Perspektif Biblika Pernikahan Beda Agama (PBA), Serial Sudut Pandang
Tidak diragukan bahwa pertimbangan paling besar dalam menentukan sikap terhadap PBA adalah pemahaman teologis yang didasarkan pada interpretasi terhadap teks alkitab. Teks-teks alkitab, baik secara eksplisit maupun implisit yang berkaitan dengan PBA, menjadi rujukan utama. Namun demikian, tidak ada pandangan tunggal tentang PBA di alkitab sebab alkitab sendiri memuat sikap yang pro dan kontra.
PBA di Perjanjian Lama
PBA terjadi di antara umat Israel selama periode Perjanjian Lama. Tidak terlalu sulit untuk menyebutkan contoh adanya PBA di PL. Namun, hal itu tidak berarti bahwa PBA selalu diterima secara positif. Teks-teks alkitab yang secara langsung melarang PBA ada di dalam Perjanjian Lama, yang dapat ditemukan dalam Keluaran 34: 11-16, Ulangan 7: 3-4, dan Ezra 9-10.
Keluaran 34 : 11 - 16 & Ulangan 7 : 3 - 4
Houtman mengatakan bahwa larangan PBA dalam teks Keluaran adalah sebuah upaya pencegahan. PBA dipahami sebagai ancaman yang dapat merusak perjanjian umat dengan Yahweh (Houtman, 2000:723-724), sedangkan Meyers yang mengatakan bahwa teks ini lebih sebagai sebuah peringatan daripada sebuah larangan. PBA dipahami sebagai sebuah jalan yang memungkinkan Israel memiliki persekutuan dengan kehidupan agamawi yang mengancam kesetiaan kepada Yahweh, terlebih kedudukan perempuan kafir yang akan mengurus rumah tangga. Menurut saya, karakter ayat ini tidak dapat dipahami sebagai sebuah aturan hukum, sebab larangan ini tidak diikuti dengan sebuah sanksi. Sanksi baru dapat ditemukan dalam pengulangan larangan ini dalam kitab Ulangan, khususnya dalam Ulangan 7.
Sebagaimana di Keluaran, larangan PBA di Ulangan 7: 1 – 11 disajikan dalam kaitannya dengan peringatan untuk menjaga perjanjian dan kesetiaan kepada Yahweh. PBA dilarang oleh karena diasumsikan akan mendorong umat bergabung dengan ritual keagaman lain. Menariknya, Ulangan 21:10-14 pada akhirnya umat diijinkan menikahi perempuan Kanaan dengan terlebih dahulu memenuhi persyaratan. Poin pentingnya adalah pelarangan merupakan upaya pencegahan. Perjanjian dengan Tuhan, pemeliharaan kesetiaan di hadapan Tuhan, perjuangan untuk identitas mereka sebagai umat pilihan Tuhan, dan kebutuhan untuk menjauhkan diri dari kemurtadan atau kesempatan untuk menyembah dewa-dewa lain adalah beberapa poin pencegahan di seputar larangan PBA.
Ezra 9 – 10
Salah satu teks yang ekstrem dan melahirkan aksi tragis terkait PBA adalah Ezra 9 – 10. Kitab Ezra memuat kisah kepulangan umat dari pembuangan dan upaya rekonstruksi bait suci dan benteng Yerusalem. Di Ezra 9, Ezra berduka cita dan berdoa sebagai tanggapan atas berita bahwa orang Israel telah kawin campur dengan wanita dari penduduk negeri itu. Patut diperhatikan bahwa banyak para imam dan orang awam menikahi istri asing. Ezra 10:18 - 44 memiliki daftarnya. Ezra akhirnya segera bertindak. Tindakan yang diambil tampaknya agak ekstrim: masyarakat diminta untuk memisahkan diri dari perempuan asing dan perempuan asing serta anak-anak diusir (Ezra 10: 3).
Aksi tragis ini memicu munculnya beberapa pertanyaan: mengapa pernikahan campuran menjadi isu yang signifikan hingga sejauh ini? Mengapa perceraian dan pengusiran ini harus dilihat sebagai solusi terbaik untuk menangani perkawinan campuran? Apa ide di balik tindakan ini?
Secara umum, pada saat kepulangan dari pembuangan, Ezra memulihkan kehidupan kesetiaan kepada Tuhan. Ezra mencoba menyelamatkan bangsa kudus itu. Oleh karena itu, penentangannya terhadap perkawinan campuran terjadi dalam situasi tertentu di mana komunitas Israel terancam bahaya sebagai bangsa suci. Reaksi Nehemia berbeda dengan Ezra. Penanganan Ezra terhadap masalah ini jauh lebih drastis daripada penanganan Nehemia. Langkah Nehemia tidak sejauh Ezra yang menuntut cerai (lihat Ezra 10). Williamson mengatakan ini upaya Ezra tidak akan dapat terwujud tanpa mempertahankan identitas diri yang khas dan menganggap PBA sebagai ancaman. Namun, Williamson menyarankan bahwa tidak perlu menerima ini tanpa kritik. Dalam pandangan Williamson, bab-bab ini bersifat deskriptif. Itu tidak secara otomatis menjadikannya preskriptif untuk iman Kristen (Williamson, 1985:161). Pertanyan lain muncul, mengapa Ezra menganggap peremuan asing menjadi ancaman? Mengapa perempuannya yang diusir? Agaknya ada penfasiran Ezra terhadap Ulangan 7:3 -4. Dari Ul. 7: 4, Ezra menganggap bahwa wanita asing, bukan pria asing, yang mengancam kesetiaan Israel di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, bagi Ezra, masalah utamanya adalah kehadiran wanita asing di dalam bangsa Israel. Dengan demikian, tindakan pengusiran perempuan asing dan anak-anak mereka merupakan hasil interpretasi Ulangan 7: 4. Padahal Ulangan 29: 9-14 berbicara tentang 'melanggar' perjanjian yang tidak hanya melibatkan wanita dan anak-anak, tetapi juga pria Israel di mana kutukan diberlakukan untuk semua. Sulit untuk membayangkan bagaimana YHWHisme dapat terancam oleh sekitar 100 wanita di antara populasi sekitar 20.000.
Menggunakan pendekatan antropologis, Janzen memahami bahwa tindakan perceraian dengan pengusiran sebagai tindakan pemurnian yang diritualkan. Ia menjelaskan bahwa untuk memahami tindakan yang dilakukan oleh suatu kelompok sosial, kita harus memperhatikan komposisi sosial, struktur, dan pandangan dunia kelompok tersebut. Janzen percaya bahwa dengan pertimbangan penuh atas struktur sosial komunitas, dengan penekanan pada batas-batas eksternal, integrasi sosial internalnya, dan pandangan dunianya, dapat dijelaskan mengapa kelompok sosial ini mengambil tindakan ini dan bukan yang lain. Janzen mendefinisikan komunitas Bait Suci abad kelima sebagai komunitas dengan ‘integrasi internal (internal integration) yang lemah dan batas-batas eksternal (external bounderies) yang kuat.’ 'Integrasi internal yang lemah' berarti kepatuhan anggota terhadap norma-norma sosial, moralitas, dan pandangan dunia yang dianggap longgar; sedang 'batas luar yang kuat' berarti masyarakat cenderung memagari pengaruh asing dari masyarakat. Oleh karena itu, Janzen sampai pada pernyataan bahwa perceraian dan pengusiran perempuan asing adalah semacam 'perburuan penyihir' (witch hunt). Menurutnya, 'perburuan penyihir' terjadi dalam masyarakat dengan batas eksternal yang kuat. Masyarakat semacam ini takut pada orang asing, yang dicirikan Janzen sebagai perilaku anti-sosial. Oleh karena itu, Janzen memandang ritus pemurnian sebagai pemaksaan masyarakat untuk menolak asing atas nama tatanan sosial pribumi. Dengan menggunakan pendekatan antropologis sosial ini, Janzen menegaskan bahwa dasar untuk memahami gagasan di balik aksi tragis dapat ditemukan di dalam teks itu sendiri (Janzen, 2002:22,43).
Katherine Southwood, juga menggunakan pendekatan antropologis terhadap Ezra 9-10. Southwood memberikan analisis kritis tentang perkawinan silang melalui kacamata etnisitas. Dia menyebutkan ada sejumlah masalah yang mengitari masalah sentral perkawinan di Ezra 9-10, seperti misalnya: etnisitas, identitas agama, kemurnian, tanah, kekerabatan, dan migrasi. Southwood menggunakan dimensi migrasi, asimilasi, dan etnisitas sebagai faktor penting untuk analisis kritis pernikahan campuran di Ezra. Dia menjelaskan bahwa masyarakat Israel menghadapi masalah identitas di era pra-pembuangan, pembuangan, dan pasca-pembuangan, serta terkait migrasi (migration) dan migrasi kembali (returning migration). Ezra 9 - 10 berbicara tentang kepulangan dari pembuangan, maka akan sangat membantu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang etnisitas dan migrasi kembali. Southwood menunjukkan bahwa perkawinan campuran merupakan hal yang sangat penting untuk mengukur jarak sosial antara komunitas migran dengan umat yang masih menetap di tanah air dan tingkat asimilasi. Dia mengatakan bahwa para migran (individu atau kelompok) didorong ke dalam konfrontasi baru dengan diri mereka sendiri yang muncul menjadi ekspresi baru dari eksklusivitas dan keterpisahan dengan budaya asal. Akibatnya, budaya migran seringkali tetap lebih tradisional daripada budaya asalnya. Hubungan antara berbagai generasi migran juga harus diperhatikan. Migran generasi pertama, kedua, atau ketiga berbeda dalam hal identitas etnis dan kesediaan mereka untuk berasimilasi. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan berkenaan dengan pertanyaan tentang bagaimana para imigran berhasil berasimilasi dengan umat yang menetap di daerah asal mereka. Asimilasi dikondisikan oleh sejauh mana kelompok asli dari masyarakat penerima bersedia mengizinkan para migran untuk mengidentifikasi diri dengan mereka.
Migrasi kepulangan adalah masalah lain untuk dipertimbangkan, seperti kembalinya Israel dari pembuangan. Proses ini berkaitan dengan istilah-istilah seperti reintegrasi, rehabilitasi, rekonstruksi, akulturasi ulang, pembangunan kembali, pemulihan, pembentukan kembali, dll. Ide tentang tanah air juga akan berperan. Rumah juga menjadi sarana penegasan identitas. Meski demikian, gagasan tanah air untuk para migran yang kembali juga membawa gejolak budaya karena mereka mengalami perubahan dan transformasi di luar rumah, sedangkan rekan senegara di rumah melakukan hal-hal serupa. Akibatnya, mereka yang kembali sering menemukan bahwa tempat kembali tidak memiliki kemiripan dengan tanah air imajiner pra-perpindahan yang dibangun selama pembuangan. Dapat dikatakan bahwa kepulangan mungkin lebih traumatis daripada pengalaman pembuangan itu sendiri. Rasa keterasingan dialami bahkan jika kembali dengan damai. Ada kontradiksi antara tanah air yang dibayangkan dan realitas kepulangan. Migrasi kembali dicirikan oleh sejumlah besar ambivalensi dan hibriditas. Southwood menegaskan bahwa masalah etnis memiliki tempat dalam krisis pernikahan campuran Ezra. Oleh karena itu, sementara Janzen menggunakan istilah 'tindakan pemurnian ritual' untuk merujuk pada tindakan perceraian dan pengusiran, Southwood menggunakan istilah 'etnisitas yang diritualkan' (Southwood, 2012:41-46).
Janzen dan Southwood telah memberikan wawasan lebih luas yang membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait aksi tragis tersebut. Memang, ini adalah tindakan tragis dalam sejarah pasca-pmbuangan Israel. Israel harus menghadapi pergulatan sosial yang besar mengenai identitasnya dalam konteks tertentu. Itulah cara komunitas Israel memecahkan masalah sosial yang pelik dan rumit dalam konteks komunitas pasca-pembuangan. Sayangnya, seperti yang ditegaskan Janzen, solusinya adalah anti-sosial dan tidak bermoral. Dengan pemahaman yang demikian, maka menolak PBA dengan menggunakan teks Ezra tidaklah tepat.
PBA di Perjanjian Baru
Jika kita telusuri keseluruhan Perjanjian Baru maka kita tidak menemukan referensi tentang apa yang Yesus katakan tentang PBA. Teks-teks Perjanjian Baru yang secara eksplisit berbicara tentang PBA dapat ditemukan dalam surat-surat Paulus kepada jemaat di Korintus, yaitu 1 Korintus 7: 12-16 dan 2 Korintus 6: 14-7: 1, yang biasa digunakan sebagai argumen dasar untuk besikap terhadap PBA.
1 Korintus 7 : 12 – 16
Para ahli umumnya sependapat bahwa surat Korintus adalah tanggapan Paulus terhadap sejumlah isu yang telah menimbulkan kontroversi di antara warga jemaat Korintus. Konteks 1 Korintus 7 jelas bukan tentang perkawinan namun lebih tentang seksualitas dalam hidup Kristiani. Sebagaimana kita ketahui bahwa tarikan tegang antara asketisme dan libertinisme perihal seksualitas terjadi di Korintus. Merespon hal tersebut Paulus menegaskan bahwa perkawinan bukan sebuah tindakan dosa – merespon asketisme, dan moralitas seksual adalah sebuah keharusan agar dapat melayani Allah dengan seluruh tubuh – merespon libertinisme. Paulus menegaskan, “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Tuhan dengan tubuhmu.” (6:20) – menolak imoralitas seksual. Di 1 Korintus 7:2–7 Paulus menjelaskan bahwa perkawinan bukan sekedar proteksi menghadapi immoralitas seksual, oleh karena trend prostitusi di Korintus, melainkan lebih dalam bahwa hubungan intim (intercourse) adalah diwajibkan bagi setiap pasangan. Nampaknya Paulus masih harus merespon asketisme yang menganggap aktifitas seksual harus dihindari, oleh suami – isteri sekalipun, demi perwujudan hidup baru Kristen. Dari point ini Paulus bergeser ke isu tentang perceraian.
Tentang PBA, Paulus memberikan pendapat bahwa bagi orang Kristen yang kawin dengan non Kristen maka pihak Kristen tidak diperbolehkan berinsiatif untuk bercerai. Tatkala pasangan non Kristen bertekad untuk tetap hidup bersama maka cerai dilarang. Agaknya dalam kasus ini, PBA terjadi bukan sejak awal perkawinan namun PBA terbentuk setelah salah satu pihak yang semula non Kristen lalu menjadi Kristen. Dalam hal yang demikian Paulus mengingatkan dengan tegas bahwa pasangan Kristen tidak seharusnya berinisiatif untuk cerai. Tidak ada alasan cerai hanya oleh karena beda keyakinan. Sebaliknya, Paulus mendorong agar semua pihak berjuang untuk mengelola PBA dengan baik,”Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera” (lih.ayat 15). Sampai di sini pendapat Paulus jelas, namun apakah pernyataan ini memberi petunjuk yang jelas apakah Paulus menerima atau menolak PBA? Nyatanya, tidak ada pernyataan eksplisit dari Paulus menerima atau menolak PBA. Ayat lain yang seringkali dianggap sebagai petunjuk sikap Paulus terhadap PBA adalah ayat 39, ketika Paulus berbicara tentang seseorang yang ingin menikah setelah pasangannya meninggal. Di akhir nasehatnya Paulus mengatakan bahwa mereka yang akan kawin lagi dengan seseorang diperbolehkan ‘asal orang itu adalah seorang yang percaya”. Umumnya para penfasir berpendapat bahwa ayat 39 adalah sebuah nasehat dan tidak bisa dipandang sebagai prosedur legal.
Terkait dengan PBA di 1 Korintus 7, Fee menjelaskan bahwa bagi Paulus PBA secara mendasar adalah perkawinan Kristen (Fee, 2014:329-330). Meskipun bukan perkawinan ideal namun PBA adalah real, serta seharusnya dikelola dengan baik. Keener (Keener, 2005: 64-65) dan Maron (Maron, 2004:149-150) )berpendapat bahwa PBA adalah perkawinan berkomitmen (commited marriage). Jadi Paulus memang tidak pernah berbicara tentang menerima atau menolak PBA. Paulus lebih tertarik untuk melihat PBA sebagai realita yang ada di dalam jemaat dan harus dikelola dengan cara yang bertanggungjawab. Lalu bagaimana kita memahami 1 Kor. 7:14 bahwa yang tidak percaya dikuduskan oleh yang percaya? Setidaknya ada tiga asumsi terkait ayat ini, sebagaimana dikemukakan oleh Murphy O’Connor, pertama, ada asumsi bahwa ayat ini terkait dengan kekuatiran akan bahaya isu kenajisan. Namun asumsi ini terlalu spesifik oleh karena tidak nampak ada kekuatiran itu dalam teks. Kedua, kenyataan bahwa Paulus menggunakan istilah ‘cemar’. Ada yang mengasumsikan bahwa Paulus menggunakan istilah ini secara ritual serta bermaksud mengajarkan kepada jemaat Korintus untuk berhati-hati terhadap hal itu. Namun, sekali lagi, tidak ada indikasi kuat kearah itu. Ketiga, kenyataan bahwa Paulus menggunakan istilah ‘menguduskan’ (hagiazo). Apa yang dimaksudkan oleh Paulus ‘dikuduskan’ dalam bagian ini? Predikat ‘kudus’ kepada pasangan non Kristen serta anak-anak dari pasangan beda bukan semata oleh karena relasinya dengan pasangan Kristen, namun oleh karena mereka itu berniat untuk hidup dalam sikap hidup Kristiani dalam hal perkawinan termasuk niat untuk tidak bercerai. Anak-anak juga akan berasimilasi dengan pola sikap orang tuanya. Jika mereka dibesarkan dalam cara (standard) hidup Kristiani maka pada akhirnya mereka akan bertumbuh dalam sikap hidup Kristiani. Dengan demikian Paulus tidak berbicara tentang ‘kudus’ dalam makna ritual namun makna etis. (Murphy O’Connor, 2009:43-57). Dengan asumsi ketiga ini, maka jelas bahwa Paulus lebih menyoroti persoalan etis dari pada persoalan PBA itu sendiri. Jadi Paulus memang tidak tertarik untuk berbicara apakah PBA itu boleh atau tidak. Paulus menempatkan PBA sebagai realita di tengah jemaat dan lebih penting lagi bagaimana kenyataan itu dikelola.
Bagian ini menantang banyak para penafsir dengan menggunakan beberapa pendekatan yang berbeda. Beberapa di antaranya boleh disebutkan misalnya dari perspektif pastoral oleh James D.G Dunn (Dunn, 1998:695-698). Ia melihat bahwa komunitas Korintus ada dalam proses pengembangan karakter Kristen. Masih ada ketegangan antara loyalitas baru kepada Kristus dan relasi di tengah masyarakat. Dalam situasi demikian Paulus tidak serta merta mendiktekan sebuah teologi perkawinan yang tidak cocok dengan situasi aktual. Paulus secara berhati-hati memberikan nasehat. Tetap menjaga relasi di dalam dan dengan Tuhan adalah prioritas, sedangkan relasi dengan pasangan yang tidak ingin menjadi Kristen dijaga tetap dalam niat hidup dalam damai. Prioritas pentingnya adalah berupaya keras menghindari perselisihan antar pasangan dan juga di tengah jemaat.
Selanjutnya ada penfasir yang memeriksa bagian ini dari perspektif sosial, antara lain duo Malina dan Pilch (Malina dan Pilch, 2006:20-21,85-87). Malina dan Pilch melihat keberadaan Paulus di Korintus sebagai agen dari yang mereka sebut ‘Jesus group’. Paulus adalah bagian dari generasi kedua ‘Jesus group’ yang tidak mengenal Yesus secara pribadi. Menurut Malina dan Pilch fokus utama generasi kedua ini bukan lagi pada kisah hidup Yesus namun pada apa yang Allah Israel kerjakan di dalam Yesus. Paulus mendorong anggota ‘Jesus group’ untuk tetap dalam status sosial masing-masing dimana Allah memanggil mereka, menikah atau tidak menikah, budak atau orang merdeka, namun masing-masing fokus pada tatanan sosial ‘Jesus group’. Dalam konteks ini, mereka yang menikah dengan orang non Kristen, jika mereka hidup dalam damai maka tidak ada alasan untuk bercerai, sebab pasangan non Kristen dan anak-anak mereka lekat (attached) pada ‘Jesus group’.
Daniel Ho mengatakan bahwa ayat 12 – 16 terjalin erat dengan ayat 25 – 40. Meskipun menyinggung banyak hal namun masih merupakan kesatuan. Ho menegaskan bahwa pada bagian ini justru memperkuat posisi bahwa Paulus menolak PBA. PBA bukan sebuah pilihan yang tepat sebab, menurut Ho, dengan memperhatikan ayat 32 – 35 bahwa perkawinan bertujuan untuk menolong orang percaya mencintai Allah tanpa hambatan. Di tengah masyarakat polytheistik ada kebutuhan untuk melindungi pasangan Kristen dari hambatan mereka bisa beribadah kepada Tuhan. Jadi, ambil kesempatan untuk menghindarikan diri dari bahaya tersebut sebelum masuk ke dalam PBA (Ho, 2015:185-188). Penafsiran Ho banyak dipakai untuk oleh umat Kristen di Indonesia untuk menolak PBA. Menurut saya, penafsiran Ho sekaligus menantang, apakah asumsi itu benar bahwa PBA akan membuat pasangan Kristen terhambat untuk bisa beribadah kepada Kristus? Menurut saya, keberatan PBA dengan penafsiran ini merupakan prasangka, sebab bukan tidak mungkin pasangan beda agama bisa mewujudkan semangat mengasihi, saling memahami dan menghormati sehingga pasangan Kristen tidak terhambat dalam beribadah kepada Kristus.
Pemeriksaan ini membantu kita menemukan beberapa point penting yaitu (1) PBA adalah realita dalam jemaat Korintus yang plural. Jemaat Korintus tertantang untuk mengelola PBA sesuai dengan pesan Kristiani tentang perkawinan, (2) Paulus memperingatkan umat Kristen yang hendak masuk dalam PBA, tidak ada alasan untuk bercerai hanya oleh karena beda keyakinan. PBA bukan kendala untuk bisa melayani pasangan dan melayani Tuhan secara bersamaan tanpa hambatan. (3) Melindungi pasangan Kristen dari hambatan untuk bisa berbakti kepada Kristus adalah sebuah tanggungjawab penting. Oleh karena itu demi kesetiaan kepada Tuhan maka seseorang harus mengambil setiap kesempatan untuk menghindarkan diri dari hambatan tersebut sebelum memasuki PBA.
2 Korintus 6 : 14 – 7:1
Teks ini juga sering menjadi rujukan dalam menyikapi PBA, khususnya sikap menolak PBA. Pertanyaan penting untuk dijawab adalah apa maskud Paulus bicara tentang ‘terang dan gelap? Apakah pada bagian ini Paulus berbicara tentang PBA? Salah satu perhatian banyak penafsir terhadap bagian ini adalah keraguan bahwa bagian ini adalah sungguh dari Paulus. Namun perihal apakah keterkaitan teks ini dengan PBA, tidak terlalu sulit memahami bahwa teks ini sama sekali tidak berbicara tentang PBA. Gorman menegaskan bahwa apapun penafsiran atas bagian ini tidak ada bukti baik secara isi dan konteks bahwa teks ini berbicara tentang isu PBA. Tidak terlalu sulit untuk memahami bahwa bagian ini terkait dengan lawan Paulus, khususnya yang akan disebut sebagai rasul palsu di pasal 10 – 13 (Gorman, 2004:310-311). Perhatian pada rasul palsu juga menjadi perhatian Scott dan Keener, yang mengatakan bahwa teks ini berbicara tentang upaya Paulus mempertahankan legitimasi kerasulannya, Paulus berhadapan dengan rivalnya. Murphy-O’Connor memiliki penafsiran yang berbeda, yang berpendapat bahwa Paulus sedang berbicara moralitas dan perilaku Kristen. Penafsiran Muphy-O’Connor menurut saya lebih jelas bahwa ‘terang dan gelap’ tidak menunjuk pada identitas Kristen dan non Kristen, melainkan menunjuk pada perbedaan kualitas moral dan perilaku daripada perbedaan agama. Paulus hendak mengatakan bahwa umat Kristen seharusnya memiliki relasi eklusif dengan Kristus sehingga mereka memiliki perilaku moral yang baik dan benar. “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya” tidak bisa dipahami sebagai larangan untuk berelasi antara Kristen dan non Kristen. Hal ini sama sekali tidak berhubungan dengan PBA. Paulus hendak menegaskan bahwa umat Kristus harus memiliki watak perilaku moral yang lebih tinggi dan lebih baik daripada mereka yang tidak di dalam Kristus. Dalam hal ini Paulus menolak kompromi integritas iman. Di konteks Indonesia, ayat ini sangat sering dikutip untuk menolak PBA dengan mengatakan bahwa orang Kristen tidak boleh berpasangan dengan non-Kristen, dua hal yang tidak bisa didamaikan karena berbeda agama. Di konteks Indonesia, bagi saya, dimana agama hanya menjadi status sosial dan identitas sipil, maka agama tidak pernah akan menentukan kualitas moral seseorang. Kita tidak pernah bisa mengatakan bahwa ‘terang’ selalu merujuk pada Kristen dengan perilaku moral yang baik, dan ‘gelap’ selalu merujuk pada non-Kristen yang tidak bermoral baik. Jelas bahwa bagian ini tidak pernah bisa dipakai menjadi dasar yang tepat bagi penolakan PBA.
Dari PL kita dapat temukan konslusi:
Tidak bisa diragukan bahwa PBA ada di dalam Alkitab khususnya di PL.
Di PL, ada perjuangan umat pilihan dalam menegaskan identitas mereka. Perjanjian dengan Allah, menjaga kesetiaan dengan Allah, perjuangan terkait identitas sebagai umat pilihan, menjauhkan diri dari kekafiran atau kemungkinan jatuh penyembahan ilah lain, mempertajam identitas terkait dengan relasi dengan orang-orang yang berbeda keyakinan – semua itu adalah poin-poin yang mengitari larangan PBA dalam sejarah Israel kuno.
PBA adalah persoalan krusial dalamkonteks perubahan sosial yang menantang umat Allah. Hal ini nampak dalam buku Ezra dan Nehemia. Sayangnya, solusi yang diambiil anti-sosial dan tidak adil.
Dari PB kita temukan konklusi:
PBA adalah realita yang tidak bisa dihindari dalam masyarakat plural.
Paulus tidak pernah memberikan pernyataan yang tegas ‘menerima’ atau ‘menolak’ PBA. Paulus lebih mengingatkan umat Kristen untuk mengimplementasikan nilai dan kebajikan perkawinan Kristen dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat plural. Ikatan PBA adalah juga perkawinan berkomitmen.
PBA tidak menjadi penghalang bagi pasangan Kristen untuk melayani sesama dan melayani Tuhan secara serentak tanpa hambatan. Meskipun demikian, memberikan proteksi terhadap pasangan Kristen dari hambatan dalam berbakti kepada Kristus adalah hal penting. Oleh karena itu, demi kesetiaan kepada Tuhan maka sebelum memasuki PBA ambil setiap kesempatan untuk menghindarkan diri dari ketidaksetiaan.
Istilah ‘terang’ dan ‘gelap’ sama sekali tidak menunjuk pada perbedaan agama, namun perihal perilaku moral. ‘Terang’ menunjuk pada perilaku moral yang baik, sedang ‘gelap’ menunjuk perilaku tidak bermoral, apapun agamanya.
Pemeriksaan terhadap bagian-bagian ini menunjukkan bahwa PBA adalah kenyataan di dalam jemaat masyarakat majemuk Korintus. Paulus tidak memberikan resep apa pun untuk memilih sikap terhadap 'persetujuan' atau 'ketidaksetujuan' terkait masalah ini; Ia lebih suka mengingatkan umat Kristiani untuk menerapkan keutamaan dan nilai pernikahan Kristiani dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat majemuk. Ikatan PBA adalah pernikahan yang berkomitmen. Paulus memperingatkan orang-orang Kristen yang melakukan perkawinan campuran bahwa untuk menikah atau tidak menikah harus menjadi keputusan yang bertanggung jawab, bahkan ketika itu menyangkut orang yang tidak percaya. Tidak ada alasan untuk bercerai. Bagi Paul, PBA bukanlah halangan yang menghalangi komitmen baik kepada pasangan maupun Tuhan sekaligus tanpa hambatan.
Cepogo, 2015 (T)