Sudut Pandang LUKAS 18:9-14, ๐๐๐ธ๐ฎ๐ป ๐ธ๐ฎ๐ฟ๐ฒ๐ป๐ฎ ๐ฝ๐ฟ๐ฒ๐๐๐ฎ๐๐ถ ๐ฎ๐ด๐ฎ๐บ๐ฎ๐๐ถ, kisah doa Farisi dan Pemungut Cukai
PENGANTAR
Farisi adalah satu faksi di dalam Yudaisme. Farisi merupakan partai politik, sebuah gerakan sosial, dan belakangan aliran pemikiran di antara orang-orang Yahudi yang berkembang pada masa Bait Suci Kedua atau pasca-pembuangan (536 SZB – 70 ZB). Reformasi yang dilakukan Yesus secara radikal menyulut perseteruan antara Yesus dan orang-orang Farisi. Di dalam kitab-kitab Injil disebutkan orang-orang Farisi selalu mencari celah untuk menjatuhkan Yesus. Namun Injil Lukas membedakan orang Farisi dari Injil lain. Diceritakan bahwa orang Farisi adalah lawan sekaligus kawan Yesus. Beberapa kali Yesus diundang makan oleh orang Farisi. Perbedaan paling mencolok dalam Injil Lukas adalah orang Farisi tidak melakukan persekongkolan membunuh Yesus. Bacaan secara diambil dari Injil Lukas 18:9-14. Bacaan Injil Minggu ini perikopnya diberi judul oleh LAI ๐๐ฆ๐ณ๐ถ๐ฎ๐ฑ๐ข๐ฎ๐ข๐ข๐ฏ ๐ต๐ฆ๐ฏ๐ต๐ข๐ฏ๐จ ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐๐ข๐ณ๐ช๐ด๐ช ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ฆ๐ฎ๐ถ๐ฏ๐จ๐ถ๐ต ๐ค๐ถ๐ฌ๐ข๐ช. Kutipan teks saya letakkan di bawah sesudah bagian Lampiran.
Sama seperti banyak perumpamaan Yesus yang beredar lepas tanpa konteks, perumpamaan di atas tampaknya juga seperti itu. Cerita utama perumpamaan itu berada di ayat 10-14a. Pengarang Injil Lukas memberi konteks pembuka di ayat 9 dengan mengarahkan pembacanya pada topik mengenai orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah orang lain. Ia menutup atau menyimpulnya di ayat 14b: “๐๐ฆ๐ฃ๐ข๐ฃ ๐ด๐ช๐ข๐ฑ๐ข ๐ด๐ข๐ซ๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ช๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช, ๐ช๐ข ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช๐ณ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ข๐ฉ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ข๐ณ๐ข๐ฏ๐จ๐ด๐ช๐ข๐ฑ๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ข๐ฉ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช, ๐ช๐ข ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช๐ต๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ช๐ฌ๐ข๐ฏ." Penutup perumpamaan sebenarnya kurang ๐ฏ๐บ๐ข๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฏ๐จ. Perumpamaan itu tidak berbicara mengenai orang yang direndahkan oleh Allah dan orang yang ditinggikan oleh Allah, melainkan tentang orang yang dibenarkan Allah dan orang yang tidak dibenarkan Allah (ay. 14a). Penginjil Lukas pernah menerapkan ucapan lepas Yesus tersebut (Lukas 18:14b) di Lukas 14:11. Ia menggunakannya dua kali, sedang penulis Injil Matius hanya sekali (Mat. 23:12). Ucapan lepas Yesus dari sumber “Q” itu ditempatkan dalam konteks narasi yang berbeda oleh kedua penulis Injil. Kita sudah menerima kitab Injil dalam bentuk akhir yang ada kalimat seperti ayat 14b. Di sini tampaknya Lukas hendak melengkapi bahwa doa orang yang rendah hati dibenarkan dan sekaligus ditinggikan oleh Allah. Dalam hal melakukan kewajiban agamawi tokoh pertama itu (orang Farisi) sebenarnya jauh lebih unggul daripada tokoh kedua (pemungut cukai). Apabila orang Farisi menganggap dirinya “tidak sama seperti semua orang lain”, ia tidak salah karena ia memang berbeda dari semua orang lain. Ia adalah orang benar (sering disebut juga anak Terang). Apa yang dikatakannya itu adalah apa yang dilakukannya. ๐๐ฉ๐ข kalau ia tidak salah, mengapa tokoh kedua yang dibenarkan oleh Allah?
PEMAHAMAN
Kalau kita melihat konteks yang dibuat oleh Lukas dalam pembuka perumpamaan ia menulis tentang orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain (Luk. 18:9). Lukas sudah mengarahkan penafsirannya di ayat 9. Dengan begitu pembaca berprapaham bahwa ucapan tokoh cerita di ayat 11-12 adalah cuplikan ucapan orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain. Tampaknya Lukas juga berbicara mengenai orang yang meninggikan diri akan direndahkan Allah dan orang yang merendahkan diri akan ditinggikan Allah (Luk. 18:14b).
Dasar hubungan dengan Allah bukanlah kebenaran yang dibangun oleh manusia, tapi kebenaran versi Allah. Hal itu diperikan melalui hubungan tokoh pertama dan Allah. “Kesalahan” tokoh pertama bukan terletak pada kesalehannya atau pada penilaian bahwa dirinya berbeda dari semua orang lain, melainkan pada cerapannya bahwa kesalehannya itu dapat menjadi dasar hubungannya dengan Allah. “Kesalahan” kedua, tidak ada sikap belas kasih kepada orang berdosa yang dianggap gagal memenuhi tuntutan Allah, tidak ada belas kasih artinya tidak ada keadilan, itu bukan kebenaran versi Allah. Tokoh pertama mengandaikan Allah berada di pihaknya dan Allah pasti menolak “semua orang lain” yang berdosa.
Kedua “kesalahan” itu dikoreksi dengan komentar narator (Yesus) bahwa bukan tokoh pertama yang dibenarkan Allah, melainkan tokoh kedua (Luk. 18:14a). Tokoh kedua mengakui keberadaannya “๐๐ฆ๐ต๐ข๐ฑ๐ช ๐ฑ๐ฆ๐ฎ๐ถ๐ฏ๐จ๐ถ๐ต ๐ค๐ถ๐ฌ๐ข๐ช ๐ช๐ต๐ถ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช ๐ซ๐ข๐ถ๐ฉ-๐ซ๐ข๐ถ๐ฉ, ๐ฃ๐ข๐ฉ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ช๐ข ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ข๐ฏ๐ช ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฅ๐ข๐ฉ ๐ฌ๐ฆ ๐ญ๐ข๐ฏ๐จ๐ช๐ต, ๐ฎ๐ฆ๐ญ๐ข๐ช๐ฏ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ช๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ถ๐ฌ๐ถ๐ญ ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฌ๐ข๐ต๐ข: ๐ ๐ข ๐๐ญ๐ญ๐ข๐ฉ, ๐ฌ๐ข๐ด๐ช๐ฉ๐ข๐ฏ๐ช๐ญ๐ข๐ฉ ๐ข๐ฌ๐ถ ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ฐ๐ด๐ข ๐ช๐ฏ๐ช.” (ay. 13). Tampaknya Lukas juga mengusung teologi ๐ด๐ฐ๐ญ๐ข ๐จ๐ณ๐ข๐ค๐ช๐ข, keselamatan adalah pemberian atau anugerah Allah, bukan prestasi agamawi. Apalagi untuk sebuah jabatan di pemerintahan, seharusnya bukan dilihat dari prestasi agamanya (mosok bisa masuk perguruan tinggi atau akademi hanya karena telah katam atau selesai bahkan hafal kitab suci .... Wk ..... Wk). Saudara, mana yang perlu kita pelihara terlebih dahulu? Mendisiplin diri untuk rajin dalam karya bergereja dan menunjukkan tindakan-tindakan iman kita, atau memelihara hati, membereskan batin kita? Dari
pemungut cukai kita belajar membenahi hati. Pemazmur mengatakan, “Selidiki aku Tuhan, kenali hati dan batinku.” Tuhan ingin kita bersikap jujur, adakah yang perlu kita bereskan
dan bersihkan? dalam hati kita, yang repot lebih banyak orang luka batin, blom selesai dengan dirinya, mencari jawab nya dengan karya bergereja, maka kekacauan yang terjadi, memang semua manusia rapuh, tapi terlebih dari manusia rapuh adalah manusia yang tahu diri. untuk hidup beriman dengan setia dan rendah hati, kita diajak untuk tidak meniru orang Farisi. Dalam kisah perumpamaan di kitab Lukas (Luk. 18:9-14), tampak orang Farisi terlihat begitu religius, namun nyatanya tidak memelihara imannya. Dari mana kita tahu bahwa dia tidak memelihara iman? Dari penilaian Yesus terhadap orang Farisi. Seorang
pemungut cukai yang dicap sebagai orang berdosa, justru dengan rendah hati menyesali kesalahannya di hadapan Tuhan. Dari
kedua contoh ini, kita belajar bahwa Tuhan melihat hati manusia, sebab dari dalam hati muncullah tindakan, tanpa topeng.
Penulis Lukas dalam perikop ini mengulas pandangan Yesus tentang siapa orang yang benar di hadapan Allah. Cara yang Yesus lakukan adalah dengan membandingkan antara
orang Farisi dengan pemungut cukai. Ilustrasi ini sangat cocok buat pembaca Lukas karena di masyarakat mereka saat itu, orang Farisi dianggap sebagai simbol rohani yang baik, sedangkan pemungut cukai dianggap sebagai simbol orang berdosa yang mengkhianati bangsanya, karena dia bekerja pada bangsa penjajah dengan menagih cukai/pajak dari bangsanya. Namun demikian, Yesus justru memberi penilaian terbalik. Buat Yesus, orang Farisi justru menunjukkan iman yang palsu dengan mempertontonkan ritual agamanya di depan banyak orang. Sementara pemungut cukai yang direndahkan dunia, dibenarkan karena merendahkan hatinya di hadapan Allah. Bagaimana cara memelihara iman kita dan keluarga? Kita perlu belajar dari pemungut cukai. Mereka memiliki keterbukaan diri dan kerendahan hati di hadapan Tuhan.
Mereka merasa sebagai orang yang membutuhkan belas kasihan Tuhan. Sebaliknya, orang Farisi tidak rendah hati, tapi “menganggap diri benar dan memandang rendah orang lain”.Teolog N. T. Wright (1948M-sekarang), melihat bahwa perumpamaan ini mengajarkan kita tentang pentingnya
senantiasa rendah hati di hadapan Tuhan siapa pun kita dan dalam hal apa pun yang kita lakukan, baik yang benar maupun yang salah. Di hadapan Tuhan, kita tidak perlu memberi opini
atau menyatakan apa yang kita anggap benar. Tapi tiap-tiap, hari kita mengakui betapa lemah dan rendahnya kita di hadapan Tuhan, serta memohon belas kasihan Tuhan. Film Turning
Red, Film ini menceritakan seorang gadis berusia 13 tahun, Mei namanya yang memiliki
orangtua atau ibu yang keras. Di akhir film ini Mei protes kepada ibunya tapi dia akhirnya berbaikan dengan ibu dan neneknya. Mei menerima kelemahan ibu dan neneknya sehingga mereka berpulih. Demikianlah cara memelihara iman kita dengan Tuhan. Kita perlu berpulih juga dalam relasi kita dengan
keluarga dan Tuhan. Tidak berhenti berjuang dan tidak menyerah dalam titik kelelahan atas kerapuhan, kelemahan, dan ketidak sempurnaan keluarga. Ironisnya, banyak keluarga Kristen juga kurang memperhatikan iman anggota keluarganya. Mereka kurang mendukung perkembangan mental, emosi dan rohani di dalam keluarga. Buktinya, survei kesehatan mental di Indonesia menurut Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) di tahun 2022, menunjukkan bahwa di antara
remaja Indonesia berusia 10 – 17 tahun, satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Lebih jauh dari itu, satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan
mental dalam 12 bulan terakhir. Angka ini setara dengan 15,5 juta. Kesehatan mental, emosi dan rohani sangatlah penting buat perkembangan iman orang percaya. Peter Scazzero, dalam
bukunya tentang “Kesehatan Emosi dan Spiritualitas”menegaskan bahwa kita tidak mungkin dewasa secara rohani jika kita tidak dewasa secara emosi. Karena emosi (perasaan), pikiran dan perilaku adalah bagian yang tidak terpisahkan dari mental, maka penting sekali kita memelihara dan mengembangkan kesehatan emosi (mental) kita bersamaan dengan kita memelihara iman kita. Jadi, bagaimana caranya agar kita dapat memelihara iman kita dan keluarga kita? dari bacaan Lukas 18 : 9-14, kita kali ini akan memberikan jawaban dari berbagai sudut pandang yang bisa memelihara iman kita bersama. Keluarga adalah Gereja terkecil dalam komunitas hidup orang percaya. Di dalam keluarga, anggota-anggota keluarga saling
mendukung dalam kasih dan dalam perbuatan baik (Ibrani 10:24-25). Jika keluarga-keluarga Kristen saling memperhatikan perkembangan iman anggota keluarganya, maka setiap keluarga bisa menjadi kepanjangan tangan Tuhan untuk memancarkan sinar kasih-Nya buat dunia ini. Sebaliknya, jika tidak saling memperhatikan, maka iman kita tidak didukung untuk berkembang dan tidak peka atas kebutuhan orang lain. Contohnya seperti orang-orang Farisi yang berdoa di tengah kota, kita akan menjadi seorang Kristen yang rajin menjalani kebiasaan atau ritual sehingga justru menjadi batu sandungan
buat sesama kita.
Cepogo, 22.10.2022 (TUS)
Lampiran
Kutipan ๐๐๐ธ๐ฎ๐ ๐ญ๐ด:๐ต-๐ญ๐ฐ (TB II, 1997)
๐๐ฆ๐ณ๐ถ๐ฎ๐ฑ๐ข๐ฎ๐ข๐ข๐ฏ ๐ต๐ฆ๐ฏ๐ต๐ข๐ฏ๐จ ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐๐ข๐ณ๐ช๐ด๐ช ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ฆ๐ฎ๐ถ๐ฏ๐จ๐ถ๐ต ๐ค๐ถ๐ฌ๐ข๐ช
๐ญ๐ด:๐ต Kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:
๐ญ๐ด:๐ญ๐ฌ "Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.
๐ญ๐ด:๐ญ๐ญ Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezina, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini;
๐ญ๐ด:๐ญ๐ฎ aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
๐ญ๐ด:๐ญ๐ฏ Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
๐ญ๐ด:๐ญ๐ฐ Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab siapa saja meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."