(25032025)(TUS)
Sabtu, 29 Maret 2025
SUDUT PANDANG LUKAS 15 : 1-3, 11b-32, ๐ ๐ฒ๐บ๐๐ฝ๐๐ ๐บ๐ฒ๐ป๐๐ฎ๐น ๐ฏ๐๐ฑ๐ฎ๐ธ, Serial Paska
Senin, 24 Maret 2025
SUDUT PANDANG Matius 21 : 1 – 11, MINGGU PALMARUM, SERIAL PASKA
Kebiasaan orang Yahudi menyambut raja adalah dengan mengelu-elukan memakai daun palem. Demikian pula yang terjadi saat Tuhan Yesus disambut oleh orang Israel. Mereka memperlakukan Yesus sebagai Raja Israel, karena mereka melihat Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian. Yesus penuh kuasa dan Dialah yang diharapkan membebaskan umat Israel dari penjajahan Romawi waktu itu sebagaimana dinantikan oleh mereka, yakni raja yang secara lahiriah berkuasa dengan kekuatan luar biasa. Sedangkan kata Hosanna berasal dari kata Ibrani : Hosyi’ah Na. Ungkapan itu terdiri dari 2 kata Yasha (menyelamatkan) dan Na (doa/permohonan). Dalam konteks ini bermakna Aku berdoa dan selamatkan aku saat ini Tuhan. Dalam makna utuh ungkapan Hosana Raja Damai bisa diartikan bahwa orang Israel memohon Yesus membawa keselamatan besar yang menyelamatkan mereka dari penindasan Romawi sang penjajah saat itu. Mereka yakin akan kuasa dan wibawa Yesus, sehingga mereka mengelu-elukan-Nya layaknya raja pembebas dengan melambai-lambaikan daun Palem. Dalam situasi dan pengharapan besar inilah suasana penyambutan Yesus terjadi Menariknya saat memasuki Yerusalem , Yesus tidak menggunakan kuda atau kereta kencana yang ditarik kuda, namun hanya menunggang keledai tanpa kereta. Keledai sebenarnya dipakai juga oleh pemimpin saat itu bahkan raja, namun digunakan dalam keadaan damai. Kehadiran Yesus adalah kehadiran yang membawa damai dan bukan seperti raja yang menaklukkan wilayah pada umumnya. Mari bersama-sama menghayati Minggu Palmarum ini sebagai kesempatan untuk mencintai lebih sungguh Tuhan Yesus yang merebut kembali kita dari keberdosaan ini. Sambutlah masa raya ini dengan ungkapan daun Palem yang adalah cinta sejati kita. Setiap lambaian itu sebuah komitmen untuk tetap setia dan menempatkan Tuhan Yesus hadir dalam hati kita. Karena Dialah sumber semangat, pengharapan, dan juga keselamatan kita yang tak akan tergantikan oleh apapun. Dialah Raja untuk hidup bahkan mati kita.
ILUSTRASI
Saat seorang artis terkenal datang mengunjungi suatu tempat, banyak hal yang harus dipersiapkan. Mulai penataan jalan oleh polisi lalu lintas, pengamanan dari siapa saja yang boleh bertemu, bahkan sekedar melihat dan apa saja yang diperlukan untuk kegiatan ini. Biasanya saat pawai datang, banyak sekali orang yang berduyun-duyun datang untuk melihat artis kesayangannya ini, bila perlu naik pohon atau tangga supaya dia bisa melihat dengan jelas, dan pasti banyak kamera handphone yang mengabadikannya. Sorakan, teriakan, atau bahkan pujian sudah pasti membahana di jalan di mana artis tersebut melintas. Kegembiraan dan sukacita akan terasa bahkan setelah rombongan itu pergi meninggalkan mereka. Daun palma atau ranting zaitun sendiri kaya akan makna dalam budaya Timur Tengah, Yunani dan Romawi, serta dalam Kekristenan. Sebagai lambang damai, ranting zaitun biasanya dipakai untuk menampilkan dewi Eirene (Yun.) atau dewi Pax (Rom.), yaitu dewi Damai. Ranting zaitun biasanya dibawa oleh utusan kekaisaran romawi untuk mewartakan damai. Dalam budaya Yunani, Romawi, dan Timur Tengah, daun palma dan ranting zaitun adalah lambang kemenangan dan damai. Seorang pemenang – termasuk pemenang lomba Olimpiade- mendapatkan mahkota dari ranting zaitun. Dalam Kekristenan, misalnya dalam Why. 7:9, daun palma adalah daun yang dibawa oleh orang-orang yang telah melewati dan mengalahkan segala cobaan dan kesulitan hidup, serta tampil sebagai pemenang. Dalam Kekristenan, ranting zaitun dan daun palma biasanya ditampilkan bersama dengan burung merpati. Burung merpati melambangkan Roh Kudus. Kadangkala burung merpati ditampilkan sedang membawa dengan paruhnya ranting zaitun atau daun palma. Inilah lambang Roh Kudus yang membawa damai
PEMAKNAAN
Yesus sendiri adalah “Raja Damai” dan “damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya” (Yes. 9:5-6). Yesus yang adalah Raja Damai ditunjukkan pula dengan keledai yang ditunggangiNya. Za. 9:9-10 memaklumkan bahwa Mesias akan datang dengan menunggang keledai beban yang muda. Keledai adalah lambang damai. Seorang raja yang menunggang keledai berarti seorang raja yang memaklumkan damai. Seperti para murid Yesus dan orang banyak berarak memasuki Yerusalem dengan penuh damai dan sukacita, kita pula mau berarak sambil berseru: “Hosanna!”, yang artinya “Selamatkanlah kami, ya Tuhan!”. Kita berseru memohon semoga Sang Raja Damai menyelamatkan kita dari dengki dan iri, curiga dan dendam. Kita mohon semoga damai dan sukacita merajai hati kita, masyarakat kita, dunia kita.Kehadiran Tuhan Yesus disambut dengan luar biasa oleh orang Israel dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem, seperti kedatangan artis terkenal yang diharapkan bisa memuaskan dahaga kerinduan dan harapan para pengikutnya. Mungkin kalau kita berada di antara kerumunan orang Israel juga akan menyambut-Nya demikian. Jika artis papan atas yang datang, tentu harapannya kita bisa berfoto selfie dan menikmati sajian entertain yang menghibur kita sepanjang kehadirannya. Dengan Tuhan Yesus semua orang Israel menyambut laksana raja, karena memiliki harapan yang luar biasa, yakni sang pembebas dari tirani penjajahan Romawi yang menindas mereka. Harapan ini ditumpahkan dalam bentuk sambutan melambaikan daun Palem, juga hamparan baju serta ranting di sepanjang jalan Tuhan Yesus melintas. Harapan orang Israel sangat tinggi kepada Tuhan Yesus, yakni membebaskan mereka dari kungkungan penjajahan Romawi. Menjadi bebas dan merdeka dipimpin oleh Tuhan Yesus sebagai raja. Ya raja seperti yang ada dalam pemerintahan dunia. Itu karena mereka melihat kuasa Tuhan Yesus yang sudah mereka kenal sebagai orang yang penuh kuasa, menghidupkan Lazarus (Yoh. 11:14 dan 11:43), Dia disebut anak Daud (Mat. 21:9), Sang Mesias yang diyakini orang Israel sebagai Sang Pembebas yang telah lama dinantikan. Ungkapan Hosanna yang berarti Tuhan selamatkan aku ya Tuhan , serta pengakuan Yesus adalah anak Daud memperlihatkan keyakinan penuh umat Israel akan kuasa Yesus sebagai Mesias Sang Pembebas yang akan mengalahkan penindas Romawi kala itu. Tidak heran jika orang Israel mengelu-elukan Yesus dengan penghargaan tertinggi seperti menyambut raja. Lambaian daun palem ini seperti sebuah penahbisan Yesus sebagai raja sebagaimana dipahami orang Yahudi yang berhadapan langsung dengan penguasa penjajah saat itu. Pasti semua orang bersuka jika benar seperti itu, namun Tuhan Yesus tidak hadir sebagaimana dibayangkan, karena Tuhan Yesus bukan datang sebagai Raja seperti halnya kaisar Romawi. Tidak heran kalau akhirnya orang Israel kecewa. Kekecewaan itu terjadi saat kehadiran Tuhan Yesus tidak seperti yang diharapkan bisa kita ketahui pada peristiwa selanjutnya. (Lihat Mat. 27:22-25, Kata Pilatus kepada mereka: “Jika begitu, apakah yang harus kuperbuat dengan Yesus, yang disebut Kristus?” Mereka semua berseru: “Ia harus disalibkan!” Katanya: “Tetapi kejahatan apakah yang telah dilakukan-Nya?” Namun mereka makin keras berteriak: “Ia harus disalibkan!” Ketika Pilatus melihat bahwa segala usaha akan sia-sia, malah sudah mulai timbul kekacauan, ia mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak dan berkata: “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri!” Dan seluruh rakyat itu menjawab: “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!”). Orang Israel tidak hanya menuntut agar Yesus disalibkan, mereka bahkan bersedia menanggung resiko atau dosa sampai anak-anak mereka. Rasa hormat, cinta bahkan berharap luar biasa pada Tuhan Yesus di waktu Minggu Palmarum bisa berubah sebaliknya tidak sampai hitungan bulan. Sebuah ironi bahwa hari Palmarum ini yang sebenarnya juga bisa terjadi pada diri kita pula. Kita mengingkari Tuhan, karena kecewa dan Tuhan tidak seperti yang kita harapkan dalam hidup ini. Hari ini kita merayakan Minggu Palmarum, mengenang arak-arakan Tuhan Yesus menuju Yerusalem dengan sorak sorai. Sudahkah kita menyambut Tuhan Yesus masuk di dalam hati kita dengan seluruh cinta dan pengharapan kita? Tentu kita tidak akan bersikap seperti halnya orang Israel yang dengan mudah berubah hati dan berbalik mengingkari kesetiaan dan cinta itu. Bagi orang percaya dan pengikut Tuhan Yesus, kesetiaan itu sampai akhir, tidak dipengaruhi oleh apapun bahkan oleh keindahan dunia yang ditawarkannya. Kasih Tuhan Yesus, pengharapan yang dibawa-Nya adalah kekal untuk mereka yang setia. Dalam doa itulah kita berkata Hosanna, Tuhan Yesus hadirlah membawaku dalam keselamatan-Mu. Bawalah aku dalam kedamaian sejati itu untuk menghadirkannya di dunia di tempat di mana aku berada. Kehadiran Tuhan Yesus disambut dengan luar biasa oleh orang Israel dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem, seperti kedatangan artis terkenal yang diharapkan bisa memuaskan dahaga kerinduan dan harapan para pengikutnya. Mungkin kalau kita berada di antara kerumunan orang Israel juga akan menyambut-Nya demikian. Jika artis papan atas yang datang, tentu harapannya kita bisa berfoto selfie dan menikmati sajian entertain yang menghibur kita sepanjang kehadirannya. Dengan Tuhan Yesus semua orang Israel menyambut laksana raja, karena memiliki harapan yang luar biasa, yakni sang pembebas dari tirani penjajahan Romawi yang menindas mereka. Harapan ini ditumpahkan dalam bentuk sambutan melambaikan daun Palem, juga hamparan baju serta ranting di sepanjang jalan Tuhan Yesus melintas. Harapan orang Israel sangat tinggi kepada Tuhan Yesus, yakni membebaskan mereka dari kungkungan penjajahan Romawi. Menjadi bebas dan merdeka dipimpin oleh Tuhan Yesus sebagai raja. Ya raja seperti yang ada dalam pemerintahan dunia. Itu karena mereka melihat kuasa Tuhan Yesus yang sudah mereka kenal sebagai orang yang penuh kuasa, menghidupkan Lazarus (Yoh. 11:14 dan 11:43), Dia disebut anak Daud (Mat. 21:9), Sang Mesias yang diyakini orang Israel sebagai Sang Pembebas yang telah lama dinantikan. Ungkapan Hosanna yang berarti Tuhan selamatkan aku ya Tuhan , serta pengakuan Yesus adalah anak Daud memperlihatkan keyakinan penuh umat Israel akan kuasa Yesus sebagai Mesias Sang Pembebas yang akan mengalahkan penindas Romawi kala itu. Tidak heran jika orang Israel mengelu-elukan Yesus dengan penghargaan tertinggi seperti menyambut raja. Lambaian daun palem ini seperti sebuah penahbisan Yesus sebagai raja sebagaimana dipahami orang Yahudi yang berhadapan langsung dengan penguasa penjajah saat itu. Pasti semua orang bersuka jika benar seperti itu, namun Tuhan Yesus tidak hadir sebagaimana dibayangkan, karena Tuhan Yesus bukan datang sebagai Raja seperti halnya kaisar Romawi. Tidak heran kalau akhirnya orang Israel kecewa. Kekecewaan itu terjadi saat kehadiran Tuhan Yesus tidak seperti yang diharapkan bisa kita ketahui pada peristiwa. Orang Israel tidak hanya menuntut agar Yesus disalibkan, mereka bahkan bersedia menanggung resiko atau dosa sampai anak-anak mereka. Rasa hormat, cinta bahkan berharap luar biasa pada Tuhan Yesus di waktu Minggu Palmarum bisa berubah sebaliknya tidak sampai hitungan bulan. Sebuah ironi bahwa hari Palmarum ini yang sebenarnya juga bisa terjadi pada diri kita pula. Kita mengingkari Tuhan, karena kecewa dan Tuhan tidak seperti yang kita harapkan dalam hidup ini. Hari ini kita merayakan Minggu Palmarum, mengenang arak-arakan Tuhan Yesus menuju Yerusalem dengan sorak sorai. Sudahkah kita menyambut Tuhan Yesus masuk di dalam hati kita dengan seluruh cinta dan pengharapan kita? Tentu kita tidak akan bersikap seperti halnya orang Israel yang dengan mudah berubah hati dan berbalik mengingkari kesetiaan dan cinta itu. Bagi orang percaya dan pengikut Tuhan Yesus, kesetiaan itu sampai akhir, tidak dipengaruhi oleh apapun bahkan oleh keindahan dunia yang ditawarkannya. Kasih Tuhan Yesus, pengharapan yang dibawa-Nya adalah kekal untuk mereka yang setia. Dalam doa itulah kita berkata Hosanna, Tuhan Yesus hadirlah membawaku dalam keselamatan-Mu. Bawalah aku dalam kedamaian sejati itu untuk menghadirkannya di dunia di tempat di mana aku berada. Palmarum bukan tentang euforia karena kita mendapatkan apa yang kita inginkan dan harapkan. Palmarum adalah ujian iman kita semua, tetapkah aku setia kepada Tuhan Yesus penebusku di saat apapun yang terjadi di hidup ini? Tuhan memerlukan keledai yang sederhana, bahkan tidak terlihat ke mana setelah tujuan sudah dicapai. Mari kita belajar untuk siap dilupakan, namun tetap setia saat Tuhan memerlukannya. Talenta dan karunia yang diberikan kepada kita berupa kepandaian, harta, juga kesempatan setiap saat diperlukan-Nya. Mari kita tanpa takut dan enggan memberikannya dengan sukacita di hari mengenang-Nya. Bukan teriakan membahana yang diperlukan, namun jalan sederhana nan tetap ketika mengikut, setia sampai kapanpun Tuhan mengajak kita pulang kelak. Palmarum adalah sisi lain jalan salib dan ujian kita adalah setia dan mempertahankannya saat berada dalam dua keadaan itu, suka dan duka sampai kesudahan hidup ini. Dan inilah perjuangan iman yang sebenarnya. Mari bersama-sama menghayati Minggu Palmarum ini sebagai kesempatan untuk mencintai lebih sungguh Tuhan Yesus yang merebut kembali kita dari keberdosaan ini. Sambutlah masa raya ini dengan ungkapan daun Palem yang adalah cinta sejati kita. Setiap lambaian itu sebuah komitmen untuk tetap setia dan menempatkan Tuhan Yesus hadir dalam hati kita. Karena Dialah sumber semangat, pengharapan, dan juga keselamatan kita yang tak akan tergantikan oleh apapun. Dialah Raja untuk hidup bahkan mati kita.
SUDUT PANDANG Minggu Palma: Mazmur 118:1-2, 19-29; Markus 11:1-11 dan Liturgi Sengsara : Yesaya 50:4-9; Mazmur 31:10-17; Filipi 2:5-11; Markus 15:1-15 MENGHAYATI MINGGU PALMARUM DAN MINGGU SENGSARA, SERIAL PASKA
Minggu Palma , yang juga dikenal sebagai Minggu Sengsara, terjadi pada hari Minggu sebelum Paskah. Hari ini menandai dimulainya Pekan Suci dan menggambarkan masuknya Yesus dengan penuh kemenangan ke Yerusalem sebelum akhirnya mengalami sengsara dan wafat pada Jumat Agung.Minggu Palma atau Minggu Palmarum adalah hari Minggu sebelum Paskah dalam kalender liturgi Kristen. Ini adalah hari peringatan masuknya Yesus Kristus ke Yerusalem pada saat-saat menjelang penyaliban-Nya. Ia memasuki Yerusalem di atas seekor keledai dan disambut oleh rakyat yang menjalankan karpet dan daun-daun palem di depan-Nya. Peristiwa ini dikenal sebagai Kedatangan Raja Damai dalam tradisi Kristen. Istilah "Palma" atau "Palmarum" berasal dari kata Latin "palma" yang berarti daun palem, yang melambangkan sambutan orang-orang Yerusalem saat Yesus memasuki kota tersebut, ketika mereka menyebar daun palem di jalannya. Minggu Palma merupakan awal dari Pekan Suci, yang mencakup peringatan-peringatan dari peristiwa-peristiwa penting dalam hidup Yesus Kristus, termasuk Perjamuan Terakhir, pengkhianatan dan penangkapan-Nya, pengadilan, penyaliban, dan kematian-Nya di kayu salib. Minggu Palma menjadi awal dari perayaan penuh makna ini, dan banyak gereja mengadakan prosesi dan upacara untuk mengenang kedatangan Yesus Kristus ke Yerusalem. Pada Minggu Palma, umat Kristen biasanya mengadakan perayaan dengan membawa daun palem dan membuat rumbai-rumbai kecil dari dedaunan untuk memperingati kedatangan Yesus ke Yerusalem. Di beberapa gereja, acara perayaan Minggu Palma diawali dengan ibadah di luar gereja yang melibatkan penggunaan daun palem, lalu dilanjutkan dengan prosesi masuk ke dalam gereja. Minggu Palma juga menjadi permulaan dari Minggu Suci, yang berlangsung selama seminggu menjelang Paskah dan mencakup peringatan-peringatan penting dalam kisah penyaliban dan kebangkitan Yesus Kristus. Kedatangan Yesus Kristus ke Yerusalem di hari Minggu sebelum Paskah ini adalah suatu peristiwa penting dalam sejarah kekristenan. Peristiwa ini dianggap sebagai penggenapan nubuat-nubuat dalam Alkitab bahwa Mesias akan datang ke Yerusalem dan memulai tugasnya sebagai juru selamat manusia. Ketika Yesus datang ke Yerusalem, rakyat Yerusalem menyambut-Nya dengan penuh sukacita, karena mereka menganggap Yesus sebagai Mesias yang telah mereka nantikan. Pada hari itu, banyak orang mengikuti Yesus dalam prosesi ke Yerusalem dan meletakkan karpet dan daun palem di depan-Nya, sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan bahwa Yesus adalah Raja Damai yang dijanjikan dalam Alkitab. Kedatangan Yesus ke Yerusalem di hari Minggu sebelum Paskah ini menjadi awal dari Pekan Suci, yaitu minggu-minggu yang memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan Yesus Kristus, seperti Perjamuan Terakhir, pengkhianatan dan penangkapan-Nya, pengadilan, penyaliban, dan kematianNya di kayu salib. Dalam tradisi Kristen, Minggu Palma diperingati dengan berbagai upacara dan kegiatan, seperti misa khusus yang diadakan pada pagi hari di gereja-gereja, prosesi dengan menenteng pohon palem dan karpet, dan pembacaan kisah-kisah Alkitab yang berkaitan dengan kedatangan Yesus ke Yerusalem. Pohon palem dan karpet yang dipakai dalam prosesi di hari Minggu Palma juga memiliki makna yang penting dalam tradisi Kristen. Pohon palem dianggap sebagai simbol kemenangan dan kejayaan, sementara karpet melambangkan kerendahan hati dan ketaatan. Kedua simbol ini menggambarkan kepribadian Yesus Kristus sebagai seorang Raja yang datang dengan rendah hati dan membawa kemenangan dan keselamatan bagi umat manusia. Secara umum, Minggu Palma dianggap sebagai hari yang penting dalam kalender liturgi Kristen, karena peringatan ini menandai awal dari Pekan Suci dan menjadi momen penting dalam mengenang peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan Yesus Kristus. Hari ini juga menjadi ajang bagi umat Kristen untuk memperkuat iman dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengorbanan Yesus Kristus bagi keselamatan manusia. Perayaan Minggu Palma sudah ada sejak abad ke4, namun, ada beberapa perubahan dalam perayaan hari raya Katolik Roma. Sebelum perubahan pada liturgi Katolik pada abad ke-20, umat Katolik menerima palma di satu gereja dan akan berprosesi ke gereja lain untuk diberkati. Mereka kemudian akan berprosesi kembali ke gereja asal di mana kisah Sengsara Kristus akan dilantunkan. Sengsara mengacu pada siksaan dan cobaan yang Yesus alami menjelang, dan termasuk, kematiannya. Kini, oleh karena kesepakatan di Lima, maka gereja Reformasi pun sebagian besar merayakan liturgis simbolis Minggu Palmarum.
PEMAKNAAN
Dalam perayaan Minggu Prapaskah VI mengandung dua dimensi yang paradoksal, yaitu Minggu Palma dan Minggu Sengsara. Pengkhotbah dapat menguraikan secara singkat perbedaan dan penekanan pada perayaan Minggu Palma dengan Minggu Sengsara. Dengan penjelasan tersebut pengkhotbah menginspirasi umat untuk memahami karakter Minggu Prapaskah VI yang mengandung aspek kegembiraan dan dukacita, sanjungan dan caci-maki, sikap simpati dan antipasti. Karakter Minggu Prapaskah VI yang paradoksal tersebut dapat dipakai oleh pengkhotbah untuk menginspirasi umat agar mengembangkan spiritualitas yang lebih integratif sehingga tidak hidup dalam ketinggian. Pengkhotbah dapat mengutip pandangan Roger Van Harn dalam The Lectionary Commentary yang menyatakan bahwa pada Minggu Prapaskah VI pada hakikatnya didasari pada pertanyaan teologis, yaitu: “Siapakah Yesus itu?” Jawab atas pertanyaan ini: Yesus sepenuhnya manusia dan sepenuhnya Allah. Sebab bila Yesus tidak sepenuhnya manusia, bagaimana Ia mampu menyelamatkan manusia. Di pihak lain bila Yesus tidak sepenuhnya Allah, bagaimana Ia mampu membuktikan kita di hadapan Allah. Melalui Minggu Prapaskah VI, pengkhotbah dapat memperdalam hakikat Kristus yang sungguh Allah dan sungguh manusia melalui perayaan Minggu Palma dan Minggu Sengsara. Jadi melalui perayaan Minggu Palma, hakikat Kristus yang sungguh manusia sebagaimana nyata kesaksian Mazmur 31, dan juga hakikat Kristus yang sungguh Allah sebagaimana kesaksian Markus 11:1-11 dan Flp. 2:5-11. Pengkhotbah dapat menguraikan makna teologis dari Filipi 2:5-11. Rasul Paulus mempersaksikan diri Kristus yang setara dengan Allah namun berkenan menjadi manusia ( cursus pudorum ). Tentunya aplikasi tafsiran Filipi 2:5-11 tidak dapat diterapkan begitu saja dalam kehidupan sehari-hari. Sebab kita bukanlah seperti Kristus yang memiliki satu hakikat dengan Allah yang bersedia mengosongkan diri-Nya menjadi manusia. Kita adalah ciptaan belaka. Namun kepada umat, pengkhotbah dapat mengembangkan perlunya spiritualitas yang tidak mencari kehormatan diri sendiri ( cursus honorum ). setara dengan Yesus masuk ke kota Yerusalem pada prinsipnya bukan untuk melihat pemandangan duniawi. Yesus tidak masuk ke kota Yerusalem dengan simbol-simbol kekuasaan, sebaliknya dengan kerendahan hati. Dalam perayaan Minggu Palma dan Minggu Sengsara yang tampak pada diri Yesus adalah sikap-Nya yang Ia berdiam diri. Pada Minggu Palma, Yesus berdiam diri di tengah-tengah Berbagai penduduk Yerusalem yang menyanjung dan memuji-muji diri-Nya. Demikian pula Yesus berdiam diri selama diadili, didera, dan disalibkan. Bahkan saat Yesus disalibkan, Allah juga berdiam diri dan tidak menyelamatkan Dia. Pengkhotbah dapat menjelaskan makna keberdiaman diri Yesus dan Allah di tengah-tengah puji-pujian dan caci-maki dunia. Menjelaskan bahwa keberdiaman diri Yesus bukanlah suatu bentuk keberdiaman yang pasif dan tanpa makna. Sebaliknya keberdiaman diri Yesus dalam Minggu Palma dan Minggu Sengsara merupakan suatu keberdiaman diri yang mampu merangkum situasi yang paradoksal. Yesus dengan penuh kesadaran dan visi yang jelas mengambil keputusan melakukan kehendak Allah, yaitu berkurban demi keselamatan manusia. Setelah itu pengkhotbah dapat memotivasi umat untuk mengabdi kepada Tuhan dengan mengutamakan tindakan nyata daripada banyak bicara. Sebab yang utama adalah sikap hening namun sarat dengan pengabdian yang tulus kepada Tuhan. Melalui keteladanan Yesus, umat dimotivasi untuk hidup dalam keheningan seperti Yesus sehingga tidak terpengaruh oleh puji-pujian dan caci-maki orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya umat yang setia dan rendah hati berjalan menuju tanah terjanji melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupan mereka. Minggu Prapaskah VI memiliki makna ganda, yaitu Minggu Palmarum dan Minggu Sengsara. Dalam pengisahan di Minggu Palmarum, penduduk Yerusalem mengelu-elukan Yesus dengan nyanyian “Hosana.” Namun di Minggu Sengsara, umat yang semula menyanjung Yesus berubah menjadi kumpulan orang yang melampiaskan kemarahan dan kebencian, sehingga Yesus disalibkan. Dengan demikian di Minggu Prapaskah VI mengandung dua makna yang paradoksal . Realitas yang paradoks adalah makna kedua yang mengandung kebenaran, namun juga memiliki sifat yang kontradiktif. Walter Brueggemann dalam Texts for Preaching Year B menyarankan agar pengkhotbah memilih salah satu dari dua dimensi Minggu Prapaskah VI, yaitu Minggu Palma ataukah Minggu Sengsara. Namun perlu diingat bahwa pemilihan tema liturgi Minggu Sengsara bukan bertujuan pemberitaan firman mengulas kisah Jumat Agung. Makna Minggu Sengsara merupakan liturgi yang mempersiapkan umat untuk menghayati makna perayaan Triduum (trihari suci), yaitu Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan Paskah. Dalam hal ini pengkhotbah dapat mengulas lebih mendalam penafsiran Yesaya 50:4-9 dan Mazmur 31:10-17. Walaupun pengkhotbah akan memilih salah satu dimensi dari Minggu Prapaskah VI yaitu Minggu Palma ataukah Minggu Sengsara, namun penekanan pada salah satu dimensi tersebut tetap perlu ditekankan karakter paradoksalnya. Misalnya tekanan pada Minggu Palma, pengkhotbah tidak boleh lalai bahwa penduduk kelak Yerusalem akan menolak dengan berteriak untuk menyalibkan Yesus. Demikian pula bila pengkhotbah tekanan Minggu Sengsara, ulasan teologis tentang masuknya Yesus ke kota Yerusalem dengan disambut dengan daun-daun palem harus diberi tempat yang proporsional. Dengan memperhatikan dua dimensi secara seimbang, maka perayaan Minggu Prapaskah VI akan dialami oleh umat sebagai perayaan kegembiraan namun juga dukacita, puji-pujian dan sikap hormat namun juga pengabdian. Dua dimensi yang kontradiktif dalam perayaan Minggu Prapaskah VI mengingatkan umat agar mengembangkan pemahaman iman yang lebih utuh dan luas, sehingga tidak terjebak pada pemahaman ideologi yang sempit dan fanatik. Umat dipanggil memahami diri Kristus secara utuh dan menyeluruh, sehingga mampu menanamkannya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu bagaimana umat mengembangkan hidup dalam integritas imannya di tengah-tengah sanjungan dan caci-maki sesama di sekitar.
TAFSIR MINGGU PALMARUM
Yesus dan murid-murid-Nya masuk ke kota Yerusalem setelah perjalanan dari Yerikho (Markus 10:46). Tindakan Yesus masuk ke kota Yerusalem akan membawa Dia kepada penderitaan dan kematian-Nya di atas kayu salib. Kisah Yesus yang naik ke kota Yerusalem juga dipersaksikan oleh Mazmur 118. Dalam hal ini Mazmur 118 sengaja dipilih oleh The Revised Common of Lectionary sebagai bacaan leksionaris untuk memahami makna Yesus masuk ke kota Yerusalem. Di Mazmur 118:19 mempersaksikan: “Bukakanlah aku pintu gerbang kebenaran, aku hendak masuk ke dalamnya, hendak mengucap syukur kepada TUHAN.” Menurut Frank H. Ballard dalam The Interpreter's Bible Volume 4 , makna “pintu kebenaran” menunjuk ke pintu Bait Allah di Yerusalem. Umat sebagai orang-orang yang benar di hadapan Allah diundang masuk melalui gerbang rumah Allah. Undangan tersebut bertujuan agar umat bersedia mendedikasikan hidupnya pada kebenaran (Mzm. 118:20) karena mereka telah menerima keselamatan dari Allah. Keselamatan tersebut justru terjadi pada umat yang dianggap semula tidak layak masuk ke pintu gerbang rumah Allah, namun kini mereka diperkenankan untuk bersembunyi. Dalam hal ini Frank H. Ballard menafsirkan bahwa “batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan” sebenarnya ditujukan kepada bangsa-bangsa di luar umat Israel. Dahulu mereka anggap tidak berguna, namun kemudian Allah berkenan menjadikan mereka sebagai “batu penjuru.” Itu sebabnya respon di Mazmur 118:24 pemazmur menyatakan kegembiraan bersama umatnya, yaitu: “Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita memperkenalkan-sorak dan mewujudkannya!” Rupanya sikap gembira umat tersebut dilandasi oleh pengharapan bahwa mereka selalu membutuhkan keselamatan dari Allah, sehingga umat menyatakan: “Ya TUHAN, berilah kiranya keselamatan! Ya TUHAN, berilah kiranya kemujuran!” (Mzm. 118:25). Dengan demikian seruan umat “Ya TUHAN, berilah kiranya keselamatan!” menggemakan gagasan hosanna yang diucapkan oleh penduduk Yerusalem saat Yesus masuk melalui pintu gerbang kota Yerusalem. Di dekat Betfage dan Betania yang terletak di Bukit Zaitun, Yesus mengajak dua orang murid-Nya dengan pesan: “Pergilah ke kampung yang di depanmu itu. Pada saat kamu masuk di situ, kamu akan segera menemukan seekor elang muda tertambat, yang belum pernah ditunggangi orang. Injil Markus mempersaksikan kuasa Yesus yang mampu meramalkan sesuatu yang akan terjadi di masa depan, bahkan juga reaksi orang yang akan menanyakan alasan para murid untuk melepaskan hal tersebut. Dengan demikian kemampuan Yesus memprediksi masa depan tersebut berkaitan pula dengan prediksi-Nya tentang apa yang akan terjadi pada diri-Nya. Di Markus 8:31, Yesus berkata: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit setelah tiga hari” (bdk. Markus 9:31; 10:33-34; 14:62). Dengan demikian keputusan Yesus pergi ke Yerusalem didasari pada kesadaran ilahi-Nya bahwa Dia melaksanakan kehendak dan keselamatan rencana Allah. Kesadaran ilahi Yesus Merujuk pada kekuasaan Allah yang maha tahu ( maha tahu ) apa yang akan terjadi, sehingga peristiwa kematian yang dialami Yesus merupakan wujud dari rencana keselamatan Allah. Allah telah mempersiapkan karya keselamatan dalam penebusan Kristus, sehingga penderitaan dan kematian Yesus merupakan karya pendamaian yang akan memulihkan dan mengampuni umat yang percaya kepada-Nya. Umat Israel di Yerusalem dikisahkan menyambut Yesus dengan meriah dan sikap hormat. Kesaksian Markus 11:8 yaitu: “Banyak orang yang menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang menyebarkan ocehan-ranting hijau yang mereka ambil dari ladang” menunjukkan pemahaman umat Israel di Yerusalem yang begitu hormat dengan menganggap Yesus seperti seorang pahlawan yang menang perang. Penduduk Yerusalem bersedia baju yang mereka pakai diinjak oleh habitat yang ditunggangi Yesus. Di kitab Makabe 13:51 mempersaksikan bagaimana sikap penduduk Yerusalem menyambut Simon saudara Yudas Makabe setelah ia berhasil mengalahkan musuh yang menguasai puri Yerusalem. Yerusalem Penduduk menyambut Simon sebagai seorang pahlawan, yaitu: “Pada tanggal dua puluh tiga bulan kedua tahun Seratus tujuh puluh satu maka Simon memasuki puri itu dengan kidung dan daun palem, diiringi dengan kecapi dan dandi, sambil menyanyikan madah dan gita. Sebab musuh besar Israel sudah digempur.” Namun sikap masyarakat Yerusalem memandang diri Yesus melebihi seorang pahlawan yang menang perang, karena mereka menyebut diri Yesus sebagai Mesias Allah, yaitu Sang Mesias yang menghadirkan Kerajaan Allah di atas bumi. Di Markus 11:9-10 mempersaksikan sikap umat Israel di Yerusalem, yaitu: “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, mendoronglah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!” Makna kata hosanna adalah: “Oh, selamatkanlah sekarang!” atau: “Sudilah selamatkan kami.” Penduduk Israel memohon agar Yesus Sang Mesias Allah berkenan menyelamatkan mereka sekarang dari penjajahan bangsa Romawi. Ketika mereka telah terbebas dari penjajahan politik, maka mereka berharap agar Kerajaan Allah yang jaya seperti Kerajaan Daud menguasai seluruh kehidupan umat. Dengan demikian, penduduk Yerusalem memiliki harapan dan keyakinan yang begitu besar bahwa Yesus Sang Mesias memiliki kemampuan untuk mengalahkan penguasa penjajahan bangsa Romawi, dan membangun kerajaan Mesias. Harapan yang begitu besar dapat membutakan mata hati seseorang. Demikian pula yang terjadi pada penduduk Yerusalem dalam memahami makna ke-Mesias-an Yesus. Karena harapan penduduk Yerusalem masih didasari oleh pemahaman Mesias politis. Pengharapan politik penduduk Yerusalem semakin bertambah besar setelah mereka menyaksikan bagaimana Yesus berkuasa membuat berbagai macam mukjizat dengan kekuatan ilahi. Pengharapan politis tersebut ternyata membutakan iman mereka untuk melihat makna dan tujuan yang sesungguhnya dari perbuatan-perbuatan mukjizat yang dilakukan Yesus yaitu untuk menyatakan kedudukan dan kuasa-Nya sebagai Anak Allah yang bertekad Allah menjadi penyelamat. Yerusalem Penduduk belum sepenuhnya memahami makna ke-Mesias-an Yesus bertujuan untuk membebaskan mereka dari penjajahan dan kuasa dosa. Oleh karena itu penduduk Yerusalem menjadi sangat kecewa saat Yesus tidak memberikan perlawanan saat ditangkap. Saat dianiaya Yesus tidak menampilkan kuasa-Nya yang menakjubkan di hadapan Pontius Pilatus. Sikap yang menyanjung-nyanjung Yesus segera berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Dari teriakan pujian “Hosana” berubah menjadi teriakan “salibkanlah Dia.” Sebagai penyelamat, Yesus memiliki kuasa untuk mengampuni dosa (bdk. Markus 2:10). Kuasa dan praktik penjajahan hanyalah salah satu perwujudan dari kuasa dosa. Karena itulah Yesus datang ke dunia untuk menghancurkan kuasa dosa yang membelenggu umat manusia (Markus 10:45). Sebagai bagian umat Israel, Yesus memahami kota Yerusalem sebagai kota Allah karena di sanalah Bait Allah berada. Tindakan Yesus masuk ke kota Yerusalem merupakan pernyataan Yesus untuk mendedikasikan hidup-Nya kepada kebenaran. Lebih dari itu Yesus masuk ke kota Yerusalem dilakukan dalam rangka melaksanakan kehendak dan rencana Allah untuk menyatakan karya keselamatan Allah. Umat Israel berziarah ke kota Yerusalem dalam rangka mengucap syukur atas keselamatan yang dikaruniakan Allah. Sebaliknya Yesus masuk ke kota Yerusalem dilakukan dalam rangka mewujudkan karya keselamatan Allah, yaitu perdamaian melalui penderitaan dan kematian-Nya. Penduduk kota Yerusalem menyambut kedatangan Yesus dengan perayaan yang meriah dan penuh hormat. Seruan mereka, hosanna yang artinya: “Oh, selamatkanlah sekarang!” atau: “Sudilah selamatkan kami” menunjuk pada harapan penduduk Yerusalem untuk mendapatkan keselamatan yang bebas dari penjajahan Romawi. Karena itu mereka kecewa dan marah karena harapan mereka tidak terwujud, sebab Yesus datang untuk membebaskan mereka dari kuasa dosa. Karena itu mereka yang semula berteria menyambut Yesus dengan “Hosana” berubah menjadi “Salibkanlah Dia!” Dalam konteks ini umat pada masa kini perlu menjadi sadar mempengaruhi pemikiran dan harapan yang ideologis, sehingga mereka mampu memahami karya keselamatan yang lebih utuh dan menyeluruh.
TAFSIR MINGGU SENGSARA
Kesaksian Markus 14:1-15:47 (penulis meringkas bacaan menjadi Markus 15:1-15) adalah pengisahan penderitaan, kematian Yesus sampai akhirnya Ia dimakamkan. Sengaja kisah penderitaan, kematian Yesus dan pemakaman telah dibaca pada Minggu Prapaskah VI (Minggu Palma) dan yang juga disebut dengan “Minggu Sengsara” agar umat memahami bahwa kisah Yesus masuk ke kota Yerusalem berkaitan dengan karya penebusan melalui penderitaan dan kematian-Nya. Umat pada pengisahan Minggu Palma yang memperkenalkan-sorak memuji Yesus adalah umat yang juga kelak akan berteriak dan menuntut akan kematian-Nya. Demikian pada Minggu Prapaskah VI memiliki dua dimensi kembar yang paradoks, yaitu puji-pujian yang menyambut Yesus dan teriakan kemarahan yang menuntut kematian Yesus. Kisah Yesus masuk ke kota Yerusalem seperti seorang pahlawan yang menang, tapi tak lama lagi Ia akan diperlakukan seperti seorang penjahat. Kesaksian Yesaya 50:4-9 juga menggemakan penderitaan seorang hamba Tuhan. Di Yesaya 50:6 mempersaksikan: “Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak bersembunyi mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” Kesaksian ini paralel dengan Yesaya 53:3, yaitu hamba Tuhan yang dihina dan Dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan. Namun di tengah-tengah penderitaan yang dialaminya, hamba Tuhan tersebut memiliki lidah seorang murid, sehingga ia mampu memberi semangat yang baru kepada sesamanya yang letih lesu. Di tengah-tengah penderitanya Sang Hamba Tuhan tersebut tidak berkeluh-kesah, menyalahkan keadaan atau mencari kambing hitam. Sebaliknya ia memberikan semangat dan kekuatan rohani kepada orang-orang yang putus asa. Jadi arti lidah seorang murid menunjuk pada lidah yang dilatih dengan baik. Kemampuan mengendalikan lidah yang peka hanya dapat terjadi jikalau hamba Tuhan tersebut selalu membuka telinga. Ia mengutamakan kesediaan mendengarkan dengan baik sebagai seorang hamba Tuhan, sehingga mampu berbicara dengan bijaksana untuk meneguhkan dan menyatakan karya keselamatan Allah. Mulai Mazmur 50:7-9, pemazmur menegaskan bahwa Allah berpihak padanya. Sebab di tengah-tengah penderitaan dan cela yang dialaminya, ia tetap setia. Sang Hamba Tuhan tersebut tidak memberontak atau dibebaskan dari Allah. Pada akhirnya Allah akan menolong dia, sehingga dia tidak mendapat noda. Para musuhnya tidak sanggup menundukkan dia. Konteks Mazmur 31 didasari pada pengalaman pribadi yang dialami oleh pemazmur. Ia dicela dan dipermalukan oleh para musuhnya (Mzm. 31:12). Para musuhnya bersekongkol dengan menyebarkan dusta (Mzm. 31:19). Lebih dari itu pemazmur dikejar-kejar oleh para musuhnya (Mzm. 31:16) sehingga ia terjebak dalam jaring yang dipasang mereka (Mzm. 31:5). Di tengah-tengah komunitasnya, pemazmur ditinggalkan (Mzm. 31:12-13), sehingga ia menderita sakit (Mzm. 31:10-11), dipermalukan sebagai orang yang dianggap terbuang dari hadapan Allah (bdk. Mzm. 31:17-18). Dalam kondisi demikian pemazmur menganggap dirinya terbuang dari hadapan Allah. Tampaknya curahan hati pemazmur tidak dimaksudkan untuk diungkapkan sebagai keluh-kesah pribadinya saja, namun diungkapkan agar menjadi cermin bagi umat percaya yang menderita. Karena itu dalam Mazmur 31 kita dapat melihat secara sengaja pemazmur menghilangkan unsur-unsur yang bersifat pribadi agar setiap orang yang membaca dan mendengarkan curahan hati tersebut menggambarkan pengalaman hidup umat percaya yang ditindas dan dipermalukan oleh para musuh. Umat percaya yang telah kehilangan harapan dan hidup dalam kesedihan yang begitu berat justru dituntun oleh pengalaman pemazmur yang melihat kehadiran Allah. Di hadapan para musuh yang menindasnya, pemazmur tidak meminta belas kasihan dari mereka. Sebaliknya pemazmur hanya mengharap belas-kasihan dari Allah (Mzm. 31:10). Iman pemazmur justru bertumbuh dengan kokoh, sehingga ia dapat menyikapi masalah yang dihadapinya dengan sikap beriman kepada Allah. Mulai Mazmur 31:15 sikap iman pemazmur menggeser semua kesedihan, kepahitan dan rasa putus-asanya, yaitu: “Tetapi aku, kepada-Mu aku percaya, ya Tuhan, aku berkata: Engkaulah Allahku!” Dalam konteks ini kita menjumpai dua aspek penting dalam kehidupan iman pemazmur, yaitu: 1). Pernyataan iman bahwa hanya kepada Allah saja ia percaya, 2). Pengakuan iman bahwa Yahweh adalah Allahnya. Sikap iman pemazmur tersebut justru relevan untuk direnungkan secara lebih mendalam. Iman pemazmur ditemukan justru ketika ia berada di tengah-tengah penderitaan dan situasi kritis yang seharusnya menghancurkan dirinya sendiri. Namun di tengah-tengah situasi “ketiadaan” tersebut Allah justru hadir dan mengaruniakan kekuatan untuk menopang kehidupan pemazmur, sehingga pemazmur berkata: “Masa kehidupan ada di tangan-Mu, mengecewakanlah aku dari tangan musuh-musuhku dan orang-orang yang mengejar aku! Buatlah wajah-Mu memancarkan atas hamba-Mu, selamatkanlah aku oleh kasih setia-Mu!” (Mzm. 31:16-17). Dalam konteks ini pemazmur tidak menggunakan kekuatan dan upaya manusiawinya untuk membalas dendam kepada musuh, namun ia serahkan sepenuhnya kepada Allah. Dalam tulisannya yang berjudul Reconstructing Honor in Roman Philippi – Carmen Christi as Cursus Pudorum , Joseph H. Hellerman menginterpretasikan Surat Filipi 2:7 sebagai cursus pudorum . Maksud dari cursus pudorum adalah: Yesus menyampaikan diri-Nya meskipun Ia setara dengan Allah. Dalam inkarnasi-Nya sebagai manusia, Kristus memilih untuk menjadi seorang doulos (hamba). Lebih dari itu Yesus menyerahkan nyawa-Nya untuk mengalami kematian di atas kayu salib. Dalam spiritualitas cursus pudorum dalam kehidupan Yesus, kita dapat melihat pola spiritualitas yang tidak bergerak ke “atas” (menuntut kemuliaan yang lebih tinggi), namun sebaliknya Yesus memilih untuk bergerak ke “bawah.” Karena itu Yesus sengaja masuk kota Yerusalem dengan menunggangi seekor elang tanpa dikawal oleh para prajurit atau kekuatan politik. Apabila penduduk Yerusalem mengelu-elukan Yesus, yaitu: “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, mendesaklah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!” adalah ungkapan yang spontan sebagai harapan mereka. Dengan pola ini rasul Paulus menunjukkan sikap yang berbeda antara Kristus dan pemerintah Romawi. Sikap pemerintah Romawi yang menjajah selalu lebih cenderung memeroleh kehormatan dan kemuliaan dengan meningkatkan kedudukan dan status seseorang ( cursus honorum ). Kecenderungan kita sebagai umat lebih suka mencari kehormatan di balik pelayanan dan kesalehan. Karena itu kita tidak segan menggunakan nama Allah atau Kristus, namun sesungguhnya kita haus akan pujian dan kehormatan. Kristus sebaliknya. Ia turun dari kedudukan dan statusnya sampai ke titik terendah bahkan sampai pada status yang paling hina dengan mati di kayu salib, dengan tujuan berkurban memberikan nyawa-Nya bagi umat manusia ( cursus pudorum ) (Hellerman 2005, 130). Kesediaan Kristus mengosongkan diri adalah agar Ia dapat memberikan hidup-Nya sehingga umat memperoleh hidup yang berlimpah. Prinsip teologis ini dikemukakan oleh Injil Yohanes tentang tujuan utama kedatangan Tuhan Yesus, yaitu: “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala menceritakan” (Yoh. 10:10b).
(25032025)(TUS)
SUDUT PANDANG ATHEISME BERSUMBER ANTARA LAIN DARI PROTESTANTISME
Jumat, 21 Maret 2025
SUDUT PANDANG LUKAS 13 : 1 - 9, ๐๐ฒ๐ฟ๐ฏ๐๐ฎ๐ต ๐ฎ๐๐ฎ๐ ๐ฑ๐ถ๐๐ฒ๐ฏ๐ฎ๐ป๐ด?, SERIAL PASKA
SUDUT PANDANG ALKITAB: KRONOLOGI DAN ARKEOLOGI (Bagian 1)
SUDUT PANDANG LILIN ADVENT
SUDUT PANDANG LILIN ADVENT PENGANTAR Seiring berjalan kesepakatan ekuminis di Lima, membawa beberapa kesepakatan antara denomina...
-
SUDUT PANDANG TENTANG ESENI Di zaman Yesus, ada beberapa golongan atau kelompok politik dan keagamaan Yahudi yang signifikan, an...
-
Otokritik Ajaran Allah Tritunggal GKJ, serial Sudut pandang Pengantar memang pemahamaman ontologi harus berkembang, melihat tr...