Jumat, 22 Juli 2022

Paradoks RUU KUHP, SERIAL SUDUT PANDANG

Paradoks RUU KUHP, SERIAL SUDUT PANDANG

Ada paradoks kehidupan yang sering tidak kita perhitungkan. Paradoks itu adalah ini. Orang ingin menegakkan yang baik, tetapi dengan cara dan output yang buruk. Paradoks ini nyata dalam penyusunan perundang-undangan kita. Misalnya saja dalam RUU KUHP. Maksud RUU KUHP ini  menegakkan kebaikan dan memberi manfaat bagi bangsa, tetapi cara dan efeknya berpotensi  menimbulkan keburukan dan kemudaratan. RUU KUHP ini diusulkan pemerintah via Kemenhumkam, dan kini menunggu pembahasan dan persetujuan DPR.

Tulisan ini difokuskan pasal 415 dan Pasal 416. Tujuan pasal-pasal ini mulia yaitu mencegah pelanggaran moral dan kita menjadi bangsa yang bermoral dan saleh. Pasal 415 mencegah perzinahan. Isinya ini: “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.” Pasal 416 untuk mencegah praktek ‘kumpul kebo’. Isinya: “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Ditinjau dari sudut agama, perzinahan dan praktek ‘kumpul kebo’ itu bukan saja tidak bermoral, tetapi juga merupakan tindakan dosa. Oleh karena itu, tujuan moral kedua pasal ini sangat bagus. Tidak ada agama mana pun yang menentangnya. Meski demikian, di sini juga paradoks dan persoalan yang harus kita waspadai. Sekali lagi, tujuan yang baik tidak selalu menghasilkan kebaikan. Bisa saja ia justru menghasilkan keburukan, dan bila tidak waspada ia mendatangkan kemudaratan. Empat Persoalan

Ada beberapa persoalan besar bila RUU KUHP pasal 415 dan pasal 416 ini disahkan. 

Pertama, pasal-pasal ini memberi ruang kepada negara untuk mengatur dan turut campur sampai masalah personal dan privat rakyatnya. Negara seperti kurang kerjaan mengatur ‘selangkangan’ rakyat.  Aspek mengerikan adalah negara mengintervensi urusan ‘kamar tidur’, baik di rumah maupun di hotel. Tidak ada pemisahan urusan publik dan urusan privat. Tidak ada tempat yang aman dan nyaman. Seluruh tubuh dan seluruh ruang hidup kita diintervensi dan berada dalam kontrol negara. Rakyat dipaksa hidup dalam aquarium, alias ruang kaca. Seluruh gerak-geriknya diawasi ketat. Hidup jadi sumpek. Menyetujui pasal ini berarti menyerahkan kebebasan kita, termasuk kebebasan para anggota DPR, untuk berada dalam pasungan negara. 

Kedua, pasal-pasal ini lebih cocok untuk negara teokratis. Pasal-pasal ini memasung kebebasan manusia dan menciptakan kemunafikan. Memang, kebebasan manusia itu bersifat paradoks. Ia bisa digunakan secara benar, bisa untuk hal buruk. Manusia itu bebas asalkan tidak ada norma sosial yang dilanggar. Normanya adalah sepanjang kebebasan itu tidak mengeksploitasi, tidak mengakibatkan kerugian bagi orang lain dan bagi masyarakat. Nah, tujuan pasal-pasal yang sangat utopis, mirip hukum di Afghanistan, ingin menciptakan bangsa yang baik dan saleh. Efeknya, demi penegakkan moral dan kesalehan, negara mengatur dan menentukan mana yang boleh, mana yang tidak boleh. Atas nama penegakkan moral dan demi kesalehan, negara mengawasi tingkah laku warga. Bahasa negara adalah bahasa hukum dan hukuman. Ironisnya, tindakan seksual ‘by consent,’ dengan persetujuan kedua belah pihak alias suka sama suka pun dihukum. Padahal, tidak seperti dalam kasus perkosaan, dalam relasi kumpul-kebo atau perzinahan tidak ada yang dirugikan atau dieksploitasi. Apakah perbuatan itu salah dan berdosa? Ya, salah dan berdosa! Di negara-negara yang menjadikan hukum agama sebagai hukum negara (teokratis), seperti di beberapa negara di Afrika dan di Timur Tengah, para pelaku perzinahan dan ‘kumpul kebo’ diganjar hukuman berat. Hukumannya dilempari batu sampai mati. Negara kita bukankah negara teokratis. Kita negara demokratis. Di semua negara demokratis pelanggaran moral seperti perzinahan dan ‘kumpul kebo’ berdasarkan suka sama suka tidak ditangani secara legal. Perzinahan dan ‘kumpul kebo’ dicegah melalui cara yang lebih ‘soft’ melalui pendekatan agama dan institusi pendidikan. Memang, negara tidak boleh terjebak pada legalisme karena akan menjadi pemerintahan otoriter berbalut agama. Kita pun menjadi munafik. Kesalehan bukan karena panggilan moral dan hati nurani, tetapi karena ketakutan pada hukuman. Seharusnya rakyat dibina untuk memiliki kesadaran moral karena pilihan cerdas dan panggilan nurani. 

Persoalan ketiga, pasal-pasal ini membuka peluang baru bagi oknum aparat untuk ‘memainkan’ perkara sehingga menjadi ladang bisnis baru. Banyak orang akan terkena imbasnya. Penjara akan penuh. Salah satu yang terimbas adalah mereka yang terpaksa ‘kumpul kebo’ karena negara menolak perkawinan beda agama. Betapa rumitnya hidup ini. Mau nikah dilarang negara, tetapi saat ‘kumpul kebo’ ditangkap negara. Mereka seperti ‘dijebak’ untuk melanggar aturan.

Persoalan keempat adalah bahwa pasal 415 dan pasal 416 akan membangkitkan ‘polisi-polisi moral’ di kalangan masyarakat. Ada potensi anarkisme. Semua orang saling mengawasi dan saling menghakimi. Tanpa undang-undang ini saja sudah banyak korban yang jatuh. Ada kasus di mana masyarakat memantau perilaku tetangganya, mengintervensi ruang tidur, menghakimi pasangan itu, menelanjangi mereka, lalu mempermalukan dengan memamerkannya di depan publik. Hadirnya undang-undang ini memberi legitimasi bagi berbagai kelompok masyarakat untuk menjadi polisi moral. Semua orang hidup dalam ancaman! Semua saling mengancam. Betapa mengerikan!

 Penutup

Keempat aspek di atas menunjukkan paradoksnya pasal 415 dan 416 RUU KUHP. Tujuan yang baik tidak selalu mendatangkan kebaikan. Sebaliknya bisa saja tujuan baik justru menghadirkan keburukan dan kemudaratan. Itulah sebabnya, guna mencegah ‘keusilan’ negara, oknum aparat dan kelompok masyarakat terhadap sesamanya, pasal-pasal bermasalah itu harus digugurkan.

22.05.2022 (T)

Jumat, 15 Juli 2022

Melihat hukum kasih dari Injil berbeda, Serial sudut pandang

Melihat hukum kasih dari 2 Injil berbeda, Serial sudut pandang

“𝘉𝘦 𝘤𝘢𝘳𝘦𝘧𝘶𝘭 𝘢𝘣𝘰𝘶𝘵 𝘳𝘦𝘢𝘥𝘪𝘯𝘨 𝘩𝘦𝘢𝘭𝘵𝘩 𝘣𝘰𝘰𝘬𝘴. 𝘚𝘰𝘮𝘦 𝘧𝘪𝘯𝘦 𝘥𝘢𝘺 𝘺𝘰𝘶 𝘸𝘪𝘭𝘭 𝘥𝘪𝘦 𝘰𝘧 𝘢 𝘮𝘪𝘴𝘱𝘳𝘪𝘯𝘵.” Markus Herzt

Apabila kita membaca “Hukum Kasih” dalam Injil sinoptis (Markus, Matius, dan Lukas) tampak mirip, tetapi narasi untuk menyampaikan “Hukum Kasih” itu berbeda-beda. Dalam Injil Yohanes tidak ada “Hukum Kasih”.

Hari ini adalah Minggu kelima sesudah Pentakosta. Bacaan ekumenis diambil dari Lukas 10:25-37 yang didahului dengan Amos 7:7-17, Mazmur  82, dan Kolose 1:1-14.

Perikop (𝘱𝘢𝘴𝘴𝘢𝘨𝘦) bacaan Injil Minggu ini oleh LAI diberi judul “Orang Samaria yang murah hati”. Saya kutipkan narasinya dari Alkitab LAI TB II 1997.

𝗟𝘂𝗸𝗮𝘀 𝟭𝟬:𝟮𝟱-𝟯𝟳 
Kemudian berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "𝘎𝘶𝘳𝘶, 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘬𝘶𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘭?" Jawab Yesus kepadanya: "𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮 𝘛𝘢𝘶𝘳𝘢𝘵? 𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘶𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮𝘯𝘺𝘢?" Jawab orang itu: "𝘒𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯, 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩𝘮𝘶, 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘮𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘫𝘪𝘸𝘢𝘮𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘬𝘦𝘬𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘢𝘬𝘢𝘭 𝘣𝘶𝘥𝘪𝘮𝘶, 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪." Kata Yesus kepadanya: "𝘑𝘢𝘸𝘢𝘣𝘮𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳; 𝙥𝙚𝙧𝙗𝙪𝙖𝙩𝙡𝙖𝙝 𝙙𝙚𝙢𝙞𝙠𝙞𝙖𝙣, 𝙢𝙖𝙠𝙖 𝙚𝙣𝙜𝙠𝙖𝙪 𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙝𝙞𝙙𝙪𝙥." Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "𝘋𝘢𝘯 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘮𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢?" (ay. 25-29)

Jawab Yesus: "𝘈𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘶𝘳𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘠𝘦𝘳𝘶𝘴𝘢𝘭𝘦𝘮 𝘬𝘦 𝘠𝘦𝘳𝘪𝘬𝘩𝘰; 𝘪𝘢 𝘫𝘢𝘵𝘶𝘩 𝘬𝘦 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘶𝘯-𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘮𝘱𝘰𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘣𝘪𝘴-𝘩𝘢𝘣𝘪𝘴𝘢𝘯, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘬𝘶𝘭𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘪𝘵𝘶 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘯𝘨𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘵𝘪. 𝘒𝘦𝘣𝘦𝘵𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘮𝘢𝘮 𝘵𝘶𝘳𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶𝘪 𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶; 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘸𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯. 𝘋𝘦𝘮𝘪𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘓𝘦𝘸𝘪 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘪𝘵𝘶; 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶, 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘸𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯. 𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘚𝘢𝘮𝘢𝘳𝘪𝘢, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘢𝘯, 𝘬𝘦 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘪𝘵𝘶; 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶, 𝘵𝘦𝘳𝘨𝘦𝘳𝘢𝘬𝘭𝘢𝘩 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘴 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩𝘢𝘯. 𝘐𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘶𝘵 𝘭𝘶𝘬𝘢-𝘭𝘶𝘬𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘪𝘳𝘢𝘮𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘪𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘨𝘨𝘶𝘳. 𝘒𝘦𝘮𝘶𝘥𝘪𝘢𝘯 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘪𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶 𝘬𝘦 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘬𝘦𝘭𝘦𝘥𝘢𝘪 𝘵𝘶𝘯𝘨𝘨𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘸𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘪𝘯𝘢𝘱𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘸𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢. 𝘒𝘦𝘦𝘴𝘰𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘳𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘶𝘢 𝘥𝘪𝘯𝘢𝘳 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘦𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘪𝘯𝘢𝘱𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶, 𝘬𝘢𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢: 𝘙𝘢𝘸𝘢𝘵𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘬𝘢𝘶𝘣𝘦𝘭𝘢𝘯𝘫𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘯𝘪, 𝘢𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘯𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢, 𝘸𝘢𝘬𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪.” (ay. 30-35)

“𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘨𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘯𝘪, 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘳𝘶𝘵 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵𝘮𝘶, 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘵𝘶𝘩 𝘬𝘦 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘪𝘵𝘶?" Jawab orang itu: "𝘖𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘫𝘶𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘴 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢." Kata Yesus kepadanya: " 𝙋𝙚𝙧𝙜𝙞𝙡𝙖𝙝, 𝙙𝙖𝙣 𝙥𝙚𝙧𝙗𝙪𝙖𝙩𝙡𝙖𝙝 𝙙𝙚𝙢𝙞𝙠𝙞𝙖𝙣!" (ay. 36-37)

Di awal saya mengatakan bahwa narasi “Hukum Kasih” berbeda-beda di setiap Injil. Saya ambil contoh Injil Markus yang tertua. Saya kutipkan narasi Injil 𝗠𝗮𝗿𝗸𝘂𝘀 𝟭𝟮:𝟮𝟴-𝟯𝟯 dari Alkitab LAI TB II 1997: Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: ”𝘗𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘯𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘶𝘵𝘢𝘮𝘢?” Jawab Yesus: ”𝘗𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘪𝘢𝘭𝘢𝘩: 𝘋𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘭𝘢𝘩, 𝘩𝘢𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘐𝘴𝘳𝘢𝘦𝘭, 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘪𝘵𝘢, 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘦𝘴𝘢. 𝘒𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯, 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩𝘮𝘶, 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘮𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘫𝘪𝘸𝘢𝘮𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘢𝘬𝘢𝘭 𝘣𝘶𝘥𝘪𝘮𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘬𝘦𝘬𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯𝘮𝘶. 𝘗𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘥𝘶𝘢 𝘪𝘢𝘭𝘢𝘩: 𝘒𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪. 𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘶𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘦𝘥𝘶𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘪.” Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: ”𝘛𝘦𝘱𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪, 𝘎𝘶𝘳𝘶, 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘬𝘢𝘵𝘢-𝘔𝘶 𝘪𝘵𝘶, 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘋𝘪𝘢 𝘦𝘴𝘢, 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘋𝘪𝘢. 𝘔𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪 𝘋𝘪𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘵𝘪𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘬𝘦𝘬𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯, 𝘥𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝙟𝙖𝙪𝙝 𝙡𝙚𝙗𝙞𝙝 𝙪𝙩𝙖𝙢𝙖 𝙙𝙖𝙧𝙞𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙨𝙚𝙢𝙪𝙖 𝙠𝙪𝙧𝙗𝙖𝙣 𝙗𝙖𝙠𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙠𝙪𝙧𝙗𝙖𝙣 𝙡𝙖𝙞𝙣𝙣𝙮𝙖.” (ay. 28-33) Yesus melihat bagaimana menjawab dengan  bijaksana jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: ”𝘌𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘒𝘦𝘳𝘢𝘫𝘢𝘢𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩!” Sesudah itu seorang pun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus. (ay. 34)

Dalam versi Injil Markus “Hukum Kasih” diucapkan oleh Yesus sebagai jawaban atas pertanyaan: “Perintah manakah yang paling utama?” (Mrk. 12:28). Jadi, hal yang disoal di Markus adalah keutamaan. Menurut Yesus versi Markus perintah yang paling utama adalah mengasihi Tuhan Allah (Mrk. 12:30). Perintah nomor dua dan tidak setara adalah mengasihi sesama manusia (Mrk. 12:31).
  
Mungkin timbul pertanyaan: kedua perintah itu lebih utama dibanding apa? Dalam Injil Markus kedua perintah itu 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝘂𝘁𝗮𝗺𝗮 𝗱𝗮𝗿𝗶𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗿𝗶𝘁𝘂𝗮𝗹 𝗸𝗲𝗮𝗴𝗮𝗺𝗮𝗮𝗻: 𝗸𝘂𝗿𝗯𝗮𝗻 𝗯𝗮𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗸𝘂𝗿𝗯𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗶𝗻𝗻𝘆𝗮 (Mrk. 12:33, LAI TB II 1997) atau kurban bakaran dan kurban sembelihan (Mrk. 12:33, LAI TB 1974). Bandingkan dengan 𝘃𝗲𝗿𝘀𝗶 𝗠𝗮𝘁𝗶𝘂𝘀: Pada kedua perintah inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi (Mat. 22:40, TB II LAI 1997).

Dalam narasi versi Lukas “Hukum Kasih” muncul dalam dialog antara Yesus dan ahli Taurat, sedang dalam versi Markus Yesus berdialog dengan ahli Taurat dan orang-orang Saduki. Dalam Lukas “Hukum Kasih” diucapkan oleh si ahli Taurat dan itu adalah jawaban untuk pertanyaan yang diajukannya sendiri: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memeroleh hidup yang kekal?”

Cukup jelas menurut pemahaman Lukas, pelaksanaan “Hukum Kasih” itu adalah cara untuk memeroleh hidup yang kekal. Hal itu juga ditegaskan oleh tokoh Yesus sebanyak dua kali (ay. 28 dan 37):
• "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup" (Luk. 10:28).
• "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" (Luk. 10:37)

Dari sana kita tahu bahwa sesudah si ahli Taurat menjawab sendiri pertanyaannya, Yesus memberi instruksi pragmatis: “Kamu sudah tahu teorinya, sekarang praktikkanlah!” Akan tetapi narasi versi Lukas masih bersambung dengan dialog tentang “Hukum Kasih”.

Tampaknya si ahli Taurat masih hendak mencari celah dengan menggiring Yesus tentang sesama manusia adalah sesama orang Yahudi, maka ia mengajukan pertanyaan teoretis: “Jika aku harus mengasihi sesamaku manusia, pertanyaannya: siapakah sesamaku manusia?” Jawaban atas pertanyaan itu Yesus mengajukan cerita perumpamaan orang Samaria yang murah hati di luar dugaan si ahli Taurat.

Kita sudah tahu bahwa perseteruan orang Yahudi dan Samaria sudah berlangsung berabad-abad. Padahal mereka sebelumnya satu entitas dalam Kerajaan Israel Bersatu: Yehuda dan Israel Utara. Israel Utara (Samaria) takluk pada Asiria pada 721 SZB dan rakyat Israel Utara bercampur baur dengan orang-orang Asiria sehingga sejalan dengan waktu sudah sulit menunjukkan jatidiri mereka, terjadi kawin campur yg dianggap bukan ras murni lagi (dalam narasi Injil diperlihatkan bgmn Yesus sangat perhatian pada kaum Samaria, yg merupakan ras kawin campur). Itu satu penyebab belakangan orang-orang Yahudi (sebutan untuk orang-orang Yehuda pasca-pembuangan) membenci orang-orang Samaria.

Oleh karena “Hukum Kasih” Markus tidak ada hubungannya dengan perumpamaan orang Samaria, maka kita bisa menduga bahwa Lukas yang punya gagasan untuk mengajukan teologinya sendiri dengan menyatukan dua bahan yang berbeda itu. Pada dirinya perumpamaan orang Samaria itu dapat mengundang banyak penafsiran karena ia merupakan cerita utuh yang dapat mandiri. Namun dalam kerangka cerita Lukas (10:25-37), perumpamaan itu harus ditafsir dalam pautannya dengan “Hukum Kasih” dan cara untuk memeroleh hidup kekal (Luk. 10:25). Penekanan pada pelaksanaan “Hukum Kasih” ditegaskan oleh ucapan tokoh utama (Yesus) di akhir cerita. Yesus, yang tadinya hendak dijebak oleh si ahli Taurat, membalikkan keadaan dengan bertanya, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Si ahli Taurat tak dapat lagi berkelit dan menjawab, "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Nah, kalau begitu, kata Yesus, “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

Di sini Lukas (dan penulis Injil lainnya) panggah (𝘤𝘰𝘯𝘴𝘪𝘴𝘵𝘦𝘯𝘵) menampilkan keradikalan ajaran Yesus. Mengasihi sesama manusia itu melampaui kelompok sendiri, melompati tembok-tembok dogma agama. Kemanusiaan mendahului keagamaan.


16 Juli 2022 T

Sabtu, 09 Juli 2022

Ismael, salah kaprah tentang perbedaan, serial sudut pandang

Ismael, salah kaprah tentang perbedaan, serial sudut pandang

Tidak sedikit orang Kristen memandang berat sebelah terhadap Ismael ketimbang anak Abraham lainnya, Ishak. Apalagi predikat keledai liar yang melekat pada Ismael (Kej, 16:12) yang dicerap negatif oleh mereka. 

Narasi Abraham terdapat di Kitab Kejadian pasal 12 – 25 dengan sekitar 12%-nya bercerita mengenai Hagar dan Ismael. Setidaknya ada empat pesan indah mengenai Ismael.

Pesan pertama, malaikat TUHAN kepada Hagar.
“Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak dapat dihitung  karena banyaknya.” Selanjutnya………”Engkau mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamainya Ismael, sebab TUHAN telah mendengar tentang penindasan atasmu itu.” (Kej. 16:10-11)

Pesan kedua, Allah kepada Abraham.
“Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan duabelas raja dan Aku akan membuatnya menjadi bangsa yang besar."”(Kej. 17:20)

Pesan ketiga, Allah kepada Abraham.
“Tetapi keturunan dari hambamu itu juga akan Kubuat menjadi suatu bangsa,  karena ia pun anakmu." (Kej. 21:13)

Pesan keempat, malaikat Allah kepada Hagar.
"Apakah yang engkau susahkan, Hagar? Janganlah takut,  sebab Allah telah mendengar suara anak itu dari tempat ia terbaring. Bangunlah, angkatlah anak itu, dan bimbinglah dia, sebab Aku akan membuat dia menjadi bangsa   yang besar." (Kej. 21:17-18)

Alkitab tidak memerikan (describe) suatu yang buruk tentang Ismael, juga tidak memandang Ismael sebagai buangan atau kutukan seperti yang diduga oleh tidak sedikit orang Kristen di Indonesia. Sebaliknya Ismael bahkan dinyatakan sebagai seorang yang mendapat janji berkat dari Allah dan keturunannya menjadi bangsa besar.

Lalu mengapa muncul istilah keledai liar pada Kejadian 16:12? Istilah keledai liar muncul sebagai akibat dari narasi yang mendahului ayat 12. Kejadian 16:6 “Lalu Sarai menindas Hagar sehingga ia lari meninggalkannya.” Istilah Ibrani menindas biasanya dipergunakan berhubungan dengan penjajahan dan kerja-paksa (Bdk. Keluaran 1:11-12). Pukulan dengan tongkat dan tamparan adalah siksa untuk seorang hamba (Kel. 21:20-21). Sara, istri Abraham, melupakan perikemanusiaan sama sekali. Dari latar belakang ini “keledai liar” dapat ditafsirkan sebagai orang yang berjiwa merdeka. Jiwa merdeka dapat dibandingkan dengan teks Kitab Ayub 39:8. Ismael akan lahir sebagai orang yang berjiwa merdeka dari penindasan.

Ini seharusnya membuat kita bisa lebih mengerti dan mengenal sahabat kita Islam, karena pemahaman akan hubungan antara manusia dan Tuhannya adalah hubungan antara Tuan dan hambanya (Ismael anak seorang hamba), sehingga pengajaran dan pemahaman keimanan nya bisa lebih kita mengerti seperti tentang zakat, sedekah, infaq, azab, Allah yg akan selalu adil, Allah yg menghakimi, harus ada prestasi hamba dihadapan tuannya, pemahaman tak ada tuan selain tuannya atau tauhid Krn kalo ada tuan selain tuannya bearti berkhianat, keselamatan adalah hal yg harus diusahakan atau diperjuangkan, dlsb. Itu seharusnya kita bisa melihat sudut pandang yg Laen, yg Positif dari pemahaman atau pengajaran iman sahabat Islam. Di sisi yang laen Bani Ishak memahami dirinya adalah anak dari istri utama maka memahami dirinya sebagai AHLI WARIS dalam memahami hubungan antara manusia dan Tuhannya, hubungan antara Tuhan dan manusia dimengerti selayaknya hubungan Bapa dan anaknnya, maka pemahaman dasar pengajaran dan pemahaman umat kristiani adalah sebagai anak/ahli waris, maka jangan heran kalo umat kristiani memahami keselamatan sebagai anugerah, keselamatan adalah pemberian dari Bapa pada anaknya, keselamatan adalah warisan dari Bapa ke anak nya, shg sebagai anak tentunya punya tanggung jawab thp warisan bapaknya, anak dapat melihat bgmn bapa nya mempunyai fungsi dan tugas yg berbeda-beda, anak dapat melihat bgmn bapa akan selalu mengusahakan keselamatan anaknya dg berbagai cara yg berbeda (dan maklum adanya dalam sisi atau sudut pandang seorang hamba akan sulit dipahami, bagi sudut pandang seorang hamba, warisan bisa diperoleh dg prestasinya), seorang Bapa akan selalu terbuka pintu ampunan/maaf bagi anaknya, dlsb. Demikian memahami hal-hal ini, tentunya membuat kita bisa saling memahami satu dg yg Laen, bukan malah memperuncing pembedaan (Galatia 4:24, 26 (TB)
24 Ini adalah suatu kiasan. Sebab kedua perempuan itu adalah dua ketentuan Allah: yang satu berasal dari gunung Sinai dan melahirkan anak-anak perhambaan, itulah Hagar --
26 Tetapi Yerusalem sorgawi adalah perempuan yang merdeka, dan ialah ibu kita.)

Dalam kisah Abraham tidak ada petunjuk permusuhan antara Ishak dan Ismael. Bahkan ketika Abraham meninggal, Ishak dan Ismael bersama-sama menguburkan ayah mereka (Kejadian 25:9). Abraham tidak saja memiliki dua anak Ishak dan Ismael, tetapi juga ada enam anaknya yang lain dari Ketura yaitu: Zimran, Yoksan, Medan, Midian, Isybak, dan Suah (Kej. 25:2). Namun hanya Ismael dan Ishak yang ditulis di Alkitab mengenai keturunan mereka dengan penekanan kata “inilah”. “Inilah keturunan Ismael, …” (Kej. 25:12-18) dan “Inilah riwayat keturunan Ishak, …” (Kej. 25:19-34). Dengan bahasa masa kini Ismael adalah sesuatu banget!

Hari ini saudara-saudara kita umat Muslim bersukaria merayakan Idul Adha alias Hari Raya Kurban. Kita sudah sepatutnya turut bersukaria bersama-sama dengan umat Muslim. Kita ikut bersukaria untuk merayakan berkat-berkat Allah yang dilimpahkan kepada Ismael sama seperti kita juga telah menerima berkat–berkat Allah.

09 Juli 2022, Selamat Idul Adha, Sahabatku (T)

Selasa, 05 Juli 2022

Produk Bernuansa politis, undang-undang pernikahan, serial sudut pandang

Produk Bernuansa politis, undang-undang pernikahan, serial sudut pandang

Bahwa UU No. 1 Tahun 1974 itu adalah PRODUK BERNUANSA POLITIS rezim Orde Baru yang sarat dengan kepentingan politik dan tawar-menawar di antara golongan², yang kemudian diintervensi dengan pendekatan militer. Jadi secara historis, UU ini sebenarnya sangat problematis.Banyak orang meyakini Pernikahan Beda Agama (PBA) dilarang menurut UU Perkawinan. Itu sebabnya, UU a quo beberapa kali diuji di Mahkamah Konstitusi. Namun rontok semua. Para hakim bergeming.Dulu, ceritanya, ada dua kelompok yang berseteru terkait apakah areal sebuah gedung perlu digembok rapat atau dibiarkan terbuka gerbangnya; apakah UU Perkawinan cukup mencatat perkawinan --apapun agama mempelai, tidak perlu nyinyir, yang penting mencatat saja. Ataukah, negara berkewajiban memastikan mempelai sama agamanya.Kementerian Kehakiman, punya draft tersendiri. Pro Pernikahan Beda Agama (PBA). Antipoligami. Sebaliknya, Kementerian Agama (Islam) tak mau kalah. Punya draft juga. AntiPBA. Propoligami. Mereka berseteru.Dua kelompok ini berseteru puluhan tahun -- sejak Indonesia merdeka hingga tumbangnya Presiden Soekarno belum kelar juga UU Perkawinan ini.Mereka berseteru hingga akhirnya militer turun tangan pada periode awal Orde Soeharto. Hasilnya? Seperti yang kita gunakan saat ini; UU 1/74.Begitulah posisi Pernikahan Beda Agama (PBA) dalam lintasan UU Perkawinan. 
05 Juli 2022 (T)

Baca juga
https://titusroidanto.blogspot.com/2022/07/respons-terhadap-penolakan-nikah-beda.html

Respons Terhadap Penolakan Nikah Beda Agama, Serial Sudut Pandang

Respons Terhadap Penolakan Nikah Beda Agama, Serial Sudut Pandang


Sekarang sedang berlangsung sidang Judicial Review UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh warga Papua, Ramos Petege. Dalam persidangan itu, pemerintah menegaskan menolak melegalkan pernikahan beda agama. Menurut laporan Detiknews, Sikap pemerintah ini diwakili oleh Menkumham dan Menag. Sikap pemerintah ini sangat disayangkan. Sikap ini tidak realistis di tengah bangsa yang multi kultural. 

UU yang Multi Tafsir
Pasal 1 UU Perkawinan No 1/1974 menyatakan secara tegas bahwa: " Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Artinya, perkawinan itu antara seorang pria dan seorang wanita. Oleh karena itu, perkawinan antara pria dan wanita adalah dasar membentuk keluarga. Selama yang kawin itu pria dan wanita maka perkawinan itu tidak melanggar hukum apa pun dan tidak bertentangan dengan moralitas mana pun.

Meski demikian, Pasal 2 UU Perkawinan No 1/1974 itu menjadi multi tafsir. Isinya adalah ini: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu."  Mereka yang mendukung kawin beda agama melihat pasal ini hanya berbicara tentang prosedur perkawinan agar sah secara agama. Tidak ada penolakan terhadap perkawinan beda agama. Sebaliknya, kaum yang tafsirannya menolak kawin beda agama menggunakan pasal dua ini untuk menggunakan tangan pemerintah, melalui Dukcapil, untuk menolak kawin beda agama 

Penolakan terhadap perkawinan beda agama oleh pemerintah sangat disayangkan. Jelas, pemerintah tidak realistris karena mengabaikan kenyataan keanekaragaman masyarakat Indonesia. Penolakan paling keras datang dari pimpinan agama. Penolakan itu berdasarkan pada argumen teologis agama. Penolakan itu wajar dan sah saja. Demokratis kok! 

Hanya harus dicatat. Kadang moralitas agama dan moralitas universal saling mendukung. Tetapi kadang moralitas yang didasarkan argumen teologis agama tertentu berbeda dengan moralitas universal dan berbeda juga dengan prinsip demokrasi yang menjunjung hak asasi manusia. Oleh karena itu, penolakan kawin beda agama berdasarkan tafsiran keagamaan tertentu seharusnya ada dalam ranah pastoral. Umat dibina secara persuasif untuk tidak kawin beda agama. Penolakan dari salah satu komunitas agama tidak boleh dijadikan ketetapan hukum dalam masyarakat demokratis yang beragam ini.   

Alasan Teologis Penolakan
Pertanyaannya mengapa agama menolak perkawinan beda agama? Untuk ini, saya akan menelisik tradisi Israel. Sebenarnya dalam tradisi Israel sendiri ada pro-kontra terhadap kawin beda agama. Saya akan mulai dari alasan penolakan kawin beda agama. 

Bila menelisik sejarah Israel kuno, penolakan terhadap perkawinan beda agama didasarkan atas dua alasan. Alasan pertama adalah adanya ketakutan perkawinan itu akan membuat umat Israel berpaling dari imannya kepada Tuhan. Ada kekhawatiran umat Israel yang menikah beda agama akan terpengaruh iman pasangannya, lalu menyembah ilah-ilah lain. Saat Israel kuno penolakan kawin beda agama tidak berurusan dengan ketakutan soal kuantitas yaitu turunnya jumlah penganut.

Alasan kedua, adalah kepongahan rohani dan sikap triumphalistik. Umat Israel merasa diri sebagai umat pilihan Allah yang harus dijaga kemurniannya. Umat lain dituding sebagai umat setan. Umat pilihan Allah adalah kaum beriman. Sebaliknya, umat lain kafir dan sesat. Umat Allah yang 'kasta'nya lebih tinggi haram menikah dengan umat lain yang kastanya lebih rendah. Alasan kedua ini menciptakan sikap dan mentalitas polaristik dan segregasi berdasarkan agama. Mentalitas polaristik yang eksklusif dan yang merupakan warisan kuno seperti ini sangat tidak kompatibel dengan masyarakat yang beranekaragam agama dan etnik.  

Kawin Beda Agama di Alkitab
Di dalam Kitab Suci Kristen dan Yahudi hampir tidak ada ayat suci yang menyatakan secara tegas dukungan terhadap kawin beda agama. Meski demikian, kawin beda agama dilakukan oleh tokoh-tokoh utama Alkitab. Abraham, misalnya. Setelah kematian Sarah, menikah dengan Keturah. Dalam tafsiran, Keturah adalah Hagar orang Mesir yang tentu saja beda iman. Musa menikah dengan Ziporah, orang Midian. Boas menikah dengan Ruth orang Moab. Daud menikah dengan Betsheba, orang Het. Semua tokoh penting di atas, menurut genealogi yang disusun Matius, adalah nenek moyang Yesus. Jadi, nenek moyang Yesus adalah pelaku kawin beda agama dan beda etnik. Yesus manusia universal!

Jalan Pintas
Dalam masyarakat yang multi kultural, perkawinan beda agama itu tidak mungkin dielakkan. Orang akan melakukan cara apa saja termasuk mengambil jalan pintas agar bisa menikah dengan pasangannya yang beda agama. Mereka yang menikah adalah manusia dewasa yang mampu menentukan jalan hidupnya sendiri selama tidak bertentangan dengan moralitas dan tidak merugikan siapa pun. Mereka yang secara ekonomi kuat alias orang kaya bisa kawin di luar negeri. Misalnya di Singapore, Thailand, Australia atau Amerika Serikat. 

Pasangan beda agama yang secara ekonomi pas-pasan akan menghadapi kendala yang sangat besar. Banyak yang nekad mau kawin beda agama tetapi mendapatkan hambatan lalu terjerumus melakukan 'kumpul kebo,' hidup bersama layaknya suami istri. Ada juga yang demi kawin dengan pasangannya terpaksa pindah agama. Mereka ini akan menjadi kaum munafik karena dipaksa memeluk agama yang tidak diyakininya. Ada yang pindah agama 'sementara'. Setelah kawin balik lagi ke agamanya. Agama pun jadi barang mainan.  Siapa yang mesti disalahkan untuk praktek-praktek semacam ini? Yang pasti yang salah bukan pasangan yang beda agama itu karena mereka terpaksa melakukannya. 

Penutup
Dari berbagai kasus di atas, nyatalah bahwa penolakan terhadap perkawinan beda agama sangatlah tidak realistis. Efeknya, penolakan terhadap kawin beda agama itu justru lebih banyak menghasilkan persoalan ketimbang memecahkan masalah. Dan, masalah yang paling utama adalah masih dipertahankannya mentalitas polaristik masa lalu yang tidak cocok lagi dengan kondisi bangsa kita yang sangat beragam.  

5 Juli 2022 (T)

https://titusroidanto.blogspot.com/2022/07/produk-bernuansa-politis-undang-undang.html

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...