Kamis, 30 Oktober 2025

Sudut Pandang dari ujung tafsir Pardes ke ujung tafsir ideologi

[20/10 11.49] Perplexity: Hermeneutika itu ilmu tentang menafsirkan atau memberi makna, terutama teks atau pesan. Nama ini dari Hermes, dewa Yunani yang tugasnya menyampaikan pesan supaya nggak salah paham. Jadi, hermeneutika fokus buat ngerti makna dengan benar, termasuk teks-teks suci atau sastra. 📖

Mau tahu gimana hermeneutika dipakai dalam kehidupan sehari-hari?
[20/10 11.51] Perplexity: Pardes itu metode hermeneutika Yahudi yang artinya "taman" atau "surga," dan terdiri dari 4 level tafsir Alkitab dalam tradisi Kabbalah dan Rabbinik:  
1. *Peshat* – arti harfiah/sederhana teks  
2. *Remez* – petunjuk atau makna tersirat  
3. *Drush* – interpretasi homiletik/moral  
4. *Sod* – makna rahasia/esoteris  

Pardes juga dipakai untuk menyatukan aspek rasional dan mistis dalam memahami teks suci dan kehidupan.  

Mau aku jelaskan satu-satu makna tiap levelnya? 😊
[20/10 11.52] Perplexity: Oke, gak bahas struk lagi ya! Langsung ke Pardes:  

1. *Peshat* = makna literal, apa yang teks katakan apa adanya.  
2. *Remez* = petunjuk atau simbol tersembunyi dari kata-kata.  
3. *Drush* = tafsir moral atau pelajaran yang bisa diambil.  
4. *Sod* = makna rahasia, mistis, atau terdalam yang cuma sedikit orang ngerti.  

Seru ya, gimana pendapatmu tentang cara ini buat memahami teks? 📖
[20/10 11.52] Perplexity: Oke, kita perdalam tiap level Pardes:

1. *Peshat* = teks dibaca apa adanya, konteks dan arti langsung dari kata-kata. Contoh: “Air itu dingin” artinya memang air bersuhu dingin.

2. *Remez* = ada makna tersembunyi di balik kata, seperti simbol atau kiasan. Misal "air dingin" bisa berarti sesuatu yang menyegarkan atau menenangkan.

3. *Drush* = ulasan moral atau pengajaran yang bisa diambil dari teks. Misal, air dingin mengajarkan kita untuk tetap tenang saat menghadapi masalah.

4. *Sod* = makna paling dalam dan rahasia, biasanya bersifat mistis atau spiritual, hanya dimengerti oleh yang punya pengetahuan khusus.

Jadi, Pardes ngajarin supaya kita nggak cuma baca teks mentah, tapi gali maknanya dari yang jelas sampai yang tersembunyi dan dalam. Seru banget buat belajar kalau pengin paham lebih dari sekadar kata!  

Mau coba contoh aplikasinya di teks lain? 🤓
[20/10 11.53] Perplexity: Contoh pakai metode Pardes buat ayat Alkitab Yohanes 3:16:  

1. *Peshat*: Allah mengasihi dunia dan memberi Anak-Nya supaya percaya beroleh hidup kekal.  
2. *Remez*: “Anak” bisa jadi simbol kasih terbesar dan pengorbanan.  
3. *Drush*: Kita diajarkan pentingnya kasih dan percaya dalam hidup.  
4. *Sod*: Makna terdalam tentang misteri keselamatan dan hubungan manusia dengan Tuhan.  

Gimana, pengen coba pakai Pardes untuk ayat Alkitab lain? 📖✨
[20/10 11.54] Perplexity: Contoh lain pakai Pardes dari ayat Mazmur 23:1:

1. *Peshat*: Tuhan adalah gembalaku, aku tak kekurangan.  
2. *Remez*: Gembala melambangkan penjaga dan pelindung yang setia.  
3. *Drush*: Kita belajar untuk percaya dan bergantung pada Tuhan di setiap situasi.  
4. *Sod*: Makna terdalam tentang hubungan batin dan perlindungan ilahi yang tak terlihat.

Mau aku coba jelasin ayat favoritmu juga? 😊
[20/10 11.55] Perplexity: Kemampuan menafsir Alkitab itu kunci banget buat berkhotbah yang bermakna dan tepat. Dengan tafsir yang benar, khotbah nggak cuma asal baca, tapi bisa menggali pesan tersembunyi dan relevansi buat pendengar. Ini bikin firman Tuhan lebih hidup dan bisa menginspirasi perubahan nyata.

Kamu sering pakai metode tafsir tertentu pas baca Alkitab? 📖
[20/10 11.57] Perplexity: Menafsir Alkitab tanpa ilmu tafsir bisa berbahaya karena risikonya salah paham, menyebar ajaran keliru, dan menyebabkan konflik. Tafsir yang tepat membantu kita mengerti konteks, budaya, dan pesan asli, supaya khotbah atau pengajaran tetap benar dan membangun. Jadi, belajar kemampuan tafsir itu penting banget biar firman Tuhan disampaikan dengan tepat dan bermanfaat.

Kamu tertarik belajar metode tafsir tertentu supaya lebih paham? 😊
[20/10 11.58] Perplexity: Bahaya menafsir Alkitab hanya secara literal atau apa yang tersurat itu bikin kita bisa melewatkan makna dalam, konteks budaya, atau pesan tersembunyi yang penting. Bisa salah paham, keliru sampai mengajarkan hal yang tidak sesuai maksud asli. Tafsir yang luas bantu kita pahami firman secara utuh dan relevan.

Mau aku jelasin contoh kesalahpahaman karena tafsir cuma literal? 😊
[20/10 11.59] Perplexity: Gambar yang kamu kirim itu bukti contoh salah tafsir yang kejadian karena cuma fokus sama angka dan nominal tanpa paham konteksnya. Kalau cuma lihat angka dan uang, bisa salah faham atau keliru interpretasi, padahal penting tahu maksud aslinya. Jadi, penting banget belajar tafsir yang benar supaya nggak keliru saat baca dan tafsir sesuatu, termasuk data seperti ini.

Mau aku jelasin lagi soal bahaya tafsir yang cuma literal kayak gini? 😊
[20/10 12.00] Perplexity: Contohnya, ayat "Jangan membunuh" (Keluaran 20:13) kalau cuma tafsir literal tanpa konteks zaman dan budaya, bisa jadi terlalu kaku dan nggak paham maksud soal harmoni dan penghargaan hidup. Tapi sebenarnya, maksudnya ajarkan nilai menghargai hidup dan menghindari kekerasan, bukan cuma larangan fisik aja.

Kalau cuma baca teks “jangan membunuh” tanpa dalami, kita bisa salah pakai buat alasan tertentu. Tafsir yang dalam bikin kita paham maksud asli firman dan aplikasinya zaman sekarang.

Penasaran mau coba tafsir ayat lain? 😊
[20/10 12.01] Perplexity: Sip, kita coba bandingin tafsir literal dan Pardes dari ayat Yesaya 40:31:  

1. *Peshat* (literal): Orang yang berharap pada Tuhan akan diperkuat dan terbang seperti rajawali.  
2. *Remez* (simbol): Terbang seperti rajawali jadi lambang kekuatan dan kebebasan rohani.  
3. *Drush* (ajaran): Kita diajarkan untuk bersabar dan terus percaya agar diberi kekuatan dalam hidup.  
4. *Sod* (rahasia): Makna terdalam tentang transformasi spiritual dan hubungan batin dengan Tuhan.

Kalau cuma tafsir literal, orang bisa kirim pesan “terbang” saja, tanpa sadar makna rohani dan kekuatan iman yang tersembunyi.

Mau coba buat ayat lain? 😊
[20/10 12.01] Perplexity: Coba kita pakai ayat Matius 5:14:  

1. *Peshat*: Kamu adalah terang dunia.  
2. *Remez*: Terang bisa berarti pengaruh positif dan harapan yang menyinari kegelapan.  
3. *Drush*: Kita diajak jadi contoh baik dan memberi semangat kepada orang lain.  
4. *Sod*: Makna terdalam tentang peran rohani menjadi cahaya yang membimbing dan mengubahkan dunia.

Kalau cuma tafsir literal, bisa disangka cuma soal cahaya fisik, padahal maknanya lebih luas dan dalam.

Ayat apa lagi yang kamu suka buat kita bahas? 😊
[20/10 12.05] Perplexity: Pardes, yang artinya taman atau surga, analoginya adalah proses masuk ke taman ilmu firman Tuhan dengan 4 level tafsir:  
1. *Peshat* — masuk gerbang dengan arti harfiah  
2. *Remez* — jelajah makna tersirat seperti labirin taman  
3. *Drush* — nikmati pelajaran moralnya di sudut taman  
4. *Sod* — sampai di rahasia terdalam, bagian tersembunyi taman surga  

Jadi, pardes itu menggambarkan perjalanan mendalam dan bertingkat memahami Alkitab, bukan hanya permukaan saja 🌳✨  


PERKEMBANGAN DARI EKSEGESSE EISEGESSE SAMPAI TAFSIR IDEOLOGI
[3/11 12:48] Perplexity: Eksgesis (atau exegesis) adalah proses mengeluarkan makna asli dari teks suci seperti Alkitab, dengan fokus pada konteks historis, bahasa asli (Ibrani/Yunani), dan niat penulisnya—bukan memasukkan ide pribadi. Tujuannya: pahami apa yang dimaksud teks itu sendiri, supaya tafsir akurat dan koheren.

Dalam kajian Alkitab kita sebelumnya, ini kontras dengan eisegetika (masukin agenda diri). Meski, seperti kritikmu, sulit 100% netral karena bias otak. Mau contoh aplikasi? 📖
[3/11 12:48] Perplexity: Eisegetika (atau eisegesis) adalah proses tafsir teks suci seperti Alkitab di mana pembaca "memasukkan" ide, asumsi, atau agenda pribadi ke dalam teks—bukan mengeluarkan makna asli. Ini kontras dengan eksgesis: di sini, pengalaman hidup atau bias mendominasi, bikin teks dipelintir buat cocok sama pandangan kita. Kritisi  terhadap eksegesse dan eisegesse




Dalam obrolan kita, ini yang kamu kritik: sulit hindari, karena bias otak selalu ada. Contoh: baca ayat "kekayaan" dan anggap itu janji sukses materi, padahal konteksnya rohani. Mau bedah lebih lanjut? 📖


Kalau Tafsir ideologi itu teknik tafsir Alkitab yang baca teks suci lewat lensa ideologi tertentu (misal politik, sosial, budaya, tradisi, sastra, sejarah, atau ekonomi bahkan pandangan hidupnya sejak kecil  ditempat oleh pengalaman hidupnya adalah ideologi pembacanya, para penulis kitab juga memilki ideologi, tokoh atau pelaku cerita dalam alkitab juga memiliki ideologi yg diungkapkan oleh penulis kitab). Banyaknyanya ideologi pada suatu teks itu kemudian disandingkan dan dianalisa dalam bobot yg sama. Jadinya, tafsir bisa bias kalau lebih cari dukungan untuk pandangan ideologis ketimbang makna asli Alkitab, pandangan ideologi yang ada harus menjadi kritisi untuk menemukan makna bukan memihak pada ideologi tertentu, bahayanya, bisa pakai Alkitab buat membenarkan ideologi tanpa objektivitas. Orang yang sudah punya ideologi dari kecil atau sekolah Minggu biasanya bawa pandangan itu waktu baca Alkitab, jadi tafsirnya cenderung menegaskan apa yang sudah diyakini, bukan menggali makna asli teks, sehingga agar hal itu tidak terjadi, langkah awal adalah mengidentifikasi ideologi-ideologi yang ada pada teks, kemudian menyandingkannya dalam bobot yg sama. Berbahaya kalau tafsir ideologi digunakan mencari “bukti” buat ideologinya, bukan terbuka sama konteks dan pesan asli ayat itu. Secara kritis, harus hati-hati dan selalu cek ideologi konteks, ideologi sejarah, ideologi budaya, ideologi penulis, ideologi tokoh cerita, ideologi pembaca, jangan lupa perhitungkan tujuan teks supaya tafsir nggak bias. Analisa kritis soal tafsir  ideologi waktu baca ayat Alkitab minimal perlu lihat 4 lapisan ideologi :  
1. *Penulis Alkitab* biasanya punya latar budaya dan keyakinan tertentu yang memengaruhi cara mereka tulis.  
2. *Konteks budaya/tradisi zaman ayat itu* juga nentukin pesan dan makna, jangan dipisah dari situasi sejarahnya.  
3. *Tokoh dalam ayat* bisa punya motivasi dan sudut pandang tersendiri yang tercermin di teks.  
4. *Pembaca* bawa ideologi, pengalaman, dan pemahaman sendiri yang bisa bikin tafsirnya bias atau berbeda.  

Jadi, tafsir kritis harus sadar keempat layer ini biar nggak salah paham dan terbuka sama pesan asli dan konteks ayatnya.

Mau contoh analisa ayat dengan pendekatan ini? 😊
[20/10 17.43] Perplexity: Ideologi audiens sangat penting dipahami karena penulis ayat Alkitab biasanya menulis dengan target pembaca atau komunitas tertentu yang punya kondisi, kebutuhan, dan pandangan khusus. Jadi, pesan ayat sering disesuaikan supaya relevan dan memotivasi audiens itu, bukan sembarang orang. Kalau pembaca sekarang nggak kenal latar ideologi audiens asli, tafsir bisa melenceng atau kurang tepat.

Mau aku bantu contohkan analisa ideologi audiens di ayat tertentu? 😊
[20/10 17.44] Perplexity: Tafsir ideologi itu cara menafsir Alkitab yang dipengaruhi pandangan atau kepercayaan tertentu (misal politik, sosial). Jadi, tafsirnya cenderung nyari dukungan buat ideologi itu, bukan fokus ke makna asli teks. Kadang bikin tafsir jadi bias atau dipakai buat membenarkan ideologi tertentu.

Mau contoh gimana tafsir ideologi bisa muncul di ayat Alkitab? 😊
[20/10 17.46] Perplexity: Tafsir ideologi buat penafsir awam kadang memudahkan karena kaitkan ayat dengan pandangan atau situasi hidup mereka. Tapi bisa juga bikin salah paham karena kurang ilmu teologi bikin tafsir jadi bias ikut ideologi pribadi, bukan makna asli Alkitab. Jadi penting tetap belajar konteks dan dasar teologi biar tafsir lebih sehat dan nggak sekadar konfirmasi ideologi.

Mau tips gampang biar tafsir tetap kritis tapi tetap dekat sama kehidupan sehari-hari? 😊

Selasa, 28 Oktober 2025

Sudut Pandang Matius 9 : 22, Karena Iman

Sudut Pandang Matius 9 : 22, Karena Iman

PENGANTAR
Alkisah, ada 2 dosen dari sebuah sekolah tinggi teologis mendapat tugas dari sinodenya untuk menjadi pembicara di kota Jakarta. Tiket pesawat sudah dibelikan, yang transpor ke bandara sebesar 1 JT sudah diberikan bersama akomodasi yang lain. Berangkatlah, dari sekolah tinggi teologi yg ada di kabupaten Boyolali ke Semarang untuk menuju bandara, mereka memutuskan menyewa mobil lewat aplikasi tertera 200 an lebih. Kondisi perjalanan hujan lebat, memasuki kota Semarang, hujan makin lebar dan kondisi jalan menuju bandara macet total. Kedua dosen ini udah berkeringat dingin, karena waktu untuk sampai ke bandara dg segala prosesnya di bandara untuk berangkat tinggal 1 jam, macet udah jalan 20 menit. Kedua dosen ini mulai, sambil berbisik berdiskusi, dosen pertama : " gimana nih, kagak akan nyampai tepat waktu kita, ketinggalan pesawat kita nanti", Dasar dosen sekolah tinggi teologi, dosen kedua menjawab : "sebentar, tak doa dulu" mulailah memejamkan mata dosen kedua, dan komat Kamit berdoa, bahkan mengucap pengakuan iman juga doa bapa kami yang diulang-ulang. Dosen pertama, tidak sabar ..... dan sedikit marah. Dosen pertama ingat, ada yang transportasi ke bandara untuk mereka berdua 1 JT dari sinode yg mengutus mereka, pdhl yang sewa mobil sesuai aplikasi cuman 200 an lebih. Segera, dosen pertama, bergerak mendekati supirnya, dan dosen pertama berkata pada supir " pak, ini ada uang tambahan 500 ribu di luar uang yg sesuai aplikasi, tapi bisa tidak dalam 20 menit an, bawa kami sampai bandara?", kata dosen pertama sambil meletakan uang tsb di jok sebelah supir, keliatan wajah sang supir berbinar dan menjawab "baik pak". Mulailah petualangan menggenjot denyut jantung, sang supir mulai belok kiri, belok kanan, naik ke trotoar, menerabas bahu jalan, sampai lewat gang perkampungan yg mepet nan sempit. Tepat, 20 menit kemudian mobil sewa sampai di bandara, dan dosen kedua pun, pas persis selesei berdoa dan membuka mata, melihat jam tangannya, sambil berteriak "doa ku terkabul", dosen pertama memukul kepala dosen ke dua, sambil bilang "terkabul .... gundulmu, sontoloyo".
Dari cerita di atas, mana iman yang benar? Atau mungkin patut bertanya mana iman yang besar?
PEMAHAMAN
Kristus berkata, "Imanmu telah menyelamatkan engkau" (Mat 9 : 22). Kalimat itu jelas, bahkan sangat jelas, namun mudah menimbulkan saIah paham. Kita mengartikannya bahwa kita bisa sembuh asalkan beriman. Maka, kita pun berusaha untuk beriman. Kita berpuasa sambil berdoa, Kita memberi persembahan, berkaul, dan Iainnya. Dengan demikian, kita telah menjadikan iman sebagai syarat kesembuhan, atau syarat dari harapan bahkan permohonan kita. Bagaimana halnya jika kita sudah berusaha untuk beriman, namun ternyata belum sembuh juga? harapan tidak sesuai kenyataan? permohonan kita tak terkabul? tetap kehilangan pekerjaan ?Langsung kita merasa bahwa iman masih kurang, Mungkin ada yang perlu ditambah dalam doa, puasa diperpanjang dan persembahan diperbanyak, Jika nanti belum terkabul juga mungkin menambah lagi persyaratannya. Menganggap bahwa iman kita yang bisa menyembuhkan, mengkabulkan harapan, menjawab permohonan, maka tanpa disadari KITA MENJADIKAN DIRI KITA, TUHAN ... KITA MENJADIKAN DIRI KITA PENENTU ATAU FAKTOR PENENTU. Penentu kesembuhan, penentu terkabulnya harapan dan terpenuhinya permohonan, bukan lagi atas kemurahan Kristus, atas kemurahan Allah, Sehingga kemurahan Allah, kemurahan Kristus bukan lagi faktor penentu, melainkan penentunya berubah  menjadi kesungguhan dan kebesaran iman kita. Yang menjadi penyembuh, yang menjadi terkabulnya permohonan, yang menjadi terjadinya harapan BUKAN LAGI KEMURAHAN, BESARNYA ANUGERAH TUHAN, ANUGERAH KRISTUS, MELAINKAN BESARNYA IMAN KITA. 
Memang Kristus berkata " Imanmu telah menyelamatkan engkau" Tetapi, itu bukan bearti bahwa penentu kesembuhan, penentu terkabulnya permohonan, penentu terjadinya harapan menjadi kenyataan, adalah iman di daldm diri kita, melainkan anugerah di dalam Kristus yang kita imani. Ucapan Kristus "Imanmu telah menyelamatkan engkau", harus diartikan "KRISTUS YANG KAU IMANI TELAH MENYELAMATKAN ENGKAU", bukan iman kita, melainkan Kristus yang kita imani itulah yang menyembuhkan kita, Kristus yang kita imani yang mengkabulkan harapan kita, Kristus yang kita imani yang menjawab permohonan kita. 
Penyakit dan kesembuhan, harapan serta permohonan memang dominan. Tiap orang pingin sehat dan sembuh? pingin harapan terkabul? Pingin permohonan terjawab? Bicara tentang sakit, Penyakit terasa mengancam dan mencemaskan. Ditambah lagi dengan kenyataan pengobatan yang luar biasa mahal, bisa dimengerti kalau orsng memadati stadion tempat kebaktian sembuhan tanpa operasi dan tanpa obat, andalannya adalah iman. Akibatnya timbul paham dalam KKR kesembuhan, berobat ke dokter tanda kurang iman dan kurang berdoa kepada Tuhan. Padahal meskipun kita berobat dengan peralatan apapun, berobat ke dewa sekalipun, kita tetap bergantung pada kemurahan hati Kristus, kemurahsn hati Allah. Entah itu kamu yg bisa menolak angin, kapsul antibiotik, atau racikan herbal dari sinse, sebelum disentuh kita menunduk dulu dan memohon, "Kristus kasihlah kami, pakailah obat ini sebagai alat-mu yang menolong kami". Ketika jengkel berjam-jam rmenunggu di depan ruang praktik, mungkin itu kejengkelan dari surga supaya kita berdoa : "Tuhan tolonglah supaya dokter jangan kebangetan terlambatnya,  Tuhan pakailah dia untuk mendiagnosis secara teliti dan jitu."
Bahkan, kita juga berdoa untuk daun kumis kucing dan  kumis kambing dari emak, yang kita teguk sambìl cemberut  dan pencet hidung karena baunya yang enggak ketulungan.
Pokoknya, berdoa adalah bagian dari proses pengobatan. Berdoa dan berobat tidak saling berlawanan, tetapi saling melengkapi. Doa meneduhkan dan memantapkan hati dalam perjuangan untuk sembuh dan melawan perasaan ragu-ragu, syal, kecewa, cemas, putus asa, khawatir, takut, dan lain sebagainya. Perasaan kerohanian kita memang mempengaruhi diri kita saat menghadapi proses pengobatan dan kemudian mempengaruhi respons tubuh kita terhadap obat yang masuk dalam tubuh, riset juga menunjukkan bahwa biasanya pasien yang berkonsep Allah itu galak mekanisme respon lebih tertutup terhadap obat dibandingkan dengan pasien yang berkonsep Allah itu ramah. Hasil riset itu antara Iain terdapat dalam buku IMAN, SPIRITUALITAS, dan PENGOBATAN oleh DANA KING, terbitan BPK GUNUNG MULIA. Citra kita tentang Allah yang peduli dan murah hati dapat menguatkan semangat dan tekad untuk sembuh. Kita menjadi berpengharapan dan tidak mudah menyerah. Memang kita berserah, tetapi tidak menyerah, memang kita lelah tetapi tidak menyerah dan tidak berhenti berjuang, manusiawi lelah karena memang kodratnya manusia. Menyerah adalah sikap masa bodoh, sedangkan berserah adalah sikap, "Bapa, bukan kehendakku melainkan kehendakMulah yang terjadi". 
Berjuang dengan berserah seperti itu adalah sikap imani dalam segala hal sepanjang hidup, bahkan di tengah kelelahan kita, di tengah kerapuhan kita. Kita berjuang untuk sembuh sambil mengakui bahwa tidak tiap penyakit dapat sembuh. Kita berjuang untuk hidup sambil mengakui bahwa tidak selama-lamanya kita bisa hidup. Mempertahankan adalah perjuangan imam namun sebaliknya merelakan, mengikhlas kan adalah juga perjuangan iman. Dalam mempertahankan dan merelakan itu, dalam ketidak menyerahan, dalam ketidak hentian berjuang walaupun di titik lelah, di titik terendah itu yang menjadi andalan bukanlah iman kita melainkan Kristus yang kita imani. Di tengah itu semua, kemurahan dan anugerah Allah tetap tercurah. "Kristus yang kau imani telah menyelamatkan engkau."
Trus, bagaimana kisah dua Dosen tadi? Dosen yang pertama bilang, "Loh ...... kalau aku gak bayar supir taksi itu, bakalan kita telat, kalau kamu cuman komat Kamit dalam doa, bakalan kita telat, gak bisa naik pesawat", sambil senyum-senyum dan tertawa dosen kedua menjawab "imanku pada Allah yang besar, mendorong kamu untuk melakukan tindakan iman yang benar", "bruuukz ...." Dosen pertama meninju bahu dosen kedua, sambil berjalan cepat mendahului dosen kedua, ia melotot matanya tapi mulutnya tersenyum sungging berteriak "pruuuuuutttzzzz", sambil tertawa-tawa kedua dosen ini berjalan cepat menuju pintu pesawat. Apakah kedua dosen ini berjuang dalam iman? Ya ..... mereka berdua berjuang dalam bentuknya masing-masing dengan gigih, namun itu bukan hanya perjuangan mereka berdua saja, itupun perjuangan Allah, sebetulnya lah Tuhan telah berjuang untuk mereka, mereka berdua berjuang, dan Allah ikut berjuang, kepejuangan kita teruji dalam hambatan, kesulitan, dan bahaya, hidup penuh risiko. "YANG BERJUANG UNTUK KALIAN ADALAH TUHAN ALLAHMU SENDIRI" (Kitab Yosua 23:3 BIMK). DI NEGERI YANG RAMAI DOA TAPI MISKIN LOGIKA, YANG WARAS SERING DIKIRA DURHAKA DAN DISEBUT PEMBERONTAK. KENALILAH TUHAN, BUKAN HANYA SECARA PENGAKUAN LOGIKA ATAU MEMUASKAN PENGETAHUAN TEOLOGI KITA, TAPI BAGAIMANA MENAKLUKAN DIRI KITA KEPADA KETETAPAN KEHENDAKNYA. IMAN YANG BESAR MEMAMPUKAN KITA PERCAYA DAPAT MEMINDAHKAN GUNUNG WALAUPUN IMAN SEBESAR BIJI SESAWI, TAPI IMAN YANG BENAR  MEMAMPUKAN KITA TETAP PERCAYA WALAUPUN GUNUNGNYA GAK PINDAH. KALAU KITA HANYA MEMINTA DALAM DOA KITA SEPERTI PENGEMIS DI MATA YUHAN, KALAU KITA HANYA BEKERJA TANPA DOA MAKA KITA SEPERTI BIRUH DI MATA TUHAN, TAPI KALAU KITA BERDOA DAN BEKERJA, MAKA DI MATA TUHAN KITA ADALAH ANAK-ANAK NYA, MAKA DOAKANLAH APA YANG KITA KERJAKAN, DAN KERJAKANLAH APA YANG KITA DOAKAN.

(28102025)(TUS)
(28102025)(TUS)

Senin, 27 Oktober 2025

Sudut Pandang "Orang yang ingin belajar akan menemukan guru di setiap langkah; alam, pengalaman, dan kesalahan adalah universitas kehidupan."

Sudut Pandang "Orang yang ingin belajar akan menemukan guru di setiap langkah; alam, pengalaman, dan kesalahan adalah universitas kehidupan."

PENGANTAR
Beberapa Ayat Alkitab dapat diambil dari sisi filosofinya, sehingga ada beberapa ayat alkitab secara tafsir lintas iman (multy Faith hermeneutics) atau sering disebut cross text hermeneutics atau cross textual reading dapat seiring sejalan dengan beberapa filosofi pengajaran iman yang lain. Kekristenan yang hidup di sebuah bangsa atau negara tidak bisa disangkal akan tidak saja mewarisi kisah Alkitab, melainkan juga hidup bersama sejumlah kisah rakyat ataupun ajaran luhur dalam konteks budaya dan keberagaman agama ( Pdt Dr Merry Kolimon). Sebuah pendekatan yang bisa dimanfaatkan oleh Setiap insan kristiani terlebih teolog dalam setiap teologi kontekstual yang menjadikan dialog antara teks-teks sakral dan teks-teks alkitabiah sebagai mesin yang bekerja untuk menemukan sebanyak mungkin unsur yang perlu dilibatkan, persamaan dan perbedaan, kekuatan dan kelemahan demi visi kemanusiaan bersama, rekonsiliasi, tetapi mungkin juga kesetaraan, keadilan, saling menerima, dan visi-visi kontekstual lainnya (Dr Agustinus Setiawidi STFT Jakarta). Sehingga dalam dunia biblika modern atau perkembangan biblika saat ini, teknik eksegesse dan eisegesse sudah ditinggalkan, karena sebenarnya setiap eksegesse adalah senyatanya eisegesse, karena orang hanya membaca saja pada kenyataannya sudah menafsir, apalagi menerjemahkan itu sudah lebih lagi dalam menafsir, bahkan perkembangan terbaru dipahami bahwa melihat saja itu sudah menafsir. Karena apa? tidak mungkin orang melihat terlebih membaca didalam otaknya tidak dipengaruhi oleh pengalaman hidup atau pemikirannya yang terbentuk sejak kecil, didikan ajaran orang tuanya sejak lahir, pengalaman hidupnya sejak lahir, ajaran guru sekolah minggunya, dlsb. Sehingga tidaklah mungkin orang membaca dengan kekosongan otak sehingga memulai semuanya dengan mengeluarkan apa yang ada di Alkitab, itu hil yang mustahal mustahil, tidaklah mungkin, pasti saat membaca apapun yang ada di otak kita, batin jiwa kita yang terbentuk oleh pengalaman hidup kita akan masuk mempengaruhi tafsir kita thp apa yang kita baca, bahkan lihat. Sehingga, mengatakan "TEMA DIPAKSAKAN" atau "SETIA PADA TEKS" dalam dunia biblika modern dianggap basi, itu hanya alasan orang kurang literasi. TIDAK ADA TAFSIR YANG SALAH APALAGI BENAR YANG ADA HANYA TAFSIR YANG DAPAT DIPERTANGGUNG JAWABKAN, dipertanggung jawabkan dengan apa? dengan argumentasi - argumentasi yang baik, tinggal nanti sebuah tafsir itu argumentasi nya apa, dengan tafsir yang lain dibandingkan argumentasi nya (Titus Roidanto, Sudut Pandang). Sehingga tafsir lintas iman berkembang di dunia biblika modern, dan tafsir ideologi pun berkembang sedemikiannya, sehingga tafsir kaum awam teologi dapat dirangkul, jelas ..... dapat dirangkul setiap pembaca Alkitab (teolog/awam teologi) memiliki ajaran luhur yg tertanam di otaknya baik dari warisan keluarga maupun warisan budaya tradisi suku dimana dia ada sejak lahir harus disandingkan dengan ajaran luhur Alkitab, jelas ..... dapat dirangkul setiap pembaca Alkitab (teolog/awam teologi) memiliki ideologi yg tertanam di otaknya baik dari warisan keluarga maupun warisan budaya tradisi suku maupun ajaran guru sekolah Minggu, ajaran ortunya, pengalaman hidupnya sejak lahir, dlsb, harus disandingkan dengan ideologi Alkitab. Dan terkait sudut pandang Confius "Orang yang ingin belajar akan menemukan guru di setiap langkah; alam, pengalaman, dan kesalahan adalah universitas kehidupan" bisa dikaitkan dengan tema pembelajaran seumur hidup dari sumber-sumber ajaran iman Kristiani. Sekedar contoh kita menggunakan ajaran luhur dari "Confucius", "Orang yang ingin belajar akan menemukan guru di setiap langkah; alam, pengalaman, dan kesalahan adalah universitas kehidupan." Ini mencerminkan bagaimana Allah menggunakan ciptaan-Nya untuk mengajar kita. Berikut beberapa ayat tsb yang bisa seiring sejalan dg ajarannluhur tsb, Amsal 24:16 (TB). "Karena orang benar, walaupun terjatuh tujuh kali, akan bangkit lagi, tetapi orang durhaka tersungkur dalam malapetaka."  Kesalahan seperti "universitas" yang mengajarkan ketahanan. Seperti Daud yang belajar dari dosa (2 Samuel 12), orang benar bangkit dan tumbuh lebih bijak, bukan jatuh permanen. Pengalaman gagal jadi guru yang membentuk karakter, asal kita merenung dan bertobat, 1 Korintus 10:11 (TB) "Jadi orang-orang itu telah menjadi teladan bagi kita, supaya kita jangan mengingini jahat, seperti yang mereka ingini."  Pengalaman orang Israel di padang gurun (seperti tiang api yang kita pernah bahas) adalah "sejarah pelajaran" untuk kita. Kesalahan masa lalu jadi guru di setiap langkah hidup, hindari ulangan dosa. Ini seperti alam dan pengalaman sehari-hari yang Tuhan gunakan untuk bimbingan rohani. Mazmur 32:8-9 (TB) "Aku akan mengajar engkau dan menunjukkan jalan yang harus kau tempuh; Aku akan memberi nasihat, mataku tertuju kepadamu. Janganlah menjadi seperti keledai dan kuda yang tidak berakal, yang harus diikat dengan kekang dan pelindi untuk menahan mereka; tidak ada gunanya bagi engkau."  Tuhan sebagai Guru utama menuntun lewat alam (seperti hewan yang patuh) dan pengalaman. Kalau kita mau belajar, setiap langkah—bahkan kesalahan—jadi pelajaran hidup. Ini mirip "universitas kehidupan" di mana Tuhan ajarkan kerendahan hati supaya kita tak butuh "kekang" paksaan, Roma 1:20 (TB) "Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak sejak dunia diciptakan kini, dapat dipahami dan diketahui dari makhluk-Nya, sehingga mereka tidak dapat berdalih."  Alam ciptaan Tuhan adalah "guru" yang nyata, mengajarkan tentang karakter-Nya tanpa kata-kata. Bagi yang mau belajar, pohon, gunung, atau musim ganti jadi pelajaran tentang kesetiaan dan kuasa Tuhan—seperti "setiap langkah" dalam perjalanan hidup. Filipi 3:13-14 (TB) "Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap bahwa aku sudah memperolehnya, tetapi satu hal yang kuingat: melupakan yang di belakang ini dan mengarahkan diri ke depan, aku meneruskan menuju kepada tujuan untuk memperoleh hadiah panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus."  Paulus belajar dari pengalaman masa lalu (kesalahan seperti penganiayaan gereja) sebagai "universitas" yang dorong maju. Ini ajarkan kita: pengalaman dan kesalahan bukan akhir, tapi guru yang pimpin ke tujuan Tuhan, asal fokus ke depan dengan iman. Tema ini selaras dengan hermeneutika (seperti yang kita obrolin sebelumnya, dalam tulisan saya, di Sudut Pandang): belajar kontekstual dari Firman, alam, dan hidup sehari-hari.
PEMAHAMAN
"Confucius" 📚📚📖
"Orang yang ingin belajar akan menemukan guru di setiap langkah; alam, pengalaman, dan kesalahan adalah universitas kehidupan."

Confucius mengajarkan bahwa orang yang benar-benar ingin belajar akan selalu menemukan guru, bahkan di tempat yang tidak terduga. Baginya, pembelajaran bukan hanya aktivitas di ruang kelas, tetapi perjalanan batin yang melibatkan kesediaan untuk melihat setiap peristiwa sebagai pelajaran. Alam mengajarkan kesabaran melalui perubahan musim, pengalaman mengajarkan kebijaksanaan melalui ujian, dan kesalahan mengajarkan kerendahan hati melalui kegagalan. Dalam pandangan ini, seorang murid sejati adalah mereka yang tidak menunggu guru datang, tetapi menjadikan setiap langkah hidup sebagai ruang kuliah, di mana setiap momen adalah kesempatan untuk bertumbuh.
Gagasan ini sejalan dengan pemikiran John Dewey dalam Democracy and Education, yang menyatakan bahwa pendidikan sejati terjadi ketika seseorang mampu mengaitkan pengalaman dengan pemahaman baru. Dewey menekankan bahwa proses belajar yang paling efektif bukan hanya menerima informasi, tetapi mengalami dan merefleksikannya. Confucius melihat bahwa alam, pengalaman, dan kesalahan adalah sumber pengetahuan yang tak terbatas, selama hati manusia terbuka untuk menerima. Maka, setiap interaksi dan setiap peristiwa menjadi mata rantai dalam pendidikan yang utuh, di mana pengetahuan tidak hanya membentuk pikiran, tetapi juga menghaluskan karakter.
Lebih jauh, Confucius menegaskan bahwa belajar dari kehidupan menuntut sikap hormat pada guru dalam segala bentuknya, termasuk guru yang hadir melalui penderitaan. Kesalahan yang menyakitkan pun bisa menjadi penasihat yang setia jika dihadapi dengan pikiran terbuka. Belajar dari alam melatih keselarasan, belajar dari pengalaman menumbuhkan kebijaksanaan, dan belajar dari kesalahan menanamkan kerendahan hati. Dalam kerangka ini, universitas kehidupan bukanlah institusi formal, melainkan panggung luas di mana setiap manusia adalah sekaligus murid dan guru bagi satu sama lain. Dengan kesadaran itu, perjalanan belajar menjadi tak terbatas, dan kebijaksanaan menjadi buah yang terus matang sepanjang hayat.  Literasi Filsafat 

(28102025)(TUS)

SUDUT PANDANG KENAPA WANITA BISA LEBIH GALAK KE PASANGAN DIBANDINGKAN KE ORANG LAIN

SUDUT PANDANG KENAPA WANITA BISA LEBIH GALAK KE PASANGAN DIBANDINGKAN KE ORANG LAIN

Ada beberapa ayat Alkitab yang berisi sebuah filosofi hubungan suami istri, yang terkait dengan pertanyaan mengapa beberapa wanita bisa lebih galak ke suaminya daripada ke orang lain: Efesus 5:33: "Bagaimanapun, hendaklah kamu masing-masing mengasihi isterinya seperti dirinya sendiri, dan isteri menghormati suaminya."
Ayat ini menekankan pentingnya hubungan yang harmonis antara suami dan istri. Namun, terkadang wanita bisa merasa lebih nyaman untuk menunjukkan emosi negatif kepada suami karena merasa aman dan percaya dalam hubungan tersebut. Amsal 14:1: "Perempuan yang bijak membangun rumahnya, tetapi perempuan yang bodoh merobohkannya dengan tangannya sendiri." Ayat ini menekankan pentingnya peran wanita dalam membangun dan memelihara rumah tangga. Namun, ketika wanita merasa tidak dihargai atau tidak dipahami, mereka bisa menjadi lebih galak kepada suami, dibanding ke orang lain karena punya pengharapan tinggi ke suaminya. Kolose 3:18-19 : "Hai isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadapnya." Ayat ini menekankan pentingnya hubungan yang saling menghormati dan mengasihi antara suami dan istri. Kalau melihat konteks penulisan ini terkait budaya patriarki, tetapi bila kita melihat dari tujuan penulisan ini juga bisa dihubungkan dengan hubungan Allah dan umat pilihanNya, ketundukan umat pada Allah. Namun dalam kenyataan ilmu pasutri, ketika suami tidak menunjukkan kasih dan perhatian yang cukup, istri bisa merasa frustrasi dan menjadi lebih galak daripada ke orang lain, shg ini tidak relevan bila dilihat dg kacamata hubungan Allah dan umatnya, harus melihat dengan argumentasi kacamata yang lain, yaitu filsafat.
Dalam konteks ini, beberapa alasan mengapa wanita bisa lebih galak ke suaminya daripada ke orang lain adalah:
- Perasaan aman dan percaya dalam hubungan yang membuatnya merasa lebih nyaman untuk menunjukkan emosi negatif.
- Kurangnya komunikasi dan pengertian antara suami dan istri.
- Perasaan tidak dihargai atau tidak dipahami oleh suami.
- Stres dan tekanan hidup yang tidak terkait dengan hubungan suami-istri.
Untuk mengatasi hal ini, penting untuk:
- Meningkatkan komunikasi dan pengertian antara suami dan istri.
- Menunjukkan kasih dan perhatian yang cukup antara pasangan.
- Mengelola stres dan tekanan hidup dengan baik.
- Membangun hubungan yang saling menghormati dan mengasihi.

PEMAHAMAN
Kalau dipikir-pikir, aneh memang. Seorang istri bisa begitu lembut, sopan, bahkan sabar menghadapi orang luar, tapi begitu di rumah bersama suaminya, nada suara jadi lebih tinggi, komentar lebih tajam, dan ekspresi lebih jujur. Kontroversinya, fenomena ini bukan sekadar soal sikap kasar, melainkan cerminan dinamika psikologis yang dalam. Fakta menariknya, penelitian dalam psikologi keluarga menunjukkan bahwa orang cenderung melampiaskan emosi pada orang terdekat karena merasa aman, bukan karena tidak sayang. Artinya, suami sering menjadi “tempat pembuangan sampah emosional” tanpa disadari.
Kita bisa melihat contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Seorang istri bisa menahan kesal ketika rekan kerjanya membuat kesalahan, tapi ketika suaminya lupa menaruh gelas di tempatnya, ledakan kecil pun terjadi. Fenomena ini sering membuat banyak suami merasa tidak dihargai. Padahal, kalau ditelaah lebih dalam, ada faktor psikologis, sosial, hingga budaya yang membuat hal ini terasa begitu umum. Mari kita bedah satu per satu agar lebih jernih.

1. Kedekatan Menciptakan Rasa Aman
Hubungan pernikahan berbeda dengan interaksi sosial biasa. Dalam hubungan intim, rasa aman membuat seseorang lebih berani mengekspresikan sisi asli dirinya, termasuk sisi emosional yang tidak keluar di depan orang lain.
Seorang istri mungkin menahan diri untuk tidak marah di kantor karena takut dinilai tidak profesional. Tetapi di rumah, bersama suami, ada perasaan bebas untuk menunjukkan kejengkelan tanpa takut kehilangan cinta. Justru karena ada rasa aman itulah ekspresi emosional jadi lebih lepas.
Kondisi ini sering disalahpahami sebagai kurangnya rasa hormat, padahal sebenarnya tanda adanya kepercayaan. Namun, jika tidak diatur dengan komunikasi yang sehat, rasa aman bisa berubah menjadi kebiasaan buruk yang menggerus keharmonisan.

2. Tekanan Sosial dan Peran Gender
Dalam banyak budaya, perempuan diharapkan tampil manis dan sabar di ruang publik. Tekanan sosial ini membuat banyak istri menekan emosinya di luar rumah, sehingga rumah menjadi satu-satunya ruang katarsis.
Contoh nyata, seorang istri yang bekerja di kantor dengan segudang tekanan bisa tetap tersenyum menghadapi bos dan klien. Tetapi begitu sampai di rumah, energi yang terkuras membuatnya lebih mudah tersulut pada hal-hal kecil. Suami pun jadi sasaran paling realistis karena ada di dekatnya.
Fenomena ini memperlihatkan betapa peran gender dan ekspektasi sosial membentuk pola komunikasi di rumah tangga. Dan di sinilah pentingnya membicarakan pembagian peran secara adil agar tidak ada pihak yang merasa terbebani.

3. Ekspektasi Lebih Tinggi pada Pasangan
Manusia sering kali paling keras pada orang yang paling ia harapkan. Dalam pernikahan, ekspektasi istri terhadap suami biasanya jauh lebih besar dibanding kepada orang lain. Ketika ekspektasi tidak terpenuhi, kekecewaan pun keluar dalam bentuk sikap galak.
Contoh sederhana, seorang istri mungkin tidak masalah jika orang asing lupa menutup pintu, tetapi akan marah jika suami melakukannya. Alasannya, dari pasanganlah ia berharap lebih karena peran dan tanggung jawab yang dimiliki.
Ekspektasi tinggi ini adalah pisau bermata dua. Di satu sisi bisa memotivasi suami untuk lebih peka, tetapi di sisi lain bisa membuat hubungan penuh tekanan jika tidak diimbangi dengan komunikasi yang saling memahami.

4. Kurangnya Ruang Komunikasi yang Sehat
Sering kali, suami dan istri terjebak dalam rutinitas sehingga tidak menyediakan ruang khusus untuk komunikasi emosional. Akibatnya, hal-hal kecil menumpuk dan akhirnya keluar dalam bentuk emosi yang meledak-ledak.
Misalnya, seorang istri merasa lelah dengan pekerjaan rumah tangga, tapi tidak terbiasa mengatakannya secara langsung. Lalu, ketika suami melakukan hal kecil yang mengganggu, emosi yang tertahan pun dilampiaskan seolah-olah masalahnya besar.
Situasi seperti ini seharusnya menjadi pengingat bahwa komunikasi bukan sekadar soal menyampaikan informasi, tapi juga membangun ruang aman untuk curhat, berbagi lelah, dan saling mendengarkan.

5. Efek Pantulan Emosi Negatif
Dalam psikologi, ada konsep yang disebut emotional contagion, di mana emosi satu orang bisa menular ke orang terdekat. Jika seorang istri mengalami stres di luar rumah, emosi itu bisa terbawa hingga ke rumah dan tercermin dalam interaksinya dengan suami.
Misalnya, ia dimarahi atasan di kantor. Ia tidak bisa membalas, sehingga energi negatif itu tetap tertahan. Ketika suami melakukan hal sederhana seperti bertanya “kok kamu diam saja?”, justru pertanyaan itu dianggap pemicu dan ledakan pun keluar.
Fenomena ini bukan soal siapa salah, melainkan soal bagaimana emosi negatif bisa berpindah tanpa disadari. Di sinilah pentingnya kemampuan mengelola stres sebelum masuk ke rumah agar pasangan tidak menjadi korban pantulan emosi.

6. Faktor Kebiasaan dan Pola Lama
Banyak pasangan tidak menyadari bahwa cara mereka berbicara di rumah adalah hasil kebiasaan yang terbentuk bertahun-tahun. Jika sejak awal komunikasi diwarnai dengan nada keras, maka gaya itulah yang akan terus dipakai tanpa disadari.
Contoh, istri yang sejak remaja terbiasa berdebat keras dengan keluarganya mungkin membawa pola itu ke pernikahan. Suami menjadi “penerus” lawan bicara di rumah, sehingga nada galak dianggap biasa dan bukan masalah.
Namun, kebiasaan lama ini bisa diperbaiki. Dengan kesadaran dan latihan, nada galak bisa diubah menjadi komunikasi yang lebih lembut tanpa mengurangi ketegasan. Semua kembali pada kesediaan untuk merefleksikan diri.

7. Rasa Nyaman Justru Membuka Sisi Gelap
Ironisnya, semakin nyaman seseorang dengan pasangannya, semakin besar kemungkinan sisi gelapnya muncul. Dalam hubungan pernikahan, kenyamanan ini bisa membuat seorang istri tidak merasa perlu menyaring kata-kata atau ekspresi.
Misalnya, ia bisa memarahi suami dengan nada tinggi tanpa rasa bersalah, sesuatu yang tidak mungkin ia lakukan kepada orang lain. Rasa nyaman membuat batasan sopan santun sosial berkurang.
Kenyamanan semacam ini sebenarnya adalah tanda kedekatan. Namun, jika tidak dibarengi dengan kesadaran, ia bisa berubah menjadi pola komunikasi yang kasar. Di sinilah pentingnya mengingat bahwa cinta tidak cukup ditunjukkan dengan perasaan, tapi juga dengan cara kita berkata dan bersikap.
Fenomena istri yang lebih galak kepada suami daripada orang lain bukanlah misteri, melainkan kombinasi psikologis, sosial, dan kebiasaan yang bertemu di satu ruang paling intim: rumah tangga. Pertanyaannya, apakah kamu pernah merasakan hal ini dalam hubunganmu? Tulis di kolom komentar dan bagikan tulisan ini agar lebih banyak pasangan bisa belajar memahami akar persoalan di balik sikap galak yang sering disalahpahami.

(28102025)(TUS)

Sudut pandang apakah anak menjadi baik karena sering dinasihati atau justru karena mereka melihat teladan yang konsisten

Sudut pandang apakah anak menjadi baik karena sering dinasihati atau justru karena mereka melihat teladan yang konsisten

Berikut beberapa ayat Alkitab dan tafsir terkait dengan pertanyaan apakah anak menjadi baik karena sering dinasihati atau justru karena mereka melihat teladan yang konsisten:

1. *Amsal 22:6*: "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut untuknya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu."

Tafsir: Ayat ini menekankan pentingnya membimbing anak-anak dengan teladan yang baik dan konsisten. Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat, bukan hanya dari apa yang mereka dengar.

2. *Ulangan 6:6-7*: "Firman yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau simpan dalam hatimu, dan engkau harus mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu, dan membicarakan hal itu pada waktu engkau duduk di rumahmu, dan waktu engkau berjalan di jalan, waktu engkau berbaring dan waktu engkau bangun."

Tafsir: Ayat ini menekankan pentingnya orang tua menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka, tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan.

3. *Matius 5:16*: "Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."

Tafsir: Ayat ini menekankan pentingnya orang tua menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka, sehingga anak-anak dapat melihat perbuatan baik dan memuliakan Tuhan.

4. *1 Korintus 4:16*: "Karena itu aku minta kepadamu: jadilah pengikutku!"

Tafsir: Ayat ini menekankan pentingnya orang tua dan pemimpin menjadi teladan yang baik bagi anak-anak dan pengikut mereka.

Dalam konteks ini, anak-anak lebih cenderung menjadi baik karena mereka melihat teladan yang konsisten dari orang tua atau pengasuh mereka, bukan hanya karena sering dinasihati. Dengan melihat teladan yang baik, anak-anak dapat belajar untuk mengulangi perilaku yang sama dan menjadi orang yang baik.

Beberapa tips untuk menjadi teladan yang baik bagi anak-anak:

- Berperilaku baik dan konsisten
- Menunjukkan kasih sayang dan empati
- Mengajarkan nilai-nilai yang baik
- Mendengarkan dan memahami kebutuhan anak-anak
- Menjadi role model yang positif dalam kehidupan sehari-hari

Dengan menjadi teladan yang baik, orang tua dapat membantu anak-anak mereka menjadi orang yang baik dan bertanggung jawab.


Apakah benar anak menjadi baik karena sering dinasihati? Atau justru karena mereka melihat teladan yang konsisten? Pertanyaan ini mengguncang banyak keyakinan lama tentang cara mendidik. Orang tua sering merasa tugasnya adalah menasihati, menegur, dan memberi arahan, padahal anak belajar jauh lebih banyak dari apa yang dilihat ketimbang apa yang didengar. Dalam dunia pendidikan modern, ini disebut *modeling effect*, sebuah prinsip yang menunjukkan bahwa perilaku anak adalah cermin dari kebiasaan orang tua.

Data dari American Psychological Association menunjukkan bahwa anak-anak meniru hingga 70 persen perilaku orang tua mereka tanpa sadar, terutama dalam hal emosi, kebiasaan, dan cara menyelesaikan masalah. Artinya, bukan jumlah nasihat yang menentukan keberhasilan pola asuh, tetapi konsistensi perilaku yang ditampilkan di depan anak setiap hari. Jadi ketika anak sulit diatur, pertanyaannya bukan “kenapa anak saya seperti ini?”, melainkan “apa yang sebenarnya ia lihat dari saya?”.

1. Anak Lebih Percaya pada Tindakan daripada Kata-Kata

Saat orang tua berkata “jangan marah”, tapi mereka sendiri mudah tersulut emosi, anak menangkap pesan ganda. Ia belajar bahwa kata dan tindakan bisa berbeda, lalu mulai meniru perilaku yang lebih kuat secara emosional: tindakan. Anak tidak belajar dari teori, tapi dari pengalaman nyata yang ia amati setiap hari.

Sebuah kalimat lembut tidak akan berarti banyak jika perilaku yang ditunjukkan bertolak belakang. Anak yang tumbuh melihat ketenangan, kesabaran, dan konsistensi akan menirunya tanpa diminta. Karena baginya, tindakan orang tua adalah “buku pelajaran” paling berpengaruh yang ia baca setiap hari.

2. Nasihat Berlebihan Justru Menumpulkan Kepekaan Anak

Orang tua sering mengira semakin banyak memberi nasihat, semakin cepat anak berubah. Padahal yang terjadi sebaliknya. Nasihat yang diulang terus tanpa contoh nyata hanya membuat anak menutup telinga. Ia tahu apa yang dikatakan benar, tapi tidak merasakan urgensi untuk mengubah perilakunya karena tidak melihat bukti konkret.

Nasihat kehilangan daya ketika tidak diiringi konsistensi. Anak akan lebih peka terhadap perilaku nyata yang selaras dengan nilai yang diajarkan. Maka daripada banyak bicara tentang kejujuran, lebih kuat dampaknya jika anak melihat orang tuanya mengakui kesalahan kecil di depan mereka. Itulah bentuk pendidikan karakter yang tidak perlu diceramahkan.

3. Teladan Adalah Bahasa Moral yang Paling Dipahami Anak

Nilai-nilai seperti tanggung jawab, kesabaran, dan empati tidak bisa ditanam lewat perintah. Anak mempelajarinya melalui interaksi sehari-hari. Ketika orang tua meminta anak untuk “sabar”, tapi mereka sendiri tidak sabar menunggu anak makan, maka makna sabar kehilangan bentuk.

Sebaliknya, anak yang melihat orang tuanya tenang menghadapi kesulitan akan meniru pola itu secara natural. Di LogikaFilsuf, pembahasan menarik tentang “pembelajaran implisit” menjelaskan bagaimana perilaku orang tua menciptakan jejak moral dalam otak anak bahkan tanpa disadari. Anak tidak diajarkan menjadi baik, ia *melihat* bagaimana kebaikan bekerja.

4. Anak Belajar dari Reaksi Orang Tua, Bukan dari Ceramahnya

Setiap kali anak berbuat salah, cara orang tua bereaksi jauh lebih penting daripada kata-kata yang diucapkan. Jika reaksi yang muncul adalah kemarahan, anak belajar bahwa kesalahan identik dengan ketakutan. Tapi jika reaksi yang muncul adalah dialog dan bimbingan, anak belajar bahwa kesalahan adalah ruang untuk bertumbuh.

Ketika anak menjatuhkan gelas lalu dimarahi, yang ia pelajari bukan tentang berhati-hati, melainkan tentang menghindari kegagalan. Tapi jika orang tua tenang dan mengajaknya membersihkan bersama, anak memahami makna tanggung jawab tanpa perlu ceramah. Reaksi adalah bentuk teladan yang lebih hidup dari ribuan kata.

5. Konsistensi Kecil Lebih Kuat dari Seribu Janji Besar

Orang tua sering memberi janji: “mulai besok ayah tidak akan marah lagi”, tapi sehari kemudian pola yang sama terulang. Anak menyerap ketidakkonsistenan ini dan belajar bahwa komitmen bisa dilanggar. Dalam jangka panjang, ia meniru pola yang sama terhadap tanggung jawab dan janji pribadi.

Sebaliknya, orang tua yang perlahan menepati hal-hal kecil mengajarkan disiplin moral tanpa banyak bicara. Anak melihat bahwa perubahan tidak datang dari janji, tapi dari tindakan kecil yang terus dilakukan. Nilai sejati tidak diajarkan dengan pidato, tapi dipraktikkan setiap hari.

6. Keteladanan Menciptakan Hubungan yang Lebih Hangat

Anak yang sering dinasihati cenderung menjauh secara emosional. Mereka merasa dinilai terus-menerus. Tapi anak yang melihat orang tuanya menjadi contoh justru lebih dekat, karena ia tidak merasa ditekan, melainkan diundang untuk meniru. Kedekatan emosional ini menjadi fondasi bagi kedisiplinan yang alami, bukan paksaan.

Di rumah yang penuh keteladanan, anak belajar tanpa merasa diawasi. Mereka merasa dihargai, bukan dikontrol. Suasana ini memunculkan rasa aman yang membuat mereka lebih terbuka, lebih jujur, dan lebih mudah diarahkan. Disiplin tumbuh dari rasa percaya, bukan dari rasa takut.

7. Pendidikan Sejati Dimulai dari Diri Orang Tua Sendiri

Banyak orang tua ingin anaknya berubah tanpa sadar lupa memperbaiki dirinya sendiri. Padahal, anak adalah hasil dari kebiasaan yang mereka lihat setiap hari. Tidak ada gunanya menasihati anak agar rajin membaca jika televisi terus menyala di rumah. Tidak ada gunanya memarahi anak karena malas belajar jika ia melihat orang tuanya tidak pernah menunjukkan semangat belajar.

Anak bukan kertas kosong, ia cermin yang memantulkan realitas. Jika orang tua ingin anaknya sabar, maka kesabaran harus menjadi gaya hidup. Jika ingin anak bertanggung jawab, tanggung jawab harus menjadi bahasa keseharian. Perubahan anak dimulai dari perubahan orang tuanya terlebih dahulu.

Tulisan ini bukan tentang menyalahkan, tapi mengingatkan bahwa kekuatan terbesar seorang orang tua bukan terletak pada nasihat, melainkan pada contoh yang hidup. Jika kamu sepakat bahwa tindakan lebih kuat dari kata-kata, bagikan tulisan ini dan tulis pandanganmu di kolom komentar. Siapa tahu, refleksi kecilmu hari ini bisa menjadi titik awal perubahan bagi banyak keluarga di luar sana.

SUDUT PANDANG SOFT SKILL LEBIH PENTING DARI NILAI AKADEMIK

SUDUT PANDANG SOFT SKILL LEBIH PENTING DARI NILAI AKADEMIK

beberapa ayat Alkitab dan tafsirnya yang dikaitkan dengan dunia nyata ternyata dapat terhubung dengan pemahaman pendidikan dan dunia kejiwaan manusia, termasuk apabila kita melihat latar belakang dari penulisan, beberapa ayat tersebut terkait dengan pentingnya soft skill dibandingkan dengan indeks prestasi kumulatif atau nilai di sekolah: Matius 25:14-30 (Parabel tentang Talenta): "Karena halnya seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, ia memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka..."
Ayat ini menekankan pentingnya mengembangkan kemampuan dan keterampilan yang dapat digunakan untuk melayani orang lain dan memuliakan Tuhan. Soft skill seperti kepemimpinan, komunikasi, dan kerja sama tim lebih penting daripada hanya memiliki nilai akademis yang tinggi. Kolose 3:23-24 : "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan sebagai upah."
Ayat ini menekankan pentingnya melakukan segala sesuatu dengan hati yang baik dan tulus, bukan hanya untuk mendapatkan nilai atau pengakuan dari orang lain. Soft skill seperti etos kerja, integritas, dan tanggung jawab lebih penting daripada hanya memiliki nilai akademis yang tinggi. Amsal 4:7: "Hikmat adalah yang terutama; sebab itu berusahalah untuk mendapat hikmat; ya, dengan segala yang kau punya, berusahalah untuk mendapat pengertian." Ayat ini menekankan pentingnya memiliki hikmat dan pengertian yang lebih dari sekedar pengetahuan akademis. Soft skill seperti berpikir kritis, analisis, dan pemecahan masalah lebih penting daripada hanya memiliki nilai akademis yang tinggi. 1 Korintus 13:1-3 : "Jika aku dapat berbicara dalam berbagai bahasa manusia dan juga bahasa malaikat, tetapi aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang atau sencing yang berkeriut. Jika aku mempunyai karunia bernubuat dan mengetahui segala rahasia serta segala pengetahuan, dan jika aku mempunyai iman yang dapat memindahkan gunung, tetapi aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna." Ayat ini menekankan pentingnya memiliki kasih dan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Soft skill seperti empati, komunikasi, dan kerja sama tim lebih penting daripada hanya memiliki pengetahuan akademis yang tinggi.

PEMAHAMAN
Dalam konteks ini, soft skill lebih penting daripada indeks prestasi kumulatif atau nilai di sekolah karena soft skill dapat membantu seseorang untuk:
- Berhubungan dengan orang lain dengan baik
- Bekerja sama dengan tim
- Mengembangkan kemampuan dan keterampilan yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari
- Menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat
Dengan demikian, penting untuk tidak hanya fokus pada nilai akademis, tetapi juga mengembangkan soft skill yang dapat membantu seseorang untuk sukses dalam kehidupan.
Kita hidup di zaman di mana nilai akademik bukan lagi satu-satunya ukuran kesuksesan. Banyak orang dengan IPK tinggi justru kesulitan menghadapi dunia kerja karena mereka hanya pandai menghafal, tapi tidak mampu beradaptasi, bekerja sama, atau menyelesaikan masalah nyata. Dunia tidak lagi menanyakan seberapa banyak yang kamu tahu, tapi seberapa baik kamu bisa berpikir, berkomunikasi, dan bertindak di bawah tekanan. Dan di sinilah soft skill membedakan antara mereka yang hanya “pintar di atas kertas” dengan mereka yang benar-benar siap menghadapi kehidupan. Soft skill adalah fondasi yang membuat pengetahuanmu berguna. Tanpa kemampuan komunikasi, empati, kerja sama, dan disiplin diri, kecerdasanmu tidak akan punya ruang untuk berkembang. Orang bisa mengagumimu karena IPK, tapi mereka akan mempercayaimu karena sikap. Dunia kerja tidak menilai seberapa tinggi nilaimu, tapi seberapa bisa kamu diandalkan. Maka jika kamu masih bersembunyi di balik angka, saatnya keluar dan melatih dirimu jadi manusia yang utuh—bukan hanya mahasiswa yang hafal teori.

1. Dunia kerja menghargai karakter, bukan angka
Perusahaan tidak membayar kamu karena nilai rapormu, tapi karena kemampuanmu menyelesaikan masalah. IPK bisa menunjukkan ketekunan belajar, tapi tidak selalu mencerminkan daya tahan, kreativitas, atau kemampuan beradaptasi. Dunia kerja membutuhkan orang yang bisa berpikir kritis, bukan sekadar mengikuti instruksi.
Banyak lulusan brilian akhirnya kalah bersaing dengan mereka yang berani mengambil tanggung jawab dan belajar dari kegagalan. Karena dunia profesional bukan ruang ujian, melainkan arena tantangan. Ketika kamu punya karakter kuat—jujur, konsisten, dan bisa diandalkan—orang akan mempercayakan lebih banyak padamu, dan dari situlah kariermu tumbuh.

2. Komunikasi menentukan seberapa jauh kamu bisa melangkah
Orang yang tidak bisa menyampaikan pikirannya dengan jelas, akan tertinggal, seberapa pun cerdasnya dia. Kemampuan berbicara, mendengarkan, dan bernegosiasi adalah jembatan menuju peluang. IPK bisa membuatmu diterima kerja, tapi kemampuan komunikasi membuatmu dipromosikan.
Soft skill ini dibangun lewat interaksi, bukan di ruang ujian. Belajarlah menyampaikan ide dengan jelas, mengkritik tanpa menjatuhkan, dan menerima pendapat tanpa tersinggung. Di dunia kerja, yang sukses bukan hanya yang tahu banyak, tapi yang bisa membuat orang lain mau bekerja bersamanya.

3. Adaptabilitas adalah mata uang baru kesuksesan
Dunia berubah terlalu cepat untuk orang yang hanya mengandalkan hafalan. Ilmu bisa kadaluarsa, tapi kemampuan beradaptasi tidak. Ketika kamu punya mental fleksibel, kamu tidak takut belajar hal baru, berpindah arah, atau mulai dari nol. Inilah keunggulan orang dengan soft skill kuat: mereka tidak kaku menghadapi perubahan.
Sementara itu, mereka yang hanya mengandalkan IPK tinggi sering kali terpaku pada zona nyaman. Padahal, kesuksesan tidak menunggu orang yang sempurna, tapi mereka yang mau belajar ulang. Jika kamu bisa menyesuaikan diri di setiap situasi—dengan orang baru, sistem baru, atau tekanan yang tidak terduga—maka kamu sudah selangkah lebih maju dari mereka yang hanya mengandalkan teori.

4. Empati membuatmu berharga di mana pun kamu berada
Kecerdasan tanpa empati adalah kehampaan. Banyak orang pintar gagal memimpin karena tidak bisa memahami orang lain. Soft skill seperti empati dan kemampuan sosial membuatmu bisa bekerja dalam tim, menenangkan konflik, dan memotivasi orang lain. Dunia tidak butuh robot pintar, tapi manusia yang bisa membuat orang lain tumbuh bersamanya.
Ketika kamu punya empati, kamu tidak sekadar bekerja, tapi berkontribusi. Kamu bisa melihat masalah dari perspektif orang lain dan menemukan solusi yang lebih manusiawi. Dan di tempat kerja, itulah yang membuatmu dihormati bukan karena jabatan, tapi karena kehadiranmu membawa ketenangan dan arah.

5. Disiplin diri adalah kekuatan yang membedakan pemenang dan penonton
Orang dengan soft skill kuat tahu bagaimana mengatur dirinya sendiri. Mereka tidak perlu diawasi untuk bekerja, tidak mudah menyalahkan keadaan, dan selalu menjaga integritas bahkan saat tidak ada yang melihat. Disiplin diri bukan bawaan, tapi latihan yang membentuk mental tangguh.
Kamu bisa punya IPK sempurna, tapi tanpa manajemen waktu, fokus, dan komitmen, semua itu akan runtuh di dunia nyata. Soft skill membuatmu konsisten ketika motivasi menghilang. Di situlah letak kekuatan sejati: bukan sekadar bisa memahami teori, tapi mampu menerapkannya dengan konsisten, bahkan ketika tidak ada yang memuji.
IPK penting, tapi ia bukan tiket emas menuju kesuksesan. Dunia modern menuntut lebih dari sekadar kemampuan akademik — ia menuntut kecerdasan emosional, ketahanan mental, dan kemampuan bekerja dengan orang lain. Soft skill adalah fondasi yang membuat ilmu bisa berdampak, keputusan bisa diterapkan, dan kerja keras bisa diakui. Tanpa itu, semua pengetahuan hanyalah tumpukan kata tanpa arah.
Jadi, berhentilah mengejar nilai demi pengakuan. Bangunlah kemampuan untuk berpikir jernih, berkomunikasi efektif, menghargai orang lain, dan terus belajar dari kegagalan. Karena pada akhirnya, dunia tidak akan mengingat angka di ijazahmu, tapi bagaimana kamu bersikap, beradaptasi, dan memberi nilai pada kehidupan. IPK bisa membawamu ke pintu masuk, tapi soft skill lah yang menentukan seberapa jauh kamu melangkah.

(27102025)(TUS)

SUDUT PANDANG MENUMBUHKAN RASA PERCAYA DIRI ANAK

SUDUT PANDANG MENUMBUHKAN RASA PERCAYA DIRI ANAK

PENGANTAR
beberapa ayat Alkitab bila dikaitkan dg dunia nyata apalagi bidang ilmu kejiwaan dan latar belakang penulisan dapat merujuk tentang menumbuhkan rasa percaya diri untuk anak:
Contoh, 1 Korintus 12:4-6"Ada berbagai-bagai karunia, tetapi Roh-Nya sama. Ada berbagai-bagai pelayanan, tetapi Tuhan-Nya sama. Ada berbagai-bagai perbuatan, tetapi Allah-Nya sama, yang mengerjakan semuanya dalam semua orang."
Ayat ini menekankan bahwa setiap orang memiliki karunia dan potensi unik yang diberikan oleh Tuhan. Orang tua dapat membantu anak-anak mereka menemukan dan mengembangkan karunia tersebut untuk meningkatkan rasa percaya diri, Efesus 2:10 "Karena kita adalah buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang sebelumnya telah dipersiapkan Allah, supaya kita hidup di dalamnya." Ayat ini menekankan bahwa setiap orang diciptakan oleh Tuhan dengan tujuan dan rencana yang unik. Orang tua dapat membantu anak-anak mereka menemukan tujuan dan rencana Tuhan untuk hidup mereka, Mazmur 139:13-14 "Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, yang merajut aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu, sebab aku dijadikan dengan ajaib dan dahsyat."  Ayat ini menekankan bahwa setiap orang diciptakan oleh Tuhan dengan keunikan dan keistimewaan. Orang tua dapat membantu anak-anak mereka memahami dan menghargai keunikan mereka, Amsal 22:6 "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut untuknya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu." Ayat ini menekankan pentingnya membimbing anak-anak untuk menemukan jalan yang tepat dan mengembangkan potensi mereka. Orang tua dapat membantu anak-anak mereka menumbuhkan rasa percaya diri dengan memberikan bimbingan dan dukungan yang tepat.

PEMAHAMAN
Dalam menumbuhkan rasa percaya diri anak, orang tua dapat:
- Mengenal dan menghargai keunikan anak
- Membantu anak menemukan dan mengembangkan karunia dan potensi
- Memberikan bimbingan dan dukungan yang tepat
- Menanamkan nilai-nilai positif dan membangun kepercayaan diri
Dengan demikian, anak-anak dapat tumbuh dengan rasa percaya diri yang kuat dan menjadi orang yang percaya diri dan berprestasi.
Kepercayaan diri bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul ketika anak sudah besar. Ia ditanam, disiram, dan dipelihara sejak kecil — lewat cara orang tua memperlakukan anak dalam keseharian. Pola asuh yang menumbuhkan kepercayaan diri bukan yang membuat anak selalu benar, tapi yang membuat anak berani mencoba, berani salah, dan berani memperbaiki. Anak yang percaya diri tidak tumbuh dari pujian semata, melainkan dari pengalaman merasa didukung bahkan ketika ia gagal.
Sayangnya, banyak orang tua tanpa sadar justru mematikan benih kepercayaan diri anak. Setiap kali anak disalahkan tanpa ruang untuk menjelaskan, setiap kali ia dibandingkan dengan orang lain, setiap kali suaranya diabaikan — sedikit demi sedikit keberaniannya padam. Maka tugas kita bukan sekadar mengajari anak berbicara dengan lantang, tetapi menumbuhkan keyakinan batin bahwa suaranya pantas didengar dan tindakannya bermakna.

1. Anakmu berani mencoba hal baru tanpa takut dimarahi.
Tanda pertama pola asuh yang menumbuhkan kepercayaan diri adalah ketika anak merasa aman untuk mencoba. Ia tidak takut melakukan kesalahan, karena tahu bahwa orang tuanya tidak akan langsung menghakimi. Anak seperti ini punya rasa ingin tahu yang besar, karena rumah baginya bukan ruang penilaian, tapi ruang eksplorasi.
Orang tua yang menumbuhkan kepercayaan diri tidak fokus pada hasil pertama, tapi pada keberanian untuk memulai. Mereka lebih sering berkata, “Bagus kamu sudah mencoba” daripada “Kenapa belum bisa?” Dari kebiasaan sederhana itu, anak belajar bahwa gagal bukan aib, tapi bagian alami dari proses belajar.

2. Anakmu berani mengungkapkan pendapat, meski berbeda.
Bila anak berani menyampaikan pikirannya tanpa takut dimarahi, itu tanda kepercayaan diri tumbuh sehat. Ia tidak takut berbeda, karena ia tahu perbedaan bukan ancaman di rumahnya. Orang tua yang menumbuhkan keberanian berbicara tidak menutup telinga dengan kalimat “Diam, kamu belum tahu apa-apa.” Sebaliknya, mereka mau mendengar bahkan dari suara kecil anaknya.
Anak yang merasa didengar belajar menghargai dirinya sendiri. Ia tidak hanya percaya bahwa pendapatnya penting, tapi juga belajar bahwa orang lain pun pantas dihargai. Kepercayaan diri seperti ini bukan kesombongan, tapi hasil dari pola asuh yang menghormati dialog dan keterbukaan.

3. Anakmu mampu mengambil keputusan tanpa terus bergantung.
Anak yang percaya diri tidak selalu benar, tapi berani bertanggung jawab atas pilihannya. Ia tidak menunggu disuruh atau diarahkan setiap saat, karena sejak kecil diberi ruang untuk berpikir dan memutuskan. Orang tua yang menumbuhkan kemandirian tidak mengatur segalanya secara kaku — mereka memberi pilihan, lalu mempercayakan keputusan kecil pada anak.
Ketika anak terbiasa membuat keputusan sendiri, ia belajar memahami sebab-akibat, risiko, dan tanggung jawab. Dari hal sederhana seperti memilih baju, mengatur waktu belajar, atau menyelesaikan konflik kecil, anak mengasah otot kepercayaan diri yang sesungguhnya: keyakinan bahwa ia mampu menghadapi hidup dengan pikirannya sendiri.

4. Anakmu mampu menerima kegagalan tanpa kehilangan semangat.
Anak yang tumbuh dalam pola asuh penuh empati tidak takut gagal. Ia tahu bahwa gagal tidak membuatnya buruk, hanya memberinya pelajaran. Orang tua yang menumbuhkan kepercayaan diri tidak menggunakan kegagalan anak sebagai ajang rasa malu, tapi sebagai bahan refleksi bersama. Mereka tidak berkata, “Tuh kan, Mama sudah bilang!” tapi “Apa yang bisa kita pelajari dari ini?”
Dari pendekatan seperti itu, anak belajar resilien — kemampuan untuk bangkit lagi tanpa kehilangan harga diri. Ia tidak butuh dunia yang selalu memuji, karena di rumah ia sudah belajar mencintai dirinya bahkan saat tidak sempurna. Itulah pondasi kepercayaan diri yang sejati: bukan berani karena selalu berhasil, tapi tetap yakin meski pernah jatuh.

5. Anakmu merasa dicintai tanpa syarat, bukan karena prestasi.
Anak yang kepercayaan dirinya kokoh selalu tahu satu hal: cinta orang tuanya tidak bergantung pada nilai, ranking, atau penghargaan. Pola asuh yang menumbuhkan kepercayaan diri membuat anak merasa layak dicintai hanya karena dirinya sendiri. Itu sebabnya anak seperti ini tumbuh dengan hati yang tenang — ia tidak hidup untuk membuktikan, tapi untuk berkembang.
Cinta tanpa syarat bukan berarti membiarkan anak semaunya, melainkan tetap menuntun tanpa mengaitkan cinta dengan hasil. Ketika anak tahu bahwa ia tetap disayang saat gagal, ia belajar mencintai dirinya sendiri. Dari sanalah lahir anak yang percaya diri tanpa sombong, rendah hati tanpa minder.
Kepercayaan diri bukan diwariskan, tapi ditumbuhkan lewat cara kita memperlakukan anak setiap hari. Pola asuh yang benar bukan yang membuat anak selalu patuh, tapi yang menyalakan api dalam dirinya untuk percaya pada kemampuannya sendiri. Tugas orang tua bukan menciptakan anak yang sempurna, melainkan anak yang berani tumbuh dengan segala prosesnya — termasuk kesalahan, keraguan, dan pembelajaran.
Sebab pada akhirnya, dunia tidak selalu akan menepuk bahu anakmu. Tapi jika di rumah ia sudah belajar mencintai dirinya, mendengar dirinya, dan mempercayai dirinya — ia akan tetap berdiri tegak meski badai datang. Dan ketika itu terjadi, kamu tahu: pola asuhmu telah berhasil menumbuhkan kepercayaan diri yang sesungguhnya.
(27102025)(TUS)

SUDUT PANDANG ANAK BOSAN TANDA KREATIF

SUDUT PANDANG ANAK BOSAN TANDA KREATIF

PENGANTAR
Pengkhotbah 3:1-8 "Untuk segala sesuatu ada musimnya, dan untuk setiap maksud di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir dan waktu untuk meninggal, waktu untuk menanam dan waktu untuk mencabut. Ada waktu untuk membunuh dan waktu untuk menyembuhkan, waktu untuk menghancurkan dan waktu untuk membangun."
Ayat ini menekankan bahwa setiap fase kehidupan memiliki waktu dan musimnya sendiri. Anak-anak yang bosan mungkin perlu mencari kegiatan yang kreatif dan bermanfaat untuk mengisi waktu mereka.
Matius 25:14-30(Parabel tentang Talenta) "Karena halnya seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, ia memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka..."
Ayat ini menekankan pentingnya menggunakan karunia dan bakat yang dimiliki untuk berkreasi dan berinovasi. Anak-anak yang bosan dapat diarahkan untuk menemukan minat dan bakat mereka.
Amsal 22:6 "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut untuknya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu."
Ayat ini menekankan pentingnya membimbing anak-anak untuk menemukan jalan yang tepat dan mengembangkan potensi mereka. Ayat-ayat Alkitab di atas menekankan pentingnya:
- Menggunakan waktu dengan bijak dan kreatif.
- Mengembangkan bakat dan karunia yang dimiliki.
- Membimbing anak-anak untuk menemukan minat dan jalan yang tepat.
Dengan demikian, anak-anak yang bosan dapat diarahkan untuk menemukan kegiatan yang kreatif dan bermanfaat, serta mengembangkan potensi mereka.

PEMAHAMAN
“Anak saya gampang bosan.” Kalimat itu sering diucapkan orang tua dengan nada khawatir, seolah kebosanan adalah tanda kegagalan dalam mengasuh. Padahal, riset menunjukkan hal sebaliknya. Sebuah studi dari University of Central Lancashire menemukan bahwa rasa bosan dapat memicu munculnya ide-ide baru karena otak mencari cara untuk menstimulasi dirinya sendiri. Jadi, ketika anakmu terlihat bengong atau mengeluh tidak tahu harus melakukan apa, bisa jadi itu justru momen emas otaknya sedang membangun jalur kreativitas baru.
Kita hidup di zaman di mana setiap menit bisa diisi oleh layar, notifikasi, atau hiburan instan. Anak-anak hampir tidak punya ruang kosong untuk menunggu, merasa jenuh, atau berpikir tanpa distraksi. Akibatnya, otak mereka terbiasa menunggu rangsangan dari luar, bukan menciptakan dari dalam. Di sinilah kita perlu memutar paradigma: bukan menghindari bosan, tapi belajar menghargainya sebagai bagian penting dari tumbuhnya kreativitas dan kemandirian berpikir.

1. Bosan Bukan Tanda Malas, Tapi Proses Otak Mengatur Ulang Fokus
Ketika anak terlihat melamun, orang tua sering buru-buru memberi hiburan, entah dengan ponsel, mainan baru, atau tontonan edukatif. Padahal, pada momen itulah otaknya sedang beristirahat dari banjir stimulus dan mencoba menyusun ulang prioritas mental. Aktivitas otak saat bosan mirip dengan “default mode network” yang aktif ketika seseorang sedang merenung atau berimajinasi. Ini bukan kemalasan, tapi mode reflektif yang justru penting untuk kreativitas.
Misalnya, seorang anak yang bosan di rumah bisa tiba-tiba mengambil kertas dan menggambar sesuatu dari pikirannya sendiri. Ia menciptakan ide, bukan meniru. Saat kita membiarkannya mengisi waktu kosong dengan cara yang lahir dari dirinya, kita sedang membantu otaknya belajar berpikir mandiri. Tidak semua kebosanan perlu “disembuhkan”. Terkadang, cukup diam dan amati — karena di situlah kreativitas sedang tumbuh diam-diam.

2. Stimulasi Berlebihan Justru Mematikan Imajinasi Anak
Ketika segala hal serba instan, dari video pendek hingga mainan interaktif, anak-anak tidak diberi kesempatan untuk mengelola rasa jenuh. Padahal, tanpa ruang kosong itu, mereka kehilangan peluang untuk mengembangkan imajinasi. Otak yang terus diberi hiburan siap saji akan kesulitan menghasilkan ide baru karena tidak pernah dilatih berimprovisasi.
Coba perhatikan anak yang tumbuh di lingkungan serba digital. Mereka cepat bosan pada hal-hal sederhana, bahkan permainan tradisional terasa “tidak seru”. Tapi ketika orang tua mulai mengurangi paparan layar, dalam beberapa hari anak mulai membuat “dunia imajiner” sendiri dari benda sekitar. Di sinilah fungsi bosan terlihat nyata: ia memaksa anak untuk mencipta. Itulah sebabnya banyak konten eksklusif di LogikaFilsuf membahas bagaimana ruang kosong bisa jadi ruang tumbuh bagi kreativitas anak — bukan kekosongan yang menakutkan, tapi kesempatan berpikir yang jarang dihargai.

3. Kebosanan Melatih Anak Mengelola Emosi dan Kesabaran
Anak yang tak tahan bosan biasanya tumbuh dengan toleransi frustrasi yang rendah. Mereka ingin semua cepat dan mudah. Sementara itu, anak yang belajar menghadapi bosan tanpa segera mencari pelarian justru belajar mengatur emosinya sendiri. Ini bentuk awal dari regulasi diri — fondasi penting bagi kedewasaan emosional.
Ambil contoh anak yang merengek karena tak ada tontonan favorit. Jika orang tua tidak langsung menyerahkan gawai, melainkan mengajaknya duduk, berbicara, atau hanya diam bersama, anak belajar bahwa tidak semua kebutuhan harus segera terpenuhi. Ia belajar menunda kepuasan. Dari hal kecil seperti itu, terbentuk karakter tangguh yang kelak sangat dibutuhkan di dunia yang serba cepat ini.

4. Dari Bosan Lahir Eksperimen dan Penemuan Baru
Thomas Edison tidak menemukan bola lampu saat sedang sibuk bermain, tapi saat terjebak dalam rasa ingin tahu dan kebosanan yang panjang. Begitu juga dengan banyak anak: kebosanan bisa menjadi pintu menuju eksplorasi. Mereka mencoba hal-hal baru karena tidak ada yang menarik dari rutinitas lamanya.
Seorang anak yang dibiarkan “menganggur” bisa tiba-tiba bereksperimen di dapur, mencampur bahan yang ada dan menyebutnya “ramuan rahasia”. Proses ini tampak sepele, tapi justru di situlah lahir pola pikir ilmiah — mencoba, gagal, lalu mencari tahu kenapa. Maka, biarkan anakmu bosan. Karena dari bosan itu, lahir keingintahuan yang tidak bisa diajarkan, hanya bisa dirasakan dan ditumbuhkan.

5. Bosan Mengajarkan Anak Mengenal Diri Sendiri
Kebosanan membuat anak berhadapan dengan dirinya sendiri. Saat tidak ada distraksi, ia mulai bertanya: aku suka apa? aku bisa apa? aku ingin apa? Ini proses refleksi awal yang membentuk kesadaran diri. Tanpa itu, anak mudah kehilangan arah dan hanya mengikuti arus tren atau perintah orang lain.
Misalnya, seorang anak yang dibiarkan tanpa aktivitas seharian mungkin mulai menulis cerita, membuat lagu, atau sekadar berkhayal tentang cita-cita. Itu bukan “tidak produktif”, melainkan latihan mengenali identitasnya. Justru dari kebosanan, anak belajar mendengar suara batinnya sendiri — kemampuan yang sering hilang dalam bisingnya dunia digital.

6. Orang Tua yang Takut Anak Bosan Sebenarnya Takut Kehilangan Kontrol
Kadang bukan anaknya yang tidak tahan bosan, tapi orang tuanya. Ada rasa cemas jika anak tampak tidak melakukan apa-apa. Seolah tugas orang tua adalah memastikan setiap menit anak harus “bermanfaat”. Padahal, itu cara berpikir industri — bukan cara berpikir manusiawi.
Ketika kita berani melepas kendali dan mempercayai proses alami, anak belajar bertanggung jawab atas kebosanannya sendiri. Ia mulai mencari solusi dari dalam, bukan menunggu orang tua memberi. Itulah kemandirian sejati. Menariknya, banyak orang tua baru menyadari hal ini setelah belajar lebih dalam tentang logika berpikir anak, seperti yang sering dibahas dalam seri eksklusif di LogikaFilsuf tentang “Paradigma Asuh Mandiri”.

7. Bosan Adalah Tanda Otak Siap Bertumbuh, Bukan Tanda Kegagalan Didik
Rasa bosan menunjukkan bahwa otak telah mencapai batas kenyamanan dan butuh tantangan baru. Sama seperti otot yang tumbuh karena tekanan, otak juga berkembang saat merasa “kosong” dan terdorong untuk mengisinya dengan sesuatu yang bermakna. Jadi, ketika anak berkata “Aku bosan”, itu bukan sinyal bahaya, tapi undangan untuk tumbuh.
Yang dibutuhkan bukan reaksi panik, melainkan ruang aman untuk eksplorasi. Orang tua cukup hadir, memberi kepercayaan, dan sesekali bertanya: “Kira-kira, apa yang bisa kamu lakukan sekarang?” Kalimat sederhana itu mengembalikan kendali pada anak, membuatnya sadar bahwa kebosanan bukan musuh, melainkan guru yang sabar.
Anak yang tidak takut bosan akan tumbuh menjadi manusia yang tahan pada sepi dan tidak butuh validasi eksternal untuk merasa hidup. Dunia membutuhkan lebih banyak anak seperti itu — yang bisa berpikir, bukan hanya bereaksi. Jadi, jika kamu setuju bahwa kebosanan adalah bahan bakar kreativitas, tulis pandanganmu di kolom komentar dan bagikan artikel ini agar lebih banyak orang tua melihat sisi lain dari “bosan” yang ternyata sangat berharga.

(27102025)(TUS)

SUDUT PANDANG LUKA YANG TIDAK DIBICARAKAN AKAN MENJADI BOM WAKTU

SUDUT PANDANG LUKA YANG TIDAK DIBICARAKAN AKAN MENJADI BOM WAKTU

PENGANTAR
Konsep ini dapat dikaitkan dengan beberapa ayat Alkitab yang menekankan pentingnya berbicara tentang luka batin dan tidak menyimpannya sendiri. Berikut beberapa contoh: Mazmur 32:3-5 "Ketika aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi rapuh karena aku berseru sepanjang hari. Sebab siang dan malam tangan-Mu terasa berat kepadaku; kekuatan-ku menjadi kering seperti kekeringan pada musim panas. Aku mengakui dosaku kepada-Mu, dan aku tidak menyembunyikan kesalahan-ku; aku berkata: 'Aku akan mengaku terhadap pelanggaran-pelanggaran-ku kepada Tuhan.' Dan Engkau mengampuni dosa-dosaku."
Dalam ayat ini, Daud menekankan pentingnya mengakui dosa dan luka batin kepada Tuhan untuk mendapatkan pengampunan dan penyembuhan. Matius 5:23-24 "Jadi jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat bahwa saudaramu mempunyai sesuatu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu."
Yesus menekankan pentingnya memperbaiki hubungan dengan orang lain dan tidak membiarkan luka batin menjadi bom waktu yang dapat menghancurkan hubungan dengan Tuhan dan orang lain.
Luka yang tidak dibicarakan dapat menjadi bom waktu karena dapat menumpuk dan menyebabkan kerusakan yang lebih besar jika tidak diatasi. Dengan berbicara tentang luka batin dan mengakui dosa, kita dapat mengalami penyembuhan dan pemulihan. Penting untuk memiliki keberanian untuk berbicara tentang luka batin dan tidak menyimpannya sendiri, serta untuk memperbaiki hubungan dengan orang lain dan Tuhan.
Ada anggapan bahwa diam adalah jalan terbaik untuk menjaga kedamaian. Tetapi diam justru sering melahirkan luka yang lebih dalam. Kontroversinya, banyak orang yang memilih bungkam demi menghindari konflik, padahal luka yang dibiarkan tanpa kata seringkali menjadi bom waktu yang suatu saat meledak lebih besar dari masalah awalnya.
Fakta menariknya, penelitian psikologi komunikasi menunjukkan bahwa emosi yang ditekan akan mencari jalan keluar lain, biasanya dalam bentuk ledakan marah, sikap pasif-agresif, atau bahkan penyakit psikosomatis. Artinya, bukan konflik yang paling berbahaya, melainkan konflik yang tidak pernah diucapkan.

PEMAHAMAN
Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa melihatnya. Seorang istri yang berkali-kali tersinggung oleh sikap suaminya, tapi memilih diam, pada akhirnya meledak hanya karena hal sepele seperti piring kotor. Atau seorang karyawan yang menahan rasa kecewa terhadap atasan, lalu tiba-tiba mengundurkan diri dengan alasan yang tidak jelas. Luka yang tidak dibicarakan bukan hilang, tetapi berubah menjadi tumpukan emosi yang berbahaya.

1. Diam bukan berarti selesai
Banyak orang mengira bahwa dengan memilih diam, masalah akan larut bersama waktu. Kenyataannya, waktu tidak menyembuhkan luka emosional jika tidak ada pemrosesan di dalamnya. Luka yang dipendam justru membentuk ingatan emosional yang semakin kuat.
Contoh sederhana terlihat pada pertengkaran kecil antara pasangan. Satu pihak memilih diam, berharap suasana mereda. Tetapi di dalam dirinya, ia menyimpan catatan kecil tentang luka itu. Setiap ada kejadian mirip, catatan itu terbuka kembali. Akhirnya, bukan hanya masalah baru yang muncul, tapi juga semua luka lama yang tidak pernah selesai.
Diam mungkin menunda masalah, tetapi tidak pernah benar-benar menyelesaikannya. Justru dengan berbicara, meskipun sulit, ada kemungkinan luka itu bisa dipahami dan dirawat.

2. Luka yang dipendam berubah bentuk
Emosi tidak pernah hilang, ia hanya berpindah saluran. Jika tidak diungkap lewat kata, ia bisa muncul dalam bentuk sikap dingin, sinis, atau bahkan penyakit fisik. Tubuh dan jiwa punya cara sendiri untuk memberi peringatan.
Contohnya, seseorang yang marah tapi tidak pernah berani mengungkapkannya pada pasangannya akan menunjukkan perubahan sikap. Ia jadi malas berbicara, lebih sering menghindar, atau menyalurkan energinya pada hal lain yang destruktif. Dari luar terlihat biasa saja, tapi hubungan sebenarnya sedang rapuh.
Dengan memahami ini, kita jadi sadar bahwa membicarakan luka bukan sekadar soal emosi, tapi juga kesehatan mental dan fisik, karena luka emosional selalu punya konsekuensi yang lebih luas dari yang tampak. 

3. Ledakan selalu datang tiba-tiba
Bom waktu tidak pernah memberi tanda jelas kapan akan meledak. Sama halnya dengan luka yang dipendam, ia bisa meledak pada situasi yang tampak sepele. Sebuah komentar kecil atau kejadian ringan bisa memicu reaksi berlebihan.
Sebagai contoh, seorang suami yang berkali-kali menahan rasa kecewa akhirnya marah besar hanya karena istrinya lupa menutup pintu. Orang luar mungkin bingung kenapa reaksi itu berlebihan, padahal yang terjadi sebenarnya adalah akumulasi luka yang pecah.
Itulah mengapa penting membicarakan luka sebelum menjadi akumulasi. Lebih baik percakapan sulit hari ini daripada kehancuran besar di kemudian hari.

4. Diam menciptakan jarak emosional
Setiap kali luka tidak dibicarakan, jarak emosional bertambah sedikit demi sedikit. Hubungan yang tadinya hangat bisa berubah dingin tanpa disadari. Diam yang berulang membuat keintiman tergantikan oleh formalitas.
Contohnya, dua sahabat yang saling menyakiti dengan kata-kata lalu memilih diam. Mereka tetap berinteraksi, tapi tidak lagi sedekat sebelumnya. Rasa sungkan dan luka yang tidak pernah diungkap membuat mereka perlahan menjauh.
Jarak ini berbahaya karena sering tidak terasa hingga tiba-tiba hubungan benar-benar putus. Dan semua berawal dari luka yang tidak pernah dibicarakan.

5. Tidak semua orang bisa membaca diam
Banyak orang menganggap diam adalah bahasa universal untuk menunjukkan sakit hati. Padahal tidak semua orang mampu membacanya. Yang satu mengira sudah memaafkan, yang lain masih merasa terluka. Ketidaksinkronan ini menciptakan salah paham yang lebih besar.
Misalnya, seorang anak yang tersinggung oleh ucapan orangtuanya memilih diam. Orangtua menganggap anak sudah baik-baik saja, padahal luka itu masih membekas. Akhirnya, komunikasi retak tanpa ada yang benar-benar tahu kapan mulainya.
Itu sebabnya, kata-kata tetap menjadi jembatan penting. Diam bisa disalahartikan, sementara bicara memberi kejelasan.

6. Diam melahirkan siklus luka baru
Luka yang tidak dibicarakan seringkali membuat seseorang mengulangi pola yang sama. Ia belajar menahan, tapi juga belajar menyakiti dengan cara lain. Siklus ini bisa berlangsung bertahun-tahun tanpa disadari.
Contohnya, seorang pasangan yang tidak pernah membicarakan masalah akhirnya terbiasa menyindir satu sama lain. Sindiran jadi bahasa komunikasi utama, padahal di baliknya ada luka lama yang tidak pernah diselesaikan.
Siklus ini sulit diputus jika tidak ada keberanian untuk membuka luka pertama. Justru dengan membicarakan awalnya, rantai luka bisa terputus.

7. Membicarakan luka adalah bentuk keberanian
Mengungkapkan luka bukan hal mudah. Ada risiko ditolak, disalahpahami, atau bahkan disepelekan. Tetapi keberanian untuk jujur adalah satu-satunya cara agar luka tidak menjadi racun yang terus tumbuh.
Contohnya, pasangan yang berani membicarakan kesalahan kecil sejak awal biasanya memiliki hubungan yang lebih sehat. Mereka terbiasa menghadapi rasa tidak nyaman, sehingga tidak ada bom waktu yang tersembunyi.
Keberanian untuk bicara adalah langkah awal menuju penyembuhan. Luka yang diucapkan punya peluang untuk dipahami, sementara luka yang disembunyikan hanya akan menunggu waktu untuk menghancurkan.
Luka yang tidak dibicarakan tidak pernah benar-benar hilang, ia hanya menunggu momen untuk meledak. Pertanyaannya, apakah kita lebih memilih menunda kehancuran atau berani menghadapinya sekarang? Tulis pandanganmu di komentar dan bagikan agar lebih banyak orang berani bicara sebelum terlambat.

(27102025)(TUS)

Jumat, 24 Oktober 2025

SUDUT PANDANG LUKAS 18:9-14, 𝗕𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮𝗻 𝗽𝗿𝗲𝘀𝘁𝗮𝘀𝗶 𝗮𝗴𝗮𝗺𝗮𝘄𝗶


SUDUT PANDANG LUKAS 18:9-14, 𝗕𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮𝗻 𝗽𝗿𝗲𝘀𝘁𝗮𝘀𝗶 𝗮𝗴𝗮𝗺𝗮𝘄𝗶

Farisi adalah satu faksi di dalam tubuh Yudaisme. Farisi merupakan partai politik, sebuah gerakan sosial, dan belakangan aliran pemikiran di antara orang-orang Yahudi yang berkembang pada masa Bait Suci Kedua atau pasca-pembuangan (536 SZB – 70 ZB). Reformasi radikal yang dilakukan Yesus menyulut perseteruan antara Yesus dan orang-orang Farisi. 

Di dalam kitab-kitab Injil disebutkan orang-orang Farisi selalu mencari celah untuk menjatuhkan Yesus. Namun, Injil Lukas membedakan orang Farisi dari Injil lain. Diceritakan bahwa orang Farisi adalah lawan sekaligus kawan Yesus. Beberapa kali Yesus diundang makan oleh orang Farisi. Perbedaan paling mencolok dalam Injil Lukas adalah orang Farisi tidak melakukan persekongkolan membunuh Yesus.

Hari ini adalah Minggu kedua puluh setelah Pentakosta. Bacaan secara ekumenis diambil dari Injil Lukas 18:9-14 yang didahului dengan Yeremia 14:7-10, 19-22, Mazmur 84:1-7, dan 2Timotius 4:6-8, 16-18.

Bacaan Injil Minggu ini perikopnya diberi judul oleh LAI 𝘗𝘦𝘳𝘶𝘮𝘱𝘢𝘮𝘢𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘍𝘢𝘳𝘪𝘴𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘮𝘶𝘯𝘨𝘶𝘵 𝘤𝘶𝘬𝘢𝘪. Sama seperti banyak perumpamaan Yesus yang beredar lepas tanpa konteks, perumpamaan di atas tampaknya juga seperti itu. Cerita utama perumpamaan di atas berada pada ayat 10-14a. Pengarang Injil Lukas memberi konteks pembuka pada ayat 9 dengan mengarahkan pembacanya pada ayat 9.

𝘒𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘣𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘨𝘨𝘢𝘱 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘦𝘯𝘥𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯, 𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘶𝘮𝘱𝘢𝘮𝘢𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 (ay. 9), “𝘈𝘥𝘢 𝘥𝘶𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘬𝘦 𝘉𝘢𝘪𝘵 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘢. 𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘍𝘢𝘳𝘪𝘴𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘱𝘦𝘮𝘶𝘯𝘨𝘶𝘵 𝘤𝘶𝘬𝘢𝘪 (ay. 10). 𝘖𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘍𝘢𝘳𝘪𝘴𝘪 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘢 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘯𝘪: 𝘠𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘤𝘢𝘱 𝘴𝘺𝘶𝘫𝘶𝘳 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢-𝘔𝘶, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯, 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘮𝘱𝘰𝘬, 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘭𝘪𝘮, 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘻𝘪𝘯𝘢, 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘱𝘦𝘮𝘶𝘯𝘨𝘶𝘵 𝘤𝘶𝘬𝘢𝘪 𝘪𝘯𝘪 (ay. 11). 𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘶𝘢𝘴𝘢 𝘥𝘶𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘴𝘦𝘮𝘪𝘯𝘨𝘨𝘶. 𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘱𝘶𝘭𝘶𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘨𝘢𝘭𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢𝘴𝘪𝘭𝘢𝘯𝘬𝘶 (ay. 12).

𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯, 𝘱𝘦𝘮𝘶𝘯𝘨𝘶𝘵 𝘤𝘶𝘬𝘢𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘫𝘢𝘶𝘩-𝘫𝘢𝘶𝘩, 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘯𝘨𝘢𝘥𝘢𝘩 𝘬𝘦 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵, 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘬𝘶𝘭-𝘮𝘶𝘬𝘶𝘭 𝘥𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢: 𝘠𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩𝘢𝘯𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘴𝘢 𝘪𝘯𝘪 (ay. 13). 𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶: 𝘖𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘯𝘪 𝘱𝘶𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 (ay. 14a).”

Lukas menutup atau menyimpulnya pada ayat 14b: “𝘚𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘳𝘪, 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘳𝘦𝘯𝘥𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘯𝘥𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘳𝘪, 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘬𝘢𝘯."

Penutup perumpamaan sebenarnya kurang 𝘯𝘺𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨. Perumpamaan itu tidak berbicara mengenai orang yang direndahkan oleh Allah dan orang yang ditinggikan oleh Allah, melainkan tentang orang yang dibenarkan Allah dan orang yang tidak dibenarkan Allah (ay. 14a). Penginjil Lukas pernah menerapkan ucapan lepas Yesus tersebut (ay. 14b) pada Lukas 14:11. Ia menggunakannya dua kali, sedang petulis Injil Matius hanya sekali (Mat. 23:12). Ucapan lepas Yesus dari sumber Q itu ditempatkan dalam konteks narasi yang berbeda oleh kedua petulis Injil. Kita sudah menerima kitab Injil dalam bentuk akhir yang ada kalimat seperti ayat 14b. Di sini tampaknya Lukas hendak melengkapi bahwa doa orang yang rendah hati dibenarkan dan sekaligus ditinggikan oleh Allah.

Dalam hal melakukan kewajiban agamawi tokoh kesatu itu (orang Farisi) sebenarnya jauh lebih unggul daripada tokoh kedua (pemungut cukai). Apabila orang Farisi menganggap dirinya 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯, ia tidak salah karena ia memang berbeda dari semua orang lain. Ia adalah orang benar. Apa yang dikatakannya itu adalah apa yang dilakukannya. 𝘓𝘩𝘢 kalau ia tidak salah, mengapa tokoh kedua yang dibenarkan oleh Allah?

Kalau kita melihat konteks yang dibuat oleh Lukas dalam pembuka perumpamaan ia menulis tentang orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain. Lukas sudah mengarahkan penafsirannya dalam pembuka perumpamaan pada ayat 9. Dengan begitu pembaca berprapaham bahwa ucapan tokoh cerita pada ayat 11-12 adalah cuplikan ucapan orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain. Tampaknya Lukas juga berbicara mengenai orang yang meninggikan diri akan direndahkan Allah dan orang yang merendahkan diri akan ditinggikan Allah (ay. 14b).

Dasar hubungan dengan Allah bukanlah kebenaran yang dibangun oleh manusia. Hal itu diperikan melalui hubungan tokoh kesatu dan Allah. Kesalahan tokoh kesatu bukan terletak pada kesalehannya atau pada penilaian bahwa dirinya berbeda dari semua orang lain, melainkan pada cerapannya bahwa kesalehannya itu dapat menjadi dasar hubungannya dengan Allah. Kesalahan kedua, tidak ada sikap belas kasih kepada orang berdosa yang dianggap gagal memenuhi tuntutan Allah. Tokoh kesatu mengandaikan Allah berada di pihaknya dan Allah pasti menolak 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 yang berdosa. 
Kedua kesalahan itu dikoreksi dengan komentar narator (Yesus) bahwa bukan tokoh kesatu yang dibenarkan Allah, melainkan tokoh kedua (ay. 14a). Tokoh kedua mengakui keberadaannya. 𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯, 𝘱𝘦𝘮𝘶𝘯𝘨𝘶𝘵 𝘤𝘶𝘬𝘢𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘫𝘢𝘶𝘩-𝘫𝘢𝘶𝘩, 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘯𝘨𝘢𝘥𝘢𝘩 𝘬𝘦 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵, 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘬𝘶𝘭-𝘮𝘶𝘬𝘶𝘭 𝘥𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢: 𝘠𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩𝘢𝘯𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘴𝘢 𝘪𝘯𝘪 (ay. 13). Tampaknya Lukas juga mengusung teologi 𝘴𝘰𝘭𝘢 𝘨𝘳𝘢𝘤𝘪𝘢. Keselamatan adalah pemberian atau anugerah Allah, bukan karena prestasi agamawi.

 (26102025)(TUS)

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...