Selasa, 27 Februari 2024

𝗧𝗲𝗽𝗮𝘁𝗸𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗹𝗮𝘆𝗮𝗻𝗸𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗿𝗷𝗮𝗺𝘂𝗮𝗻 𝗞𝘂𝗱𝘂𝘀 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗝𝘂𝗺𝗮𝘁 𝗔𝗴𝘂𝗻𝗴? Serial Sudut Pandang


𝗧𝗲𝗽𝗮𝘁𝗸𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗹𝗮𝘆𝗮𝗻𝗸𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗿𝗷𝗮𝗺𝘂𝗮𝗻 𝗞𝘂𝗱𝘂𝘀 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗝𝘂𝗺𝗮𝘁 𝗔𝗴𝘂𝗻𝗴? Serial Sudut Pandang

Sejumlah Gereja Prostestan di Indonesia pada Jumat Agung melayankan sakramen Ekaristi atau Perjamuan Kudus (PK). Bagaimana jika ditinjau secara liturgis dan teologis?

𝗦𝗲𝗰𝗮𝗿𝗮 𝗹𝗶𝘁𝘂𝗿𝗴𝗶𝘀

Jumat Agung adalah satu anasir Trihari Suci: 𝘒𝘢𝘮𝘪𝘴 𝘗𝘶𝘵𝘪𝘩-𝘑𝘶𝘮𝘢𝘵 𝘈𝘨𝘶𝘯𝘨-𝘚𝘢𝘣𝘵𝘶 𝘚𝘶𝘯𝘺𝘪. Tepat atau tidaknya melayankan PK pada Jumat Agung dapat kita lihat dari makna 𝘒𝘢𝘮𝘪𝘴 𝘗𝘶𝘵𝘪𝘩.

𝘒𝘢𝘮𝘪𝘴 𝘗𝘶𝘵𝘪𝘩 atau 𝘔𝘢𝘶𝘯𝘥𝘺 𝘛𝘩𝘶𝘳𝘴𝘥𝘢𝘺 adalah penanda hari terakhir atau penutup masa Pra-Paska. Mengapa 𝘮𝘢𝘶𝘯𝘥𝘺 diindonesiakan menjadi putih? 

𝘔𝘢𝘶𝘯𝘥𝘺 berakar kata Latin 𝘮𝘢𝘯𝘥𝘢𝘵𝘶𝘮 yang berarti perintah. Dalam pautannya dengan Kamis Putih perintah Yesus itu disebut 𝘮𝘢𝘯𝘥𝘢𝘵𝘶𝘮 𝘯𝘰𝘷𝘶𝘮 atau perintah baru, yang diperagakan oleh Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya “𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶 …” (Yoh. 13:14), yang kemudian disambung, “𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶, 𝘺𝘢𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘶𝘱𝘢𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪; 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘥𝘦𝘮𝘪𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘱𝘶𝘭𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘴𝘪𝘩𝘪.” (Yoh. 13:34).

Pembasuhan kaki bukanlah barang baru dalam tradisi Yahudi. Pembasuhan kaki dilakukan oleh hamba-hamba atau pelayan-pelayan tuan rumah sebelum perjamuan. Akan tetapi yang Yesus lakukan adalah radikal. Yesus yang adalah Guru membasuh kaki para murid-Nya. Jabatan atau status lebih tinggi melayani pihak yang berstatus lebih rendah.

Kembali lagi ke pertanyaaan mengapa disebut 𝘒𝘢𝘮𝘪𝘴 𝘗𝘶𝘵𝘪𝘩? Pada 𝘒𝘢𝘮𝘪𝘴 𝘗𝘶𝘵𝘪𝘩 dilayankan Liturgi Sabda, Upacara Pembasuhan Kaki, PK atau Ekaristi, dan 𝗣𝗲𝗺𝗶𝗻𝗱𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗿𝗮𝗹𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗦𝗮𝗸𝗿𝗮𝗺𝗲𝗻. Warna liturgi putih. Sesudah perarakan pemindahan peralatan sakramen, altar diselubungi atau ditutupi dengan kain putih sehingga tampak polos tanpa ornamen apa pun. Penyelubungan dengan kain putih itu adalah 𝘀𝗶𝗺𝗯𝗼𝗹 𝗯𝗮𝗵𝘄𝗮 𝗴𝗲𝗿𝗲𝗷𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗺𝗲𝗹𝗮𝘆𝗮𝗻𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗮𝗸𝗿𝗮𝗺𝗲𝗻 𝘀𝗮𝗺𝗽𝗮𝗶 𝗦𝗮𝗯𝘁𝘂 𝗦𝘂𝗻𝘆𝗶. Memang tak semua Gereja menyelubungi dengan kain putih, tetapi pada dasarnya altar dibuat kosong dari peralatan sakramen. Gereja memula melayankan sakramen lagi pada Minggu Paska.

PK adalah sakramen. Dengan merujuk makna Kamis Putih, maka secara liturgis melayankan PK pada Jumat Agung tidak tepat.

𝗦𝗲𝗰𝗮𝗿𝗮 𝘁𝗲𝗼𝗹𝗼𝗴𝗶𝘀

PK merupakan perayaan iman gereja atas karya, kematian, dan kebangkitan Kristus sampai Ia datang kembali (bdk. 1Kor. 11:23-26). Itu berarti PK juga mengandung gatra (𝘢𝘴𝘱𝘦𝘤𝘵) ekskatologis.

Memang benar PK memiliki hubungan historis dengan Perjamuan Malam Terakhir (PMT) seperti yang tertulis dalam teks keempat Kitab Injil kanonik. Akan tetapi keempat Kitab Injil menyampaikan hal yang sama yaitu perjamuan perpisahan antara Yesus dan para murid, karena Yesus akan mati di kayu salib tidak lama setelah itu. Kemudian teks Injil sinoptik dengan jelas menyatakan bahwa PMT merupakan perjamuan Paska Yahudi (Mrk. 14:12-17; Luk. 22:15). Injil Yohanes sedikit berbeda dengan menyatakan bahwa PMT diadakan menjelang Paska Yahudi (Yoh. 13:1; 18:28; 19:14). Meskipun demikian keempat Injil menyatakan hal senada yang berpautan dengan Paska Yahudi. 

PK dan PMT ada kesinambungan (kontinuitas) sekaligus ketidaksinambungan (diskontinuitas). Kontinuitas PK dan PMT terletak pada kenyataan bahwa PK dilaksanakan oleh gereja berdasarkan atas perintah Yesus pada PMT “𝘗𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘈𝘬𝘶!" (Luk. 22:19). Disebut diskontinuitas karena memang PMT dan PK berbeda dalam isi dan fungsi. Pada saat PMT Yesus belum mati. Padahal PK merupakan perayaan iman gereja atas karya, kematian, dan kebangkitan sampai Ia datang kembali.

Jumat Agung adalah Hari Kematian Yesus. Pada Jumat Agung Gereja tidak melayankan sakramen seperti amanat Kamis Putih. Tidak ada Ekaristi atau PK. Ekaristi dari kata 𝘦𝘶𝘤𝘩𝘢𝘳𝘪𝘴𝘵𝘪𝘢 yang berarti pengucapan syukur. “𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘢𝘯𝘵𝘢𝘴 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘦𝘴𝘵𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘚𝘢𝘯𝘨 𝘔𝘦𝘮𝘱𝘦𝘭𝘢𝘪 𝘭𝘢𝘬𝘪-𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘥𝘪𝘢𝘮𝘣𝘪𝘭 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘪𝘵𝘢,” kata Tertulianus yang sejalan dengan Matius 9:14-15. Muatan teologis Ekaristi atau PK adalah perayaan iman gereja atas karya, kematian, kebangkitan Kristus, dan penantian kedatangan-Nya kembali (𝘱𝘢𝘳𝘰𝘶𝘴𝘪𝘢). Kata Rasul Paulus, “𝘚𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘳𝘰𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘪𝘯𝘶𝘮 𝘤𝘢𝘸𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪, 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘵𝘪𝘢𝘯 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯 (𝘠𝘦𝘴𝘶𝘴) 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘐𝘢 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨.” Pada Jumat Agung Yesus belum bangkit.

Jadi, melayankan PK pada Jumat Agung secara teologis tidak tepat.

Kesimpulan: Baik secara liturgis maupun teologis melayankan PK pada Jumat Agung tidak tepat. Tetapi itu semua karena kesepakatan dalam sidang pleno majelis bagi gereja-gereja presbyterian, emang keputusan sidang pleno majelis memang terkadang jauh dari konsep liturgis dan teologis, walopun dalam sidang pleno majelis ada pakar-pakar teologi

Cepogo, 28022024 (T)

YESUS DIBANGKITKAN ATAU BANGKIT SENDIRI, SERIAL SUDUT PANDANG

YESUS DIBANGKITKAN ATAU BANGKIT SENDIRI, SERIAL SUDUT PANDANG

Di dalam hubungannya dengan Allah Bapa, dapat dikatakan bahwa Yesus dibangkitkan oleh Allah Bapa (Kis. 2:24,32; 3:15; 4:10; 5:30; 10:40; 13:30; 1Kor. 6:14; 2Kor. 4:14; Ef. 1:20).

Di dalam hubungannya dgn Roh Kudus, benar juga jika dikatakan bahwa Yesus dibangkitkan oleh Roh Kudus (Rm. 8:10).

Dan karena Yesus adalah Allah sejati, maka dapat dikatakan juga bahwa Dia bangkit sendiri dari kematian (Luk. 18:34; 1Tes. 4:14; 2Tim. 2:8; 1Per. 1:3; Why. 1:5).

Yesus bangkit atau tidak? dan kalau Yesus bangkit maka apakah Yesus bangkit (membangkitkan diriNya sendiri) atau dibangkitkan?Pertanyaan-pertanyaan kritis semacam ini paling tidak pernah mengusik benak seseorang, baik umat Kristen atau non-Kristen. Pertanyaan ini bukan hanya milik mereka yang berkecimpung pada ranah teologis, tetapi juga milik mereka yang merupakan jemaat awam, bukan hanya pertanyaan yang digumuli para Pendeta tetapi juga Jemaat. Artikel ini akan mencoba membahas mengenai apakah Yesus bangkit atau dibangkitkan dalam rangka mengenal kuasa Kristus.
Posisi teologis dan iman penulis pada makalah ini jelas, bahwa Yesus bangkit, oleh karena itu pertanyaan pertama pada kalimat pembuka tidak kita kupas lebih dalam tetapi justru menjadi titik berangkat kita dalam pembahasan artikel ini. Yesus bangkit, apakah Ia bangkit atau dibangkitkan?Menurut penulis, jawabannya justru terletak pada pemahaman kita mengenai doktrin Trinitas.

Trinitas
Allah Trinitas adalah Allah Bapa, Putra, dan Roh kudus. Mengenai hubungan di antara ketiganya (Bapa, Putra dan Roh Kudus) saya mencoba untuk membahasakan hubungan mereka seperti pandangan para Bapa gereja yang dijuluki “Bapa Kappadokia” yaitu “satu substansi (substance) dalam tiga person (hypostaseis)”. Sang Anak dan Roh Kudus, kedudukan mereka bukanlah subordinat dari sang Bapa. Ketiganya memiliki satu nature (Allah) namun dalam tiga persons yang berbeda. Konsep person disini bukan berarti tiga makhluk, bukan pula berarti terdapat tiga Allah, melainkan satu Allah tapi tiga karakteristik dan peran yang berbeda (cobalah memahaminya dalam konsep universalitas dan partikularitas).
Kita teringat kepada Allah Bapa, ketika kita melihat karakteristik dan perannya sebagai dasar, asal muasal, pencipta segala sesuatu. Kita teringat pada Sang Anak ketika kita melihat karakteristiknya dan perannya sebagai Juruselamat dalam karya penyelamatan Allah bagi manusia, Allah yang berinkarnasi menjadi manusia. Kita teringat pada Roh Kudus, ketika kita mengingat peran dan karakteristiknya sebagai penolong kita memahami karya penyelamatan Allah dalam Kristus, penolong dalam kehidupan, pemelihara kehidupan dan penghibur dalam kehidupan. Ketika kita mengingat Allah Bapa, secara otomatis kita melihat dan mengingat Sang Anak dan Roh Kudus. Ketika kita mengingat Sang Anak, kita mengingat Bapa dan Roh Kudus. Demikian pula ketika kita mengingat Roh Kudus kita mengingat Bapa dan Sang Anak. Ketiganya tak terpisahkan.
Yesus bangkit dalam kuasa-Nya dan sekaligus Dia juga dibangkitkan oleh Allah maupun Roh Kudus

Yesus bangkit atau dibangkitkan?
                Yesus bangkit atau dibangkitkan?Kalau posisi teologis kita, posisi iman kita, berpijak pada iman yang menyatakan bahwa Yesus bangkit maka persoalan apakah bangkit atau dibangkitkan sebenarnya hanya membuat kita terjebak pada polarisasi atau dikotomi bahwa Yesus itu bangkit sendiri atau dibangkitkan oleh kuasa lain di luar dirinya. Kalau kita terjebak pada polarisasi atau dikotomi ini maka kita menjadi mengecilkan kuasa Yesus (bila kita hanya berpandangan bahwa Yesus dibangkitkan) dan juga melupakan doktrin Trinitas (bila kita hanya berpandangan bahwa Yesus membangkitkan dirinya sendiri), sebuah doktrin yang justru dipegang teguh umat Kristen sejak masa gereja perdana.
                Yesus membangkitkan diriNya sendiri?Ya! Jelas karena Ia adalah Tuhan dan memiliki kuasa untuk membangkitkan diriNYa sendiri. Pernyataan bahwa Yesus bangkit berkaitan dengan perananNya sebagai Anak Allah, dalam doktrin Trinitas. Yesus berkali-kali menegaskan bahwa Anak Manusia, akan menderita, mati dan kemudian akan bangkit (Markus 8:31, Markus 9:9, Markus 9:31, Lukas 24:7). Kuasa ini dijelaskan Yesus sendiri bahwa, tidak ada seorang pun yang mengambil nyawa Yesus melainkan Yesus memberikannya menurut kehendakNya sendiri. Ia berkuasa memberikan dan mengambilnya kembali, itulah tugas yang diberikan Bapa kepadaNya (Yohanes 10:17-18).
                Yesus dibangkitkan?Ya! Hal ini banyak kita jumpai dalam pembahasan di Alkitab (Matius 16:21, Matius 17:9, Lukas 9:22, Kisah Para Rasul 2:32). Lalu siapa yang membangkitkannya? Allah Bapa (Kisah Para Rasul 4:10, 10:40, 13:37). Frase “Allah membangkitkan” atau “Kristus dibangkitkan”, ingin menunjukkan kuasa Allah Bapa dalam kaitan sebuah karya penyelamatan. Lalu apa peran Roh Kudus?Roh Kudus, dalam karya penyelamatan, berperan penting dalam memberikan pencerahan, menyingkapkan rahasia misteri ilahi ini, kepada manusia untuk dapat mengerti makna karya penyelamatan yang dilakukan dalam sinergi Allah Trinitas. Dalam pada itu, hal ini menunjukkan bahwa dalam karya penyelamatan justru ada sinergi diantara ketiga persons yang terkandung di dalam Trinitas.
                Maka kesimpulan saya berdasarkan penelusuran kita di dalam Alkitab dan tradisi gereja (Trinitas) adalah bahwa Yesus bangkit dan dibangkitkan! “Kristus dibangkitkan” atau pun “Kristus bangkit”, keduanya adalah benar kalau kita memahaminya dalam kerangka berpikir Allah Trinitas. Keduanya benar, karena menunjukkan dan menekankan peran pribadi ilahi yang berbeda.

Implikasinya dan kuasa kebangkitan Kristus
                Setelah analisa dan pembahasan kita di atas, maka kita mengerti sekarang bahwa kedua pernyataan, “Yesus dibangkitkan” maupun “Kristus bangkit”, tidak lagi perlu dan penting untuk diperdebatkan dan dipertentangkan karena keduanya benar dan menunjukkan peran pribadi ilahi yang berbeda. Ortodoksi atau ajaran yang lurus dan benar memang penting, maka itu saya berusaha, dalam tulisan ini untuk menggali ortodoksi tersebut dari Alkitab dan tradisi, doktrin gereja. Ortodoksi tersebut telah kita mengerti dan kita pahami bahwa Yesus bangkit dan dibangkitkan!
                Akan tetapi, kita jangan melupakan aspek ortopraksis atau perbuatan yang baik, benar, tepat dan sesuai dengan ortodoksi yang kita terima. Setelah kita mengerti ortodoksi maka hal kemudian yang tidak kalah penting adalah apa implikasinya dalam perbuatan kita? Hal yang perlu saya tekankan di sini adalah kebangkitan Kristus (baik itu Yesus dibangkitkan dan Yesus bangkit, karena keduanya adalah benar) menginspirasi, menggerakkan para murid untuk menjadi saksi kebangkitan Kristus!

Kuasa kebangkitan Kristus telah menggerakkan para murid untuk bergerak mewartakan kabar bahagia tersebut ke seluruh dunia. Justru di sinilah letak kuasa kebangkitan Kristus itu karena mampu mengubah kesedihan para murid akibat matinya Yesus menjadi bahagia dan sukacita karena bangkitnya Kristus. Pada konteks kita saat ini, mari kita mengalami kuasa kebangkitan Kristus dan menjadi saksi kebangkitan Kristus, menjadi garam dan terang di sekitar kita, melalui panggilan kita masing-masing, di mana pun kita ditempatkan. Yesus bangkit atau tidak?dan kalau Yesus bangkit maka apakah Yesus bangkit (membangkitkan diriNya sendiri) atau dibangkitkan?Pertanyaan-pertanyaan kritis semacam ini paling tidak pernah mengusik benak seseorang, baik umat Kristen atau non-Kristen. Pertanyaan ini bukan hanya milik mereka yang berkecimpung pada ranah teologis, tetapi juga milik mereka yang merupakan jemaat awam, bukan hanya pertanyaan yang digumuli para Pendeta tetapi juga Jemaat. Artikel ini akan mencoba membahas mengenai apakah Yesus bangkit atau dibangkitkan dalam rangka mengenal kuasa Kristus.
Posisi teologis dan iman penulis pada makalah ini jelas, bahwa Yesus bangkit, oleh karena itu pertanyaan pertama pada kalimat pembuka tidak kita kupas lebih dalam tetapi justru menjadi titik berangkat kita dalam pembahasan artikel ini. Yesus bangkit, apakah Ia bangkit atau dibangkitkan?Menurut penulis, jawabannya justru terletak pada pemahaman kita mengenai doktrin Trinitas.

Trinitas kembali
Allah Trinitas adalah Allah Bapa, Putra, dan Roh kudus. Mengenai hubungan di antara ketiganya (Bapa, Putra dan Roh Kudus) saya mencoba untuk membahasakan hubungan mereka seperti pandangan para Bapa gereja yang dijuluki “Bapa Kappadokia” yaitu “satu substansi (substance) dalam tiga person (hypostaseis)”. Sang Anak dan Roh Kudus, kedudukan mereka bukanlah subordinat dari sang Bapa. Ketiganya memiliki satu nature (Allah) namun dalam tiga persons yang berbeda. Konsep person disini bukan berarti tiga makhluk, bukan pula berarti terdapat tiga Allah, melainkan satu Allah tapi tiga karakteristik dan peran yang berbeda (cobalah memahaminya dalam konsep universalitas dan partikularitas).
Kita teringat kepada Allah Bapa, ketika kita melihat karakteristik dan perannya sebagai dasar, asal muasal, pencipta segala sesuatu. Kita teringat pada Sang Anak ketika kita melihat karakteristiknya dan perannya sebagai Juruselamat dalam karya penyelamatan Allah bagi manusia, Allah yang berinkarnasi menjadi manusia. Kita teringat pada Roh Kudus, ketika kita mengingat peran dan karakteristiknya sebagai penolong kita memahami karya penyelamatan Allah dalam Kristus, penolong dalam kehidupan, pemelihara kehidupan dan penghibur dalam kehidupan. Ketika kita mengingat Allah Bapa, secara otomatis kita melihat dan mengingat Sang Anak dan Roh Kudus. Ketika kita mengingat Sang Anak, kita mengingat Bapa dan Roh Kudus. Demikian pula ketika kita mengingat Roh Kudus kita mengingat Bapa dan Sang Anak. Ketiganya tak terpisahkan.
itu sendiri. Dalam konteks ini, keadaan jasmaniah Yesus yang dilahirkan dari rahim Maria yang hanyalah darah dan daging jelas tidak sama dengan ke-Ilahian Firman Allah yang adalah Allah sendiri yang menjadikan segala sesuatu.

Dalam konteks dialog lintas iman, khususnya kepada umat Islam, yang hobinya ngetes-ngetes umat Kristen atau menuduh dengan membabi buta ajaran Kristen yang lurus padahal sebenarnya semua tuduhan itu salah alamat, mau penjelasan Yesus bangkit atau dbangkitkan, itu sama saja bertentangan dengan ajaran penafsiran Islam yang tidak percaya Yesus bangkit atau Yesus dibangkitkan.

Kalau kita menjawab: "Yesus dibangkitkan Allah"
Mereka akan berkata: "Tuh..kan artinya Yesus bukan Allah karena dia dibangkitkan Allah"
Kita balas bisa: "Lah...kalau Yesus dianggap bukan Allah karena menurut kalian dia dibangkitkan Allah, apakah sebagai umat Islam, kalian mengimani kalau Yesus dibangkitkan Allah dari kematian?".

Kalau kita jawab: "Yesus bangkit"
Mereka akan berkata: "Lah..kan di Galatia 1:1 dan Roma 8:11, Paulus bilang kalau Yesus dibangkitkan Allah. Jadi Yesus bukan Allah dong"
Kita bisa balas: "Lah... kalau anda percaya tulisan Paulus dalam Galatia 1:1 dan Roma 8:11 kalau Yesus membangkitkan Allah yang anda tafsirkan Paulus mendukung asumsi anda bahwa Yesus hanyalah manusia bukan TUHAN Allah, terus kenapa anda masih percaya dengan anggapan umat Islam kalau Paulus yang mengubah ajaran Kristen yang asli, diubah menjadi menuhankan Yesus?"
 kalau berdialog lintas iman dengan umat Islam, pakai saja jurus pembuktian terbalik, karena para polemikus Islam ini sebenarnya tidak memiliki harmonisasi dan konsistensi dalam prinsip tuduhan mereka. Itulah yang saya katakan mereka menuduh membabi buta tanpa peduli maksud dari apa yang dia baca. Mereka tahu nya hanya Islam adalah agama yang paling benar, diluar Islam salah semuanya. Yesus Kristus tidak pernah mengajarkan bahwa Kristen adalah agama yang paling benar dan Yesus Kristus tidak pernah memerintahkan orang untuk "ikutlah agama Kristen", Dia hanya berkata, "Ikutlah Aku, Akulah jalan, dan kebenaran, dan hidup".
Cepogo, 26022024





Jumat, 16 Februari 2024

Pemilu 2024, Umat Kristen melawan gembalanya, Serial Sudut Pandang

Pemilu 2024, Umat Kristen melawan gembalanya, Serial Sudut Pandang

Menarik melihat data Exit Poll Litbang Kompas ini. Mayoritas umat Kristen memilih PraGib 02. Kristen di sini umum ya, mencakup Katolik, Protestan, Ortodoks, dll. Padahal para pemimpin gereja-gereja mainstream sudah menyampaikan pesan pastoral Pilpres kepada umat agar benar-benar melihat rekam jejak masa lalu. Sangat jelas pesan pastoral ini mengarahkan umat memilih Paslon 03. Data lapangan menunjukkan realitas berbeda. Mayoritas umat melawan gembalanya.

Seorang teman pengamat kehidupan Gereja berpendapat, jika umat Kristen pilih 02, itu berarti gembala jemaatnya gagal mengajarkan Etika Kristen. Kalau gembalanya gagal mengajarkan Etika Kristen, itu berarti sekolah teologinya gagal mengajarkan Ilmu Etika dan Ilmu Etika Kristen pada khususnya. Jika sekolah teologi gagal mengajarkan Ilmu Etika, itu berarti agama Kristen mungkin memang sudah tidak relevan.

Tentu saja pendapat teman saya ini doyong (biased) karena ia adalah suporter 03. Saya melihat dari titik pandang lain, yang sudah barang tentu sedikit-banyak saya dipengaruhi prapaham sebagai suporter 02.

Saya berpendapat bahwa pejabat-pejabat gereja itu reaktif. Dulu ketika teologi sukses/kemakmuran melanda Gereja mainstream, mereka reaktif dan menyerang teologi kemakmuran. Mereka tidak mau melihat secara out of the box untuk mengalihrupa paham yang sudah menghantam sebagian umat. Umat merasa bosan menjadi miskin dan saban Minggu dinasihati untuk setia pada Kristus meskipun miskin. Akibatnya cukup banyak warga bermigrasi ke gereja lain yang fulfillment mereka terpenuhi.

Padahal Injil Lukas dipandang sebagai Injil untuk orang kaya. Injil Lukas menjadi standar untuk orang Kristen kaya. Injil tak melarang orang menjadi kaya, tetapi tidak boleh serakah dan selalu berbagi. Pendeta seharusnya mengalihrupa pesan Injil ini kepada orang-orang kaya untuk menjadi orang Kristen kaya yang ideal sehingga umat yang merasa kosong menjadi terpenuhi. Bukan dengan menyerang teologi kemakmuran!

Hal yang sama pada Pilpres 2024. Para pemimpin umat itu reaktif. Apabila mereka memang peduli pada penegakan HAM, pada Pilpres 2009 ketika Megawati mengajak Prabowo menjadi cawapresnya, mereka harusnya berteriak menentang Megawati. Jika 2009 mereka diam, maka diamlah untuk selamanya.

Seharusnya mereka belajar sejarah bahwa Gereja dibangun bukan oleh orang-orang suci saja. Para penjahat, bandit, juga berperan besar dalam pembangunan jemaat. Mereka sehati, sepemikiran, membangun jemaat yang beralaskan Kristus. 

Surat pastoral untuk Pilpres 2024 seharusnya memandang jauh ke depan, jangan suka memutar kaset rusak. Pilihlah pemimpin yang berkomitmen membangun negeri berdasarkan Pancasila. Jangan memilih pemimpin yang menghancurkan kebinekaan.

Kalau ada pemimpin jemaat yang tak bersepakat dengan saya, ya bebas-bebas saja, asalkan panggah, konsisten. Lantangkanlah selalu dari mimbar kepada warga jemaat yang melanggar HAM dengan memeras para karyawannya agar jangan memberi kolekte ke gereja, jangan ikut ekaristi. Orang-orang kaya yang mendapat uang dari korupsi, jangan membawa uang haram itu ke gereja. Ini baru top!

Lap Pancasila, 17022024 (T)

Senin, 12 Februari 2024

𝗥𝗮𝗯𝘂 𝗔𝗯𝘂, Serial Sudut Pandang


𝗥𝗮𝗯𝘂 𝗔𝗯𝘂, Serial Sudut Pandang

Besok, Rabu, 14 Februari 2024, umat Kristen memula 𝗺𝗮𝘀𝗮 𝗣𝗿𝗮-𝗣𝗮𝘀𝗸𝗮. Hari pertama Pra-Paska disebut 𝗥𝗮𝗯𝘂 𝗔𝗯𝘂. Rabu Abu 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗮𝘄𝗮𝗹 𝗺𝗮𝘀𝗮 𝗿𝗮𝘆𝗮 𝗣𝗮𝘀𝗸𝗮 karena belum Paska. Kristus belum bangkit. Apa itu Rabu Abu?
        
Hari raya liturgi dimula dari dan berpusat pada misteri Paska, Hari Kebangkitan Kristus. Pada mulanya tidak ada penyusunan sistematis dan terencana. Gereja dengan spontan menanggapi atas peristiwa-peristiwa tersebut satu per satu. Bapak-bapak gereja kemudian merapikan ketidakteraturan itu. Mereka membentuk, menyusun, dan membangun kisah teologinya sehingga bermakna, bertema, dan bercerita sehingga mengajar umat. Dasar penyusunan tahun liturgi ialah pemahaman soal waktu yang dipahami sebagai momen Allah berkarya. Gereja merayakan kehadiran Allah di dalam waktu dalam ibadah. Waktu gereja merujuk kesaksian Alkitab yang dibaur dengan kalender masyarakat 𝘪𝘯 𝘭𝘰𝘤𝘶𝘴.

Pada awal kekristenan masa Pra-Paska dimula pada Minggu 𝘤𝘢𝘱𝘶𝘵 𝘲𝘶𝘢𝘥𝘳𝘢𝘨𝘦𝘴𝘪𝘮𝘢. Namun jumlah hari tidak genap 40 hari seperti masa puasa Yesus. Pada abad VI masa Pra-Paska ditambah empat hari sehingga jatuh pada Rabu, yang kemudian disebut Rabu Abu, dan jumlah hari menjadi 40 hari tanpa menghitung hari Minggu. Jadi, kalau Gereja menulis Minggu I , Minggu II, dst. sampai Minggu VI Pra-Paska itu merujuk hari Minggu (𝘚𝘶𝘯𝘥𝘢𝘺), bukan pekan (𝘸𝘦𝘦𝘬). 

Masa Pra-Paska dimula dari Rabu Abu dan berakhir pada 𝗞𝗮𝗺𝗶𝘀 𝗣𝘂𝘁𝗶𝗵. Istilah Pra-Paska adalah khas Indonesia. Bahasa Inggris menggunakan 𝘭𝘦𝘯𝘵 atau 𝘭𝘦𝘯𝘵𝘦𝘯, yang berasal dari 𝘭𝘦𝘯𝘤𝘵𝘦𝘯 (Anglo-Saxon) atau 𝘭𝘦𝘯𝘻 (Jerman). Kata itu bernasabah (𝘳𝘦𝘭𝘢𝘵𝘦) erat dengan 𝘭𝘢𝘯𝘨 atau 𝘭𝘰𝘯𝘨 karena siang menjadi lebih panjang. Orang Italia menyebut Pra-Paska dengan 𝘲𝘶𝘢𝘳𝘦𝘴𝘪𝘮𝘢, sedang Spanyol menyebut 𝘤𝘶𝘢𝘳𝘦𝘴𝘮𝘢, yang berakar dari kata Latin 𝘲𝘶𝘢𝘥𝘳𝘢𝘨𝘦𝘴𝘪𝘮𝘢 (empat puluh).

Disebut dengan Rabu Abu di sini Gereja hendak mengajar umat mengenai pertobatan, perkabungan, mawas diri, pendekatan diri kepada Allah. Dalam tradisi Israel Kuno abu menyimbolkan kefanaan manusiawi (Kej. 3:19; 18:27) agar manusia menyesali diri dan bertobat. Penggunaan abu sebagai simbol pertobatan diberikan dengan formula 𝘐𝘯𝘨𝘢𝘵𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘣𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘥𝘦𝘣𝘶 (Kej. 3:19) atau 𝘙𝘦𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳 𝘵𝘩𝘢𝘵 𝘺𝘰𝘶 𝘢𝘳𝘦 𝘥𝘶𝘴𝘵 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘰 𝘥𝘶𝘴𝘵 𝘺𝘰𝘶 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭 𝘳𝘦𝘵𝘶𝘳𝘯. Beberapa Gereja menghayati masa Pra-Paska dengan berpuasa; Ada yang penuh 40 hari, ada yang memilih pada hari-hari tertentu. Agustinus dari Hippo berpuasa dengan pertimbangan etis. Ia melakukannya bertujuan untuk memberikan jatah makan siangnya kepada orang kelaparan.

Meskipun demikian adalah keliru jika masa Pra-Paska dicerap sebagai masa-masa sengsara Yesus, bahkan ada Gereja yang menyebut Minggu-Minggu sengsara. Memang ada yang disebut dengan Minggu Sengsara (𝘓𝘪𝘵𝘶𝘳𝘨𝘺 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘗𝘢𝘴𝘴𝘪𝘰𝘯) yang beririsan dengan Minggu Palem (𝘓𝘪𝘵𝘶𝘳𝘨𝘺 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘗𝘢𝘭𝘮) pada Minggu VI Pra-Paska, tetapi secara keseluruhan adalah keliru mencerap Pra-Paska sebagai masa-masa sengsara Yesus. Pra-Paska merupakan kesukaan dan pengharapan. Dalam masa Pra-Paska Gereja menyediakan waktu secara khusus untuk menghayati karya Yesus dan peristiwa salib Kristus.

Pada Rabu Abu kita diingatkan bahwa keadaan manusia adalah abu, 𝘯𝘰𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨𝘯𝘦𝘴𝘴. Kematian merupakan identitas manusia saban hari, sekaligus bersama dengan kehidupan yang juga saban hari kita nikmati. Kematian bukan soal setelah raga ini mengembuskan nafas terakhir. 

Banyak penjaja agama entah lewat rumah ibadah, entah lewat media televisi meneriakkan kematian-pasca-kematian agar ditakuti. Padahal kehidupan itu menyapa kita dalam kenyataan bahwa kita adalah abu kini dan di sini, setiap saat. Ini bukan soal hidup nyaman kelak di surga, yang jika ditolak berakibat hidup pedih dan penuh kesakitan di neraka. 

Neraka itu adalah kemanusiaan kita, sekaligus karena Kristus sudah memasukinya dan membuatnya menjadi perayaan hidup, tanpa lupa pada kenyataan bahwa kita adalah abu, 𝘯𝘰𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨, bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. 𝘙𝘦𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨 bukan soal takut pada hukuman, namun pada ingatan arkais bahwa kita boleh hidup.
Cepogo,13022024 (T)

MEMBANGUN DASAR TEOLOGIS PERNIKAHAN BEDA AGAMA, SERIAL SUDUT PANDANG

MEMBANGUN DASAR TEOLOGIS PERNIKAHAN BEDA AGAMA, SERIAL SUDUT PANDANG

Dasar Teologis Perkawinan
Dalam percakapan tentang perkawinan umumnya disebutkan tiga pengajaran utama dalam tradisi Kristen tentang perkawinan yaitu (1) bahwa perkawinan berasal dari tata penciptaan, (2) perkawinan adalah tanda relasi intim antara Kristus dan gerejaNya, serta (3) perwujudan kasih Ilahi. Pemahaman perkawinan berasal dari tata penciptaan berangkat dari penyataan Alkitab di Kejadian 2 bahwa Allah menyatukan laki-laki dan perempuan dalam kasih setia dan sebagai penolong satu dengan yang lain. Dari sini perkawinan dipahami bahwa perkawinan dilembagakan oleh Allah, perkawinan adalah ketetapan Allah. Kesatuan kasih laki-laki dan perempuan menjadi tanda kasih Allah, kasih yang abadi dan setia. Oleh karena itu perkawinan merupakan kesatuan abadi dalam kasih Allah. 
Paulus menempatkan martabat perkawinan sedemikian tinggi dengan menegaskan bahwa perkawinan adalah tanda relasi intim antara Kristus dan gerejaNya. Oleh karena itu ikatan perkawinan adalah ikatan permanen yang tak terpisahkan.  Relasi suami dan isteri dalam perkawinan adalah relasi cinta yang berkomitmen dan setia, sebagaimana cinta Kristus kepada gerejaNya. Aspek terpenting dari perkawinan dalam terang cinta kasih Kristus adalah cinta dengan komitmen dan kesetiaan, sepanjang hidup, kesatuan hati, tubuh dan pikiran yang mendalam. Sebagai kesatuan cinta yang saling menjadi berkat bagi pasangan maka perkawinan menjadi pilar kesatuan keluarga yang utuh. Keluarga yang demikian akan mengejawantahkannya dalam cinta kasih pasangan, dalam buah-buah kemurahan hati, dalam solidaritas, dalam kesetiaan, dan dalam jalan mencintai dimana setiap anggota keluarga saling menolong satu dengan yang lain.
Perkawinan sebagai perwujudan kasih Ilahi menegaskan bahwa relasi perkawinan mewujudkan kasih Allah yang bukan hanya dengan kata-kata namun dengan aksi konkret. Dan Allah memanggil umatNya untuk mengejawantahkan kasih konkret seperti itu dengan sesama. Perkawinan adalah kasih yang aktif oleh pasangan, sebagai pengejawantahan kasih Allah. Di sanalah Allah hadir. Di dalam kasih yang aktif antara pasangan, Allah turut mengambil bagian dalam relasi intim pasangan dengan kasih dan kehendakNya. 
Dari pemahaman di atas maka kita dituntun untuk melihat setidaknya tiga nilai perkawinan Kristen yaitu sacramental (sacramentality), penebusan (redemptive) dan keadilan (justice).

Karakter Sakramental Perkawinan (Sacramental character of Marriage)
Jika kita perhatikan dengan seksama maka perbedaan tradisi Katolik, Orthodox dan Protestan tentang perkawinan, nampak yang mencolok adalah status sakramentalnya. Namun kesemuanya disatukan dalam keyakinan bahwa perkawinan bukan sekedar penemuan manusia namun didirikan dan ditetapkan oleh Allah. Lebih lagi, meskipun Protestan tidak mengakui perkawinan sebagai sakramen, namun beberapa mempertahankan apa yang boleh dikarakteristikan sebagai implisit sakramental. Nilai sakramental perkawinan terletak pada fakta bahwa Allah secara intim mengambil bagian dalam kemitraan pasangan. Peran Allah dalam perkawinan perjanjian terjadi tatkala pasangan berjanji dan berkomitmen untuk membangun kehidupan kemitraan dalam kesetaraan dan intim, dalam kasih yang setia dan kokoh. Kehadiran Allah dan kasihNya dihayati dan diwujudkan dengan cinta dan kebersatuan pasangan. Oleh karenanya, sakramental perkawinan bukan sesuatu yang ditambahkan namun sudah dialami oleh pasangan tatkala secara serius mereka memperhatikan kemitraan yang intim (intimate partnership) dalam keseluruhan hidup relasi perkawinan mereka. Kemitraan yang total dan saling memberi diri dari pasangan menjadi symbol Allah yang memberi diri di dalam Kristus. Di sanalah rahmat Kristus hadir. Dengan demikian pasangan akan saling menghadirkan rahmat Kristus bagi pasangan. Demikianlah setiap pribadi hadir menjadi rahmat satu dengan yang lain. Inilah relasi sakramental. 

Nilai Penebusan Perkawinan (redemptive value of marriage)
Esensi karya penyelamatan Allah adalah aksi Allah memberi diri. Demikianlah kasih yang sejati mewujud dalam aksi. Ketika kasih yang demikian dipahami dan diterima maka kasih itu akan menggantikan kondisi keterasingan dengan relasi kasih. Keterasingan adalah kondisi dosa; tertolak, diabaikan. Oleh karenya inti penebusan Allah adalah rekonsiliasi, penerimaan. Diselamatkan adalah didamaikan kembali dengan kasih yang menyelamatkan. Itu sebabnya Paulus mengatakan di 1 Koritnus 7:16, “Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?”  Inilah perkawinan dengan kasih yang menyelamatkan. Perkawinan adalah tempat dimana cinta yang berkorban diwujudkan dalam spirit penerimaan, tidak memisahkan dan merangkul. Perkawinan dan keluarga Kristen adalah sekolah cinta kasih dimana cinta yang setia dan berkomitmen diwujudkan. Titik puncak karya penyelamatan adalah kasih yang berkorban. Pasangan akan terluka dalam upaya mereka mencintai dan dicintai, diterima dan menerima. Perkawinan Kristen diwarnai dengan cinta yang menyelamatkan yaitu cinta yang memberi diri dan mengorbankan diri. Cinta yang menyelamatkan mengingatkan kita bahwa kiat dicintai dengan cinta yang tak bersyarat, dan hal itu adalah penuntun untuk mencintai sesama.

Nilai Keadilan Perkawinan (Justice value of Marriage)
Mutualitas merupakan aspek penting dalam perkawinan Kristen. Pasangan yang saling menghormati sebagai pasangan yang setara dapat membangun relasi saling cinta yang didasarkan pada kooperasi dan bukan kompetisi. Penekanan pada kesetaraan relasi bukan hendak memaksa kesamaan kepribadian, namun penghargaan pada setiap individu sebagai yang unik dan memiliki peran tersendiri.  Kesetaraan relasi tidak selalu berarti 50 – 50, namun lebih pada pengakuan setiap pribadi memiliki kemampuan yang berbeda dalam berkontribusi membangun relasi dengan cara yang berbeda. Sebuah perkawinan perjanjian bukan sekedar kontrak dengan mengatakan - jika kamu melakukan A, aku melakukan B. Jika kamu gagal melakukan A, maka aku tidak berkewajiban melakukan B. Perkawinan Kristen tidak demikian. Perkawinan Kristen yang didasarkan pada perjanjian dilandasi kasih berkomitmen sebagaimana komitmen kasih Allah yang tidak tergantung pada umat Allah. Maka yang seharusnya terjadi adalah – Aku akan melakukan A dan kamu melakukan B. Jika kamu tidak mampu melakukan A, maka aku tidak lepas dari kewajibanku melakukan B. Inilah perspektif keadilan dalam perkawinan dengan cinta tanpa syarat. Perkawinan Kristen menjadi sekolah cinta kasih (school of love), namun juga menjadi sekolah keadilan (school of justice). Perkawinan berkeadilan adalah karakter perkawinan Kristen. Keluarga yang dibangun dari karakter ini akan terdorong untuk saling peka pada rasa keadilan anggota keluarga. Dengan demikian kehadiran setiap pribadi yang unik menghadirkan pula anugerah kasih Kristus yang bagi setiap pribadi adalah unik. 

Membangun Dasar Teologis Perkawinan Beda Agama
Untuk menyikapi PBA sebagai sebuah realita manusia, Ariarajah berpendapat bahwa kita membutuhkan sebuah teologi yang membuat kita menjadi ramah. Sebuah teologi yang tidak ramah tidak akan bisa menghasilkan umat yang ramah. Sikap negatif terhadap PBA sangat terkait dengan sikap memandang agama secara eksklusif. Ada sikap yang menekankan pada apa yang berbeda dari orang lain dan apa yang memisahkan mereka daripada berfokus pada nilai-nilai bersama. Setiap tradisi agama harus melakukan peninjauan ulang atas sikap dan pendekatannya terhadap realita manusia dengan melintasi pagar (Ariarajah, 1999:95).  Penerimaan PBA hanya mungkin ketika ada penerimaan terhadap seseorang yang beriman lain sebagai saudara di dalam Allah. Keterbukaan dan penerimaan orang yang berbeda iman harus ditekankan. Dan itu berarti keyakinan agamanya juga harus diterima dan dihormati, jika tidak maka relasi antar agama hanya menjadi tata karma biasa. Sikap terhadap PBA sangat ditentukan oleh basis ekklesiologi yang berkait dengan penafsiran Alkitab, teologi agama-agama dan teologi sosial. Dalam konteks Gereja-gereja di Indonesia, yang tidak boleh dilupakan bahwa hal ini juga menyangkut warisan teologi serta sejarah di masa lampau relasi Gereja dengan agama-agama lain. 
Tidak bisa pungkiri bahwa PBA masih menyisakan beberapa persoalan seperti misalnya pendidikan agama bagi anak-anak dan bagaimana praktek agamawi di rumah. Namun itu semua menjadi tantangan komunitas agamawi untuk mendampingi dan menuntun keluarga beda agama dalam menghadapi realita beda agama dalam hidup perkawinan mereka. Persoalan itu akan menjadi masalah yang tak terseleaikan jika komunitas agamawi lebih melihat komunitas lain sebagai rival daripada sebagai komunitas manusia yang memiliki perbedaan kisah dalam menghadapi realita manusia. Komunitas agamawi kini berhutang pada generasi masa depan. PBA adalah realita manusia yang tidak bisa dibendung, akan terus bertambah jumlah pasangan beda agama dan keluarga beda agama, serta anak-anak yang lahir dari pasangan beda agama. Akankah komunitas agamawi terus menerus mewariskan ketertutupan kepada generasi masa depan? Jika setiap tradisi agamawi secara kreatif menemukan jalan untuk menghadapi fenomena ini maka mereka akan mampu menangani masa depannya. Namun tantangan yang masih dihadapi kini adalah mentalitas benteng yang masih hidup dalam semua agama. Gereja-gereja di Indonesia harus menjadi mitra dialog dan kerjasama untuk situasi masyarakat Indonesia yang lebih baik di masa depan, untuk demokrasi, dan martabat manusia. Tidak semua kelompok Islam menolak PBA, tetapi tidak semua gereja menerima PBA. Oleh karena itu, dialog menjadi sangat penting bagi keduanya. Terlebih lagi, PBA selanjutnya dapat dilihat sebagai sarana dialog hidup yang konkret. Saya meyakini bahwa pasangan beda agama dan keluarga beda agama justru menjadi agen dialog yang sesungguhnya, sebab mereka telah mempraktekannya pada praktek kontret hidup sehari-hari, hidup bersama dengan orang yang berbeda. 
Dari penelusuran perspektif Biblis, kita telah menyimpulkan bahwa PBA adalah perkawinan Kristen yang sah. Jika PBA adalah perkawinan Kristen yang sah, lalu bagaimana kita secara teologis dapat memahami PBA? Jika perkawinan Kristen meliputi makna sacramental, nilai penebusan dan nilai keadilan, apakah ketiga hal tersebut bisa diterapkan pada PBA?

Sakramental Perkawinan Beda Agama 
Paulus dalam surat Korintus menolong kita melihat lebih jelas fenomena PBA. PBA adalah realita dalam masyarakat plural. Perkawinan adalah anugerah yang telah diberikan Tuhan kepada seluruh umat manusia untuk kesejahteraan seluruh keluarga umat manusia. Perkawinan Kristen adalah hubungan sakramental. Tuhan sangat terlibat dalam kemitraan intim pasangan. Keterlibatan Tuhan dalam perkawinan perjanjian terjadi ketika pasangan setuju dan berkomitmen untuk menciptakan kehidupan kemitraan yang setara dan intim dalam cinta yang setia dan kokoh. Dari sinilah kita membangun pemahaman teologis tentang PBA. Nilai perkawinan sakramental terletak pada keyakinan bahwa Tuhan terlibat erat dalam hubungan yang intim dari pasangan, sehingga Tuhan juga terlibat dalam kemitraan yang intim dan berkomitmen dari pasangan beda agama. Nilai sakramental perkawinan sama sekali tidak bergantung pada agama yang sama dari satu pasangan, tapi pada kemitraan yang setara dan penuh kasih, cinta saling berkorban yang harus dijalani seumur hidup dalam penyerahan diri total pasangan sebagaimana pemberian diri Allah di dalam Kristus. Di sana, kasih karunia Kristus hadir. Rasul Paulus mengajarkan bahwa PBA adalah kenyataan di dalam jemaat yang harus dijaga dengan baik secara bertanggung jawab. Paulus melarang kemungkinan pihak Kristen dari perkawinan tersebut memulai perceraian terutama karena pasangannya adalah orang yang tidak percaya. PBA adalah perkawinan yang berkomitmen, maka PBA adalah perkawinan Kristen yang sah dan tetap memiliki makna sakramental. Apakah pihak non-Kristen bisa berkomitmen? Mengapa tidak? Saya tidak setuju dengan Calvin bahwa pihak non-Kristen akan membahayakan iman. Pandangan ini terlalu berprasangka. Untuk berkomitmen tidak ditentukan oleh identitas agama.

Nilai Penebusan Perkawinan Beda Agama
Umat Israel di era Ezra menafsirkan Kitab Ulangan sedemikian rupa sehingga pertemuan dengan 'yang lain' berakhir dengan tragis dan sedih. Namun begitulah cara orang Israel melindungi dan memelihara identitas mereka. Akankah orang Kristen Indonesia mengikuti cara yang sama dalam membangun identitas mereka dengan mengasingkan orang lain? Ini sungguh sebuah ketidakadilan, apakah mengusir orang asing atau dengan identitas berbeda adalah cara yang tepat untuk menaati Tuhan. Daripada menekankan 'pemisahan' dari mereka yang tampak asing, mengapa tidak memilih toleransi dan belas kasihan sehingga 'yang lain' tidak merasa diabaikan begitu saja? Menurut saya, PBA merupakan wujud nyata hidup bersama dalam kebhinekaan. Jika 'yang lain' adalah mitra dalam dialog, maka 'yang lain' juga merupakan mitra dalam pembelajaran. Pasangan Kristen juga dapat belajar dari pasangannya tentang spiritualitas, dan sebaliknya. Mereka perlu belajar dari satu sama lain dan pada saat yang sama, mereka juga perlu saling mengajar. Sebuah studi bersama WCC dan Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama tentang PBA mengakui bahwa dalam bidang hubungan antaragama, sering kali mengacu pada 'dialog kehidupan'. Dengan itu berarti semua pertemuan sehari-hari antara orang-orang dari agama yang berbeda, di lingkungan dan tempat kerja, di sekolah dan dalam kegiatan rekreasi, dihayati secara positif sehingga kondusif untuk pemahaman, keharmonisan dan kedamaian.Salah satu bentuk perjumpaan itu adalah PBA yang mendekatkan hubungan seorang pria dan seorang wanita dari agama yang berbeda (WCC, 1986:vii). 'Komitmen dan cinta setia' adalah suatu keharusan dalam PBA agar perbedaan agama benar-benar dihargai. PBA melakukan spirit rekonsiliasi dimana pasangan beda agama menjadi agen pemulih. Inilah nilai penebusan dari PBA.

Nilai Keadilan Perkawinan Beda Agama
Saling pengertian dan saling menerima dalam hubungan adalah aspek penting dari masyarakat majemuk yang damai. Hanya jika orang Kristen hidup dengan damai dengan orang yang berbeda identitas, maka keragaman adalah sebuah berkat. Frasa 'terang dan gelap' di 2 Korintus 6:14 umumnya digunakan dalam istilah keadilan dan ketidakadilan. Frasa ini dijadikan rujukan utama oleh banyak umat Kristiani Indonesia untuk menentang PBA dengan mengatakan bahwa memasangkan Kristen dengan non-Kristen sama sekali tidak dapat didamaikan.  Kita tidak bisa lagi menyatakan bahwa 'terang' selalu mengacu pada orang Kristen dengan perilaku moral yang baik dan bahwa sisi lain, 'kegelapan', selalu mengacu pada non-Kristen dengan perilaku tidak bermoral. Frasa 'terang dan gelap' digunakan oleh Paulus untuk menggambarkan kualitas moral yang berbeda bukan pada agama yang berbeda. PBA adalah perkawinan Kristen karena merupakan hubungan perjanjian antara dua orang yang sederajat. Kesetaraan itu mereka tampilkan dalam niatan untuk mempertahankan persatuan intim mereka dengan menghindari ketidakadilan satu sama lain. Baik pasangan Kristen dan non-Kristen dipanggil untuk melakukan keadilan Allah dengan memiliki perilaku moral yang baik dalam persatuan mereka. Saling memahami dan saling menerima dalam hubungan merupakan aspek penting dari perkawinan Kristen yang damai dan juga PBA. Ketika pasangan beda agama menghidupkan spirit saling menghormati sebagai pasangan yang setara, membangun hubungan cinta timbal balik yang dilandasi gotong royong dan bukan atas persaingan, maka mereka telah memenuhi kewajiban perkakwinan Kristen. Dalam semangat dialog kehidupan, PBA mewujudkan kemitraan timbal balik. Di sanalah nilai keadilan dari PBA mengejawantah.
 
Perkawinan yang ideal tidak ditentukan oleh kesamaan identitas agama, tetapi pada perwujudan karakter perkawinan yang menjadi spirit bagi dua individu yang bersatu dalam perkawinan. PBA merupakan kenyataan yang tak terhindarkan, sehingga setiap gereja harus siap membantu anggotanya yang ingin menikah dengan orang yang berbeda keyakinan. Gereja harus mengembangkan teologi perkawinan yang memberikan landasan kuat bahwa perkawinan adalah anugerah kehidupan, berkat bagi umat manusia. Dengan demikian maka perkawinan harus menjunjung tinggi martabat manusia dan memuliakan kehidupan. Atas dasar ini, keluarga dapat menjalani kehidupan yang lebih manusiawi dan bermartabat tanpa diskriminasi dan ketidakadilan dalam hubungan perkawinan di mana martabat setiap anggota keluarga dijamin. Dalam konteks Indonesia, PBA merupakan wujud dari dialog yang paling mendalam dan konkrit, karena dalam PBA, penghargaan dan penghormatan terhadap perbedaan terwujud sepenuhnya dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya sebagai wacana saja. PBA menjadi sarana untuk mempromosikan perdamaian dan memuliakan umat manusia dalam masyarakat majemuk.

Dari uraian di atas ada dua point teologis:
Perkawinan Kristen adalah hubungan sakramental. Tuhan sangat terlibat dalam kemitraan intim pasangan. Keterlibatan Tuhan dalam perkawinan perjanjian terjadi ketika pasangan setuju dan berkomitmen untuk menciptakan kehidupan kemitraan yang setara dan intim dalam cinta yang setia dan kokoh. Kehadiran Tuhan dan cinta-Nya dihargai dan diwujudkan oleh kebersatuan dan cinta pasangan. Dalam perkawinan Kristen, sepasang suami istri, pria dan wanita, mengekspresikan dan mempersembahkan rahmat yang tak tercipta tatkala pasangan adalah 'anugerah' sejati satu sama lain.
Cinta timbal balik dalam perkawinan Kristen ditandai dengan kasih pengorbanan Kristus. Sebagaimana Kristus memberikan kasih pengorbanan kepada Gereja, mempelai-Nya, demikian pula kasih pengorbanan harus dimanifestasikan dalam perkawinan (lihat. Efesus 5: 22-33). Ini berarti bahwa perkawinan Kristen adalah tanda kasih karunia dan sarana kasih karunia. Perkawinan Kristen dicirikan oleh dua prinsip utama yaitu komitmen (tak terpisahkan) dan kemitraan setia (monogami).
Pemahaman penerimaan PBA didasarkan pada 1 Korintus 7: 12-14. Cukup jelas bahwa Paulus tidak berbicara tentang setuju atau tidak setuju PBA, tetapi Paulus lebih tertarik untuk melihat PBA sebagai sebuah kenyataan di dalam jemaat yang harus dijaga dengan baik secara bertanggung jawab. Demikian pula, kita menemukan dalam perikop ini bahwa tidak ada ketegangan atau masalah identitas berkenaan dengan identitas budaya seperti non-Yahudi dan Yahudi, Yunani dan Romawi, atau identitas agama seperti Kristen dan non-Kristen, dll. Artinya PBA adalah kenyataan dalam masyarakat majemuk, hal itu tidak bisa disangkal. PBA adalah perkawinan yang berkomitmen oleh karena itu harus dijaga. Paulus menegaskan, "Tetapi Allah telah memanggil kita untuk hidup dalam damai" (1 Kor. 7:15).

Kita sadari bahwa tidak mungkin menyajikan pemikiran teologis yang siap saji yang relevan untuk semua. Apa yang disajikan ini adalah sebuah pemikiran awal. Hal ini mendorong upaya-upaya baru untuk merumuskan sebuah teologi perkawinan dan teologi keluarga yang kontekstual Indonesia. Perkawinan adalah sebuah hadiah untuk umat manusia. Namun seiring dengan perkembangan perubahan sosial dalam peradaban manusia, perkawinan rawan menjadi ruang perendahan kemanusiaan, perusakan kepribadian, pengabaian atas kebebasan manusia yang seharusnya dijunjung tinggi. Teologi perkawinan yang menjunjung tinggi martabat manusia adalah pesan Alkitab yang sangat penting. Teologi perkawinan seperti itu akan mendorong pria dan wanita yang bersatu dalam perkawinan menyadari sepenuhnya bahwa ada tanggung jawab iman terhadap pasangan, anak, dan keluarga, dan untuk menjamin bahwa martabat kemanusiaan mereka dihormati sepenuhnya. Mengikuti pemikiran Groenen, tidak ada perkawinan Kristen dalam kriteria eksklusif perkawinan, karena perkawinan adalah realitas manusiawi. Yang ada adalah orang Kristen yang menghayati Kekristenan dalam perkawinan mereka, orang Kristen yang menampilkan diri mereka bersama dengan Kristus dalam perkawinan mereka. 
Keluarga juga mengalami perubahan seiring perubahan peradaban manusia. Keluarga menghadapi banyak perjuangan seperti homoseksualitas, keluarga single parent, pasangan beda agama, perceraian, dsb. Masyarakat umumnya menilai, mengucilkan, atau mengabaikan hal-hal itu. Keluarga Kristiani, melalui konstruksi teologis yang sehat, hendaknya memiliki sikap positif-konstruktif terhadap persoalan tersebut. Dalam konteks Indonesia, diskriminasi masih dialami oleh mereka yang dianggap 'berbeda' dengan manusia 'normal' lainnya. Dalam perubahan ini dibutuhkan sebuah teologi keluarga yang membebaskan, merangkul dan memulihkan. Sebuah teologi keluarga yang mengekspresikan keramahtamahan Allah.
Penerimaan PBA pun masih menjadi pekerjaan rumah tersendiri dalam hal bagaimana ibadah pemberkatan PBA dilayankan. Wilayah ini menjadi tantangan bagi mereka yang memberi perhatian pada persoalan Liturgi. Penerimaan PBA juga memberi tugas gereja untuk merumuskan sebuah pedoman pastoral untuk mendampingi pasangan beda agama dan keluarga beda agama. Beberapa gereja yang telah menerima PBA masih belum memiliki perangkat ini.
Cepogo, 2015 (T)

Perspektif Biblika Pernikahan Beda Agama (PBA), Serial Sudut Pandang

Perspektif Biblika Pernikahan Beda Agama (PBA), Serial Sudut Pandang

Tidak diragukan bahwa pertimbangan paling besar dalam menentukan sikap terhadap PBA adalah pemahaman teologis yang didasarkan pada interpretasi terhadap teks alkitab. Teks-teks alkitab, baik secara eksplisit maupun implisit yang berkaitan dengan PBA, menjadi rujukan utama. Namun demikian, tidak ada pandangan tunggal tentang PBA di alkitab sebab alkitab sendiri memuat sikap yang pro dan kontra.

PBA di Perjanjian Lama
PBA terjadi di antara umat Israel selama periode Perjanjian Lama. Tidak terlalu sulit untuk menyebutkan contoh adanya PBA di PL. Namun, hal itu tidak berarti bahwa PBA selalu diterima secara positif. Teks-teks alkitab yang secara langsung melarang PBA ada di dalam Perjanjian Lama, yang dapat ditemukan dalam Keluaran 34: 11-16, Ulangan 7: 3-4, dan Ezra 9-10. 

Keluaran 34 : 11 - 16 & Ulangan 7 : 3 - 4
Houtman mengatakan bahwa larangan PBA dalam teks Keluaran adalah sebuah upaya pencegahan. PBA dipahami sebagai ancaman yang dapat merusak perjanjian umat dengan Yahweh (Houtman, 2000:723-724), sedangkan Meyers yang mengatakan bahwa teks ini lebih sebagai sebuah peringatan daripada sebuah larangan. PBA dipahami sebagai sebuah jalan yang memungkinkan Israel memiliki persekutuan dengan kehidupan agamawi yang mengancam kesetiaan kepada Yahweh, terlebih kedudukan perempuan kafir yang akan mengurus rumah tangga. Menurut saya, karakter ayat ini tidak dapat dipahami sebagai sebuah aturan hukum, sebab larangan ini tidak diikuti dengan sebuah sanksi. Sanksi baru dapat ditemukan dalam pengulangan larangan ini dalam kitab Ulangan, khususnya dalam Ulangan 7.
Sebagaimana di Keluaran, larangan PBA di Ulangan 7: 1 – 11 disajikan dalam kaitannya dengan peringatan untuk menjaga perjanjian dan kesetiaan kepada Yahweh. PBA dilarang oleh karena diasumsikan akan mendorong umat bergabung dengan ritual keagaman lain. Menariknya, Ulangan 21:10-14 pada akhirnya umat diijinkan menikahi perempuan Kanaan dengan terlebih dahulu memenuhi persyaratan. Poin pentingnya adalah pelarangan merupakan upaya pencegahan. Perjanjian dengan Tuhan, pemeliharaan kesetiaan di hadapan Tuhan, perjuangan untuk identitas mereka sebagai umat pilihan Tuhan, dan kebutuhan untuk menjauhkan diri dari kemurtadan atau kesempatan untuk menyembah dewa-dewa lain adalah beberapa poin pencegahan di seputar larangan PBA.

Ezra 9 – 10
Salah satu teks yang ekstrem dan melahirkan aksi tragis terkait PBA adalah Ezra 9 – 10. Kitab Ezra memuat kisah kepulangan umat dari pembuangan dan upaya rekonstruksi bait suci dan benteng Yerusalem. Di Ezra 9, Ezra berduka cita dan berdoa sebagai tanggapan atas berita bahwa orang Israel telah kawin campur dengan wanita dari penduduk negeri itu. Patut diperhatikan bahwa banyak para imam dan orang awam menikahi istri asing. Ezra 10:18 - 44 memiliki daftarnya. Ezra akhirnya segera bertindak. Tindakan yang diambil tampaknya agak ekstrim: masyarakat diminta untuk memisahkan diri dari perempuan asing dan perempuan asing serta anak-anak diusir (Ezra 10: 3).

Aksi tragis ini memicu munculnya beberapa pertanyaan: mengapa pernikahan campuran menjadi isu yang signifikan hingga sejauh ini? Mengapa perceraian dan pengusiran ini harus dilihat sebagai solusi terbaik untuk menangani perkawinan campuran? Apa ide di balik tindakan ini?
Secara umum, pada saat kepulangan dari pembuangan, Ezra memulihkan kehidupan kesetiaan kepada Tuhan. Ezra mencoba menyelamatkan bangsa kudus itu. Oleh karena itu, penentangannya terhadap perkawinan campuran terjadi dalam situasi tertentu di mana komunitas Israel terancam bahaya sebagai bangsa suci. Reaksi Nehemia berbeda dengan Ezra. Penanganan Ezra terhadap masalah ini jauh lebih drastis daripada penanganan Nehemia. Langkah Nehemia tidak sejauh Ezra yang menuntut cerai (lihat Ezra 10). Williamson mengatakan ini upaya Ezra tidak akan dapat terwujud tanpa mempertahankan identitas diri yang khas dan menganggap PBA sebagai ancaman. Namun, Williamson menyarankan bahwa tidak perlu menerima ini tanpa kritik. Dalam pandangan Williamson, bab-bab ini bersifat deskriptif. Itu tidak secara otomatis menjadikannya preskriptif untuk iman Kristen (Williamson, 1985:161). Pertanyan lain muncul, mengapa Ezra menganggap peremuan asing menjadi ancaman? Mengapa perempuannya yang diusir? Agaknya ada penfasiran Ezra terhadap Ulangan 7:3 -4. Dari Ul. 7: 4, Ezra menganggap bahwa wanita asing, bukan pria asing, yang mengancam kesetiaan Israel di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, bagi Ezra, masalah utamanya adalah kehadiran wanita asing di dalam bangsa Israel. Dengan demikian, tindakan pengusiran perempuan asing dan anak-anak mereka merupakan hasil interpretasi Ulangan 7: 4. Padahal Ulangan 29: 9-14 berbicara tentang 'melanggar' perjanjian yang tidak hanya melibatkan wanita dan anak-anak, tetapi juga pria Israel di mana kutukan diberlakukan untuk semua. Sulit untuk membayangkan bagaimana YHWHisme dapat terancam oleh sekitar 100 wanita di antara populasi sekitar 20.000.
Menggunakan pendekatan antropologis, Janzen memahami bahwa tindakan perceraian dengan pengusiran sebagai tindakan pemurnian yang diritualkan. Ia menjelaskan bahwa untuk memahami tindakan yang dilakukan oleh suatu kelompok sosial, kita harus memperhatikan komposisi sosial, struktur, dan pandangan dunia kelompok tersebut. Janzen percaya bahwa dengan pertimbangan penuh atas struktur sosial komunitas, dengan penekanan pada batas-batas eksternal, integrasi sosial internalnya, dan pandangan dunianya, dapat dijelaskan mengapa kelompok sosial ini mengambil tindakan ini dan bukan yang lain. Janzen mendefinisikan komunitas Bait Suci abad kelima sebagai komunitas dengan ‘integrasi internal (internal integration) yang lemah dan batas-batas eksternal (external bounderies) yang kuat.’ 'Integrasi internal yang lemah' berarti kepatuhan anggota terhadap norma-norma sosial, moralitas, dan pandangan dunia yang dianggap longgar; sedang 'batas luar yang kuat' berarti masyarakat cenderung memagari pengaruh asing dari masyarakat. Oleh karena itu, Janzen sampai pada pernyataan bahwa perceraian dan pengusiran perempuan asing adalah semacam 'perburuan penyihir' (witch hunt). Menurutnya, 'perburuan penyihir' terjadi dalam masyarakat dengan batas eksternal yang kuat. Masyarakat semacam ini takut pada orang asing, yang dicirikan Janzen sebagai perilaku anti-sosial. Oleh karena itu, Janzen memandang ritus pemurnian sebagai pemaksaan masyarakat untuk menolak asing atas nama tatanan sosial pribumi. Dengan menggunakan pendekatan antropologis sosial ini, Janzen menegaskan bahwa dasar untuk memahami gagasan di balik aksi tragis dapat ditemukan di dalam teks itu sendiri (Janzen, 2002:22,43). 
Katherine Southwood, juga menggunakan pendekatan antropologis terhadap Ezra 9-10. Southwood memberikan analisis kritis tentang perkawinan silang melalui kacamata etnisitas. Dia menyebutkan ada sejumlah masalah yang mengitari masalah sentral perkawinan di Ezra 9-10, seperti misalnya: etnisitas, identitas agama, kemurnian, tanah, kekerabatan, dan migrasi. Southwood menggunakan dimensi migrasi, asimilasi, dan etnisitas sebagai faktor penting untuk analisis kritis pernikahan campuran di Ezra. Dia menjelaskan bahwa masyarakat Israel menghadapi masalah identitas di era pra-pembuangan, pembuangan, dan pasca-pembuangan, serta terkait migrasi (migration) dan migrasi kembali (returning migration). Ezra 9 - 10 berbicara tentang kepulangan dari pembuangan, maka akan sangat membantu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang etnisitas dan migrasi kembali. Southwood menunjukkan bahwa perkawinan campuran merupakan hal yang sangat penting untuk mengukur jarak sosial antara komunitas migran dengan umat yang masih menetap di tanah air dan tingkat asimilasi. Dia mengatakan bahwa para migran (individu atau kelompok) didorong ke dalam konfrontasi baru dengan diri mereka sendiri yang muncul menjadi ekspresi baru dari eksklusivitas dan keterpisahan dengan budaya asal. Akibatnya, budaya migran seringkali tetap lebih tradisional daripada budaya asalnya. Hubungan antara berbagai generasi migran juga harus diperhatikan. Migran generasi pertama, kedua, atau ketiga berbeda dalam hal identitas etnis dan kesediaan mereka untuk berasimilasi. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan berkenaan dengan pertanyaan tentang bagaimana para imigran berhasil berasimilasi dengan umat yang menetap di daerah asal mereka. Asimilasi dikondisikan oleh sejauh mana kelompok asli dari masyarakat penerima bersedia mengizinkan para migran untuk mengidentifikasi diri dengan mereka.
Migrasi kepulangan adalah masalah lain untuk dipertimbangkan, seperti kembalinya Israel dari pembuangan. Proses ini berkaitan dengan istilah-istilah seperti reintegrasi, rehabilitasi, rekonstruksi, akulturasi ulang, pembangunan kembali, pemulihan, pembentukan kembali, dll. Ide tentang tanah air juga akan berperan. Rumah juga menjadi sarana penegasan identitas. Meski demikian, gagasan tanah air untuk para migran yang kembali juga membawa gejolak budaya karena mereka mengalami perubahan dan transformasi di luar rumah, sedangkan rekan senegara di rumah melakukan hal-hal serupa. Akibatnya, mereka yang kembali sering menemukan bahwa tempat kembali tidak memiliki kemiripan dengan tanah air imajiner pra-perpindahan yang dibangun selama pembuangan. Dapat dikatakan bahwa kepulangan mungkin lebih traumatis daripada pengalaman pembuangan itu sendiri. Rasa keterasingan dialami bahkan jika kembali dengan damai. Ada kontradiksi antara tanah air yang dibayangkan dan realitas kepulangan. Migrasi kembali dicirikan oleh sejumlah besar ambivalensi dan hibriditas. Southwood menegaskan bahwa masalah etnis memiliki tempat dalam krisis pernikahan campuran Ezra. Oleh karena itu, sementara Janzen menggunakan istilah 'tindakan pemurnian ritual' untuk merujuk pada tindakan perceraian dan pengusiran, Southwood menggunakan istilah 'etnisitas yang diritualkan' (Southwood, 2012:41-46). 
Janzen dan Southwood telah memberikan wawasan lebih luas yang membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait aksi tragis tersebut. Memang, ini adalah tindakan tragis dalam sejarah pasca-pmbuangan Israel. Israel harus menghadapi pergulatan sosial yang besar mengenai identitasnya dalam konteks tertentu. Itulah cara komunitas Israel memecahkan masalah sosial yang pelik dan rumit dalam konteks komunitas pasca-pembuangan. Sayangnya, seperti yang ditegaskan Janzen, solusinya adalah anti-sosial dan tidak bermoral. Dengan pemahaman yang demikian, maka menolak PBA dengan menggunakan teks Ezra tidaklah tepat.
PBA di Perjanjian Baru
Jika kita telusuri keseluruhan Perjanjian Baru maka kita tidak menemukan referensi tentang apa yang Yesus katakan tentang PBA. Teks-teks Perjanjian Baru yang secara eksplisit berbicara tentang PBA dapat ditemukan dalam surat-surat Paulus kepada jemaat di Korintus, yaitu 1 Korintus 7: 12-16 dan 2 Korintus 6: 14-7: 1, yang biasa digunakan sebagai argumen dasar untuk besikap terhadap PBA. 

1 Korintus 7 : 12 – 16
Para ahli umumnya sependapat bahwa surat Korintus adalah tanggapan Paulus terhadap sejumlah isu yang telah menimbulkan kontroversi di antara warga jemaat Korintus. Konteks 1 Korintus 7 jelas bukan tentang perkawinan namun lebih tentang seksualitas dalam hidup Kristiani. Sebagaimana kita ketahui bahwa tarikan tegang antara asketisme dan libertinisme perihal seksualitas terjadi di Korintus. Merespon hal tersebut Paulus menegaskan bahwa perkawinan bukan sebuah tindakan dosa – merespon asketisme, dan moralitas seksual adalah sebuah keharusan agar dapat melayani Allah dengan seluruh tubuh – merespon libertinisme. Paulus menegaskan, “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Tuhan dengan tubuhmu.” (6:20) – menolak imoralitas seksual.  Di 1 Korintus 7:2–7 Paulus menjelaskan bahwa perkawinan bukan sekedar proteksi menghadapi immoralitas seksual, oleh karena trend prostitusi di Korintus, melainkan lebih dalam bahwa hubungan intim (intercourse) adalah diwajibkan bagi setiap pasangan. Nampaknya Paulus masih harus merespon asketisme yang menganggap aktifitas seksual harus dihindari, oleh suami – isteri sekalipun, demi perwujudan hidup baru Kristen. Dari point ini Paulus bergeser ke isu tentang perceraian. 
Tentang PBA, Paulus memberikan pendapat bahwa bagi orang Kristen yang kawin dengan non Kristen maka pihak Kristen tidak diperbolehkan berinsiatif untuk bercerai. Tatkala pasangan non Kristen bertekad untuk tetap hidup bersama maka cerai dilarang. Agaknya dalam kasus ini, PBA terjadi bukan sejak awal perkawinan namun PBA terbentuk setelah salah satu pihak yang semula non Kristen lalu menjadi Kristen. Dalam hal yang demikian Paulus mengingatkan dengan tegas bahwa pasangan Kristen tidak seharusnya berinisiatif untuk cerai. Tidak ada alasan cerai hanya oleh karena beda keyakinan. Sebaliknya, Paulus mendorong agar semua pihak berjuang untuk mengelola PBA dengan baik,”Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera” (lih.ayat 15). Sampai di sini pendapat Paulus jelas, namun apakah pernyataan ini memberi petunjuk yang jelas apakah Paulus menerima atau menolak PBA? Nyatanya, tidak ada pernyataan eksplisit dari Paulus menerima atau menolak PBA. Ayat lain yang seringkali dianggap sebagai petunjuk sikap Paulus terhadap PBA adalah ayat 39, ketika Paulus berbicara tentang seseorang yang ingin menikah setelah pasangannya meninggal. Di akhir nasehatnya Paulus mengatakan bahwa mereka yang akan kawin lagi dengan seseorang diperbolehkan ‘asal orang itu adalah seorang yang percaya”. Umumnya para penfasir berpendapat bahwa ayat 39 adalah sebuah nasehat dan tidak bisa dipandang sebagai prosedur legal. 
Terkait dengan PBA di 1 Korintus 7, Fee menjelaskan bahwa bagi Paulus PBA secara mendasar adalah perkawinan Kristen (Fee, 2014:329-330). Meskipun bukan perkawinan ideal namun PBA adalah real, serta seharusnya dikelola dengan baik. Keener (Keener, 2005: 64-65) dan Maron (Maron, 2004:149-150) )berpendapat bahwa PBA adalah perkawinan berkomitmen (commited marriage). Jadi Paulus memang tidak pernah berbicara tentang menerima atau menolak PBA. Paulus lebih tertarik untuk melihat PBA sebagai realita yang ada di dalam jemaat dan harus dikelola dengan cara yang bertanggungjawab. Lalu bagaimana kita memahami 1 Kor. 7:14 bahwa yang tidak percaya dikuduskan oleh yang percaya? Setidaknya ada tiga asumsi terkait ayat ini, sebagaimana dikemukakan oleh Murphy O’Connor, pertama, ada asumsi bahwa ayat ini terkait dengan kekuatiran akan bahaya isu kenajisan. Namun asumsi ini terlalu spesifik oleh karena tidak nampak ada kekuatiran itu dalam teks. Kedua, kenyataan bahwa Paulus menggunakan istilah ‘cemar’. Ada yang mengasumsikan bahwa Paulus menggunakan istilah ini secara ritual serta bermaksud mengajarkan kepada jemaat Korintus untuk berhati-hati terhadap hal itu. Namun, sekali lagi, tidak ada indikasi kuat kearah itu. Ketiga, kenyataan bahwa Paulus menggunakan istilah ‘menguduskan’ (hagiazo). Apa yang dimaksudkan oleh Paulus ‘dikuduskan’ dalam bagian ini? Predikat ‘kudus’ kepada pasangan non Kristen serta anak-anak dari pasangan beda bukan semata oleh karena relasinya dengan pasangan Kristen, namun oleh karena mereka itu berniat untuk hidup dalam sikap hidup Kristiani dalam hal perkawinan termasuk niat untuk tidak bercerai. Anak-anak juga akan berasimilasi dengan pola sikap orang tuanya. Jika mereka dibesarkan dalam cara (standard) hidup Kristiani maka pada akhirnya mereka akan bertumbuh dalam sikap hidup Kristiani. Dengan demikian Paulus tidak berbicara tentang ‘kudus’ dalam makna ritual namun makna etis. (Murphy O’Connor, 2009:43-57). Dengan asumsi ketiga ini, maka jelas bahwa Paulus lebih menyoroti persoalan etis dari pada persoalan PBA itu sendiri. Jadi Paulus memang tidak tertarik untuk berbicara apakah PBA itu boleh atau tidak. Paulus menempatkan PBA sebagai realita di tengah jemaat dan lebih penting lagi bagaimana kenyataan itu dikelola. 
Bagian ini menantang banyak para penafsir dengan menggunakan beberapa pendekatan yang berbeda. Beberapa di antaranya boleh disebutkan misalnya dari perspektif pastoral oleh James D.G Dunn (Dunn, 1998:695-698). Ia melihat bahwa komunitas Korintus ada dalam proses pengembangan karakter Kristen. Masih ada ketegangan antara loyalitas baru kepada Kristus dan relasi di tengah masyarakat. Dalam situasi demikian Paulus tidak serta merta mendiktekan sebuah teologi perkawinan yang tidak cocok dengan situasi aktual. Paulus secara berhati-hati memberikan nasehat. Tetap menjaga relasi di dalam dan dengan Tuhan adalah prioritas, sedangkan relasi dengan pasangan yang tidak ingin menjadi Kristen dijaga tetap dalam niat hidup dalam damai. Prioritas pentingnya adalah berupaya keras menghindari perselisihan antar pasangan dan juga di tengah jemaat. 
Selanjutnya ada penfasir yang memeriksa bagian ini dari perspektif sosial, antara lain duo Malina dan Pilch (Malina dan Pilch, 2006:20-21,85-87). Malina dan Pilch melihat keberadaan Paulus di Korintus sebagai agen dari yang mereka sebut ‘Jesus group’. Paulus adalah bagian dari generasi kedua ‘Jesus group’ yang tidak mengenal Yesus secara pribadi. Menurut Malina dan Pilch fokus utama generasi kedua ini bukan lagi pada kisah hidup Yesus namun pada apa yang Allah Israel kerjakan di dalam Yesus. Paulus mendorong anggota ‘Jesus group’ untuk tetap dalam status sosial masing-masing dimana Allah memanggil mereka, menikah atau tidak menikah, budak atau orang merdeka, namun masing-masing fokus pada tatanan sosial ‘Jesus group’.  Dalam konteks ini, mereka yang menikah dengan orang non Kristen, jika mereka hidup dalam damai maka tidak ada alasan untuk bercerai, sebab pasangan non Kristen dan anak-anak mereka lekat (attached) pada ‘Jesus group’. 
Daniel Ho mengatakan bahwa ayat 12 – 16 terjalin erat dengan ayat 25 – 40. Meskipun menyinggung banyak hal namun masih merupakan kesatuan. Ho menegaskan bahwa pada bagian ini justru memperkuat posisi bahwa Paulus menolak PBA. PBA bukan sebuah pilihan yang tepat sebab, menurut Ho, dengan memperhatikan ayat 32 – 35 bahwa perkawinan bertujuan untuk menolong orang percaya mencintai Allah tanpa hambatan. Di tengah masyarakat polytheistik ada kebutuhan untuk melindungi pasangan Kristen dari hambatan mereka bisa beribadah kepada Tuhan. Jadi, ambil kesempatan untuk menghindarikan diri dari bahaya tersebut sebelum masuk ke dalam PBA (Ho, 2015:185-188). Penafsiran Ho banyak dipakai untuk oleh umat Kristen di Indonesia untuk menolak PBA. Menurut saya, penafsiran Ho sekaligus menantang, apakah asumsi itu benar bahwa PBA akan membuat pasangan Kristen terhambat untuk bisa beribadah kepada Kristus? Menurut saya, keberatan PBA dengan penafsiran ini merupakan prasangka, sebab bukan tidak mungkin pasangan beda agama bisa mewujudkan semangat mengasihi, saling memahami dan menghormati sehingga pasangan Kristen tidak terhambat dalam beribadah kepada Kristus. 
Pemeriksaan ini membantu kita menemukan beberapa point penting yaitu (1) PBA adalah realita dalam jemaat Korintus yang plural. Jemaat Korintus tertantang untuk mengelola PBA sesuai dengan pesan Kristiani tentang perkawinan, (2) Paulus memperingatkan umat Kristen yang hendak masuk dalam PBA, tidak ada alasan untuk bercerai hanya oleh karena beda keyakinan. PBA bukan kendala untuk bisa melayani pasangan dan melayani Tuhan secara bersamaan tanpa hambatan. (3) Melindungi pasangan Kristen dari hambatan untuk bisa berbakti kepada Kristus adalah sebuah tanggungjawab penting. Oleh karena itu demi kesetiaan kepada Tuhan maka seseorang harus mengambil setiap kesempatan untuk menghindarkan diri dari hambatan tersebut sebelum memasuki PBA.

2 Korintus 6 : 14 – 7:1
Teks ini juga sering menjadi rujukan dalam menyikapi PBA, khususnya sikap menolak PBA. Pertanyaan penting untuk dijawab adalah apa maskud Paulus bicara tentang ‘terang dan gelap? Apakah pada bagian ini Paulus berbicara tentang PBA? Salah satu perhatian banyak penafsir terhadap bagian ini adalah keraguan bahwa bagian ini adalah sungguh dari Paulus. Namun perihal apakah keterkaitan teks ini dengan PBA, tidak terlalu sulit memahami bahwa teks ini sama sekali tidak berbicara tentang PBA. Gorman menegaskan bahwa apapun penafsiran atas bagian ini tidak ada bukti baik secara isi dan konteks bahwa teks ini berbicara tentang isu PBA. Tidak terlalu sulit untuk memahami bahwa bagian ini terkait dengan lawan Paulus, khususnya yang akan disebut sebagai rasul palsu di pasal 10 – 13 (Gorman, 2004:310-311).  Perhatian pada rasul palsu juga menjadi perhatian Scott dan Keener, yang mengatakan bahwa teks ini berbicara tentang upaya Paulus mempertahankan legitimasi kerasulannya, Paulus berhadapan dengan rivalnya. Murphy-O’Connor memiliki penafsiran yang berbeda, yang berpendapat bahwa Paulus sedang berbicara moralitas dan perilaku Kristen. Penafsiran Muphy-O’Connor menurut saya lebih jelas bahwa ‘terang dan gelap’ tidak menunjuk pada identitas Kristen dan non Kristen, melainkan menunjuk pada perbedaan kualitas moral dan perilaku daripada perbedaan agama. Paulus hendak mengatakan bahwa umat Kristen seharusnya memiliki relasi eklusif dengan Kristus sehingga mereka memiliki perilaku moral yang baik dan benar. “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya” tidak bisa dipahami sebagai larangan untuk berelasi antara Kristen dan non Kristen. Hal ini sama sekali tidak berhubungan dengan PBA. Paulus hendak menegaskan bahwa umat Kristus harus memiliki watak perilaku moral yang lebih tinggi dan lebih baik daripada mereka yang tidak di dalam Kristus. Dalam hal ini Paulus menolak kompromi integritas iman. Di konteks Indonesia, ayat ini sangat sering dikutip untuk menolak PBA dengan mengatakan bahwa orang Kristen tidak boleh berpasangan dengan non-Kristen, dua hal yang tidak bisa didamaikan karena berbeda agama. Di konteks Indonesia, bagi saya, dimana agama hanya menjadi status sosial dan identitas sipil, maka agama tidak pernah akan menentukan kualitas moral seseorang. Kita tidak pernah bisa mengatakan bahwa ‘terang’ selalu merujuk pada Kristen dengan perilaku moral yang baik, dan ‘gelap’ selalu merujuk pada non-Kristen yang tidak bermoral baik. Jelas bahwa bagian ini tidak pernah bisa dipakai menjadi dasar yang tepat bagi penolakan PBA.

Dari PL kita dapat temukan konslusi:
Tidak bisa diragukan bahwa PBA ada di dalam Alkitab khususnya di PL. 
Di PL, ada perjuangan umat pilihan dalam menegaskan identitas mereka. Perjanjian dengan Allah, menjaga kesetiaan dengan Allah, perjuangan terkait identitas sebagai umat pilihan, menjauhkan diri dari kekafiran atau kemungkinan jatuh penyembahan ilah lain, mempertajam identitas terkait dengan relasi dengan orang-orang yang berbeda keyakinan – semua itu adalah poin-poin yang mengitari larangan PBA dalam sejarah Israel kuno.
PBA adalah persoalan krusial dalamkonteks perubahan sosial yang menantang umat Allah. Hal ini nampak dalam buku Ezra dan Nehemia. Sayangnya, solusi yang diambiil anti-sosial dan tidak adil.

Dari PB kita temukan konklusi:
PBA adalah realita yang tidak bisa dihindari dalam masyarakat plural.
Paulus tidak pernah memberikan pernyataan yang tegas ‘menerima’ atau ‘menolak’ PBA. Paulus lebih mengingatkan umat Kristen untuk mengimplementasikan nilai dan kebajikan perkawinan Kristen dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat plural. Ikatan PBA adalah juga perkawinan berkomitmen. 
PBA tidak menjadi penghalang bagi pasangan Kristen untuk melayani sesama dan melayani Tuhan secara serentak tanpa hambatan. Meskipun demikian, memberikan proteksi terhadap pasangan Kristen dari hambatan dalam berbakti kepada Kristus adalah hal penting. Oleh karena itu, demi kesetiaan kepada Tuhan maka sebelum memasuki PBA ambil setiap kesempatan untuk menghindarkan diri dari ketidaksetiaan.
Istilah ‘terang’ dan ‘gelap’ sama sekali tidak menunjuk pada perbedaan agama, namun perihal perilaku moral. ‘Terang’ menunjuk pada perilaku moral yang baik, sedang ‘gelap’ menunjuk perilaku tidak bermoral, apapun agamanya. 

Pemeriksaan terhadap bagian-bagian ini menunjukkan bahwa PBA adalah kenyataan di dalam jemaat masyarakat majemuk Korintus. Paulus tidak memberikan resep apa pun untuk memilih sikap terhadap 'persetujuan' atau 'ketidaksetujuan' terkait masalah ini; Ia lebih suka mengingatkan umat Kristiani untuk menerapkan keutamaan dan nilai pernikahan Kristiani dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat majemuk. Ikatan PBA adalah pernikahan yang berkomitmen. Paulus memperingatkan orang-orang Kristen yang melakukan perkawinan campuran bahwa untuk menikah atau tidak menikah harus menjadi keputusan yang bertanggung jawab, bahkan ketika itu menyangkut orang yang tidak percaya. Tidak ada alasan untuk bercerai. Bagi Paul, PBA bukanlah halangan yang menghalangi komitmen baik kepada pasangan maupun Tuhan sekaligus tanpa hambatan.
Cepogo, 2015 (T)

Gereja-gereja di Indonesia dan Perkawinan Beda Agama (PBA), Serial Sudut Pandang

Gereja-gereja di Indonesia dan Perkawinan Beda Agama (PBA), Serial Sudut Pandang

Berbicara tentang PBA di Indonesia sudah berang tentu kita akan bersinggungan dengan UU No.1/1974 dan beberapa beberapa hukum sipil yang menjadi landasan hukum bagi perkawinan di Indonesia. Namun demikian, UU Perkawinan No.1 / 1974 sendiri merupakan produk problematik. Dari sejarah kelahirannya, UU ini telah menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat yang bersinggungan dengan isu sensitif dalam hubungan antaragama di Indonesia. UU Perkawinan 1974 memiliki sejarah yang kontroversial karena pembentukan undang-undang ini tidak lepas dari ketegangan politik. Persoalan perkawinan dalam penyusunan konsep UU ini bergeser ke persoalan politik identitas. Ketika undang-undang ini ditetapkan, maka kompromi politiklah yang terjadi dalam upaya mencari jalan untuk menghadapi realitas perkawinan dalam konteks Indonesia yang majemuk. Namun, undang-undang ini belum menyelesaikan realitas perkawinan dalam konteks kemajemukan agama. Sebelum berlakunya UU No.1 / 1974, pasangan beda agama bisa dengan mudah melegalkan perkawinannya. Setelah UU 1/1974 diberlakukan, pasangan beda agama harus menelan kepahitan karena banyaknya kesulitan yang harus mereka hadapi. Padahal, undang-undang ini tidak secara tegas melarang dan tidak juga mengatur PBA. Oleh karena itu, implementasi undang-undang ini dimaknai secara berbeda oleh masing-masing otoritas daerah. Larangan PBA berasal dari penafsiran terhadap UU 1/1974. Larangan PBA bersumber dari kalimat yang sangat menentukan di Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini yakni penafsiran literal atas kalimat dalam Pasal 2 (1) bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”. Ayat ini ditafsirkan sebagai dasar formal pelarangan PBA. Oleh karena itu, sebagian besar Kantor Catatan Sipil di Indonesia menerapkan pemahaman umum bahwa PBA tidak diperbolehkan. Sekali lagi, faktanya UU No.1/1974 sama sekali tidak melarang dan juga tidak mengatur PBA. UU.No.1/1974 sebagai satu-satunya hukum sipil yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia sudah waktunya direvisi. Namun upaya ini tidak mudah, atau bisa dibilang hampir tidak mungkin. UU ini sudah dianggap sebagai kompromi politik yang bernuansa ketegangan antaragama. Sebagian kalangan menganggap UU ini telah menjadi kesepakatan yang tidak perlu lagi diutik-utik. Saya berpendapat bahwa UU ini betapapun dianggap sebagai kesepakatan namun faktanya UU ini lebih memperhatikan satu kelompok agama tertentu sebab yang dikomodir dalam UU ini hanyalah pemberlakuan ketentuan satu agama tertentu saja (dalam hal ini Islam). Saya sepenuhnya memahami bahwa produk hukum adalah juga produk politik. Namun sebuah keprihatinan jika produk hukum tidak berdiri pada kepentingan bersama, tidak mengabdi pada kemajemukan agama di Indonesia. Upaya revisi UU 1/1974 muncul pada lahirnya UU 16/2019, namun tidak mengubah banyak hal. UU 16/2019 hanya mengubah ketentuan batas minimal usia perkawinan (19 tahun).
Kesadaran besar dari sebagian kalangan masyarakat akan pentingnya terobosan hukum untuk memberi tempat bagi PBA, semakin menguat. Meskipun hasilnya tetap belum melegakan namun setidaknya kesadaran akan realita PBA semakin menguat. Masuknya kasus PBA melalui gugatan terhadap pasal 2 ayat 1 di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2014 menjadi petunjuk bahwa ada upaya yang gigih untuk mencari solusi terbaik untuk mengatasi masalah PBA di masyarakat. Sayangnya, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan amandemen Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan No.1 / 1974 itu. Dari proses peradilan di Mahkamah Konstitusi, nampak bahwa sikap terhadap PBA masih pro dan kontra di antara agama-agama di Indoneisa. Organisasi Muslim (MUI, NU) dan PHDI Hindu menentang seluruh petisi termasuk PBA, sementara PGI, KWI, dan Matakin tampak terbuka untuk PBA. Sementara itu sikap WALUBI cenderung tunduk pada ketentuan pemerintah. Perbedaan pandangan dan sikap agama-agama terhadap PBA itu sendiri bukanlah sesuatu yang sangat buruk. Mahkamah Konstitusi memandang bahwa agama melegitimasi suatu perkawinan, namun putusan Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa pertimbangan Mahkamah Konsitusi dalam batas tertentu didasarkan pada tafsir dan pandangan tertentu, dalam hal ini berdasarkan pada agama mayoritas. Bagaimana dengan pemeluk agama lain yang memiliki tafsir atau kepercayaan yang berbeda? Sayangnya, putusan akhir MK telah dijadikan landasan hukum yang mengikat semua.
Hadirnya UU Administrasi Kependudukan No. 23/2006 merupakan peluang sekaligus tantangan. UU ini memberikan harapan baru bagi mereka yang akan mendaftarkan PBA di Kantor Catatan Sipil. Pasal 35 UU 23/2006 menegaskan bahwa Kantor Catatan Sipil mencatat perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan. Pada bagian penjelasan pasal 35 dinyatakan bahwa yang dimaksud perkawinan yang disahkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berebeda agama. Prinsipnya, UU ini memberikan jalan keluar bagi pasangan beda agama untuk memenuhi kerinduannya, meski tanpa prosedur agama masing-masing, yaitu melalui penetapan Pengadilan. UU ini memberi peluang khususnya bagi mereka yang akan mencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil (bagi umat non Muslim), dan sudah pasti tidak bagi yang hendak mencatatkan perkawinan di Kantor Urusan Agama (untuk umat Muslim). Cholil berpendapat UU ini tetap tidak memberikan jaminan kebebasan bagi umat Muslim (Cholil, 2013:134). Menurut hemat saya, UU ini memang memberikan peluang besar pada jaminan legalitas PBA di Indonesia, bahkan tanpa proses Gerejawi. Namun pertanyaannya, apakah perkawinan tanpa proses pemberkatan perkawinan akan memenuhi rasa kebahagiaan religius bagi pihak Kristen? Pada akhirnya, peluang ini tetap terkembali pada sikap Gereja terhadap PBA, apakah Gereja akan menerima PBA atau menolak? Hal inilah yang menjadi tantangan bagi gereja-gereja di Indonesia untuk mengkaji dan merumuskannya secara teologis guna menemukan cara yang relevan terhadap PBA di tengah konteks masyarakat majemuk.
UU Perkawinan No. 1/1974 menegaskan bahwa perkawinan adalah sah jika telah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan para pihak yang bersangkutan. Artinya Gereja di Indonesia sebagai lembaga keagamaan ditempatkan pada posisi yang menentukan keabsahan perkawinan. Ini bukanlah pilihan Gereja, tapi suka tidak suka, Gereja terbawa oleh sikap tertentu yang menganggap bahwa keabsahan nikah ada dalam agamanya masing-masing. Masalah lain muncul karena setiap gereja memiliki tradisi pengajaran yang berbeda tentang hal ini. Investigasi menunjukkan bahwa ada pro dan kontra di setiap argumen. Gereja-gereja di Indonesia memiliki pandangan berbeda tentang PBA. Meski PGI dan KWI terbuka terhadap PBA, namun keduanya tidak memiliki landasan teologis yang sama. Keduanya memiliki pemahaman yang berbeda tentang perkawinan. KWI memandang perkawinan sebagai sakramen, sementara gereja-gereja Protestan di Indonesia umumnya menganggap perkawinan berada pada area sipil. Namun dalam praktiknya, terdapat pro dan kontra terkait PBA di antara gereja-gereja Protestan di Indonesia. Karena perkawinan beda agama menjadi isu hangat dalam hubungan agama di Indonesia, terkait dengan isu Kristenisasi dan Islamisasi, maka diperlukan dialog yang lebih mendalam untuk menemukan sikap bersama dalam merespon PBA dalam konteks pluralisme agama di Indonesia.
Pada tahun 2015 PGI menerbitkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2013. Penelitian dilakukan dalam rangka melihat perubahan siginfikan gereja-gereja anggota PGI (88 Sinode anggota) setelah 15 tahun era reformasi. Salah satu poin penelitiannya adalah tentang hubungan dan kerjasama dengan agama dan kepercayaan lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wacana teologis dialog antaragama dan pluralisme sudah sangat kuat di antara gereja-gereja di Indonesia. Laporan dari peneliti tentang penerimaan agama dan kepercayaan lain sangat positif. Artinya, agama dan kepercayaan lain tidak lagi dipandang sebagai musuh, pesaing atau bahkan ancaman, tetapi dipandang sebagai mitra dalam menghadapi masalah kemasyarakatan. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal wacana lintas agama, kerja sama lintas agama, dan dialog antaragama, dilakukan oleh gereja local sebesar 91%, dilakukan oleh Klasis sebesar 64%, dan 86% dilakukan oleh Sinode. Dalam hal PBA, dilaporkan 75% Sinode anggota PGI menerima PBA, namun ditambahkan hanya untuk perkawinan dengan anggota Gereja Katoik, dan bukan dengan agama non-Kristen (Islam, Budha, dsb). Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa dalam hal wacana lintas iman dan kerja sama lintas iman gereja-gereja di Indonesia dapat dilihat sikap yang terbuka, namun dalam bentuk paling konkret hidup bersama dalam keragaman agama yaitu PBA, masih ada keraguan. Hal ini menunjukkan adanya gap antara wacana teologis di satu sisi dan sikap konkret gereja-gereja Indonesia dalam konteks plural di sisi lain. Dalam praktiknya, gereja tidak dapat menerima gagasan bahwa saudara mereka yang beragama lain dapat menerima berkat atas pernikahannya, meskipun gereja mengklaim sangat terbuka dalam wacana teologis tentang dialog antaragama. Oleh karena itu, keberatan memberkati PBA terkait erat dengan pertanyaan dapat tidaknya restu diberikan kepada mereka yang berbeda agama. Juga dipahami oleh gereja-gereja Protestan di Indonesia bahwa gereja tidak mengesahkan pernikahan. Ini adalah bagian dari warisan tradisi tentang pemahaman perkawinan. 
CEPOGO, 2015 (T)

Perkawinan Beda Agama (PBA) Dalam Tradisi Gereja, Serial Sudut Pandang

Perkawinan Beda Agama (PBA) Dalam Tradisi Gereja, Serial Sudut Pandang 

Penelusuran tentang sikap gereja terhadap PBA mengharuskan kita melihat perkembangan pengajaran gereja tentang perkawinan. Berabad-abad lamanya kedudukan perkawinan dalam tatanan hidup Gereja telah menjadi pergumuluan teologis. Sejarah Gereja menunjukkan bahwa ada perbedaan pandangan dalam memahami perkawinan, namun ada pula titik temu diantara perbedaan yang ada. John Witte menolong kita mendapatkan gambaran pergumulan teologis ini (Witte, 1997).

Tradisi Katolik Roma
Pada periode yang sangat awal, perkawinan dilihat sebagai urusan keluarga, bahkan para pejabat Gereja tidak memiliki peran apapun hanya sebagai tamu saja. Perkawinan diberkati oleh pejabat gereja namun berkat itu sendiri bukan sesuatu yang esensial dalam perkawinan, dan tentu saja tidak ada seremoni gerejawi untuk perkawinan. Upacara perkawinan pun terselenggara di luar gereja. Namun di abad 11 kondisi seperti itu mulai berubah. Paus Evaristus dan Calixtus mulai meminta semua perkawinan diberkati oleh pastor. Lambat laun menjadi tradisi bahwa upacara perkawinan harus mendapat berkat dari pastor sehingga upacara perkawinan berlangsung di dalam gedung gereja. Di abad 12  upacara perkawinan seluruhnya telah dilayankan oleh pejabat gerejawi sehingga perkawinan  menjadi ritus gerejawi. Namun demikian, sampai akhir abad 11 belum ada teologi sitematis perkawinan resmi, meskipun telah ada tulisan-tulisan tentang perkawinan misalnya tulisan Chrisostomus dan Augustinus. Chrysostomus memandang bahwa perkawinan diciptakan oleh Allah (natural perspective), bahwa kesatuan suami dan isteri dikuduskan di dalam dan oleh Kristus (spiritual perspective), bahwa perkawinan adalah sebuah kesepakatan hidup bersama sebagai persekutuan hidup (contractual perspective), dan bahwa perkawinan adalah dasar pembentukan keluarga dan negara, cinta kasih suami – isteri koheren dengan harmoni masyarakat (social perspective) (Witte, 1997:20-21). Augustinus juga menguraikan perkawinan dalam beberapa perspektif. Dalam perspektif spiritual Augustinus menegaskan bahwa ikatan perkawinan adalah ikatan sakramental, ikatan yang tak terpisahkan, sebab ikatan perkawinan menjadi simbol ikatan kekal Kristus dan gerejaNya. Dalam hal ini, Augustinus tidak menyebut adanya ‘sakramen perkawinan’, namun perkawinan sakramental. Perkawinan yang bermakna sakramental tersebut berwatak ikatan kekal, tidak terpisahkan, pun tidak dimungkinkan menikah kembali. 
Pada periode Paus Gregorius VII dan penerusnya ketika gereja Katolik Roma menjadi kekuatan politik serta dipandang sebagai era modern yang ditandai dengan pembangunan beberapa universitas dengan ilmu teologi sebagai inti. Pada abad 12 doktrin gereja tentang perkawinan mulai disistematisir, demikian pula dengan hukum kanonik perkawinan. Di 1140, Francis Gratian menerbitkan koleksi hukum kanonik perkawinan “Decretum”. Di sinilah pemahaman teologis baru tentang perkawinan menggunakan terma ‘sakramen’. Sama seperti enam sakramen yang lain, perkawinan dihayati sebagai tanda yang nampak dari kesatuan Kristus dan gerejaNya yang tidak nampak.  Dengan pemahaman sebagai sakramen maka perkawinan menjadi yurisdiksi gerejawi. 
Namun demikian perdebatan tentang perkawinan sebagai sakramen muncul di era ini. Pertanyaan  besar muncul, bagaimana perkawinan bisa menjadi sakramen yang menyatakan hadirnya anugerah? Decretum menegaskan bahwa anugerah itu dinyatakan melalui hubungan seksual (sexual intercourse) suami – isteri sebab janji perkawinan terpenuhi melalui hubungan seksual pasangan yang menikah. Pandangan Gratian ditentang oleh Petrus Lombardus, dengan mengajukan pertanyaan sederhana, bagaimana dengan Yusuf dan Maria di dalam Alkitab, yang hamil tanpa hubungan seksual?  Lombardus mengakui perkawinan adalah sebuah ikatan kudus, karena menadi kesatuan Kristus dan gerejaNya, namun tidak mengakuinya sebagai sakramen. Perdebatan berlanjut, namun hingga akhir abad 13, idea perkawinan sebagai sakramen pada umumnya diterima, dengan pemahaman bahwa anugerah itu mewujud saat kedua pribadi itu saling menyatakan janji perkawinan di dalam Kristus. Perkawinan adalah sebuah sakramen, sebuah saluran anugerah Allah, tatkala perkawinan berlangsung sebagai seharusnya dengan mewujudkan kekudusan pasangan, anak-anak, dan kekudusan gereja. Sudah bisa ditangkap di sini bahwa PBA ditolak. Selanjutnya Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae memasukan perkawinan dalam daftar tujuh Sakramen Gereja Katolik Roma. Konsili Trente (1545-1563) meneguhkan perkawinan sebagai sakramen, dan dokumen ini menjadi dasar teologis dan prosedur hukum kanonik dalam tradisi Gereja Katolik Roma hingga hukum kanonik ini direvisi di tahun 1917 dan 1983. 
Konsili Vatican II tetap menegaskan perkawinan sebagai sakramen dan berada dalam yurisdiksi gerejawi. Di Gaudium et Spes paragraph 48, dirumuskan demikian:
Persekutuan hidup dan kasih suami-isteri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat di tarik kembali. Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan isteri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi. Ikatan suci demi kesejahteraan suami-isteri dan anak maupun masyarakat itu, tidak tergantung dari manusiawi semata-mata. Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup berbagai nilai dan tujuan.
Tekanan penting pada pengajaran ini adalah persekutuan hidup yang mesra/intim – intimate partnership. ‘Dibangun oleh janji pernikahan’, dokumen ini menggunakan istilah perjanjian (covenant), sebuah terma yang juga dipakai oleh Calvin. Pemahaman istilah ‘perjanjian’ bersanding dengan terma ‘sakramen’ menjadikan pemahaman perkawinan yang komprehensif. Pemilihan terma ‘perjanjian’ daripada kontrak merupakan perdebatan yang pada akhirnya bapa-bapa konsili memilih kata ‘perjanjian’ daripada ‘kontrak’, meskipun dalam kanon kata ‘kontrak’ sering dipakai (lih. A. Tjatur Raharso, 2014). 
Perihal PBA, hukum kanonik 1125 menyatakan bahwa perkawinan seperti ini diperbolehkan sebagai perkawinan dengan dispensasi. Uskup dapat memberikan dispensasi kepada umat yang akan menikah dengan seorang non-Katolik, dengan syarat: (1) Pihak Katolik berjanji bahwa dia akan bersiap diri untuk menghindari semua bahaya yang dapat membahayakan iman serta berjanji hendak mendidik dan membaptiskan anak-anak mereka secara Katolik. (2) Pihak non-Katolik memahami dan menerima janji pihak Katolik tersebut. (3) Kedua pihak memahami dan menerima tujuan dan esensi perkawinan menurut doktrin Katolik yaitu monogami dan tak terpisahkan. 

Tradisi Luther
Gerakan reformasi gereja diwarnai spirit anti Katolisisme. Hal ini dilakukan oleh Martin Luther dengan membakar buku hukum kanonik dan buku konfesi. Menurut Witte, ada dua hal penting untuk diperhatikan (Witte, 1997:43-44): (1) para reformator mengganti model sakramen perkawinan dengan model baru dengan dimensi yang berbeda. (2) Meskipun mereka anti Katolisisme dan anti kanon namun mereka tetap dipengaruhi oleh hukum kanonik yang sudah berlaku efektif di Eropa. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pemahaman mereka tentang perkawinan menjadi berseberangan dengan apa yang sudah berlaku. Hal ini nampak jelas sebagai berikut;
Berdasarkan teori dua kerajaan (earthly and heavenly kingdom), Luther memunculkan model sosial perkawinan. Luther berpendapat bahwa pertanggungjawaban hukum atas perkawinan ada di tangan negara dan komunitas lokal. Bagi Luther, perkawinan adalah bagian dari kerajaan duniawi (earthly kingdom), urusan duniawi (a worldy matter), urusan otoritas sipil. Dalam bahasa Luther, “subject to secular government, a secular and outward thing”. Menempatkan perkawinan pada yurisdiksi gereja dianggap sebagai mengambil alih otoritas sipil.
Dengan menempatkan perkawinan sebagai wilayah hukum sipil maka menurut Luther perkawinan bukan sakramen sebab tidak berisi janji anugerah keselamatan. Perkawinan tidak akan bisa disejajarkan dengan baptis dan ekaristi. Luther memandang perkawinan sebagai ikatan kudus yang ditetapkan oleh Allah dalam tata ciptaan, namun bukan sakramen. 

Oleh karena penegasan tentang model sosial perkawinan maka Luther mengkritisi halangan perkawinan yang diatur oleh hukum kanonik yaitu perihal PBA, tentang kriminal, perceraian dan pernikahan kembali. Terkait PBA, Luther menegaskan bahwa perkawinan adalah berkat bagi semua orang, Kristen maupun non Kristen. Luther menolak halangan perkawinan oleh karena pasangan tidak dibaptis. Jadi PBA diperbolehkan. Perihal kriminal, Luther menegaskan bahwa kriminal harus dihakimi dengan hukuman tetapi bukan dengan larangan untuk menikah. Perihal perceraian, para reformator mencabut hal itu sebagai penghalang untuk menikah kembali. Bahkan para reformator menegaskan bahwa perceraian harusnya diperbolehkan sebab Alkitab juga memperbolehkannya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa perkawinan yang tak terpisahkan sudah seharusnya dilindungi oleh gereja, namun keberadaan manusia dengan segala kelemahannya acapkali tidak bisa memenuhi hukum moral.   

Tradisi Calvin
Menurut Witte, Calvin lebih banyak membangun hukum perkawinan daripada teologi perkawinan (Witte, 1997:75). Pemikiran Luther tentang pekawinan berpengaruh pada Calvin. Seperti halnya Luther, pemikiran Calvin tentang perkawinan didasarkan pada pemikiran dua aspek pemerintahan; spiritual (spiritual kingdom) dan politis (temporal kingdom). Perkawinan ditempatkanya sebagai bagian dari wilayah temporal kingdom, oleh karenanya perkawinan bukan sakramen. Perkawinan dipahami sebagai sebagai ketentuan kudus dari Allah, namun perkawinan bukan sakramen dan oleh karenanya berada diluar jurisdiksi gerejawi. Perkawinan adalah urusan jurisdiksi sipil. Hal ini ditegaskan Calvin dalam Ecclesiastical Ordinances 1541, bahwa pendeta/pelayan tidak memiliki otoritas sipil, dan oleh karenanya kasus-kasus persoalan perkawinan bukan persoalan spiritual namun ada di ranah sipil dan pemerintahan. Ada dua system moralitas perkawinan yaitu gereja yang bertanggungjawab atas pengajaran norma spiritual bagi kehidupan perkawinan dan keluarga, sedangkan negara bertanggungjawab pada penegakan norma sipil. 
Selanjutnya Calvin mengembangkan pemikirannya tentang teologi perkawinan yang didasarkan pada teori dua kerajaan, dengan didasarkan pada doktrin perjanjian (covenant). Sedemikian Allah memanggil umat untuk memiliki kesetiaan pada perjanjian keselamatan dengan Allah, demikianlah Calvin menegaskan bahwa Allah memanggil suami dan isteri masuk dalam hubungan perjanjian satu dengan yang lain dengan penuh kesetiaan. Semua pihak yang terlibat dalam perkawinan; pasangan, orang tua, sakis, pendeta, dan pemerintah, adalah agen Allah yang menjadikan perkawinan itu sah (legitimate).  Mengesampingkan setiap bagian itu berarti mengesampingkan Allah dari perkawinan perjanjian (covenant marriage). Dengan perkawinan perjanjian, Calvin merumuskan tiga tujuan perkawinan: (1) saling mengasihi dan saling support antara suami dan isteri, (2) prokreasi dan pengasuhan anak-anak, (3) saling proteksi antara suami dan isteri dari dosa seksual. 
Berangkat dari tiga tujuan perkawinan tersebut Calvin menolak PBA. Calvin mengatakan bahwa kesatuan seperti itu akan membahayakan sebab pihak non-Kristen tidak dapat memahami makna kasih sejati yang terpancar dalam Kristus, mereka tidak memahami bagaimana mengasuh anak di dalam Tuhan. Witte memeriksa sikap Calvin ini dan menyimpulkan bahwa Calvin masih bisa toleran terhadap perbedaan denominasi (Protestan) namun menolak perkawinan dengan Katolik, Yahudi, dan Islam. Dalam tafirannya terhadap 1 Korintus 7 : 12-16, Calvin mengatakan bahwa mereka yang berniat menikah dengan non-Kristen harus sekuat tenaga dihalangi, meskipun memang tidak ada cara untuk mencegah perkawinan semacam itu terjadi. Dan mereka yang sudah menjalani PBA harus berupaya untuk tetap bersama kecuali pihak non-Kristen menghendaki cerai. (Witte dan Kingdon, 2005:354-365). 
Dari pemeriksaan seputar perkawinan dalam tradisi Gereja, maka kita menemukan ada isu-isu utama yaitu persoalan sakramentalitas perkawinan, isu jurisdiksi perkawinan, relasi gereja dan negara, serta isu PBA.  Kita dapat melihat bahwa pemikiran-pemikiran di masa lalu masih nampak eksis dalam sikap gereja di Indonesia kini terhadap PBA
Cepogo, 2015 (T)

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT

SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...