bahkan dunia digital.
KESIMPULAN
Gereja yang tenggelam, bertahan, atau berkembang? Masa pandemi telah menjadi sebuah gelombang besar yang mengejutkan pelayanan gereja. Sampai sekarang, masih belum jelas kapan pandemi ini akan berakhir dan apa (saja) sisa-sisa dampak yang ditinggalkannya. Tetapi, gereja Tuhan mempunyai pilihan: akan “tenggelam” dan mati (dying), bertahan (surviving) atau justru maju pesat dan berkembang (thriving). Anugerah Allah yang akan memampukan gereja tetap bertahan dan bahkan berkembang di tengah realitas pandemi, tetapi juga diperlukan antisipasi dan langkah-langkah hikmat yang diambil dan diterapkan. Kiranya cerminan wajah gereja yang telah ditunjukkan selama masa pandemi ini tidak kembali diabaikan, tetapi justru dapat dijadi-kan bahan refleksi dan evaluasi untuk menaati kehendak Tuhan dengan lebih efektif dan jernih. (STT BAPTIS INJILI, CEPOGO, BOYOLALI, JATENG, 2020, TITUS ROIDANTO), 🙏🙏🙏Selamat menghikmati perubahan, 🙌🙌🙌Tuhan memberkati
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Stetzer, Ed. “Time for a New Normal,” Christianity Today, 9 Juli 2020, diakses 20 Desember 2020. https://www.christianity today.com/edstetzer/2020/july/time-for-new-normal.html.
Wright, N. T. “Christianity Offers No Answers About the Coronavirus. It’s Not Supposed To.” Time, 29 Maret 2020, diakses 15 November 2020. https://time.com/5808495/ coronavirus-christianity.
———. God and the Pandemic: A Christian Reflection on the Coronavirus and Its Aftermath. Grand Rapids: Zondervan, 2020.
Handoko, Yohanes. “Gereja Berbasis Anak Muda.” Disampaikan dalam Rembuk Nasional STT Baptis Injili. Boyolali, 10 Mei 2020.
Handoko, Yohanes. “Tantangan yang Dihadapi Gereja-gereja Perkotaan di Masa Pandemi dan Pascapandemi.” Disampaikan dalam Rembuk Nasional STT Baptis Injili. Boyolali, 10 Mei 2020.
———. “Webinar Hasil Survei Pengalaman Ibadah Jemaat dalam Ibadah Online.” Pusat Studi Pertumbuhan Gereja  STT Baptis Injili. Boyolali, 8 Juni 2020.
Hutahean, Hasahatan, Bonnarty Steven Silalahi, Linda Zenita Simanjuntak. “Spiritualitas Pandemik: Tinjauan Feno-menologi Ibadah di Rumah.” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat 4, no. 2 (Juli 2020): 234-249, https://doi.org/10.46445/ejti.v4i2.270
Irawan, Handi dan Cemara A. Putra. “7 Tantangan Gereja di Masa Pandemi COVID-19 dan Alternatif Solusinya.” Bilangan Research Center, 2020. Tidak diterbitkan.
Marshall, Collin dan Tony Payne. The Trellis and the Vine: The Ministry Mind-shift that Changes Everything. Sydney: Matthias Media, 2009.
Partners in Ministry. “How Did a Range of Churches Meet the Challenge of Church on Sunday 22nd March 2020?” Partners in Ministry. Maret 2020. Diakses 28 Agustus 2020. https://www.partnersinministry.com/ resources/churches-under-self-isolation.
Piper, John. Coronavirus and Christ. Wheaton: Crossway, 2020.
Roidanto, Titus. “Respons Gereja Terhadap Pengalaman Ibadah Jemaat dalam Ibadah Online.” Disampaikan dalam Webinar Hasil Survei Pengalaman Ibadah Jemaat dalam Ibadah Online. Pusat Studi Pertumbuhan Gereja (PSPG) STT Baptis Injili. Boyolali, 8 Juni 2020.
Powell, Kara dan Chap Clark. Sticky Faith: Everyday Ideas to Build Lasting Faith in Your Kids. Grand Rapids: Zondervan, 2011.
Powell, Kara dan Steven Argue. Growing With: Every Parent’s Guide to Helping Teenagers and Young Adults Thrive in Their Faith, Family, and Future. Grand Rapids: Baker, 2019.

Selasa, 20 Juli 2021

💫SABDA YUNAR💫KEKOSONGAN DAN KESOMBONGAN

💫SABDA YUNAR💫Kekosongan dan Kesombongan, Roma 8:28
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Mobil pribadi tak lagi beranjak dari garasi. Jet pribadipun terparkir rapi di bandara. Lalu lintas udara telah ditutup. Masing-masing negara  focus untuk merawat warganya, berperang melawan musuh kecil yang tak terlihat.Setiap manusia terkurung dalam kamarnya. Pakaian dari designer terkenal, sepatu dan jam bermerek, minyak wangi dan seonggok alat make up kehilangan artinya, tergeletak tak berguna.Tak ada lagi meeting mendadak ataupun bisnis meeting yang menyita waktu sehingga sering kali kita tak punya lagi waktu untuk keluarga dan untuk Tuhan. Tak ada lagi pesta yang harus dihadiri, tak ada lagi nonton bareng, tak ada pula tongkrongan di cafe, tak ada lagi arak2an dan pesta seni, bahkan uang pun terhenti di bank.. semua tak ada arti. Apalg yg bisa disombongkan & dibangga2kan dlm keadaan spt ini? Saat ini Tuhan sedang membukakan mata setiap orang ..Yg terpapar di RS saat ini dengan kelas yang sama tidak ada lg kelas VIP , Super VVIP .. Orang Banyak harta , orang Miskin harta bersatu di ruang & kelas yg sama utk berjuang melawan penyakit dengan pelayanan yg sama. Saat meninggalpun di peti yang sama tidak ada lg peti berlapis emas & tanpa bisa ditemani org2 tercinta ke liang lahat. Orang Kaya  saat sehat semua orang mendekat & saat divonis terkena virus mematikan ini, wlupun kaya raya semua org menjauh. Bahkan hal gereja yang megah dan mahal pun sekarang kosong, tiba waktunya setiap orang menyembah Tuhan dalam roh dan kebenaran di dalam hati. Yang kita butuhkan hanya makanan dan udara tuk di hirup, kita hanya ingin hidup. Selebihnya menjadi tidak penting lagi.Dunia tak pernah melihat kesombongan narsis seperti di jaman ini! Kabar baiknya; kita diberikan 1 kesempatan lagi untuk introspeksi, melihat kedalam diri, bertanya kepada Tuhan: "Kenapa Tuhan membiarkan saya hidup?" Untuk bersuka2 atau untuk membeli mobil barukah? Atau mungkin untuk menyelesaikan pendidikan sarjana?Apakah tujuan hidupku sekarang? Apakah tujuan hidupku setelah pandemi Covid 19?Mengapa Tuhan menyelamatkan aku dan mengijinkan yang lain mati? Manfaat apa yang harus kubawa untuk sesamaku manusia, apa yang harus kulakukan dengan sisa hidupku untuk Tuhan sehingga Tuhan memberikan ku satu kesempatan lagi?Pada waktu ini TUHAN ijinkan COVID-19 datang, sehingga kesulitan menimpa kita dan memaksa kita untuk melepaskan semua kesenangan, kebanggaan dan agenda pribadi kita.Tanpa kita sadari seringkali kita menomor-sekiankan TUHAN dan lebih mengutamakan hal-hal lain melebihi hubungan kita dengan TUHAN. Hari-hari ini iman kita sedang diuji dan kita dipaksa untuk menghancurkan semua berhala kita dan membangun hubungan dengan TUHAN dan dengan keluarga. • Yang memberhalakan olahraga, sekarang semua stadion dipaksa tutup. • Yang memberhalakan uang sekarang ekonomi runtuh. • Yang memberhalakan *pekerjaan*, sekarang tidak bisa pergi bekerja.• Yang memberhalakan pergaulan, sekarang tidak bisa bertemu teman-teman.• Yang memberhalakan pengetahuan dan kepintaran, sekarang sekolah2 dan kampus tutup.• Yang memberhalakan makan-minum sekarang cafe dan restoran tutup.• Yang memberhalakan pesta, sekarang kumpul-kumpul dilarang.• Yang memberhalakan jalan-jalan atau liburan, sekarang mall,  tempat2 wisata tutup dan penerbangan cancel.• Yang memberhalakan bentuk tubuh, sekarang salon kecantikan dan tempat2 gym tutup.• Yang memberhalakan pelayanan dan gedung gereja yang megah, sekarang pertemuan ibadah dilarang dan harus live streaming.• Yang malas pulang ke rumah dan suka kesal dengan suami/istri/anak/orang tua, sekarang setiap hari siang-malam HARUS berkumpul dengan keluarga.TUHAN itu baik! TUHAN tidak merancang kita untuk hancur.Di tengah-tengah situasi sulit ini TUHAN ingin kita kembali bersekutu dengan-Nya melebihi apapun dan DIA ingin kita mengetahui bahwa DIA sedang bekerja dan memulai musim yang baru bagi anak-anak-Nya. Mari kita berdoa dan bertobat. Membuat komitmen baru untuk menjalani hidup ini dengan lebih berarti🙏❤Tetap Lakukan yg Terbaik untuk semua orang. Tuhan Yesus memberkati. Amin.🙏🏻Lepaskan yang lain, temui DIA dalam tempat rahasia-Nya dan dapatkan hati-Nya. Selamat Merenung🙌🙌🙌TUHAN memberkati. 🙏🏻🙏🏻🙏🏻berkah Dalem Sang Kristus

Jumat, 16 Juli 2021

💫SABDA NYUNAR💫TAK KENAL LELAH

💫SABDA NYUNAR💫TAK KENAL LELAH, Bacaan Injil Minggu ini diambil dari Markus 6:30-34, 53-56. Bacaan Injil dua Minggu lalu mengenai Yesus yang ditolak di kampung-Nya sendiri kemudian Yesus malah makin bergiat melayani masyarakat. Bahkan untuk meningkatkan pelayanan Yesus mengutus murid-murid-Nya berjalan berdua-dua. Dalam bacaan Injil Minggu ini para murid berkumpul kembali dan melaporkan apa yang telah mereka kerjakan dan ajarkan. Yesus kemudian mengajak mereka ke tempat sunyi untuk beristirahat. Dinarasikan di dalam Injil bahwa selama ini mereka sibuk melayani masyarakat sehingga untuk makan pun mereka tidak sempat. Berangkatlah mereka menyeberang danau untuk mengasingkan diri sementara waktu (ay. 30-32). Rupanya kepergian mereka dilihat oleh banyak orang. Orang-orang itu kemudian mengambil jalan pintas menyusul Yesus dan murid-murid-Nya. Ketika mereka tiba di seberang, Yesus melihat banyak orang menanti mereka sehingga tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan. Orang-orang itu seperti domba yang tidak memiliki gembala. Yesus kemudian mengajarkan banyak hal kepada orang-orang itu (ay. 33-34). Bacaan Injil kemudian berpindah ke ayat 53-56. Dari tempat sunyi itu Yesus dikisahkan pergi dan mendarat di Genesaret. Ketika Yesus dan para murid keluar dari perahu, orang-orang mengenali mereka. Tersebarlah berita itu dan berlari-larilah mereka ke daerah itu dengan mengusung orang-orang sakit untuk menemui Yesus. Ke mana pun Yesus pergi, ke desa-desa, ke kota-kota, orang meletakkan orang-orang sakit di pasar dan memohon kepada Yesus untuk hanya menjamah jumbai jubah-Nya. Dikisahkan semua orang sakit yang menjamah-Nya menjadi sembuh. Lagi-lagi Yesus dan para murid tidak bisa mengambil rehat. Bacaan Injil bagian pertama secara terang benderang memerikan (describe) sisi manusiawi Yesus dan para murid yang merasa kelelahan melayani masyarakat. Mereka butuh rehat untuk mengisi “batere”. Rupanya masyarakat sangat haus atas pelayanan.  Yesus menunda rehat karena merasa kasihan kepada orang-orang itu. Kasihan di sini sebenarnya merujuk belarasa (compassion), karena disebutkan bahwa orang-orang seperti domba yang tidak memiliki gembala. Bacaan Injil bagian kedua menunjukkan sikap solidaritas orang-orang kepada mereka yang tak berdaya seperti tertulis “…berlari-larilah mereka dan mulai mengusung orang-orang sakit …” Tidak dikatakan oleh teks bahwa yang mengusung orang-orang sakit itu keluarga. Juga tidak dikatakan orang-orang itu menasihati para penderita penyakit itu. Beberapa waktu lalu terbetik kabar bahwa tim petugas pemakaman jenazah Covid19 di Klaten, Jawa Tengah, mengubur peti mati kosong, karena jenazahnya masih di rumah sakit. Untuk beberapa kalangan warta itu mengundang gelak. Akan tetapi di balik itu sungguh menyayat hati. tidak akan menunjukkan jari siapa yang bersalah. melihatnya sebagai akibat faktor kepenatan tenaga kesehatan (Nakes). Yang menarik dari kejadian itu para Nakes tetap bersemangat untuk lebih memantapkan komunikasi. Meski melelahkan, tak boleh berhenti untuk tugas kemanusiaan. Kita (saya dan orang-orang yang berpikiran waras) melihat Nakes bekerja, bekerja, dan bekerja melayani masyarakat, menyembuhkan, dan menyelamatkan para pasien Covid19. Mereka tampak tak mengenal lelah, walau sebenarnya mereka juga kelelahan karena mereka manusia biasa. Mereka merindu berkumpul bersama dengan keluarga. Dalam pada itu masyarakat yang kurang waras berbuat sebaliknya. Mereka menafikan bahaya penularan dengan melalaikan protokol kesehatan, mengolok-olok Nakes. Giliran mereka terjangkit, mereka mula menyalahkan pemerintah, menuding Nakes penipu, menyebarkan ujaran kebencian kepada Nakes. Padahal dalam banyak kasus mereka tidak jujur terjangkit sehingga menulari Nakes sampai meninggal. Pemerintah dengan segala kekurangannya lewat para Nakes bekerja tanpa kenal lelah menyelamatkan rakyat. Seburuk-buruknya pemerintah tidak mau ada pandemi, pemerintah tentu saja hendak menjalankan program politik mereka tanpa terganggu oleh pandemi. Tidak masuk akal sehat jika pemerintah senang ada pandemi. Apalah daya Covid19 merupakan kenyataan yang tak dapat ditolak sehingga menjadi prioritas pengentasannya. Seperti Yesus dan para murid menunda rehat, hasrat dan belarasa para Nakes menyelamatkan penderita Covid19 membangkitkan semangat solidaritas di antara masyarakat. Ada yang menopang tetangga yang sedang mengisolasi diri, ada yang memberikan peralatan dan bahan kesehatan, dan bahkan ada yang membantu menyediakan peti jenazah. Bagi para Nakes menyelamatkan nyawa manusia jauh lebih besar daripada memikirkan celaan dan cemooh dari para penyinyir yang terhimpit radang kewarasan. Lelah memang, tetapi menyerah menyelamatkan nyawa bukanlah pilihan.🙏🙏🙏Selamat berbela rasa dan turut merasa bersama para nakes🙌🙌🙌Tuhan memberkati

BINA IMAN MASA PANDEMI,SERIAL SUDUT PANDANG

BINA IMAN MASA PANDEMI, SERIAL SUDUT PANDANG
Gereja sebagai tubuh Kristus, sejak awal keberadaannya telah terpanggil dan berkewajiban untuk mengemban bina iman di dunia ini. Secara umum bina iman yang dijadikan dasar tugas dan panggilan gereja tercantum di dalam Matius 28:19-20. Bina iman tersebut kemudian dimanifestasikan oleh gereja dalam berbagai bentuk misi, program kerja, dan pelayanan. bahwa dengan konsisten melakukan bina iman, gereja justru akan menjadi lembaga yang dinamis serta dapat terus bertumbuh dan berkembang. Sejarah sendiri mencatat bahwa sejak berdirinya, gereja telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan dari masa ke masa. Jika dibandingkan dengan perubahan pada masa Reformasi di abad pertengahan, maka gereja kini memasuki fase perubahan yang lebih maju. Perkembangannya kali ini tidak hanya berkaitan dengan adanya perubahan aristektur bangunan, perbaikan kualitas infrastruktur, restrukturisasi organisasi, reformasi doktrin, tetapi juga mencakup upaya gereja memodernisasikan dan atau mengkontekstualisasikan pola pelayanannya di setiap zaman yang berbeda.Gereja seharusnya tidak menutup diri terhadap arus globalisasi dengan menggunakan berbagai macam alasan. bahwa beberapa faktor seperti penekanan berlebih pada tradisi dan tata cara yang berjalan selama ini, pentingnya membudidayakan sistem di dalam gereja, rasa aman dan nyaman pada kondisi yang ada, serta keraguan dan pemikiran sempit dari para pembuat keputusan, mengakibatkan gereja bertabrakan dengan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Konsistensi pelaksanaan misi gereja yang diharapkan berkembang pesat dan secara holistik dirasakan manfaatnya oleh orang percaya sebaliknya akan menjadi stagnan dan mengecewakan. Apa yang dimaksud dengan pelayanan yang holistik? Kata holistik itu sendiri seringkali dikaitkan dengan kata “kesehatan” yang merujuk pada kondisi kesehatan baik secara fisik, spiritual, mental, dan sosial. Karena itu pelayanan yang holistik dapat dipahami sebagai bentuk pelayanan yang menyeluruh dan menjangkau segala dimensi kebutuhan manusia. Dengan kata lain, pelayanan yang holistik tidak semata-mata. berbicara tentang kegiatan-kegiatan peribadahan atau penginjilan yang menyentuh bagian rohani seseorang tetapi juga jasmani.Pandangan lain mengenai jenis pelayanan ini adalah bahwa pelayanan yang gereja lakukan merupakan pelayanan yang bertujuan membentuk iman serta menghasilkan regenerasi pelayan dari lingkup jemaat. Inti dari bina iman sejatinya adalah sebuah kegiatan pemuridan (Yunani: μαθητεύσατε). Pemuridan dapat berimplikasi pada kegiatan penginjilan seperti yang dimengerti secara umum, yakni membuat orang menjadi percaya. Namun pemuridan juga dapat diimplementasikan dalam bentuk pengajaran atau mendorong seseorang untuk melakukan pelayanan, apa pun bentuk dan segmentasinya. Pendapat di atas benar adanya sebab pelayanan-pelayanan gereja yang selama ini berjalan secara virtual di masa physical distancing, tidak mendidik dan mengikutsertakan umat agar semakin mandiri dan terlibat dalam pelayanan. Hal ini sangat disayangkan karena pada satu pihak dengan luasnya lingkup pelayanan gereja baik itu mencakup wilayah maupun populasi jemaat, cara ini sebenarnya akan menolong para pemimpin gereja sehingga konsisten menjangkau kebutuhan semua komponen umat yang berada dalam kondisi dan situasi apapun. Meskipun dengan langkah seperti ini beban pelayanan pun semakin ringan, itu tidak berarti bahwa para rohaniwan melepas tangan dari tugas dan mandate pelayanan yang telah diterima.Dengan demikian, pelayanan yang holistik sangat kontekstual dengan kondisi dan kebijakan-kebijakan yang berlaku di masa pandemi seperti ini. Pembatasan mobilitas warga di luar rumah dan keharusan melakukan banyak hal dari rumah masing-masing, menjadikan keluarga kembali hidup sebab lebih banyak waktu bagi setiap anggota keluarga untuk bersosialisasi satu dengan yang lain. Ini adalah kesempatan yang perlu ditangkap oleh gereja yang ingin melayani dan memberdayakan umat dalam komunitas yang lebih kecil seperti keluarga.Gereja yang mengemban misinya dalam bentuk-bentuk pelayanan kepada umat perlu memperhatikan dengan seksama kebutuhan dari umat tersebut. Pelayanan yang dilakukan bukanlah pemenuhan agenda gereja semata tetapi juga mencakup kerinduan gereja untuk mambangun dan mengembangkan kedewasaan dan kematangan rohani jemaat. Kerinduan ini diterapkan dalam konsep pembinaan warga gereja yang holistik.Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa terbatasnya kesempatan, tenaga, dan waktu para pendeta, penginjil atau rohaniwan dalam penatalayanan tatap muka secara fisik dari rumah ke rumah. Begitu pula dengan pelayanan online seperti ibadah-ibadah umum, seminar, diskusi teologis yang dirasa kurang mengena ke permasalahan dan kebutuhan lapisan sosial dan ekonomi orang percaya. Jika ini dibiarkan, tentu akan menciptakan komunitas umat yang tidak terjangkau oleh pelayanan dan pemberitaan Injil. Target dari implementasi bina iman adalah semua manusia dijangkau oleh pemberitaan Injil Yesus Kritus. Pandemi Covid-19 yang terjadi di era digitalisasi pada satu sisi merupakan bencana kemanusiaan secara global, namun di sisi lain dapat menjadi momen bagi gereja agar misi gereja dapat tersebar lebih luas lagi, menjangkau orang-orang yang belum terjangkau. Orang-orang seperti apa yang dikategorikan belum terjangkau, belum tersentuh, dan belum terlayani oleh gereja di zaman yang semakin maju seperti ini?  dibedakannya menjadi dua jenis, pertama, Generasi Zaman Ekspansi internet dan dimulainya era reformasi industri 4.0, ditambah lagi dengan kemunculan Covid-19 turut mendukung terciptanya generasi baru, yaitu Generasi Z (selanjutnya akan disebut Gen Z). Generasi ini secara umum identik dengan angkatan yang lahir setelah tahun 1994 yang diklaim lebih pragmatis, analitis, melek teknologi.Disebut demikian karena generasi ini lahir dan bertumbuh di masa digitalisasi di mana segala informasi dan kebenarannya dapat diakses secara mandiri. Meskipun istilah ini biasanya ditujukan untuk kelompok usia remaja yang fasih menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, namun menurut penulis dengan munculnya berbagai fenomena belakangan ini seperti salah satunya Covid-19, maka secara fungsionalitas istilah Gen Z bisa juga mencakup usia anak-anak dan dewasa atau orang tua yang dituntut melakukan banyak aktivitas dengan menggunakan gawai dan sosial media.Beberapa faktor menjadikan generasi ini memiliki probabilitas yang cukup tinggi untuk menjadi kelompok masyarakat yang tidak terjangkau misi pelayanan gereja. Alasan pertamanya adalah karena laju perkembangan teknologi berbasis virtual menjadikan komunitas ini terbiasa dengan akses internet secara masif dan bebas. Hal ini ditopang dengan kemudahan masyarakat membeli perangkat teknologi dengan harga yang kompetitif, layanan jaringan internet yang semakin merata, penawaran kuota data yang beragam dan menarik daya pikat dari berbagai perusahaan operator telekomunikasi, munculnya bermacam-macam aplikasi menarik seperti sosial media, komunikasi, fotografi, edukasi, berita, dan gaming, serta bertambah maraknya penyelenggaraan jumlah kegiatan yang bersifat virtual.Letak problematika dari semua keuntungan di atas adalah kemudahan dan kebebasan para Gen Z berselancar di jagat maya dapat disalahgunakan. Pengawasan yang minim dari orang tua atau paling tidak kurangnya sikap mawas atau kesadaran diri sendiri, menjadikan siapa pun dapat “tersesat” di dunia maya. Ketersesatan ini diukur dari sejauh mana tingkat ketertarikan pengguna internet dan sosial media pada acara￾acara virtual kerohanian dibandingkan dengan tayangan-tayangan dan tampilan￾tampilan sekular lainnya pada waktu yang bersamaan. Tendensinya terletak pada minimnya minat para peselancar jagad maya dari kelompok Gen Z yang mengakses ibadah-ibadah atau konten-konten religi sebaliknya mereka lebih teradiksi pada game online atau tayangan lain yang lebih menghibur. Kurangnya minat ini disebabkan adanya asumsi bahwa konten-konten keagamaan tersebut terlalu berat untuk dikonsumsi oleh generasi yang serba praktis dan instan ini. Kedua, Masyarakat yang Gagap Teknologi, Sebagai negara yang masih terus berkembang menuju negara maju, Indonesia sedang berupaya agar kestabilan ekonomi dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik dapat dirasakan secara merata oleh masyarakat di seluruh penjuru nusantara ini. Pemerintah secara konsisten membangun dan menyempurnakan infrastruktur￾infrastruktur yang ada agar maksud dan tujuan tersebut dapat tercapai. Akselerasi pembangunan ini diharapkan mendukung dan menempatkan bangsa Indonesia di jalur menuju kemajuan di era globalisasi yang kian berkembang. Masa dimana teknologi informasi dan komunikasi seperti internet memainkan peranan penting dalam membantu negara dalam persaingan di dunia secara global.Salah satu infrastruktur yang menjadi fokus perbaikan dan pembangunan di Indonesia adalah jaringan telekomunikasi dan internet. Akan tetapi dengan luasnya wilayah, jumlah gugusan pulau yang mencapai ribuan serta masih banyaknya daerah terpencil yang sulit untuk dijangkau berimbas pada belum meratanya pembangunan jaringan internet. Dalam penelitiannya tentang pemerataan penyediaan teknologi informasi dan komunikasi di wilayah-wilayah kepulauan seperti Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, bahwa kesenjangan digital ini lebih banyak dirasakan oleh masyarakat di wilayah-wilayah Indonesia Timur.Hal ini berarti masih banyak wilayah yang memiliki keterbatasan dalam hal aksesibilitas jaringan internet.Konsekuensi sosial yang berpotensi tercipta adalah munculnya kelompok masyarakat yang gagap dengan perubahan dan penggunaan teknologi yang bersifat digital.Berdasarkan kondisi tersebut, maka komunitas warga yang dikategorikan sebagai masyarakat yang merem pada teknologi dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, ditujukan untuk orang-orang yang memiliki keterbatasan ekonomi untuk membeli dan memiliki perangkat canggih seperti ponsel pintar dan laptop yang dapat digunakan mengakses sosial media sebagai penyedia layanan internet. Termasuk masyarakat yang berada di wilayah yang tidak terjangkau layanan telekomunikasi dan internet, misalnya penduduk di wilayah pedesaan, kepulauan, dan daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).Begitu juga dengan mereka yang memiliki penghasilan rendah sehingga tidak dapat mengalokasikan penghasilannya untuk membeli paket data.Sedangkan yang kedua adalah mereka yang belum familier dengan dunia internet. Ketidakakraban pada teknologi digitalisasi yang penulis maksudkan bukan disebabkan oleh kecatatan mental atau penyakit bawaan, tapi lebih kepada kelompok masyarakat dengan usia tertentu, misalnya para lansia yang menemukan kesulitan saat akan menggunakan perangkat-perangkat canggih yang memang “asing” di era mereka. Atau bisa juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan di mana mereka tinggal, seperti yang telah diutarakan pada paragraf di atas. Berkaca dari kendala-kendala di atas, gereja dipastikan mengalami kesulitan ketika melaksanakan pemberitaan Injil secara virtual jika objek sasarannya justru tidak dapat dijangkau secara daring. Dampak yang lebih ekstrem adalah terciptanya spirituality loss baik di kalangan Gen Z maupun gererasi yang gagap dengan teknologi. bahwa spirituality loss ini dapat diartikan sebagai degradasi iman dan minat kerohanian dari sebuah generasi akibat terlalu lama tidak bersekutu dan jarang mendapatkan pelayanan pastoral dari gereja dan para rohaniwan. Generasi yang mengalami kehilangan spiritualitas akan menjadi angkatan yang tidak terjangkau oleh misi gereja meskipun berada di era digitalisasi yang tanpa sekat tempat dan waktu. Dalam mengimplementasi misi pelayanan sesuai bina iman di era revolusi industri 4.0 terlebih lagi di masa pandemi seperti ini, gereja seyogianya berusaha menjawab tantangan dari pesatnya perkembangan teknologi yang serba digital ini. Memanfaatkan internet dan media online untuk menjangkau lebih banyak orang dalam pelayanan misinya. Bahkan pada kesempatan yang sama pula, gereja dapat menolong jemaat untuk tidak mudah terjebak dengan ajaran-ajaran sesat yang juga memanfaatkan sarana-sarana digital untuk menyebarkan dogtrin mereka. Dengan demikian aktualisasi bina iman pada masa digitalisasi seperti ini sangat diperlukan.Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan juga Physical Distancing sejak awal April 2020, telah “memaksa” gereja untuk membuat terobosan￾terobosan di bidang pelayanan misi. Penutupan sementara tempat-tempat ibadah dan pelarangan aktivitas kerohanian yang bersifat fisik secara tidak langsung menciptakan adanya gereja digital. Denominasi-denominasi gereja akhirnya berlomba-lomba melakukan pelayanan secara online. Dalam pantauan, pelayanan-pelayanan tersebut dilakukan lebih instens di sosial media seperti youtube, instagram, dan facebook. Ada juga yang menggunakan aplikasi Zoom untuk berjumpa secara langsung dalam peribadatan atau acara-acara kerohanian yang dilangsungkan oleh gereja. Tidak ketinggalan, Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen pun secara konsisten memberikan informasi dan layanan mimbar Kristen setiap minggu di akun instagram dan saluran youtube-nya. Dengan cara seperti ini, jemaat tetap dan semakin mudah mendapatkan pelayanan rohani dari gereja. Orang Kristen dapat mengakses konten-konten rohani seperti penyelenggaraan ibadah di mana saja dengan menggunakan smartphone atau laptop yang terkoneksi dengan internet. Hal positif lainnya adalah dengan merebaknya gereja digital, kini orang Kristen dengan mudahnya mengikuti peribadahan dari denominasi lain yang berbeda dari gereja tempatnya beribadah selama ini. Meskipun begitu, rupa-rupanya situasi ini justru menjadi bumerang bagi gereja. Pertama, dengan akses yang sebebas-bebasnya kemungkinan jemaat memilih mengikuti siaran ibadah dari gereja lain semakin lebih besar. Ini bisa saja menjadi alasan kekuatiran gereja-gereja yang tidak menghendaki kehilangan jumlah anggota jemaatnya di masa mendatang akibat merasa tidak tersentuh dengan pelayanan gereja yang bersifat online itu. Kedua, demi menjaga keutuhan dan kesetiaan jemaat pada gerejanya, para rohaniwan berlomba-lomba membuat dan menampilkan konten ibadah daring yang semenarik mungkin. Gereja digital menjadi bias karena semakin terfokus pada bagaimana memperoleh jumlah views, like, dan subscribe yang banyak sebagai indikator keberhasilan pelayanan secara daring. Melupakan esensi sebenarnya dari misi pengabaran Injil yang dilakukan yaitu menjangkau dan memenangkan jiwa bagi Kristus. beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa dengan terfokusnya gereja pada pembuatan konten ibadah, beberapa pelayanan lain menjadi terbengkalai seperti pelayanan kepada kelompok usia tertentu, keluarga, konseling, sosial, dan penginjilan. Singkatnya menjangkau yg tak terjangkau, Kegiatan misi dan pelayanan dari gereja yang bersifat virtual kepada umat harus memperhatikan kondisi jemaat. Kondisi ini mencakup apakah lokasi umat dapat dijangkau dengan jaringan internet. Kemudian apakah orang percaya baik secara individu maupun kelompok yang menjadi sasaran pelayanan online tersebut memiliki perangkat untuk menikmatinya. Jika dua kendala ini yang dihadapi, maka gereja tidak boleh berpangku tangan dan menelantarkan anggota jemaat yang seperti ini.Walaupun misi gereja tetap dilaksanakan secara daring baik di era atau pun setelah pandemi berakhir, sebagai tubuh Kristus gereja juga harus melakukan langkah-langkah praktis demi menjangkau mereka yang belum terjangkau oleh kemajuan teknologi digital. Saat penyebaran wabah Covid-19 masih berlangsung, gereja yang virtual itu tetap dapat memberikan pelayanan secara tatap muka bersama anggota jemaat dengan memperhatikan protokol kesehatan secara ketat. Namun perlu ditegaskan di sini bahwa tatap muka dengan umat bukan berarti acara-acara keagamaan dalam skala sedang dan besar termasuk di dalamnya. Cara ini lebih kepada pelaksanaan pelayanan gereja yang bersifat pembinaan dan pemuridan. Strategi dan tujuan dari jenis penatalayanan seperti ini dapat dijelaskan seperti ini.Pertama, pembinaan rohani sedapat mungkin diselenggarakan dalam skala yang lebih kecil, misalkan pembinaan atau pemuridan di dalam keluarga. Pada masa pandemi seperti ini, keluarga menjadi pusat misi gereja digital. Karena itu, gereja perlu menyadari dan mengedepankan pentingnya pelayanan pembinaan iman dan pemuridan yang dimulai dan berbasis dari keluarga. Dalam bentuk ini, keluarga dipandang sebagai pemurid yang utama dan gereja memainkan peran untuk memperlengkapi orang tua membina iman anak-anak. Selain alasan yang disebutkan di atas, pembinaan rohani bagi keluarga juga penting karena di masa ketika semua kegiatan keagamaan yang dilaksanakan dari rumahsemakin intens, ketersediaan tenaga pelayan yang profesional justru tidak bertambahdan terbatas untuk menjangkau semuanya secara fisik. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan program pemuridan umat yang bertujuan menghasilkan orang percaya yang cakap dan siap untuk terlibat dalam pelayanan yang aktual di masing-masing keluarga. Langkah seperti ini dipercaya akan mendewasakan iman jemaat sehingga tujuan dari bina iman dapat tercapai.Keuntungan lain adalah orang-orang yang tidak bisa mengakses ibadah dan kegiatan rohani secara online tetap dapat merasakan pelayanan gereja melalui penatalayan hasil binaan gereja. Namun ini tidak berarti bahwa seluruh pelayanan gereja ditimpakan seluruhnya kepada jemaat hasil binaan. Pelaksanaan sakramen, pemberkatan nikah, dan pelayanan penguburan jenasah tentu masih menjadi tanggung jawab para rohaniwan yang memiliki mandat utama itu.Hal-hal praktis yang dapat dilakukan oleh gereja dalam pemuridan ini adalah dengan memberikan pembinaan dan pelatihan kepada para jemaat dewasa atau orang tua agar mereka memiliki kemampuan, keterampilan, dan keterbebanan untuk terlibat dalam pelayanan di rumah masing-masing. Contohnya, mampu mengajar anak-anak mereka dalam ibadah Sekolah Minggu di rumah, cakap dalam melakukan pelayanan persekutuan rumah tangga, serta secara aktif dan inisiatif mengadakan kegiatan Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) dan atau Pemahaman Alkitab (PA) di lingkup keluarga.Kedua, fokus dari pelayanan pastoral juga diarahkan untuk mengjangkau generasi muda yang semakin memegang peranan penting baik di era selama maupun setelah pandemi Covid-19. Gereja perlu menempatkan dan melibatkan orang-orang muda hingga masuk ke level bagaimana mereka memikirkan dan memutuskan sebuah program penatalayanan dan pengembangan pelayanan gereja yang kontekstual dengan era digitalisasi. Tujuannya adalah adiksi terhadap internet dari para generasi muda ini dapat diarahkan kepada hal-hal yang lebih baik dan bermanfaat, tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi gereja. Dengan begitu, angkatan yang milenial ini dapat menggunakan gadget yang mereka miliki untuk menghasilkan karya-karya yang kreatif dan inovatif di bidang kerohanian. Sebaliknya, ketika gereja tidak mampu dan tidak mau menjangkau mereka, maka generasi muda akan semakin tidak memiliki minat untuk terjun langsung dalam hal-hal yang bersifat religius. Spiritualitas milenial akan semakin menurun dan dikuatirkan menjadi preseden yang buruk bagi kelangsungan gereja dan pelayanannya di masa mendatang. Pelayanan-pelayanan pastoral di atas akan menciptakan pola pelayanan yang intragenerasi dan intergenerasi. Pelayanan intragenerasi berbicara tentang keterlibatan setiap generasi untuk melayani di generasinya masing-masing. Misalnya generasi muda secara aktif membentuk dan menyelenggarakan pelayanan bagi Generasi Z. Sedangkan pelayanan intergenerasi ada pelayanan yang melibatkan lebih dari satu generasi di dalamnya. Dalam hal ini pelayanan gereja melibatkan orang tua dan kawula muda. Zaman pasti akan berubah dan gereja yang ada di pusaran zaman itu juga akan dipengaruhi oleh perubahan itu. Masa pandemi virus corona yang terjadi di era revolusi industri 4.0 turut menuntun gereja memasuki perubahan menuju gereja yang digital.Seluruh bentuk ibadah dan pelayanan yang selama ini bersifat fisik, diganti dengan yang berbentuk virtual. Orang Kristen pun melakukan seluruh kegiatan kerohanian dari rumahnya masing-masing dengan memanfaatkan gawai, internet, dan sosial media. Akan tetapi, kemajuan peradaban ini masih menyisakan persoalan bagi jangkauan pelaksanaan misi gereja. Kendala-kendala seperti munculnya Generasi Z yang berpotensi tidak tertarik dengan acara-acara rohani yang dilakukan dengan monoton serta masih banyak umat yang gagap teknologi menempatkan mereka sebagai komunitas yang tidak terjangkau pelayanan gereja. Oleh sebab itu, gereja wajib mengevaluasi diri dan mengambil langkah-langkah yang strategis seperti mengembangkan pelayanan yang berciri khas pemuridan kepada orang tua maupun 

generasi muda agar dapat bekerja sama dengan gereja dalam menjangkau orang-orang yang belum terjangkau dan terlayani di masa yang semakin maju dan serba digital ini. 🙏🙏🙏Selamat membina iman pada masa pandemi, 🙌🙌🙌Tuhan memberkati STT BAPTIS INJILI, CEPOGO, BOYOLALI, JATENG, 2020, TITUS ROIDANTO

Jumat, 09 Juli 2021

MANUSKRIP INJIL YANG LAHIR DI MEJA SEMPIT, SERIAL PENGETAHUAN SABDA

MANUSKRIP INJIL YANG LAHIR DI MEJA SEMPIT, SERIAL PENGETAHUAN SABDA

Lukas memberi tahu pembaca, bagaimana ia mengumpulkan informasi sebelum dituliskan menjadi kitab Injilnya (Luk.1:1-4). Mayoritas sejarawan & penafsir menduga, informasi atau sumber yang dimiliki oleh Lukas adalah Injil Markus, sumber Q, & sumber L. Sumber Q (Jerman, "Quelle") adalah Injil hipotesis: kumpulan sabda Yesus yang ada dalam Injil Matius & Lukas, tetapi tidak ada di Injil Markus. Injil Markus tampaknya cukup tersebar luas dalam waktu relatif singkat, sehingga Lukas bisa memiliki salinannya. Sumber L adalah informasi khas yang hanya dimiliki oleh Lukas, tetapi tidak dimiliki oleh penulis Injil yang lain. Sumber Q diduga adalah bahan tertulis yang dimiliki oleh masing-masing penulis Injil Matius & Lukas, tetapi tidak dimiliki oleh penulis Injil Markus. Kira-kira sebanyak 29% isi Injil Lukas mengikuti Injil Markus; 13% dari sumber Q; 43% berdasarkan sumber L; & sisanya yang 15% adalah campuran dari dua atau tiga sumber. Sebagian bahan & informasi yang dimiliki oleh Lukas itu diduga masih berbentuk gulungan tertulis (scroll), belum berbentuk lembaran terjilid (codex, buku primitif). Richard Burridge (2005) mencoba mengintip alias merekonstruksi cara Lukas bekerja di kamarnya saat sedang menulis Injil. Burridge tertarik dengan pola ayunan, acuan bolak-balik antara Injil Markus & sumber Q, sebagai berikut:
• Luk. 1:1-3:2 (dari sumber L).
• Luk. 3:3-4:30 (campuran Markus 1:1-20 dengan sumber Q & L).
• Luk. 4:31-6:19 (mengacu ke Markus 1:21-3:19).
• Luk. 6:20-8:3 (paduan sumber Q & L).
• Luk. 8:4-9:50 (mengacu ke Markus 4:1-9:40).
• Luk. 9:51-18:14 (paduan sumber Q & L).
• Luk. 18:15-24:12 (dari Markus 10:13-16:8 & sumber L).
• Luk. 24:12-50 (dari sumber L).

Lukas boleh jadi memiliki salinan Injil Markus & sumber Q berbentuk gulungan papirus. Karena ruangan atau mejanya sempit, maka Lukas cenderung membuka gulungan Injil Markus itu tidak bersamaan dengan gulungan acuan lain. Lukas masih nyaman membuka bersamaan dua gulungan saja, yaitu gulungan acuan & gulungan baru yang sedang ditulisinya. Jika gulungan sumber Q digelar, maka Injil Markus digulung alias ditutup, demikian sebaliknya. Kecuali, saat Lukas mengintip bagian awal Injil Markus. Maka, tampaklah pola ayunan seperti di atas. Bagaimana dengan sumber L, apakah itu gulungan papirus juga? Rasanya tidak. Sebab, sumber L tampak "dibuka" bersama gulungan sumber Q. Sumber L kelihatannya bukan sumber tertulis, tetapi ingatan terhadap tradisi/sejarah lisan yang khas dimiliki oleh Lukas. Selamat mengerti kitab suci,  Tuhan memberkati,  STT BAPTIS INJILI, CEPOGO,  BOYOLALI, TITUS ROIDANTO) 

Kepustakaan:
Richard Bauckham (editor), The Gospels for All Christians: Rethinking the Gospel Audiences (Eerdmans, 1998).
Richard Burridge, Four Gospels, One Jesus? (Eerdmans, 2005).
David A. Black & David S. Dockery (editors), Interpreting the New Testament: essays on methods & issues (Broadman & Holman Publishers, 2001).
John Drane, Memahami Perjanjian Baru (BPK Gunung Mulia, 1996).
Simon J. Kistemaker, The Gospels in Current Study (Baker Book House, 1980).
A.A. Sitompul, Sinopsis Ketiga Injil (Lembaga Alkitab Indonesia, 1996)
David Wenham & Steve Walton, Exploring the New Testament, Volume One (InterVarsity Press, 2001).
David Wenham, From Good News to Gospels (Eerdmans, 2018).

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...